Penemuan Hukum oleh Hakim.

tama dimulai dari penafsiran menurut kata dan tata bahasa, penafsiran menurut sejarah, kemudian penafsiran sosiologis. Penafsiran sosiologis sangat penting sekali bagi Hakim terutama kalau diingat banyak Undang-Undang yang dibuat jauh daripada waktu dipergunakan. Penafsiran otentik atau penafsiran secara resmi ialah penafsiran secara resmi. Penafsiran ini dilakukan oleh pembuat Undang-Undang itu sendiri atau oleh instansi yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dan tidak boleh siapapun dan pihak manapun. Penafsiran ini sifatnya subyektif, penafsiran yang dilakukan oleh pembuat Undang-Undang sendiri diikuti dalam penjelasan Undang-Undang sebagai lampiran dan tambahan Lembaran Negara dari Undang- Undang yang bersangkutan. Penafsiran perbandingan ialah suatu penafsiran dengan membandingkan antara hukum lama dengan hukum positif yang berlaku saat ini, antara hukum nasional dengan hukum asing dan hukum kolonial.

3. Penemuan Hukum oleh Hakim.

Secara teoritis, penemuan hukum rechtssvinding law adalah suatu teori yang memberikan arah bagaiamana cara menemukan aturan yang sesuai untuk suatu peristiwa hukum tertentu, dengan cara penyelidikan yang sistematis terhadap sebuah aturan dengan mengehubungkan antara satu aturan dengan aturan yang lainnya. Penemuan hukum sebenaranya merupakan proses pembentukan hukum oleh Hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. 31 Menurut pandangan Amir Syamsuddin penemuan hukum rechtssvinding merupakan proses pembentukan hukum dalam upaya menerapkan peraturan hukum umum terhadap peristiwa berdasarkan kaidah atau metode tertentu, interpretasi, argumentasi atau penalaran redenering, konstruksi hukum dan lain- lain. Kaidah dan metode tersebut digunakan agar penerapan aturan hukumnya terhadap peristiwa tersebut dapat dilakukan secara tepat dan relevan menurut hukum, sehingga hasil yang diperoleh dari proses tersebut dapat diterima dan dipertanggungjawabkan dalam ilmu hukum. 32 Dalam Islam penemuan hukum disebut dengan ijtihad yang berasal dari bahasa arab dari kata jahada yang berarti bersungguh sungguh. Ijtihad bila diartikan adalah sebagai kegiatan atau usaha dengan cara bersungguh-sungguh untuk menemukan hukum yang belum ada yang dilakukan oleh seorang mujtahid. Adapun ijtihad menurut para ahli usul fiqh dalam memberikan definisi diantaranya adalah pendapat Imam asy- Syaukani dalam bukunya “Irsyadul Falah ” memberikan definisi sebagai berikut: 31 Lihat Alga, Rechtsaanvang, Drukkerij Elinwijk BV, Utrecht, 1975, hal. 219. dalam Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2008, cet.1. hal. 127. 32 Amir Syamsuddin, Penemuan Hukum, dalam Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2008, cet.1. hal. 127. Mencurahkan kemampuan guna mendapatkan hukum syara’ yang bersifat operasional dengan cara istinbat mengambil kesimpulan hukum. 33 Sehubungan dengan hal ini, seorang Hakim dapat berijtihad dengan sempurna apabila: 1 Memiliki pengetahuan yang luas dalam bidang ilmu hukum dan ilmu sosial lainnya; 2 Harus mengetahui dengan baik al-Quran, Sunnah, Ijma’, Qiyas, bahasa arab dan tata aturan ijtihad yang telah diterapkan oleh syariat Islam. 3 Mengetahui putusan yurispudensi, dan peraturan perundang-undangan lain yang ada kaitannya dengan pelakasanaan hukum di Indonesia. Dengan demikian Hakim Peradilan Agama dalam menciptakan hukum-hukum baru tidak boleh lepas dari ijtihad sebagaimana yang telah ditentukan oleh syara’, sehingga putusan-putusan yang ditetapkan oleh Hakim Peradilan Agama itu dapat menentukan isi hukum yang hidup di Indonesia yang sesuai dengan falsafah Pancasila. 33 Irsyad al-Fuluh, hal. 250. dalam Yusuf al-Qardhawi, Ijitihad dalam Syariat Islam Beberapa Pandangan Analitis tentang Ijtihad Kontemporer. Penerjemah: Achmad Syathori, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1987, hal. 2. 76

BAB IV PEMAHAMAN HAKIM PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR TENTANG

KONSEP ADIL DALAM BERPOLIGAMI

A. Konsep Adil Sebagai Syarat Izin Poligami Menurut Hakim.

Adil sebagai dalam izin poligami adalah adil dalam arti yang mendekati adil yang hakiki atau sempurna. Adil yang hakiki adalah hanya Allah SWT yang bisa, tapi adil dalam hal ini adalah adil yang memungkinkan manusia pada umumnya dapat melakukannya. Keadilan yang sempurna tidak akan bisa dilakukan oleh manusia, karena manusia juga terdapat kekurangan, dan jangan mengharapkan keadilan yang sempurna dalam poligami. Dan juga adil dalam poligami menurut Hakim adalah yang bersifat proposional, bahwa setiap orang mendapatkan hak sesuai dengan haknya, atau memberikan sesuatu sesuai dengan kebutuhannya. Sehingga dengan ini dapat mengurangi kezaliman suami terhadap istri-istri. Adapaun adil menurut Hakim dapat terbagi menjadi 2 bentuk: a. Adil dalam bentuk materi yaitu adil yang mengenai tentang nafkah antar istri- istri dan anak-anak, sehingga tidak ada kecemburuan antar masing-masing. Seperti, apabila istri pertama diberi uang sejumlah satu juta rupiah karena tinggal di kota yang segala bahan perbelanjaan mahal, dan istri kedua tinggal di desa yang sedikit murah dan diberi uang belanja sebanyak lima ratus rupiah. Maka dalam hal ini, suami tidak boleh membagi yang menonjol.. b. Adil dalam bentuk yang dapat dinilai yaitu adil yang dapat dinilai oleh seorang yang tidak terlalu menonjol apabila ada perbedaan pemberian dalam