14
BAB II KONSEP ADIL SEBAGAI SYARAT POLIGAMI
A. Poligami dalam Islam.
1. Pengertian.
Poligami merupakan gabungan kata poly atau polus yang berarti banyak, dan kata gamein atau gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Sehingga apabila
kedua kata tersebut digabungkan maka akan berarti yang banyak atau dengan kata lain poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak suami mengawini
beberapa istri dalam waktu bersamaan dan bisa jadi dalam jumlah yang tidak terbatas.
1
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa pengertian poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau
mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan berpoligami adalah menjalankan atau melakukan poligami.
2
Term poligami ini sebenarnya punya makna umum, yaitu memiliki dua orang atau lebih istri dalam waktu bersamaan. Adapun kebalikan dari bentuk
1
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopdi Islam Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve Jakarta, 1999, cet. 6 jil. 4 hal. 107.
2
W.J.S. Poerwadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1984, hal. 693.
perkawinan seperti ini adalah monogami yaitu perkawinan di mana suami hanya memiliki satu orang istri.
3
Dan dalam kitab-kitab fikih, para ulama menulisnya dengan “ta’addud al-
zaujat ” yang bila diartikan “ta’adud” adalah bilangan dan “zaujat” adalah kata
jamak dari istri. Maka apabila kedua kata tersebut digabungkan menjadi arti perkawinan yang mempunyai lebih dari seorang istri.
2. Dasar Hukum.
Tentang hukum poligami, para ulama melihat dalil al- Qur’an surat an-Nisaa:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yang yatim bilamana kamu mengawininya, Maka
kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka
kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Q.S:
an-Nisaa4:3.
Menurut jumhur ulama, yang diuraikan oleh Ali al-Shabuni, ayat tersebut mengisyaratkan untuk kebolehan ibahah, bukan wajib. Hal serupa juga ditemui
3
Bibit Suprapto, Liku-Liku Poligami, Yogyakarta: Pustaka al-Kautsar, 1999, cet. 1, hal. 71.
dalam ayat yang menyatakan tentang makan dan minum, seperti “kuluu wasyrabuu
”.
4
Menurut Yusuf al-Qardhawi bahwa poligami tidaklah wajib atau sunah, tetapi makruh. Dan bagi laki-laki yang tak mampu dalam ekonomi dan berbuat adil,
hukumnya menjadi haram. Dengan pertimbangan sosial dan individu, dalam Islam poligami boleh mubah.
5
Sementara Wahbah al-Zuhaily berpendapat, poligami terkait dengan syarat dan kondisi tertentu, sebab umum dan khusus. Sebab umum adalah ketika jumlah
laki-laki lebih sedikit daripada jumlah perempuan, dan ini beraspek sosial spiritual atau kesempatan bagi perempuan untuk menikah dan menghindarkannya
dari penyimpangan, penyakit berbahaya seperti aids, atau untuk kepentingan dakwah dan sebagainya. Sementara sebab khusus adalah istri mandul atau sakit,
suami membenci istrinya, sementara perceraian makruh, syahwat lelaki lebih besar daripada perempuan.
6
Menurut Muhammmad Abduh berpendapat bahwa asas pernikahan dalam Islam adalah monogami bukan poligami. Poligami diaharamkan karena
4
Ali al-Shabuni, Tafsir Ayat al- Ahkam Minal Qur’an, jus. 1, hal 192.
5
Yusuf al-Qardhawi, Sistem Masyarakat Islam dalam al- Qur’an dan Sunnah. Dalam Muhammad
Hafiz, Pelaksanaan Poligami di Indonesia dalam Pandangan Muhammad Shahrour, Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum, hal. 26.
6
Wahbah al-Zuhaily , al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, hal. 162.
menimbulkan dharar seperti konflik antar istri dan anggota keluarga, dan hanya dibolehkan dalam kondisi darurat saja.
7
Poligami menurut Sayyid Qutub adalah rukhsah, ini sesuai dengan realitas fitrah dan kehidupan dan menjaga masyarakat dari kecendrungan untuk lepas
kendali atau hidup dalam kejenuhan. Ikatan atau syarat ini akan melindungi suami istri dari kehancuran dan kerusakan, melindungi istri dari penganiayaan dan
kezaliman, melindungi kehormatan dan harga diri wanita dari kehinaan karena tiadanya perlindungan dan kehati-hatian dan menjamin keadilan di dalam
menghadapi tuntutan kebutuhan yang vital. Apabila ada seseorang melakukan penyimpangn di dalam menggunakan rukhsah ini dengan menjadikannya sebagai
kesempatan untuk menjadikan kehidupan suami dan istri sebagai panggung kesenangan hidup dengan berpindah-pindah dari istri kepada istri yang lain
sebagaimana halnya orang yang berganti-ganti kekasih, maka bentuk poligami dengan motivasi seperti ini sama sekali bukan dari ajaran Islam, bahkan tidak
mengimplementsikan ajaran Islam.
8
Menurut Rasyid Ridha mengatakan sebagaimana dikutip oleh Masyfuk Zuhdi
9
sebagai berikut:
7
Rasyid Ridha Tafsir al-Manar, jus 4 hal 346.
8
Sayyid Qutb, Tafsir fi Zhilail Quran, Jakarta: Gema Insani Press, 1992. Hal 118.
9
Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, Jakarta: PT. Gita Karya, 1988, cet. 1, hal. 12.
Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko atau mudarat daripada manfaatnya, karena manusia itu menurut fitrahnya mempunyai watak
cemburu, iri hati,dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligimis.
Dengan demikian poligami itu bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan keluarga, baik konflik antara suami dengan istri-istri dan anak-anak dari istri-
istrinya, maupun konflik antar istri beserta anak-anaknya masing-masing. Karena itu hukum asal dalam perkawinan menurut Islam adalah monogami, sebab dengan
monogami akan mudah menetralisir sifat atau watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh dalam kehidupan keluarga yang monogamis. Berbeda dengan
kehidupan keluarga yang poligimis, orang akan mudah peka dan terangsang timbulnya perasaan cemburu, iri hati atau dengki, dan suka mengeluh dalam kadar
tinggi, sehingga bisa menganggu ketenangan keluarga dan dapat pula membahayakan keutuhan keluarga.
Menurut Quraish Shihab
10
poligami sama sekali bukan sunnah. Anggapan bahwa poligami itu sunnah berakar dari kekeliruan dalam memahamai ayat dan
sunnah Nabi, dengan alasan yaitu: Surat an-Nisaa ayat 3 sama sekali bukan anjuran apalagi perintah poligami.
Ayat ini tidak menganjurkan apalagi mewajibkan berpoligami, tetapi ia hanya berbicara tentang bolehnya poligami. Poligami dalam ayat itu merupakan pintu
10
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Insani, 2000, hal. 582.
kecil yang hanya dapat dilalui oleh siapa saja yang sangat membutuhkan dan dengan syarat yang tidak ringan.
Berkaitan dengan kata amar yang terdapat dalam ayat ini, semua ahli hukum sepakat bahwa tidak semua perintah dalam al-
Qur’an menunjukkan kewajiban, sebaimana ditunjukkan dalam kaidah-kaidah ushul fiqh. Kata perintah dalam al-
Qur’an ada yang menunjukkan wajib, seperti perintah mendirikan salat, sunnah seperti perintah untuk tahajud, dan mubah seperti perintah makan dan minum.
Dalam kaitannya deng an ayat ini, kata “nikahilah” menunjukkan hukum boleh
tapi itupun dengan syarat yang berat. Walaupun Nabi dalam delapan tahun terakhir hidupnya berpoligami, tidak
lantas bisa dikatakan bahwa poligami itu sunnah Nabi, menurut Quraish Shihab “tidak semua apa yang dilakukan Rasul SAW perlu diteladani sebagaimana tidak
semua yang wajib atau terlarang bagi beliau, wajib atau terlarang pula bagi umatnya. Bukanlah Rasul SAW antara lain wajib bangun salat malam dan tidak
boleh menerima zakat? Bukankah tidak batal wudhu beliau bila tertidur ”.
3. Syarat-Syarat.