Latar Belakang Rajagukguk dan Ibunda T. Br. Simorangkir yang telah membesarkan dan

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Setiap pasien yang berobat ke rumah sakit memiliki status gizi berbeda-beda, ada yang sangat kurus, kurus, normal hingga pasien yang berbadan gemuk. Pada umumnya, pasien yang menderita penyakit infeksi akan mengalami penurunan status gizi disebabkan hilangnya nafsu makan maupun akibat meningkatnya kebutuhan oleh karena proses infeksi. Misalnya saja pada penderita tuberculosis paru, penurunan status gizi tampak jelas dengan bertambah kurusnya penderita dari hari ke hari. Di samping itu, lama rawat inap juga memberi pengaruh terhadap status gizi pasien. Semakin lama seseorang dirawat di rumah sakit, maka akan semakin berpengaruh pada kondisi fisiologisnya. Semakin lama dirawat inap, seseorang akan mengalami a trofi otot karena kurang bergerak. Atrofi penyusutan otot menyebabkan otot mengecil yang berarti menurun pula status gizi pasien. Hal ini biasanya terjadi pada pasien dengan penyakit non infeksi dengan masa rawat lebih dari satu bulan seperti pasien diabetes mellitus, kanker, jantung, dan sebagainya Syamsiatun, 2004. Pada keadaan sakit, terjadi peningkatan metabolisme, kerusakan jaringan, dan meningkatnya pembentukan zat anti, yang akan menyebabkan meningkatnya kebutuhan gizi. Hal ini akan berpengaruh terhadap status gizi pasien. Disamping itu, menurunnya pemasukan makanan akibat penurunan selera makan anoreksia adalah hal yang lazim terjadi pada pasien. Kondisi ini dapat memperburuk status gizi mereka. Universitas Sumatera Utara Kasus penurunan status gizi pasien rawat inap di rumah sakit atau hospital ma lnutrition masih terjadi di kebanyakan rumah sakit. Malnutrisi merupakan suatu keadaan tidak terpenuhinya kebutuhan kalori, protein atau keduanya dari asupan makanan. Malnutrisi pada pasien rawat inap dapat mengakibatkan meningkatnya lama rawat inap, biaya, bahkan komplikasi penyakit. Sebaliknya, konsumsi makanan yang seimbang sesuai kebutuhan akan mempercepat proses penyembuhan pasien. Dari hasil berbagai penelitian, ditemukan angka prevalensi malnutrisi di rumah sakit cukup tinggi, tidak hanya di negara berkembang tapi juga negara maju. Di Belanda, prevalensi malnutrisi di rumah sakit 40, Swedia 17-47, di negara lain seperti Amerika dan Inggris angkanya antara 40-50. Sebanyak 46 pasien yang dirawat di rumah sakit di Indonesia menderita malnutrisi Lipoeto, 2006. Di Jakarta, dari beberapa studi yang dilakukan 1995-1999 juga menunjukkan sekitar 20-60 pasien rawat inap di Rumah Sakit Umum dalam kondisi malnutrisi saat masuk perawatan, dan 69 pasien cenderung menurun status gizinya selama rawat inap di rumah sakit. Penelitian oleh mahasiswa tingkat V Fakultas Kedokteran UI di unit luka bakar menunjukkan prevalensi malnutrisi sebesar 52 Reza, 2007. Asupan makanan dari rumah sakit merupakan salah satu faktor penyebab perubahan status gizi yang terjadi pada pasien rawat inap. Malnutrisi terjadi karena tidak adekuatnya asupan kalori makanan yang dikonsumsi oleh pasien. Misalnya, apabila kebutuhan kalori, protein atau keduanya tidak terpenuhi dari asupan makanan maka akan menyebabkan malnutrisi. Malnutrisi pada pasien juga bisa terjadi karena proses penyakit yang dideritanya yang bisa mempengaruhi asupan makanan, meningkatkan kebutuhan, Universitas Sumatera Utara merubah metabolisme dan bisa terjadi malabsorpsi. Berbagai penyakit dengan resiko tinggi akan malnutrisi adalah diabetes mellitus kencing manis, gangguan fungsi ginjal, gangguan fungsi hati, penyakit saluran cerna, keganasan kanker, anemia, luka bakar, dan penyakit infeksi Suandi, 1997. Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein TKTP bertujuan memberikan makanan secukupnya untuk memenuhi kebutuhan kalori dan protein yang bertambah guna mencegah dan mengurangi kerusakan jaringan tubuh atau guna menambah berat badan hingga mencapai normal. Diet ini diberikan kepada pasien KEP, sebelum dan setelah operasi tertentu, multitrauma, pasien yang menjalani radioterapi dan kemoterapi. Pasien luka bakar dan baru sembuh dari penyakit dengan panas tinggi juga mendapat diet TKTP untuk memenuhi kebutuhan kalori dan protein yang meningkat akibat proses evaporasi yang terjadi pada tubuh. Selain itu, pasien hipertiroid dan post pa rtum nifas juga membutuhkan diet ini, sebab kebutuhan kalori dan protein meningkat. Praktek pemberian diet TKTP di RSU Swadana Daerah Tarutung dinilai belum memuaskan dimana berdasarkan survei awal yang dilakukan standar porsi untuk jenis diet TKTP masih belum mencukupi jumlahnya sehingga ketersediaan zat gizi makro seperti kalori, protein, lemak, dan karbohidrat masih kurang atau tidak sesuai dengan standar diet seharusnya. Diet TKTP yang diberikan oleh pihak rumah sakit tersebut adalah diet TKTP I sedangkan diet TKTP II tidak diberikan. Pengukuran status gizi pasien seperti pengukuran BB, TB, LILA ataupun indikator antropometri lainnya tidak pernah dilakukan. Begitu juga dengan perhitungan kebutuhan gizi pasien juga tidak dilakukan sehingga setiap pasien dianggap sama dan Universitas Sumatera Utara hanya diberikan diet TKTP I. Pasien yang mendapat diet ini tahun 2011 berjumlah rata-rata 30 orang per bulan. Oleh karena itu, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang status gizi pasien rawat inap yang mendapat diet tinggi kalori tinggi protein di RSU Swadana Daerah Tarutung.

1.2. Perumusan Masalah