Konflik laten antara Masyarakat lokal dengan Masyarakat Pendatang

123 melakukan kewajiban mereka sebagai umat beragama di gampong ini. Tetapi keadaan seperti ini jika terus berlanjut akan memiliki potensi konflik laten yang berujung pada rasa kekecewaan masyarakat beragama non-islam kepada masyarakat lokal di gampong ini. Sebagai kelompok Minoritas mereka pemeluk agama non-islam di Gampong Keude Matangglumpang Dua menduduki posisi yang tidak menguntungkan di dalam kehidupan sosialnya. Sebagai umat beragama mereka dibatasi dalam melakukan hak sebagai umat beragama yaitu dalam melakukan ritual-ritual keagamaan termasuk untuk membangun rumah ibadah dan perayaan hari raya mereka. Kelompok dominan selalu menganggap kelompok minoritas sebagai masyarakat dengan kelompok kelas dua subordinat. Dalam hal ini masyarakat penganut agama islam sebagai kelompok dominan menganggap mereka yang menganut agama non-islam di gampong ini sebagai kelompok minoritas yang rendah derajatnya dan tergolong sebagai orang asing. elly, 2011:564-580.

4.7 Konflik laten antara Masyarakat lokal dengan Masyarakat Pendatang

Konflik yang terlihat dari permasalahan ini adalah konflik antar kelompok atau suku yang memang sesuai dengan pembagian konflik berdasarkan jenisnya. Di mana konflik antar suku didasasi oleh kesalahpahaman antar kelompok yang dapat di tandai dengan adanya perasaan unggul dari salah satu kelompok yang pada akhirnya akan menciptakan konflik. Konflik ini jelas terlihat antara masyarakat Lokal dengan masyarakat pendatang di Gampong Keude 124 Matanggelumpang Dua, Kecamatan Peusangan, Kabupaten Bireuen. Stereotip yang belum tentu kebenarannya telah menciptakan konflik pada masyarakat. Konflik ini ditandai dengan banyaknya stereotip negatif pada masyarakat lokal terhadap masyarakat pendatang seperti halnya anggapan bahwa orang Jawa munafik, orang Cina penjajah, orang Batak itu kasar dan kotor, orang Minang pilih kasih, dan anggapan lainnya. Hal ini menimbulkan perasaan yang kurang baik dari masyarakat lokal ketika berhubungan dengan masyarakat pendatang. Dan sebaliknya. Ditambah lagi konflik antar kelompok agama yang memang sangat identik dengan masyarakat Aceh yang mayoritas beragama Islam. Di mana masyarakat yang Non Islam tidak diberi keleluasaan di daerah Aceh walaupun memang masih ada yang berkembang, namun itu sangat sedikit dan memang mendapat tekanan tersendiri dari masyarakat lokal. Tidak dapat kita pungkiri, keadaan seperti ini memang sudah sangat sering terjadi dan dianggap wajar, bahkan label Islam pada masyarakat Aceh juga sudah sangat kental. Hal ini memang sudah bentukan masyarakat dan menjadi sebuah ciri khas dari Aceh sendiri. Berbeda dengan daerah Aceh lainnya, di Desa Matang Gelumpang Dua, Kecamatan Peusangan, Kabupaten Bireuen, tidak terjadi konflik nyata antar suku dan agama. Di mana tidak terjadi perang atau kekerasaan fisik akibat konfliknya, namun memang konflik yang terjadi dalam masyarakat lebih bersifat laten atau konflik yang tidak nyata terlihat namun memang ada terjadi. Karena pada dasarnya juga, sebuah konflik akan selalu terjadi dalam masyarakat, namun akan bergantung pada pengelolaan dan arah dari konflik itu sendiri. 125 Dalam hal ini, terjadi konflik laten dalam masyarakat di Gampong Keude Matangglumpang Dua, di mana konflik tersebut terjadi di antara masyarakat Aceh sebagai masyarakat lokal terhadap masyarakat pendatang, dan begitu juga sebaliknya. Konflik ini memang tidak jelas terlihat karena pada dasarnya konflik dikelola dan diarahkan dengan baik sehingga tidak terjadi perpecahan dalam masyarakat. Dengan kata lain, bahwa konflik laten yang terjadi di antara masyarakat ini terletak dalam diri kelompok bahkan tersembunyi dalam diri masing-masing sehingga tidak menimbulkan perpecahan. Konflik laten ini dapat ditemukan ketika peneliti melakukan wawancara dengan beberapa informan di lapangan. Seperti halnya konflik laten yang berupa perasaan yang kurang suka dengan kelompok lain. Hal ini dapat peneliti lihat dari sikap beberapa informan saat wawancara. Seperti halnya Ibu Nur Janah Zaini 47 tahun, di mana dia bersedia untuk diwawancara jika peneliti dapat menjaga rahasia dan tidak mengatakannya pada masyarakat Aceh. Perasaan tidak suka yang tidak terlihat secara nyata memang terjadi dalam dirinya, di mana dia merasa sering tertekan oleh masyarakat Aceh. Dia mengaku bahwa sering sakit hati saat berjualan Jamu. Sering dia mendengar sebutan bahwa Orang Jawa adalah anak buah dari Soeharto, dan dia mengatakan bahwa mereka yang Suku Jawa sering mendapat sikap yang tidak baik dari orang-orang Aceh. Mereka sering mendapat sindiran nyoe ureueng Jawa, menyoe peng dimita disino kalehnyan harta i puwo u gampong, ek i manteng yang i tinggai inoe dalam bahasa Aceh oleh orang Aceh ketika berdagang. Bahkan Ibu ini mengaku tidak dekat dengan orang Aceh dalam kesehariannya, hubungannya hanya sekedarnya karena dia takut jika terlalu dekat dengan orang Aceh. 126 Demikian juga dengan Pak Suprial 23 tahun yang sering tertekan oleh orang Aceh dalam kesehariannya. Di mana dia merasa pemakaian bahasa Aceh itu terkesan sebagai sebuah keharusan. Seperti yang diungkapkannya bahwa: “memang kita tidak dipaksa untuk bisa berbahasa Aceh, tapi jika kita berbahasa Indonesia, kita sering tidak dicakapi oleh orang sini. Apalagi jika kita berbahasa suku kita sendiri, misalnya saya yang pernah berbahasa Batak dengan teman disini, langsung dikatai kami berbahasa planet dan tidak dicakapi oleh orang sini. Jadi mau tak mau juga kami yang merantau kesini harus tahu bahasa Aceh” Hasil wawancara pada tanggal 25 November2014. Bahkan dalam berdagang, Pak Suprial sering melihat bahwa beberapa orang Aceh terlihat enggan untuk membeli barang di toko masyarakat pendatang dan lebih memilih membeli barang di toko orang Aceh. Bahkan dia merasa pergaulannya juga di Gampong Keude Matangglumpang Dua ini kurang dekat dengan masyarakat lokal karena dia masih terlihat takut untuk berhubungan dekat dengan orang Aceh. Begitu juga hubungannya dengan sesama sukunya, tidak bisa dikatakan kompak karena mereka akan mendapat pandangan yang tidak enak dari masyarakat lokal jika mereka sering berkumpul bersama dan berbicara dengan bahasa sukunya sendiri. Begitu juga dengan Ibu Ranti 63 tahun yang sering merasa kesal dengan orang Aceh, di mana orang Aceh sering menyindir dia dan juga kerabatnya yang Tionghoa dengan bahasa Aceh yang mereka tidak mengerti. Tidak jauh berbeda dengan masyarakat pendatang lainnya, bahwa hubungannya dengan masyarakat lokal tidak begitu dekat karena dia mengaku sering sekali sakit hati jika dekat dengan orang Aceh, seperti halnya dia merasa sangat terasing ketika berkumpul bersama dengan orang Aceh. 127 Hal ini juga terlihat pada Ibu Elfi 51 tahun yang merupakan tokoh Agama Buddha, di mana dia memiliki keinginan untuk mengusulkan pembangunan rumah ibadah mereka di Desa Matang. Namun dia tidak berani untuk mengutarakan usulannya karena takut keberadaan kelompoknya akan mendapat masalah karena selama ini juga masyarakat lokal terlihat kurang suka dengan isu pembangunan rumah ibadah tersebut. Konflik laten tidak hanya terjadi pada masyarakat pendatang, namun terdapat juga pada masyarakat lokal. Seperti halnya untuk pemilihan aparatur pemerintahan Desa Matang, belum pernah ada diisi oleh masyarakat pendatang. Seperti apa yang dinyatakan oleg Pak Edi Syahputra 41 tahun selaku Sekretaris Gampong Keude Matangglumpang Dua. Di mana dia mengatakan bahwa untuk tidak mungkin posisi aparatur desa diisi oleh masyarakat pendatang. Seperti yang dinyatakannya bahwa: “menyoe seulama nyoe golom na tom na aparatur gampong seutingkat geuchik ngon sekdes atau pih seutingkat camat dari ureueng pendatang. lom pih hana mungken awak nyan nyang pimpin gampong nyoe. Sabab han mungken di pileh leh awak-awak gampong. Sabab pemilihan jin keun di atur leh daerah dan geupileh langsong le masyarakat keudroe. Jadi shit han mungken na masyarakat pendatang nyang tamoung lam aparatur gampong”. Hasil wawancara pada tanggal 30 November 2014 Terjemahan: “kalau selama ini belum pernah ada aparatur gampong setingkat geuchik kepala desa ataupun sekretaris desa dan bahkan setingkat Camat dari masyarakat pendatang. lagian gak akan mungkin mereka yang memimpin gampong. Gak akan di pilih sama orang gampong. Karena kan pemilihannya itu di atur oleh daerah dan dipilih langsung oleh masyarakat sendiri. Jadi gak akan mungkin ada masyarakat pendatang yang masuk di aparatur gampong”. 128 Bahkan ketakutan juga terdapat pada tokoh Agama Islam di Desa Matang yaitu Ust. Anwar 62 tahun. Di mana bapak ini secara pribadi merasa resah dengan keberadaan masyarakat pendatang. Dia takut jika masyarakat pendatang yang membawa agama masing-masing akan menarik umat Islam untuk masuk ke dalam agama masyarakat pendatang. Bahkan dia takut orang Aceh akan mempelajari budaya masyarakat pendatang. Seperti yang dinyatakannya bahwa: “menyoe nyang troek u Aceh ureueng islam kamoe hana masalah. Memang lee nyang troek u gampong nyoe shit ureueng-ureueng islam memang. Tapi menyoe nyang lain agama nyan nyang yee teu. Yee teu menyoe awak nyan ek jitarek awak-awak Aceh nyoe tameong lam agama awak nyan”. Hasil wawancara pada tanggal 3 January 2015 Terjemahan: “kalau pendatang yang datang ke Aceh ini yang agama islam kita gak masalah, memang kebanyakan pendatang di gampong ini orang-orang islam memang, tapi kalau pendatang yang beda agama itu yang ditakutkan. Ditakutkan mereka mau narik orang-orang Aceh ini masuk ke agama mereka”. Dari hasil wawancara dengan beberapa informan, dapat terlihat bahwa konflik laten yang terjadi antara masyarakat lokal dengan masyrakat pendatang dapat berupa konflik yang ada dalam diri mereka masing-masing. Konflik ini dapat berupa perasaan tidak suka, perasaan takut, perasaan kesal, dan perasaan tertekan. Memang hubungan mereka dalam kesehariannya terlihat tidak mendapat masalah, namun secara mendalam mereka memiliki konflik dalam diri mereka sendiri. Konflik laten ini akan lebih sering terlihat pada masyarakat pendatang, dikarenakan posisi mereka yang kurang menguntungkan dalam masyarakat. Di mana masyarakat pendatang berada di posisi nomor dua dalam masyarakat. 129 Dalam kenyataan di lapangan, terlihat bahwa masyarakat pendatang seakan-akan harus mengikuti nilai-nilai yang sudah ada dalam masyarakat lokal. Bahkan masyarakat pendatang juga sangat rentan menjadi korban dalam interaksi mereka, misalnya mendapat tekanan serta sindirian yang membuat merasa terkadang merasa kurang nyaman. Sehingga masyarakat pendatang sering bergumam dalam hati akan perbuatan yang diterima dari masyarakat lokal. Bahkan masyarakat pendatang selalu berusaha menjaga hubungan baik dengan masyarakat lokal, karena ketakutan mendapat masalah. Konflik laten ini terlihat tidak jelas ada dalam masyarakat Gampong Keude Matangglumpang Dua karena dalam berhubungan, semua berjalan dengan baik. Namun konflik laten ini dapat kita lihat dari sikap-sikap mereka saat di wawancarai. Beberapa informan juga terlihat saling menceritakan satu sama lain. Bahkan beberapa informan dari masyarakat pendatang terlihat enggan diwawancarai terkait masalah-masalah yang terjadi antara masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang. Terdapat juga kemungkinan bahwa konflik laten yang terjadi antara masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang diakibatkan oleh adanya stereotip dalam masyarakat. Bahkan sebelum mereka beriteraksi, mereka juga sudah terlebih dahulu mendapat stereotip yang membuat mereka terlihat berjaga-jaga ketika berinteraksi. Dengan kata lain bahwa stereotip akan mempengaruhi terjadinya konflik laten dalam masyarakat, dan akan berdampak pada interaksi yang kurang baik dalam masyarakat di Gampong Keude Matangglumpang Dua. 130 4.8 Interaksi sosial yang terjadi antara masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang setelah adanya stereotip Dalam pembahasan ini, kita akan melihat interaksi yang terbentuk akibat stereotip yang sudah ada diantara masyarakat lokal dan masyarakat pendatang di Gampong Keude Matangglumpang Dua. Dimana interaksi yang terbentuk terlihat dalam keadaan baik walaupun secara pribadi dalam diri setiap kelompok memiliki stereotip terhadap kelompok lain. Dalam hal ini stereotip itu pada dasarnya akan mempengaruhi masyarakat dalam berinteraksi. Jika dilihat secara sepintas hubungan masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang terlihat tidak ada masalah, namun berdasarkan temuan di lapangan melalui wawancara dengan beberapa informan bahwa stereotip yang terjadi dapat menciptakan konflik walaupun dalam kadar yang masih dapat diarahkan dan dikelola dengan baik menuju kepada suatu integrasi. Misalnya untuk masyrakat pendatang itu sendiri tidak ingin memiliki hubungan yang terlalu erat dengan masyarakat lokal karena takut mendapat masyaralah nantinya. Seperti Suprial 23 tahun yang mengatakan bahwa: “kami disini semua berteman, apalagi kita yang pendatang ini sadar dirilah, ya nama pulak kita yang datang ke tempat orang itu, mana boleh kita sombong, tapi kalau bertemannya juga hanya sekedarnya saja. Karena orang Aceh ini suka kali sama orang pendatang yang sukses disini. Kadang gak ngerti kita sama orang Aceh ini, kayak kemaren itu npernah saya waktu kami lagi main foli sama kawan-kawan di gampong kebetulan Cuma aku pulak yang orang pendatang yang main, abis rupanya tiba-tiba ada orang Aceh mau main juga tapi kan kami pemainnya udah pas, tiba- tiba ada orang Aceh yang memukul dan menyurus saya keluar supaya dia yang main menggantikan saya. Padahal sebelumnya saya lumayan dekat sama pemuda-pemuda di gampong ini”. Hasil wawancara pada tanggal 25 November 2014 131 Dari pernyataan Suprial di atas dia seperti menjaga jarak dan hanya berteman sekedarnya saja dengan masyarakat lokal. Dengan alasan agar tidak mendapat masalah dengan masyarakat lokal. Interaksi yang terjadi terlihat berjalan dengan baik karena masyarakat pendatang memang menyesuaikan diri dengan masyarakat lokal, bahkan mereka benar-benar sudah bisa menerima posisi mereka sebagai masyarakat pendatang di Gampong Keude Matangglumpang Dua Kecamatan Peusangan. Demi mendapatkan keadaan yang nyaman dan aman mereka terkesan terpaksa mengikuti nilai dan norma yang ada pada masyarakat Aceh itu sendiri. Seperti yang di alami oleh beberapa informan seperti Nur Janah Zaini, Suprisl,Ranti, dan ibu Yulisda bahwa menurut pengakuannya terpaksa menyesuaikan diri dengan masyarakat lokal seperti halnya dalam berbahasa, mematuhi syariat islam dan lain sebagainya. Seperti yang dikatakan oleh ibu Nur Janah Zaini bahwa dia mau tak mau harus belajar bahasa Aceh agar tidak mendapat tekanan dari masyarakat lokal ketika berdagang. Dimana jika dia tidak mengerti bahasa Aceh dia akan di ejek dan dagangannya tidak akan dibeli. Seperti yang diungkapkannya dalam wawancara bahwa: “iya memang kalau bahasa Aceh disini memang harus tau kita dek, kalo gak tau bakalan susah lah memang. Emaren itu aja waktu aku ngomong bahasa Indonesia waktu jualan ada yang langsung nanyak aku ini orang apa, kenapa kok pake bahasa Indonesia, bahkan ada yang sampei gak mau beli jamu saya”. Hasil wawancara yang dilakukan pada tanggal 23 November 2014 Demikian juga seperti yang diungkapkan oleh Suprial bahwa: 132 “kami memang harus tau bahasa Aceh dek, kalau gak di ejek lah. Kalau kita pake bahasa Indonesia aja kita langsung di tanyai orang apa lah, suku apa lah, asal darimana lah, yang pasti ujung-ujungnya kita disuruh belajar bahasa Aceh. apalagi kalau pakek bahasa batak langsung lah ketawak orang itu yang dengarnya. Bahkan pernah dulu di bilang kalau aku ngomong pake bahasa planet”. Hasil wawancara pada tanggal 25 November 2014 Hal senada juga diungkapkan oleh ibu Yulisda 47 tahun: “oh disini memang wajib pakek bahasa Aceh, semua orang pendatang juga pakek bahasa Aceh. lebih parahnya aku dulu dipaksa oleh anggota GAM untuk belajar bahasa Aceh. lagi pula kalau kita gak tau bahasa Aceh kita gak akan dicakapi disini”. Hasil wawancara pada tanggal 25 November 2014 Di tambah lagi pernyataan yang dikatakan oleh Hidayun Nufus 20 tahun yang mengatakan bahwa: “menyoe bak loen hana masalah ngeun ureueng pendatang yang peugah haba ngon bahasa Indonesia. Tapi inoe mandum awak pakek bahasa Aceh, awak loen disikula pih pakek bahasa Aceh, guree pih i pakek bahasa Aceh ngon awak loen. Jadi tem han tem awaknyan shit wajeb i pakek bahasa Aceh shit sabab memang mandung ureueng i pakek bahasa Aceh inoe”. Hasil wawancara pada tanggal 5 January 2015. Terjemahan: “kalau sama saya gak masalah orang pendatang ngomong bahasa indonesia. tapi disini semua orang pake bahasa Aceh, kami di sekolah juga pakek bahasa Aceh, guru pun pakek bahasa Aceh juga sama kami. jadi mau gak mau mereka memang harus pakek bahasa Aceh juga karena memang semua orang pakek bahasa Aceh disini”. Dari pernyataan beberapa informan diatas bahwa semua orang di Gapong Keude Matangglumpang Dua ini harus mengetahui bahasa Aceh. jadi dari segi bahasa pun masyarakat pendatang harus menggunakan bahasa Aceh dalam berinteraksi. 133 Ditambah lagi bahwa interaksi masyarakat lokal dengan masyarkat pendatang dapat berjala dengan baik karena masyarakat pendatang sadar dengan kelompok mereka yang merupakan kelompok minoritas. Sehingga mau tidak mau mereka harus mengikuti aturan masyarakat lokal yang merupakan masyarakat asli dan merupakan kelompok dominan di Gampong Keude Matangglumpang Dua. Di mana seperti yang tertulis dalam buku pengantar sosiologi elly,2011:564-566 bahwa kelompok minoritas akan menduduki posisi yang tidak menguntungkan dalam kehidupan sosial masyarakat karena mereka dibatasi dalam jumlah kesempatan sosial, ekonomi, dan politik. Kalompok minoritas harus memiliki gengsi yang rendah karena akan sering menjadi sasaran olok-olok, kebencian, kemarahan dan kekerasan. Jadi bentuk interaksi yang terjadi dalam hubungan antara masyarakat Aceh dengan masyarakat pendatang di gampong ini merupakan bentuk interaksi antara kelompok dominan dengan kelompok minoritas. Dapat kita lihat bahwa interaksi dapat berjalan dengan baik karena pada dasarnya kelompok pendatang yang merupakan minoritas menerima keadaan bahkan mereka menerima posisi yang kurang menguntungkan agar tidak terjadi perpecahan dalam masyarakat. Karena mereka beranggapan bahwa jika terjadi perpecahan dalam masyarakat, kelompok pendatang lah yang akan mendapat imbasnya. Sehingga konflik yang terjadi dalam masyarakat di Gampong Keude Matanglumpang Dua Kecamatan Peusangan Kabupaten Bireuen dapat di kelola dan di arahkan menuju integrasi. 134 BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan