98
telah menganut agama islam sejak lahir tetapi tetap saja orang-orang sering mengejeknya dengan sebutan “China kaphee”. Kata kaphee sendiri di artikan
sebagai kafir yang oleh orang Aceh di maksutnya untuk menjuluki orang-orang selain penganut agama islam. Nufus juga mengatakan bahkan ketika dia
bertengkar kecil dengar saudaranya, saudaranya juga kerap mengejeknya dengan “China Kaphee”. Oleh karena itu, sampai sekarang dia sangat benci disebut
sebagai orang China karena orang China di Gampong Keude Matangglumpang Dua ini sering sekali dijadikan sebagai bahan olokan masyarakat lokal. Hal ini
seperti yang di katakan oleh Hidayatun Nufus yaitu:
“sebenar jih loen male jeut ke ureueng China. Sabab ureueng China di Gampog nyoe sabe-sabe ge olok-olok le ureueng mandung. Asai na
mantong ureueng China yang tengoh wet pasti na mantong ureueng yang olok-olok. lage nyan shit ke loen, sabe-sabe na mantong yang kheun-kheun
ke loen. Lage China kaphee nyan, padahai ken loen nyoe islam. hai memang mantong lee keluarga mak loen yang mantong Budha”. Hasil
wawancara pada tanggal 5 January 2015 Terjemaha:
“sebenarnya aku malu jadi orang China. Karena orang China di gampong ini selalu aja di ejek-ejek sama orang. Asal ada aja orang china yang lewat
pasti ada aja juga yang mengejek. Kekgitu juga ke aku, selalu ada aja yang ngejek-ngejek. Kayak China kafir itu, padahal kan aku islam. ya memang
masih banyak keluarga mamaku yang masih Budha”.
4.4 Stereotip Masyarakat Pendatang Terhadap Masyarakat Lokal
1. Iri Hati Ibu Nur Janah Zaini adalah seorang pendatang di Gampong Keude
Matangglumpang Dua yang merupakan suku Jawa. Ibu Janah sudah 16 tahun
99
menetap di gampong ini dan dia mengaku cukup banyak mengenal sifat-sifat orang Aceh di karenakan dia tinggal di lingkungan yang keseluruhannya adalah
orang Aceh saja. Dia mengatakan bahwa dia mengangap orang Aceh memiliki iri hati dan suka berburuk sangka dengan suku lain bukan tanpa alasan, dia mengaku
bahwa dia sering melihat sendiri perlakuan atau tatapan sinis dari orang Aceh yang melihatnya jika membeli barang baru di rumahya atau ketika dia membeli
sepeda motor baru. Menurut ibu Janah dia merasa serba salah menetap di gampong ini sebagai pendatang terlebih orang Jawa yang memiliki sejarah kelam
di gampong ini. Ketika dia membeli barang baru pasti ada yang memandangnya sinis dan ketika dia capek bekerja namun dia tidak membeli apa-apa juga ada
perkataan yang kurang menyenang kan dari orang Aceh. Hal ini seperti yang di katakan oleh Ibu Nur Janah Zaini yang mengatakan bahwa:
“ibuk lihat orang Aceh ini kebanyakan yang iri kalau lihat orang pendatang yang sukses disini. Kayak ibuk ini lah, kalau ada aja barang
baru di rumah langsung lah ada aja yang sinis ngeliat ibuk. Tapi kalau ibuk gak ada belik apa-apa ada juga perkataan orang itu yang bikin sakit hati.
Apalagi ibuk kan anak ibuk dua-duanya kuliah di Jawa sana. Itu lah orang itu ngomong “ka hek kerja peujeut hana sapu na, pu peng mandum i puwo
u gampong. Shit meunan awak Jawa, peng di mita inoe aleuhnyan harta i puwo u gampong . ek i mantong i tinggai inoe” udah capek kerja kenapa
gak punya apa-apa, apa uangnya semua di kirim ke kampong. Memang kayak gitu lah orang Jawa, uang di cariknya disini abis itu hartanya di
kirim ke kampong. Taik nya aja di tinggal disini kayakgitu lah yang selalu ibuk dengar orang itu ngomong. Di pikir orang itu lah ibuk gak bisa
bahasa Aceh. Ibuk memang sengaja ibuk belajar bahasa Aceh biar gak bisa di tipu-tipu orang”. Hasil wawancara pada tanggal 23 November 2014
Nur Janah Zaini juga mengatakan bahwa dia kerap kesal melihat orang Aceh yang suka sekali menganggap rendah suku lain, mereka menganggap bahwa
hanya sukunya lah yang paling hebat dalam hal ke agamaan. Seperti halnya ketika di dalam pengajiannya dia pernah merasa di rendahkan karena di anggap tidak
100
bisa mengaji. Di dalam kelompok pengajiannya ibu Janah mengatakan hanya dia seorang yang merupakan orang pendatang. Dan ketika pertama dia bergabung
dengan kelompok pengajian tersebut dia mendengar beberapa orang di belakangnya membicarannya. Mereka meragukan apakah orang Jawa seperti nya
mampu mengaji dengan baik karena menurut mereka hanya mereka lah yang terbaik dari segi agama. Pada saat itu juga ibu Janah menegur orang-orang di
belakangnya yang asik membicarakannya tersebut dan mengatakan untuk tidak meremehkan suku orang lain dan mungkin saja suku lain lebih baik dari mereka.
Hal ini seperti yang di katakan oleh ibu Janah yang mengatakan bahwa:
“orang itu sukak kali lah merendah kan orang lain, apalagi yang beda suku. Yang di bilang orang itu lah kalau orang Jawa gak pande ngaji.
Emang di pikirnya mereka orang-orang Aceh aja rupanya yang bisa ngaji. Disitu ibuk agak palak juga. Dalam hati ibuk, maunya di lihatnya itu di tv-
tv dalam acara Tahfitz Quran. Bukannya dikit juga itu yang dari orang Jawa yang ikut lomba hafal Quran”. Hasil wawancara pada tanggal 23
November 2014 Hal yang sama juga di katakan oleh ibu Yulisda yang merupakan
pendatang di Gampong Keude Matangglumpang Dua yang berasal dari suku Padang. Hingga sekarang ini maka ibu Yulisda sudah 15 tahun menetap di
gampong ini bersama keluarga besar dari suaminya. Dia bekerja sebagai pedagang di lingkungan yang juga kebanyakan orang Aceh. Dari beberapa pengalannya dia
menganggap bahwa orang Aceh kebanyakan iri terhadap orang lain yang lebih sukses darinya. Pada intinya mereka tidak suka melihat orang lain yang lebih baik
dalam hal apapun dibanding mereka. Dia melihat bahwa tetangganya yang juga merupakan adik iparnya sering sekali ikut-ikut membeli barang sama seperti yang
dia beli setelah Yulisda memperlihatkannya kepada adik iparnya tersebut. Bahkan
101
adik iparnya tersebut mengatakan bahwa barang yang di belinya memiliki harga yang jauh lebih mahal.
Yulisda menganggap orang Aceh pantang kurang top dari orang lain. Karena rasa iri mereka lah yang membuat mereka selalu saja mengikuti apapun
yang dimiliki oleh orang lain. Hal ini seperti yang di katakan oleh Yulisda yaitu:
“iya orang eceh ini sifatnya iri-iri kayaknya. Sukak kali iri kalau liat orang punya barang baru aja misalnya. Langsung lah itu di beliknya juga yang
sama, gak pernah mau kalah orang itu. Apa yang orang punya harus punya juga dia. Udah gitu kalau liat punya orang selalu di bilangnya gak bagus
tapi abis itu besoknya mintak pinjam. Kekgitu lah kebanyakan sifat orang Aceh”. Hasil wawancara pada tanggal 25 November 2014
2. Tidak Memiliki Sopan Santun
Dari penelitian lapangan di temukan dari salah satu informan yang merupakan masyarakat pendatang dari suku Jawa yang menganggap bahwa
kebanyakan anak-anak di Aceh tidak memiliki sopan santun. Sebagai pedagang jamu dia mengaku memiliki pelanggan dari berbagai kalangan dan dengan
berkeliling menjual jamu dia dapat bertemu dengan banyak orang baik itu perempuan, laki-laki, orang tua, dan anak-anak. Menurutnya anak-anak
masyarakat lokal di Gampong Keude Matangglumpang Dua ini sangat tidak memiliki sopan santun karena mereka sering sekali menganggilnya dengan
panggilan “kah” kau terhadapnya setiap kali berkeliling berjualan jamu. Menurutnya sangat tidak sopan jika anak-anak menganggil “kau” terhadapnya
yang sudah tua. Dan bukan ditujukan kepadanya saja, tetapi dia juga sering mendengar anak-anak memanggil “kau” juga dengan orang lain yang juga sudah
102
tua sepertinya, dan bahkan ada juga yang memanggil orang tua dengan namanya saja. Menurutnya itu sama sekali bukti ketidak sopanan anak-anak masyarakat
lokal yang ada di gampong ini.
Ibu Janah mengaku sangat miris melihat kondisi anak-anak di Gampong Keude Matangglumpang Dua. Dia mengatakan jika anaknya sendiri yang
berbicara terhadap orang tua dengan tidak sopan seperti tersebut maka dia akan sangat marah dan tidak akan membiarkannya. Tetapi berbeda halnya yang di lihat
oleh ibu Janah, dia mengaku geram ketika melihat anak-anak tidak sopan tersebut malah di jadikan lelucon terhadap orang-orang tua di sekitarnya dan bukan
menegurnya. Seperti yang di katakan oleh ibu Janah bahwa:
“gak ada sopannya orang di Aceh ini, masak kita yang tua ini di panggil “kah” sama anak-anak muda disini. Sering kali ibu dengar kayak gitu, gak
ada sopan-sopannya mereka ngomong sama orang tua. Sering ibu dengar anak-anak muda ngomong sama orang tua kayak ngomong sama orang
sebayanya pas ibu keliling-keliling jualan”. Hasil wawancara pada tanggal 23 November 2014
Ibu Yulisda juga mengatakan yang sama dimana dia juga menganggap bahwa kebanyakan anak-anak di Gampong Matangglumpang Dua ini tidak
memiliki sopan santun ketika berbicara dengan orang yang lebih tua. Yulisda sering melihat orang-orang secara bergantian lalu lalang di kedai tempat di
berjualan. Dia sering melihat anak-anak yang berbicara tidak sopan dengan orang tua, dia mengaku sangat tidak suka melihatnya. Kalau di gampong ini menurut ibu
Yulisda tidak ada bedanya antara anak-anak dan orang tua ketika berbicara karena kebanyakan anak-anak yang di lihatnya sering memanggil nama saja terhadap
seorang yang selayaknya di panggil kakek oleh nya. Sama hal nya yang di katakan
103
oleh ibu janah sebelumnya, ibu Yulisda juga sering sekali melihat anak-anak yang menggunakan kata “kah” ketika berbicara dengan orang yang lebih tua.
Yulisda mengatakan bahwa beberapa di antara pekerja di kedainya ada yang masih berada di jenjang SMP namun tidak sekolah lagi, menurutnya anak-
anak yang bekerja di kedainya juga tidak memiliki sopan santun saat berbicara dengannya, suaminya dan bahkan dengan pekerja lain yang usianya jauh lebih tua.
Hal ini seperti yang di katakan oleh ibu Yulisda yaitu:
“anak-anak disini tu kebanyakan gak sopan kalau ngomong sama orang tua, itu lah kadang ibuk gak sukak di Aceh ini itu lah, ngomong sama
orang tua gak ada sopannya. Geram ibuk liatnya, masak ibuk yang tua ini di panggil “kah” sama anak-anak. Seharusnya kan panggil ibuk gitu lah
kan sama orang tua, macam ngomong sama kawannya aja di buatnya gak ada sopannya. Yang geram nya ibuk itu rupanya dimana-mana
memang kekgitu anak-anak itu ngomong sama orang tua bukan sama ibuk aja rupanya. Di kede ini ada anak-anak yang kerja, sebaya anak SMP trus
ngomong sama orang tua kira-kira lebih tua umurnya dari ibuk dan si anak itu ngomongnya panggil nama aja sama orang tua itu. Yang iya nya gak
ada yang masalah semua yang disitu. Ibuk udah geram sendiri liatnya, soalnya orang tua yang gak disopani itu ketawa-ketawa aja macam gak
terjadi apa-apa”. Hasil wawancara pada tanggal 25 November 2014 3. Pelit dan Sombong
Saat penelitian lapangan di ketahui bahwa ada anggapan bahwa orang Aceh sombong dan cenderung pelit terhadap orang lain bahkan untuk dirinya
sendiri, seperti yang di ketahui dari salah satu informan yang merupakan masyarakat pendatang yaitu ibu Yulisda. Ibu Yulisda sering melihatnya dalam
keluarga besarnya suaminya yang sebagian besar tinggal di aerah yang dekat dengannya. Dia berfikir bahwa orang Aceh sombong dan pelit bukan tanpa alasan,
104
dia sering sekali kedatangan adik iparnya kerumah karena hanya untuk meminta- minta bahan-bahan masak kepadanya seperti cabai, bawang, ikan, tomat dan
banyak lagi sebagainya. Padahal adik iparnya tersebut bekerja sebagai PNS di salah satu Sekolah Dasar di Gampong Keude Matangglumpang Dua ini.
menurutnya orang Aceh bukan hanya pelit tetapi juga kikir, dalam beberapa pengalaman ibu Yulisda orang-orang di sekelilingnya suka sekali meminta namun
sangat anti untuk memberi. Bahkan orang Aceh menurutnya sangat pelit sampai- sampai untuk dirinya sendiri pun mereka pelit.
Seperti yang di lihatnya dalam keluarga besar suaminya mereka suka sekali meminta makanan yang ada di rumahnya dan ketika Yulisda menyuruh
untuk membeli mereka malah tersenyum seakan tidak mampu membeli, padahal mereka memiliki gaji yang tidak sedikit. Beberapa pengalaman lainnya juga di
rasakan Yulisda di kedai di tempatnya berjualan ayam goreng krispi. Menurutnya ada sebagian orang yang sering sekali meminta kremes-kremesan sisa goreng
ayam tersebut, lalu yulisda mengatakan untuk memakan ayam jangan hanya memakan kremesan saja, Padahal jika di lihat orang yang sering minta-minta
tersebut bukan orang yang di katakan miskin. Dan banyak orang lainnya yang menurut Yulisda suka menahan keinginan mereka karena tidak mau membeli
sesuatu yang menurut mereka mahal dan buang-buang duit. Menurut Yulisda sendiri dia paling tidak suka meminta-minta milik orang lain selama dia masih
mampu untuk membeli nemun lain halnya yang di lihat Yulisda dengan orang- orang Aceh.
105
Bukan hanya pelit, Yulisda juga menganggap bahwa orang Aceh sombong. Yulisda mengaku sangat senang untuk menegur orang-orang yang
dikenalnya jika berpapasan di suatu tempat. Karena menurutnya tidak ada salahnya jika menegur orang dan memang sebaiknya yang lebih muda lah yang
menegur terlebih dahulu. Dan pengalaman yang menjengkelkan menurut Yulisda melihat orang Aceh yang susah sekali menegur jika bertemu, hal ini merupakan
pengalaman Yulisda ketika berpapasan beberapa kali dengan keponakan dan saudara iparnya di jalan namun sangat sering mereka tidak mau menyapa padahal
dia sudah menyapanya duluan.
Yulisda juga melihat bahwa suaminya sendiri yang merupakan orang Aceh juga memiliki sifat sombong yang sama. Suaminya sangat memilih orang untuk
bergaul, dia hanya mau berteman dengan orang yang lebih tinggi derajatnya dari segi keuangan dari suaminya dan dia akan terlihat merendahkan orang jika dengan
orang yang statusnya lebih rendah dari suaminya. Itu juga yang sangat tidak di sukai oleh Yulisda. Dan bukan hanya itu, ketika dia duduk di kedai dia juga
melihat ada beberapa orang yang jika berbicara sangat meninggi seakan-akan dia sangat kaya padahal orang tersebut sama sekali bukan orang kaya. Hal ini
merupakan hasil wawancara dengan Yulisda yang mengatakan bahwa:
“menurut ibuk rang Aceh ini parah kali pelitnya orang itu, sama sendiri pun bisa orang itu pelit. Kan biasanya kita kalau pelit sama orang ka wajar
ya, ini sanggup kali pelit sama diri sendiri, di tahan-tahan itu selera makannya karena gak mau bayar mahal tapi kalau kita kasih oh senang
kali orang itu. Itu lah orang Aceh pelitnya minta ampun sama orang tapi kalau udah ada maunya sama kita baik kali orang itu. Sombong juga ya
orang Aceh ini, di kedai ini banyak sekali yang ibuk jumpai orang-orang yang sombong sok meninggi di depan orang lain sok kaya gitu tapi kita
106
pun taunya kalau dia itu orang miskin”. Hasil wawancara pada tanggal 25 November 2014
4. lebih memilih orang sesama Aceh dalam banyak hal
Dalam hal ini peneliti menemukan dari salah seorang pendatang suku Batak yaitu Suprial. Sebagai pendatang Suprial merupakan Minoritas di antara
keseluruhan masyarakat Aceh dan dia melihat bahwa orang Aceh lebih memilih dan lebih megutamakan dengan sesama orang Aceh dalam berbagai hal seperti
memilih pacar, memilih teman, memilih Jodoh, bahkan memilih untuk mengutamakan berbelanja di tempat sesama orang Aceh juga. Ini membuatnya
miris karena hal tersebut membuat Suprial susah untuk mendapatkan teman ataupun pacar di Gampong Keude Matangglumpang Dua ini.
Berdasarkan pengalaman Suprial yang beberapa kali mendekati wanita di Gampong Keude Matangglmupang Dua ini tidak pernah berhasil karena
menurutnya lagi-lagi mereka lebih memilih pacaran dengan sesama orang Aceh. Suprial tidak mengetahui bahwa ada angapan-anggapan negatif atau stereotip
yang di percaya oleh sebagian luas masyarakat lokal di gampong ini terhadap orang Batak. Sehingga Suprial sulit untuk menemukan teman ataupun pacar
disini. Hal ini seperti yang di katakan oleh Suprial bahwa:
“kalau aku sama aja semua ku liat, mau orang Aceh mau orang Batak sama aja samaku. Gak ada pulak aku membedak-bedak orang, tapi itu lah,
gak ada memang aku yang akrab kali di Aceh ini. karena ku liat orang- orang Aceh ini lebih sukak orang itu bekawan sama-sama orang Aceh
juga. Cari pacar pun aku susah kali disini, cantik-canik ceweknya tapi gak ada yang mau samaku. Ku pikir memang orang itu lebih suka pacaran
107
sama orang Aceh juga”. Hasil wawancara pada tanggal 25 November 2014
5. Tidak Menghargai Perbedaan Agama
Hal menarik di temukan saat penelitian lapangan ketika mewawancarai tokoh adat agama Budha di Gampong Keude Matanglumpang Dua ini yaitu ibu
Elfi. Selain jumlah mereka yang sangat sedikit mereka juga menyimpan rasa kecewa mereka terhadap masyarakat lokal, menurut ibu Elfi hak-hak mereka
sebagai umat bergama di batasi di gampong ini. bahkan seperti Vihara untuk tempat mereka beribadah pun tidak ada di gampong ini. untuk beribadah mereka
yang beragama Budha harus pergi jauh ke ibu kota kabupaten Bireuen. Ibu Elfi mengatakan dia ingin sekali untuk membangun sendiri Vihara mereka di gampong
ini dengan biaya mereka sendiri dan tidak akan meminta bantuan dari gampong. Tapi niat itu sampai sekarang tidak juga di sampaikan oleh ibu Elfi karena takut
tidak akan di izinkan karena dia melihat selama ini bahwa mereka sebagai umat beragama tidak terlalu di hargai keberadannya disini. Hal ini seperti yang di
katakakn oleh ibu Elfi yang mengatakan bahwa:
“sebenarnya ibuk kepengen kali supaya di bangun vihara di kampong ini dan ada memang niat ibuk untuk mengajukannya. Karena selama ini kalau
mau pergiibadah itu kami harus pergi ke Bireuen sana jauh kali. Tapi ibuk gak mau bilang niat ibuk ini ke Camat karena ibuk takut kalau niat ini gak
di izinkan. Rencana ibuk, ibuk mau mengajukannya ke Gubernur aja di Banda Aceh. karena kan di Banda Aceh juga ada vihara, jadi mana tau
juga di izinkan untuk bangn vihara di kampong ini. Kalau memang pemerintah Aceh ini gak mau bantu soal dana, ibuk mau kok harta ibuk di
pakek untuk bangun viharanya. Soalnya ada tanah ibuk yang lumayan luas dan ibuk ikhlas kalau memang untuk keperluan ummat”. Hasil
wawancara pada tanggal 28 November 2014
108
Ibu Elfi mengatakan bahwa hubungan mereka dengan masyarakat lokal sebenarnya biasa-biasa saja. Mereka tidak pernah menganggap adanya masalah
dengan agama lain. Menurutnya semua agama pada dasarnya sama saja selalu mengajarkan umat mengenai hal yang baik. Tetapi di Gampong Keude
Matangglumpang Dua ini sangat terlihat bahwa tidak adanya antara masyarakat lokal yang beragama Islam dengan kami yang beragama Budha. Pernah suatu
ketika ibu Elfi sedang mengadakan acara kecil-kecilan untuk ritual ke agamaan mereka dalam agama islam sering disebut sebagai pengajian atau wiritan, dan saat
itu ibu Elfi mengaku mengundang beberapa dari masyarakat lokal untuk merayakan acara mereka tetapi tidak ada yang datang dalam memenuhi undangan
ibu Elfi tersebut. Tetapi ibu Elfi tidak menyerah dan pernah suatu ketika ada yang datang walapun hanya satu orang saja. Ibu Elfi berfikir bahwa masyarakat lokal
kalau kami akan menghidangkan daging babi sebagai menu di acara mereka, padahal ibu Elfi mengatakan bahwa orang-orang China di gampong ini ada
vegetarian. Hal ini seperti yang di katakan oleh ibu Elfi yang mengatakan bahwa:
“hubungan antar agama di kampong ini sih sebenarnya baik-baik aja. gak pernah ada masalah selama ini karena agama. Agama Islam dan Budhs
disini berjalan masing-masing lah kalau di bilang. Gak saling membaur, tapi ibuk nanggapinya ya biasa aja. mungkin karena agama Budha disini
ka memang dikit kali. Dulu kami pernah ngundang beberapa dari tokoh kampong dan masyarakat untuk datang ke acara kerohanian agama kami.
bukannya gak pernah di undang, tapi ya memang gak ada yang mau datang. Terkadang ada juga yang datang tapi itu pun Cuma satu orang.
Ibuk sendiri sebenarnya nganggap semua agama itu sebenarnya sama aja, semuanya mengajarkan yang baik-baik. Tapi kadang menganutnya aja
yang menyalahi. Bahkan banyak orang China diisni yang dulunya Budha pindah ke agama islam. Bahkan saudara ibuk sendiri juga ada tapi ya saya
hargai, kan memang itu pilihan mereka. Malah ibuk benci kalai liat orang yang udah pindah agama tapi malah di permainkan agama orang”. Hasil
wawancara pada tangggal 28 November 2014
109
4.5 Bahasa Merupakan Bagian dari Identitas bagi Masyarakat Gampong Keude Matangglumpang Dua