12
dalam kenyataannya masih belum benar-benar terwujud. Masih banyak terdapat konflik etnis maupun agama di indonesia.
Daisy 2012:87-88 mengatakan bahwa peran iklim demokrasi yang diberikan Indonesia juga besar dalam meningkatkan kesadaran kelompok,
khususnya kelompok etnik. Kebangkitan identitas etnik dan kesadaran kelompok etnik ini diikuti dengan tuntutan-tuntutan terhadap keadilan dan kesederajatan
dalam kehidupan bermasyarakat, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Hal ini dapat terjadi karena proses pembangunan yang tidak merata
dan kebijakan-kebijakan publik yang tidak mempertimbangkan keragaman budaya. Selain itu, kebangkitan dan kesadaran kelompok etnik juga dapat
mengarah pada munculnya etnosentrisme dan chauvinisme kelompok. Masalah- masalah ini dapat mempengaruhi hubungan antar kelompok etnik, yang bisa
mengarah pada konflik laten maupun konflik terbuka yang menggunakan kekerasan sampai pada gerakan pemisahan diri seperti Aceh GAM dan Papua
OPM. Untuk mempertahankan integrasi sosial maupun nasional seharusnya kebijakan-kebijakan publik dan pengakuan kesederajatan setiap kelompok entik
yang hidup dan menjadi unsur pembentukan masyarakat Indonesia perlu dijamin oleh siapapun atau kelompok manapun yang berkuasa.
2.3 Teori Konflik
Konflik sosial selalu berawal dari perbedaan pandangan, langkah dan pemahaman dan benturan di antara-kepentingan antarkelompok maupun antar-
individu. Konflik merupakan salah satu proses sosial disasosiatif, sebab proses ini berakibat timbulnya perpecahan antar-elemen sosial. Akan tetapi, kembali pada
13
sifat konflik ini sendiri, dimana positif dan negatifnya gejala konflik akan sangat tergantung pada bagaimana konflik ini dikelola atau diarahkan.
Lebih lanjut, bagaimana ilmu - ilmu sosial dalam memandang tentang gejala konflik sosial, yaitu :
1. Pandangan struktural konflik yang memandang konflik sebagai gejala yang serba hadir dalam setiap kehidupan sosial. Dengan
demikian, setiap kehidupan sosialselalu mengandung konflik dan konsekuensinya merupakan perpecahan dan integrasi yang semua
ini tergantung pada bagaimana mengelola konflik sosial agar keberadaannya bukan anarkis, tetapi terkendali dan terarah untuk
disesuaikan dengan tujuan kehidupan sosial ini sendiri. 2. Pandangan struktural fungsional yang memandang bahwa integrasi
dalam kehidupan sosial tidak pernah tercapai secara sempurna, sebab setiap proses pengintegrasian kehidupan sosial selalu
memendam potensi konflik. Akan tetapi, walaupun integrasi sosial tidak pernah tercapai secara sempurna, sistem sosial akan selalu
memiliki kecenderungan bergerak ke arah tercapainya titik keseimbangan equilibrium yang sifatnya dinamis, sebagai
perwujudan dari konsensus dari anggota masyarakat itu sendiri berkaitan dengan nilai-nilai universal.
Konflik bedasarkan jenisnya, yaitu terdapat konflik rasial, antar-etnis, dan antar pemeluk agama.
14
1. Konflik rasial biasanya didasari oleh pemahaman yang salah antara ras
satu dengan ras lainnya. Kesalahpahaman itu terletak pada perasaan antarras dimana satu kelompok ras memiliki perasaan lebih unggul
dibanding dengan ras lainnya. 2.
Konflik antarsuku bangsa. Konflik sosial antarsuku bangsa lebih banyak dipicu oleh stereotip terhadap kelompok lain, atau kecurigaan terhadap
suku-suku tertentu atas penguasaan sumber-sumber vital yang menguasai hajat publik. Selain itu, konflik tersebut didukung oleh gejala pemahaman
kekelompokan yang menimbulkan sikap etnosentrisme suku bangsa dengan menganggap suku bangsa lain lebih rendah.
3. Konflik antarpemeluk agama. Sumber utama dari perang antar pengikut
agama ialah kepercayaan atau keyakinan akan kebenaran agama yang menganggap bahwa agama yang dianutnya merupakan yang paling benar,
paling diridhai Tuhan, sedangkan agama yang dianut oleh penganut lain adalah sesat yang pada akhirnya sikap ini menimbulkan fanatisme yang
berlebihan, sehingga menimbulkan sikap yang intoleransi terhadap pengikut agama lain.
2.4 Penyebab Konflik Dalam Masyarakat Majemuk