Bahasa Merupakan Bagian dari Identitas bagi Masyarakat Gampong Keude Matangglumpang Dua

109

4.5 Bahasa Merupakan Bagian dari Identitas bagi Masyarakat Gampong Keude Matangglumpang Dua

Seorang ahli antropologi William A. Haviland 1995:374-375 mengatakan bahwa bahasa adalah bagian dari memperkuat semangat identitas kelompok. Mereka memerlukan bahasa untuk dapat berkomunikasi secara efektif tentang kepentingan mereka. Disamping itu, bahasa dapat berfungsi sebagai tanda khusus. Orang yang menggunakan bahasa menduduki tempat tersendiri di samping mereka yang tidak menggunakannya. Terlihat bahwa Rakyat Aceh menganggap bahwa bahasa merupakan salah satu hal yang penting dalam kebudayaan yang telah diwariskan oleh leluhur mereka yang harus tetap dijaga keberdaannya sebagai sebuah identitas. Bagi orang-orang di gampong ini menggunakan bahasa Aceh adalah kebanggaan tersendiri yang menurutnya memang menjadi keharusan bagi mereka untuk menjaga identitas mereka sebagai bangsa Aceh. Seperti hasil wawancara saya dengan bapak Rusdi yang merupakan penduduk lokal Gampong Keude Matangglumpang Dua yang mengatakan bahwa: “menyoe si uroe-uroe loen pakek bahasa Aceh lah, karena tanyoe ureueng Aceh harus bangga ngeun bahasa Aceh. menyoe keun tanyo yang jaga soe lom. Tanyaoe lah aneuek-aneuek muda nyoe. Karena bahasa Aceh nyan identitas tanyoe ureueng Aceh. bek euntek aneuek-aneuek tanyoe han jeut bahasa Aceh. male lah tanyoe”. Hasil wawancara pada tanggal 25 November 2014. Terjemahan: “ kalau sehari-hari saya pakai bahasa Aceh lah, karena kita orang Aceh ini harus bangga sama bahasa Aceh. kalau gak kita yang jaga siapa lagi lah, kita lah yang anak-anak muda ini. karena itu kan identitas kita orang Aceh. jangan nanti anak-anak kita malah gak bisa bahasa Aceh. malu lah kita”. 110 Dari pernyataan bapak Rusdi di atas menggambarkan bahwa masyarakat lokal memiliki kebanggaan menggunakan bahasa Aceh dalam sehari-hari. Orang- orang Aceh lebih senang menggunakan bahasanya dibandingkan dengan menggunakan bahasa nasional Bahasa Indonesia. Hal ini terlihat dari semua warganya di gampong ini menggunakan bahasa Aceh dalam keseharian. Baik orang tua sampai anak-anak muda di gampong ini rutin menggunakan bahasa Aceh. Di Gampong Keude Matangglumpang Dua tidak jarang suasana di dalam kantor pemerintahan, sekolah-sekolah, bank, pusat perbelanjaan dan tempat- tempat resmi lainnya menggunakan bahasa Aceh dalam proses interaksi. Akan sulit kita jumpai mereka yang menggunakan bahasa Indonesia dengan baik. walaupun terkadang kita menggunakan bahasa Indonesia dan mereka juga membalas dengan bahasa Indonesia tetap dengan logat atau aksen Aceh dan dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata. Dan ini saya dapatkan ketika berbicara dengan salah seorang narasumber saat di lapangan yang mengatakan bahwa dia tidak bisa mengerti apa yang saya bicarakan jika dalam bahasa Indonesia dengan intonasi yang cepat. Misalnya di sekolah-sekolah, guru ketika menjelaskan pelarajan atau sekedar berdiskusi dengan murit juga menggunakan bahasa Aceh. hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Hidayatun Nufus, dari apa yang pernah dia jalaninya dahulu ketika masa sekolah, bahwa ketika mereka di sekolah antara murit dengan murit, guru dengan murit dan guru dengan guru juga menggunkan bahasa Aceh. sehingga tidak heran kalau orang-orang di gampong ini sangat bangga 111 menggunakan bahasa Aceh dalam sehari-hari. Seperti pernyataan yang diungkapkannya bahwa: “menyoe uro-uro disino shit peugah haba ngeun bahasa Aceh. pue han ta peugah haba ngeun bahasa Aceh. inoe ureueng mandung geu peugah haba ngeun bahasa Aceh, tem han ten tanyoe shit ta peugah haba ngeun bahasa Aceh. pu lom di gampong nyoe karab manduem ureueng Aceh. bak sikula awak kamo ngeun bahasa Aceh shit peugah haba nguen ibu’ menyoe ngen ngeun meunan shit. I rumoh peugah haba ngeun bahasa Aceh shit ngen ureueng chiek”. Hasil wawancara pada tanggal 5 January 2015. Terjemahan: “ kalau ngomong sehari-hari disini memang pakek bahasa Aceh. gimana mau gak ngomong bahasa Aceh, disini semua orang pakek bahasa Aceh, ya mau gak mau kita pun pakek bahasa Aceh. apa lagi di gampong ini memang hampir semuanya orang Aceh, jadi kami ya pakek bahasa Aceh lah. Di sekolah juga pakek bahasa Aceh ngomong bicara sama guru sama kawan-kawan pun juga. Pulang sekolah, dirumah juga pakek bahasa Aceh ngomong sama orang tua”. Dari pernyataan Hidayatun Nufus ini, dapat kita lihat bahwa bahasa Aceh memang menjadi bahasa keseharian masyarakat di Gampong Keude Matangglumpang Dua. Di tambah lagi orang-orang pendatang yang tinggal di gampong ini juga menggunkan bahasa Aceh dalam sehari-hari. Hal ini mencerminkan keadaan yang mana bahasa Aceh sebagai bahasa utama di Gampong Keude Matangglumpang Dua. Seperti yang diketahui, selain masyarakat lokal suku Aceh juga terdapat beberapa suku pendatang lain yang tinggal di gampong ini. Seperti suku Padang, Suku Batak, Suku Jawa, Suku China. Dan semuanya menggunakan bahasa Aceh 112 dalam sehari-hari seperti yang dikatakan salah seorang pedagang yang merupakan suku pendatang yaitu ibu Elfi yang menyatakan bahwa : “kalau sehari-hari ngomong dengan bahasa khe’ atau bahasa Aceh. disesuaikan lah ngomongnya sama siapa. Kalau ngomong sama orang china juga ya pakek bahasa khe’ tapi kalau ngomong sama orang Aceh ya pakek bahasa Aceh. ya namanya kita tinggal di tempat orang ya sebisa mungkin kita harus menyesuaikan diri lah dengan mereka. Termasuk bahasa Aceh saya tidak pernah di paksa, tapi memang sendirinya kami belajar bahasa Aceh, ya apalagi kami pedagang kan pasti susah lah kalau gak bisa ngomong bahasa Aceh. nanti gak ngerti apa yang mereka bilang dan mereka juga gak ngerti apa yang kami bilang”. Hasil wawancara pada tanggal 28 November 2014. Seperti halnya yang dikatakan oleh ibu Elfi, bahwa masyarakat pendatang pun dengan senang hati mau belajar bahasa Aceh dengan alasan agar mudah dalam interaksi. Apalagi profesi kebanyakan pendatang adalah sebagai pedagang. Hal yang sama juga dikatakan oleh ibu Nur Janah Zaini yang mengatakan bahwa: “bahasa Aceh kalau ngomong sehari-hari. Ibu pun memang suka belajar biar bertambah wawasan. Ibu gak pernah ngerasa di paksa. Bahkan sekarang ini udah lancar kali pun kalau ngomong bahasa Aceh”. Hasil wawancara pada tanggal 23 November 2014. Berbeda yang dikatakan sebelumnya oleh ibu Elfi dan ibu Nur Janah Zaini yang mengatakan bahwa mereka dengan senang hati belajar dan menggunakan bahasa Aceh berbeda halnya yang dikatakan oleh ibu Yulisda, dari pengalamannya ketika pertama kali menginjakkan kaki di gampong ini, bahwa dia mengaku pendapatkan teguran oleh salah seorang yang mengakunya sebagai aparat GAM ketika dia belanja di sebuah toko dengan menggunakan bahasa Indonesia. Ketika itu dia di peringatkan untuk mulai belajar dan menggunakan 113 bahasa Aceh yang kejadiannya sekitar tahun 2000. Seperti hasil wawancara saya dengan ibu Yulisda yang mengatakan bahwa: “ pengalaman buruk ibu dulu pernah waktu pertama kali datang ke Aceh di bawa sama suami ibu, dia orang asli gampong ini. itu lah pas pertama kali keluar ke kede mau belanja terus di tegus sama orang yang juga lagi di kede itu. Dia bilang kalau ibu gak boleh pakek bahasa Indonesia kalau tinggal di Aceh. waktu itu bilang memang kalau ibu ini orang yang baru datang ke gampong ini. terus orang yang negur ibu itu bilang, yaudah gak apa untuk hari ini pakek bahasa Indonesia tapi belajar bahasa Aceh ya gitu katanya. Ibu ketakutan juga lah itu waktu itu. Dari situ ibu belajarlah bahasa Aceh dan sampai sekarang pakek bahasa Aceh, malah sekarang sudah lancar sekali”. Hasil wawancara pada tanggal 25 November 2014. Dari pernyataan ibu Yulisda menggambarkan bahwa masyarakat suku pendatang yang menggunakan bahasa Aceh selain dengan alasan atas keinginan sendiri untuk belajar dan menggunakan bahasa Aceh tetapi ada juga dengan paksaan, seperti yang di alami oleh ibu Yulisda. Paksaan dalam menggunakan bahasa Aceh tidak hanya di alami oleh masyarakat pendatang saja, melainkan juga dirasakan oleh masyarakat lokal sendiri. Seperti yang di alami oleh Hidayatun Nufus yang merupakan seorang karyawan toko buku, dia mengatakan bahwa: “biasa jih meunyoe tanyoe peugah haba bahasa Indonesia di Aceh nyoe pasti na manteng yang proteh. Tom dile, wate loen teungeuh layani ureueng mublo. Jadi wate nyan loen peugah haba ngeun bahasa Indonesia, loen tanyeueng pue na neu mita? Cuma nyan. Dan ureueng yang bloe nyan rupajih ureueng GAM. Nyan keuh, di dheut loen. Geu peugah “pue yang kapuegah saknyoe? Pekeun peugah haba ngeun bahasa Indonesia? Keun ureueng Aceh memang jih? Bek pakek bahasa Indonesia menyoe menyoe duk ino, menyoe neuk pegah haba ngeun bahasa Indonesia minah keudeh bek tinggai di Aceh” golong trep lah kejadian jih”. Hasil wawancara pada tanggal 5 Januari 2015. 114 Terjemahan: “biasanya kalau kita ngomong bahasa Indonesia di Aceh ini pasti ada aja yang protes. Pernah dulu, waktu saya sedang melayani pembeli. Jadi waktu itu saya memang ngomong pakek bahasa Indonesia, saya nanya mau carik apa, cuman itu. Dan kebetulan yang beli itu rupanya orang GAM. Itu lah, dimarahinya saya. Terus dibilangnya “apa yang kamu bilang tadi barusan? Kenapa ngomong pakek bahasa Indonesia? Bukan orang Aceh rupanya? Jangan pakek bahasa Indonesia disini ya, kalau mau ngomong pakek bahasa Indonesia pindah aja sana jangan tinggal di Aceh” belum pun lama-lama kali kejadiannya ini”. Dari pernyataan Hidayatun Nufus ini, dapat kita lihat bahwa sampai sekarang ini masih tersisa rasa kebencian orang Aceh terhadap Pemerintahan Indonesia yang mengakibatkan orang Aceh lebih memilih berbicara menggunakan bahasa Aceh daripada bahasa nasional. Dan apabila ada dari masyarakat lokal yang menggunakan bahasa Indonesia pasti selalu ada komentar yang mengarah kepada keharusan menggunakan bahasa Aceh. Gampong Keude Matangglumpang Dua dimana seluruh masyarakatnya menggunakan bahasa Aceh sehari-hari baik masyarakat lokal maupun masyarakat pendatang yang berbeda suku. Ini menjadikan bahasa sebagai identitas suku Aceh di Gampong Keude Matangglumpang Dua yang meruapakan warisan turun temurun yang harus dijaga keberadaannya. 4.6 Keberadaan Masyarakat Suku Pendatang dan Penganut Agama Non- Islam sebagai Kelompok Subordinat di Gampong Keude Matangglumpang Dua Dikatakan masyarakat pendatang sebagai kelompok subordinat adalah bahwa masyarakat pendatang memiliki posisi yang kurang menguntungkan dalam 115 masyarakat karena dianggap sebagai kelompok yang dinomorduakan. Dengan kata lain bahwa terlihat pembedaan kelompok antara masyarakat lokal dan masyarakat pendatang. Dimana dalam masyarakat telah terbentuk nilai-nilai bahwa masyarakat lokal merupakan kelompok penguasa pembuat nilai sedangkan masyarakat pendatang hanya kelompok nomor dua yang harus mengikuti nilai-nilai bentukan dari masyarakat lokal. Hal ini terlihat dari interaksi mereka dalam keseharian, ditambah lagi dalam pembuatan keputusan, masyarakat pendatang akan sangat sulit untuk memberikan pengaruhnya. Seperti yang dapat kita lihat pada tokoh adat di Gampong Keude Matangglumpang Dua, yaitu Teuku Muhammad Nassir dimana dia terlihat tidak setuju apabila ada masyarakat pendatang yang memasuki struktur pemerintahan. Bahwa menurutnya hanya masyarakat lokal sendiri yang mengenal seluk beluk Gampong ini dan dia takutkan kalau ada masyarakat pendatang yang memerintah malah tidak mengerti gampong ini dengan baik. sehingga dia dan masyarakat lokal lainnya tidak akan setuju dengan adanya masyarakat pendatang yang masuk struktur pemerintahan. 4.6.1 Masyarakat Suku Pendatang Masyarakat suku pendatang yang ada di Gampong Keude Matangglumpang Dua sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah penduduk lokal sendiri. Suku-suku pendatang tersebut diantaranya suku Padang, suku Jawa, suku Batak, Tionghoa dan India. Total keseluruhan dari masysarakat pendatang adalah 5,2 dan masyarakat lokal adalah 94,8. Ini sejas menunjukkan bahwa masyarakat lokal merupakan mayoritas di Gampong Keude Matanglumpang Dua ini. selain itu, masyarakat lokal juga merupakan kelompok yang dominan di dalam jumlah kesempatan sosial, ekonomi dan politik. Dalam hal ini masyarakat 116 pendatang dilarang untuk menjadi bagian dalam struktur pemerintahan gampong. Data diperoleh dari hasil wawancara dengan salah seorang masyarakat lokal yaitu Suprial yang mengatakan bahwa: “oh han mungken na awak pendatang yang jeut ke geuchik gampong. Han mungken diteem le awak gampong. Han mungken di pileh shit. Hay menyoe manteung na ureueng asli gampong shit keupuo ta pakek ureueng pendatang”. Hasil wawancara pada tanggal 25 November 2014. Terjemahan: “oh gak akan mungkin ada orang pendatang yang bisa jadi geuchik di gampong. gak mungkin mau orang-orang gampong. Gak mungkin di pilih juga. Kalau masih ada orang asli gampong sini ngapain makek orang pendatang. Dalam penelitian ini dapat kita lihat bahwa masyarakat suku Aceh sebagai masyarakat lokal yang merupakan mayoritas dominan di Gampong Keude Matangglumpang Dua. Dimana kelompok mayoritas dominan mendominasi dalam segala kompetisi seperti kompetisi politik, ekonomi sehingga kelompok lain akan bersifat lebih kecil dan melemah. Elly dan Usman, 2011:547. Gelaja seperti ini sering kali menimbulkan konflik laten di dalam masyarakat. Namun kelompok minoritas sebagai kelompok kecil tidak banyak hal yang bisa mereka lakukan. Seperti yang kemukakan oleh ibu Elfi sebagai etnis China yang minoritas di gampong ini banyak hal yang dia ingin lakukan sebagai umat berbudaya. Seperti melakukan tradisi dan kebudayaan leluhurnya. Tetapi tidak berani dilakukannya karena takut akan menimbulkan kemarahan masyarakat lokal karena di anggap bertolak belakang dari syariat islam. Pentingnya paham mulitikulturalisme bagi masyarakat majemuk yang menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan atau kesetaraan. 117 Mengingat seringnya terjadi gejala di mana kelompok minoritas selalu di diskriminasi atau dianggap sebagai warga masyarakat “kelas dua” Elly dan Usman, 2011:553. Dimana kelompok mayoritas menganggap hak-hak kelompok minoritas sebagai hal yang di nomor dua kan. Dalam hal ini masyarakat lokal menginginkan masyarakat pendatang yang menetap di Aceh harus patuh dan mengikuti hukum dan budaya Aceh. Dimana masyarakat pendatang yang menetap di Aceh harus menggunakan bahasa dan adat-adat Aceh lainnya dengan mengenyampingkan hak-hak masyarakat pendatang sebagai manusia yang berbudaya. Hal ini sama halnya dengan yang dikatakan oleh tokoh adat di Gampong Keude Matangglumpang Dua bapak Teuku Muhammad Nassir yang mengatakan bahwa: “masyarakat pendatang di gampong nyoe memang hana ton tapaksa pakek bahasa Aceh ataupih budaya Aceh lain jih. Tapi alangkah geut jih menyoe ureueng pendatang nyan i teupeu droe i manteueng, ka tinggai di Aceh harus geupeusesuaikan droe mantong. Ureueng-ureueng pendatang nyan geuharapkan seujeut mungken geuikuti budaya Aceh selama ureueng nyan tinggai di Aceh nyoe. Na tom baroe nyan na walimah di gampong nyoe, nikah ureueng india ngon ureueng australia. Yang ineueng jih india dan yang agam jih awak Australia. Geupenikah awaknya ngon adat tanyoe Aceh, baje jih, tarian jih, pelaminan jih, mandung di pakek adat Aceh. sebab menyoe awaknyan dipakek adat droe i kapasti hana geubri izin disino. Nakeuh entreuk tari-tari lhoen entreuk nyoe keon?. Hasil wawancara pada tanggal 28 November 2014. Terjemahan: “Masyarakat pendatang di gampong ini memang gak di paksa untuk pakek bahasa Aceh ataupun budaya Aceh lainnya. Tapi alangkah baiknya kalau orang pendangan tau diri aja lah, udah tinggal di Aceh ya orang itu lah yang harus menyesuaikan diri sama masyarakat lokal. Orang-orang pendatang itu diharapkan sebisa mungkin mengikuti budaya Aceh selama orang itu tinggal disini. Kayak pernah kemaren itu ada pesta di gampong ini, nikahan orang India sama orang Australia. Si perempuannya india dan laki-lakinya orang Australia. Di nikahannya itu mereka pakek adat Aceh, 118 bajunya, tariannya, pelaminannya, semuanya lah adat Aceh. karena kalau mereka pakek adat mereka udah pasti gak diijinkan disini. Ada pulak nanti yang nari-nari telanjang ya kan”. 2. Penganut Agama Non-Islam Hanya terdapat dua agama di gampong ini yaitu agama Islam dan agama Budha. Pemeluk agama Budha di gampong ini terlihat jumlahnya sudah sangat sedikit. Diketahui jumlah mereka hanya tersisa 29 orang dari 1450 orang jumlah penduduk di Gampong Keude Matangglumpang Dua. Semua penganut agama Budha di gampong ini adalah etnis Tionghoa aceh:orang china. Sebelumnya sudah banyak dari warga Tionghoa di gampong ini yang telah beralih ke agama Islam dan hanya tersisa sedikit yang masih menganut agama Budha. Agama islam pada masyarakat Aceh jelas tercermin dalam prinsip adat yang selama ini menjadi pegangan dan mengatur sistem masyarakat agar dapat berjalan dengan baik. Dimana prinsip ini merupakan gambaran bagaimana akulturasi antara agama islam dan budaya Aceh, yaitu: “adat bak poe teumeureuhom, hukom bak syiah kuala, kanun bak putroe phang, ruesam bak lakseumana” urusan adat istiadat dalam masyarakat mengikuti pentunjuk dan arahan dari penguasa atau raja, hukum atau urusan syariah diikuti menurut ulama Syiah Kuala, semua urusan tata laksana adat dalam masyarakat merupakan tanggung jawab dan urusan perempuan, masalah keamanan urusan bagian pertahanan. Prinsip ini pada masyarakat di Gampong Keude Matangglumpang Dua masih tetap dijalankan dan dipatuhi hingga sekarang ini. Penganut agama Budha di gampong ini keseluruh bekerja sebagai pedagang, yaitu pedagang makanan, grosir, pedagang pakaian dan lain-lain yang 119 kebanyakan dari karyawan mereka juga berasal dari masyarakat lokal yang beragama islam. Dan terlihat di lapangan bahwa tidak ada tantangan mereka yang beragama islam bekerja di tempat orang yang beragama Budha. Pekerja yang beragama islam tetap di izinkan untuk melakukan ibadah sholat, mengenakan jilbab, dan libur ketika hari besar Islam. Bahkan ketika hari jum’at di Aceh keseluruhan ketika sedang berlangung ibadah solat jum’at maka semua toko, sekolah, kedai dal lain-lain di wajibkan tutup agar tidak mengganggu berlangsungnya ibadah sholat jum’at. Dan tidak terkecuali bagi mereka yang beragama budha juga terlihat mengikuti peraturan tersebut. Dengan menutup toko mereka dan membukanya kembali setelah selesainya ibadah sholat juma’at. Namun dari apa yang dilihat di lapangan bahwa tidak terdapat tempat ibadah bagi mereka yang beragama Budha. Ini membuktikan bahwa keberadaan mereka tidak sepenuhnya di akui di gampong ini. mungkin ini adalah pengaruh dari jumlah mereka yang sangat sedikit. Di gampong ini juga tidak tampak simbol-simbol kenyakinan mereka yang biasanya akan banyak di toko-toko milik etnis Tionghoa di medan dan di daerah-daerah lain di Indonesia. Untuk perayaan hari raya agama Budha juga tidak pernah tampak dirayakan di gampong ini. mereka lebih memilih merayakannya di rumah kerabat mereka misalnya di medan atau di daerah lainnya. Karena memang tidak pernah tampak perayaan hari besar agama Budha di Gampong Keude Matangglumpang Dua ini. Keberadaan mereka di gampong ini tidak pernah menjadi masalah bagi masyarakat lokal. Karena bagi masyarakat lokal mereka tidak pernah menganggap ada sentimen antar agama di gampong ini. Asalkan para pendatang dari agama- agama lain tersebut bisa beradaptasi dengan kultur dan budaya mereka. Yang jadi 120 masalah adalah kalau budaya dan kultur mereka di injak-injak, seperti menurut mereka apa yang telah dilakukan oleh pemerintahan pusat selama ini yang berimbas kepada kebencian rakyat Aceh terhadap orang Jawa. Walaupun mereka tidak menganggap adanya sentimen agama di Gampong Keude Matangglumpang Dua tetapi tetap saja mereka tidak ingin citra serambi mekah yang selama ini melekat pada Aceh menjadi berubah dengan mengakui hak agama lain disini. Mereka yang berbeda agama di gampong ini tidak di izinkan untuk mendapatkan fasilitas-fasilitas yang selayaknya sebagai umat beragama. Dalam hal ini mereka yang beragama budha tidak di izinkan oleh masyarakat lokal untuk mendirikan tempat ibadah vihara yang merupakan kebutuhan rohani bagi pemeluk agama budha. Hal ini seperti yang dikatakan oleh tokoh adat di Gampong Keude Matangglumpang Dua yaitu bapak Teuku Muhammad Nassir yang menyatakan bahwa: “hantom pih na masalah ngeun ureueng pendatang yang neuk tinggai di Aceh nyoe. Asaikan awaknya item ikout syariat Islam, nyan manteung inti jih. Sebab di Aceh nyoe adat jih nyan keuh agama islam, lage istilah bak ureueng Aceh “adat ngon hukom lage zat ngon sifeut”. Menyoe keu pendatang yang laen agama asaikan awaknyan i tem hargai budaya ngon hukom di Aceh nyoe manteng. Tapi loen hana setuju menyoe awak nyan di peugeut tempat ibadah awaknyan disino, di gampong nyoe. Nyan keuh nyan masalah jih, pokok jih hanjeut. Mandum ureueng gampong nyoe pasti hana setuju. Sabab nyoe keun Aceh, seramoe mekkah yang masyhur ngeun islam jih. Geutanyoe han meutem meunyoe citra Aceh berubah. Tapi shit memang pendatang-pendatang nyoe lee yang islam. awak nyan pih dipakek jilbab. Jadi, mause’e taeu awak pendatang nyan lage ilhlas mantong di ikuti budaya Aceh nyoe”. Hasil wawancara pada tanggal 28 November 2014 . Terjemahan: “gak pernah kok ada masalah orang pendatang yang mau tinggal di Aceh ini. asalkan mereka mau mengikuti syariah islam. itu aja intinya. Karena di 121 Aceh ini adat itu ya agama islam, kayak istilah orang Aceh “adat ngon hukom agama, lagei zat ngon sifeut”. Kalau sama pendatang yang beda agama asalkan mereka mau menghargai budaya dan hukum di Aceh ini aja lah. Tapi saya tidak setuju kalau mereka buat tempat ibadahnya disini, di gampong ini. itu lah masalahnya, pokoknya gak boleh. Semua masyarakat di gampong ini juga pasti gak ada yang setuju. Karena ini kan Aceh, serambi mekkah, yang terkenal keislamannya. Ya kita kan gak mau kalau citra Aceh jadi berubah. Tapi kebanyakan yang islam memang yang datang ke gampong ini. Mereka juga pakai jilbab. Jadi, kalau dilihat mereka itu kelihatannya ikhlas aja ngikutin budaya Aceh”. Hal serupa juga dikatakan oleh salah seorang masyarakat lokal Gampong Keude Matangglumpang Dua yaitu Titin Suhartini yang mengatakan bahwa: “ureueng-ureueng tameung yang neuk ninggai inoe hana masalah. Pu yang beda suku atau yang beda agama. tapi menyoe ureueng nyan gek peugeut tempat ibadah inoe, nyan baro loen hana setuju. Karena di Aceh nyoe kan ciri khas jieh ureueng islam. loen pih secara pribadi shit hana setuju”. Hasil wawancara pada tanggal 7 Januari 2015. Terjemahan: “orang-orang pendatang yang mau tinggal disini gak apa-apa. Mau yang berbeda suku atau yang berbeda agama. tetapi kalau orang pendatang itu mau membuat rumah ibadah mereka disini itu baru saya gak setuju. Karena kan di Aceh ini mencirikan daerah islam. lagi pula saya secara pribadi juga gak suka aja lihatnya”. Dari pernyataan bapak Teuku Muhammad Nassir dan Titin Suhartini di atas dapat kita lihat bahwa tidak ada masalah dengan masyarakat pendatang yang mau menjalankan dan mengikuti syariat islam. hal ini membuktikan bahwa keberadaan pemeluk agama non-islam di Gampong Keude Matangglumpang Dua tidak sepenuhnya di terima oleh masyarakat lokal. Baik itu sekedar ingin membangun rumah ibadah, bahkan dalam perayaan hari besar keagamaan pun tidak pernah tampak di desa ini. masyarakat lokal menganggap bahwa jika mereka memilih tinggal di gampong ini maka mereka harus siap mengikuti budaya dan 122 hukum di gampong ini. Bahkan masyarakat lokal tidak akan setuju bagi mereka agama non-islam melakukan perayaan-perayaan atau tradisi-tradisi yang sejatinya bertolak belakang dengan ajaran agama islam. hal ini seperti yang dikatakan oleh Teuku Muhammad Nassir di atas yang menginginkan Aceh yang selama ini di kenal dengan keislamannya dapat tetap terjaga. Hal ini sejalan dengan prasangka ibu Elfi yang merupakan seorang tokoh agama budha kepada masyarakat lokal yang di katakannya kepada saya disaat wawancara. Bahwa ibu Elfi sebenanrnya sudah lama memiliki keinginan untuk mengajukan kepada pemerintah Gampong Keude Matangglumpang Dua agar di izinkan untuk di bangun rumah ibadah untuk mereka beragama Budha tapi dia takut kalau pemerintah gampong ini tidak akan menyetujui niatnya tersebut. Seperti yang dikatakannya ketika wawancara, dia mengatakan bahwa: “kalau mau ibadah kami ke bireueng perginya. Kalau di gampong ini gak ada Vihara kami. Itu lah cuman ada di bireueng aja satu untuk satu kabupaten. Kalau jauhnya sih gak terlalu jauh lah. Perjalanan kurang lebih 30 menit. Sebenarnya saya sendiri sangat berharap ada vihara disini. Karena biar gak jauh-jauh pergi ke bireuen. Niat saya juga ada untuk ngajukannya ke Camat gampong, supuya di izinkan kami bangun vihara di gampong ini. tapi memnag belum pernah juga saya sampaikan. Padahal saya udah lama punya niat ini. rencana saya kalau kapan-kapan saya pergi ke Banda Aceh saya mau ngajukannya langsung ke kantor gubernur. Karena saya takut kalau minta disini nanti malah gak diizinkan”. Hasil wawancara pada tanggal 28 November 2014. Dalam hal ini bisa kita lihat bahwa keberadaan pemeluk agama non-islam di Gampong Keude Matangglumpang Dua dapat dikatakan tidak menjadi masalah dan tidak terdapat potensi konflik terbuka karena hubungan masyarakat lokal sendiri dengan masyarakat yang beragama budha selama ini berjalan dengan baik. walaupun keberadaan mereka sendiri tidak sepenuhnya diberi keleluasan dalam 123 melakukan kewajiban mereka sebagai umat beragama di gampong ini. Tetapi keadaan seperti ini jika terus berlanjut akan memiliki potensi konflik laten yang berujung pada rasa kekecewaan masyarakat beragama non-islam kepada masyarakat lokal di gampong ini. Sebagai kelompok Minoritas mereka pemeluk agama non-islam di Gampong Keude Matangglumpang Dua menduduki posisi yang tidak menguntungkan di dalam kehidupan sosialnya. Sebagai umat beragama mereka dibatasi dalam melakukan hak sebagai umat beragama yaitu dalam melakukan ritual-ritual keagamaan termasuk untuk membangun rumah ibadah dan perayaan hari raya mereka. Kelompok dominan selalu menganggap kelompok minoritas sebagai masyarakat dengan kelompok kelas dua subordinat. Dalam hal ini masyarakat penganut agama islam sebagai kelompok dominan menganggap mereka yang menganut agama non-islam di gampong ini sebagai kelompok minoritas yang rendah derajatnya dan tergolong sebagai orang asing. elly, 2011:564-580.

4.7 Konflik laten antara Masyarakat lokal dengan Masyarakat Pendatang