10
akan pentingnya kesukbangsaan yang berbentuk komunitas-komunitas suku bangsa dan digunakan sebagai referensi atas jati diri kesukubangsaan ini.
Adapun masyarakat majemuk menurut Dr. Nasikun dalam Elly 2011: 550 adalah masyarakat yang menganut berbagai sistem nilai yang dianut oleh
berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya adalah sedemikian rupa, sehingga para anggota masyarakat kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat
sebagai suatu keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan, atau bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain.
2.2 Masyarakat Multikultural Indonesia
Masyarakat indonesia adalah seluruh gabungan semua kelompok manusia yang hidup di negara indonesia terdiri dari berbagai kelompok etnik, agama dan
lain-lain sehingga bangsa indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat yang majemuk. Seperti yang dikatakan oleh Suryadinata dalam Paulus
2012:2-49 bahwa indonesia masuk ke dalam tipe social-nation yang berasal dari beragam kelompok etnik. Berdasarkan Sensus tahun 2000 diketahui bahwa jumlah
enik dan sub-etnik yang terdapat di Indonesia adalah 1072, dengan 11 etnik memiliki warga di atas satu persen. Tentunya setiap etnik tersebut memiliki
identitas budaya dengan karakteristiknya masing-masing. Hal ini membuat indonesia harus selalu waspada apakah etnik yang beragam itu mudah untuk
disatukan atau tidak. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa dalam masyarakat Indonesia, identitas etnis, dalam hal ini kesukuan termasuk di dalamnya nilai-nilai
budaya dan adat istiadat, masih menjadi faktor penting dalam kehidupan masyarakat, terutama di pedesaan.
11
Selain keberagaman etnik Indonesia juga memiliki keberagaman agama. beberapa agama yang dianut sebagian besar masyarakat Indonesia adalah Islam,
Katolik, Protestan, Budha, Hindu, dan Konghucu. Dimana Islam merupakan agama yang terbesar di Indonesia
Masyarakat indonesia nampaknya terdiri dari suku-suku dan agama-agama yang memiliki ciri “hot ethnicity” cenderung menonjolkan identitas etniknya,
memiliki emosi yang mendalam mengenai hal kesukuan seperti “saya orang Aceh”, “saya orang Batak”, dan lain-lain adapula yang menonjolkan agama
seperti “saya islam”, “saya katolik”, dan lain-lain dan selalu memendam keinginan untuk merdeka. Sedangkan “cold ethnicity” sifatnya kurang fanatik,
kurang emosional dan identitas etnis sering hanya digunakan untuk mencari keuntungan sesaat. Kondisi yang seperti ini nampaknya bisa terus berubah,
tergantung pada bagaimana negara-bangsa ini mengelola integrasi masyarakatnya terutama dalam mengembangkan kesejahteraan, keadilan dan solidaritas sosial.
Oleh karena persoalan di atas maka Brubaker memperkenalkan konsep nationalizing state Brubaker dalam Paulus 2012:4 yaitu negara yang berusaha
membujuk warganya untuk merasa menjadi suatu nation. Suatu bangsa yang memiliki unsur identitas yang beragam, seperti suku, agama, ras dan sebagainya,
sehingga dirasa perlu untuk mengembangkan berbagai kebijakan untuk membujuk warganya agar memiliki suatu identitas bersama yang bersifat nasional. Melalui
pendekatan multikulturalisme dengan prinsip Bhineka Tunggal Ika berbeda-beda tetapi tetap satu jua indonesia memberikan kebebasan kepada semua sub-
kebudayaan untuk tetap hidup sekaligus mengembangkan budaya dan sikap mental kesetiakawanan dan saling menghargai secara setara. Walaupun saat ini
12
dalam kenyataannya masih belum benar-benar terwujud. Masih banyak terdapat konflik etnis maupun agama di indonesia.
Daisy 2012:87-88 mengatakan bahwa peran iklim demokrasi yang diberikan Indonesia juga besar dalam meningkatkan kesadaran kelompok,
khususnya kelompok etnik. Kebangkitan identitas etnik dan kesadaran kelompok etnik ini diikuti dengan tuntutan-tuntutan terhadap keadilan dan kesederajatan
dalam kehidupan bermasyarakat, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Hal ini dapat terjadi karena proses pembangunan yang tidak merata
dan kebijakan-kebijakan publik yang tidak mempertimbangkan keragaman budaya. Selain itu, kebangkitan dan kesadaran kelompok etnik juga dapat
mengarah pada munculnya etnosentrisme dan chauvinisme kelompok. Masalah- masalah ini dapat mempengaruhi hubungan antar kelompok etnik, yang bisa
mengarah pada konflik laten maupun konflik terbuka yang menggunakan kekerasan sampai pada gerakan pemisahan diri seperti Aceh GAM dan Papua
OPM. Untuk mempertahankan integrasi sosial maupun nasional seharusnya kebijakan-kebijakan publik dan pengakuan kesederajatan setiap kelompok entik
yang hidup dan menjadi unsur pembentukan masyarakat Indonesia perlu dijamin oleh siapapun atau kelompok manapun yang berkuasa.
2.3 Teori Konflik