Stereotip Masyarakat Lokal Terhadap Masyarakat Pendatang

65

4.3 Stereotip Masyarakat Lokal Terhadap Masyarakat Pendatang

Dalam hal ini akan kita rincikan stereotip yang terjadi dalam masyarakat lokal terhadap masyarakat pendatang. Di mana berdasarkan pengertiannya bahwa stereotip yang terjadi juga belum tentu dapat dibuktikan kebenarannya namun tetap berkembang dan menjadi salah satu label kelompok dalam masyarakat. Dalam hal ini, secara umum stereotip masyarakat lokal terhadap masyarakat pendatang dapat kita lihat pada salah satu tokoh agama Islam di Gampong Keude Matangglumpang, yaitu Ust. Anwar 62 Tahun. Di mana dia terlihat resah dengan semakin banyaknya pendatang yang datang ke Gampong Keude Matangglumpang Dua. Bahwa dia takut kehadiran para pendatang merupakan sebuah upaya penyebaran agama Non Islam ke gampong ini. Sehingga sebisa mungkin dia dengan teman-temannya selalu mengawasi para pendatang, bahkan mereka terlihat memiliki curiga yang lebih terhadap pendatang yang Non Islam. Hal ini merupakan stereotip yang sudah terbentuk dalam kelompok agama Islam di desa ini. Untuk secara khususnya, stereotip yang terbentuk dalam masyarakat lokal terhadap masyarakat pendatang akan dirincikan dibawah ini. 4.3.1 Stereotip Masyarakat Lokal terhadap Etnis Jawa 1. Penjajah Dari hasil penelitian lapangan saya menemukan bahwa beberapa dari informan masyarakat lokal dimana mereka memiliki anggapan di kalangan mereka bahwa Pemerintahan Indonesia identik dengan etnis Jawa. mereka menganggap Pemerintahan Indonesia pernah menyisakan pengalaman yang 66 kurang menyenangkan yang berawal pada pemerintahan Suekarno. Inilah yang kemudian menjadi stigma di kalangan informan yang mengesankan bahwa mereka merasa di hianati, tertipu oleh Pemerintahan Indonesia yang mereka anggap sebagai pemerintahan Jawa. Pada masa pemerintahan Suekarno, soekarno pernah mengasingkan diri di Aceh pada saat Yogyakarta yang saat itu merupakan ibu kota Republik Indonesia jatuh ke tangan Belanda. Kemudian masyarakat Aceh menyumbangkan pesawat kepada Republik Indonesia yang merupakan hasil jerih payah masyarakat Aceh. Yakni pesawat Dakota RI-001 Seulawah pesawat pertama Indonesia. Masyarakat aceh menyerahkan pesawat tersebut kepada Pemerintahan RI untuk meneruskan perjuangan melawan penjajahan Belanda. Soekarno pernah memohon kepada Aceh untuk tetap mendukung Indonesia dan tetap menjadi penyuplai dana demi kemerdekaan Indonesia. Dengan imbalan ketika Indonesia merdeka nanti beliau akan memberikan otonomi kepada Aceh untuk menjalankan syariat islam di wilayahnya sendiri. Dan ketika Indonesia resmi merdeka Soekarno malah tidak menepati janjinya. Ini menjadikan masyarakat Aceh merasa tertipu dan akhirnya Aceh memberontak lalu muncullah konflik Aceh dan Republik Indonesia. Kemudian pada orde baru pada masa pemerintahan Soeharto, Aceh juga di buat kecewa karena Soeharto tidak juga memberikan bahkan melupakan tentang pemberian status daerah istimewa Aceh yang telah di janjikan oleh Soekarno sebelumnya. Terlebih lagi kekecewaan masyarakat Aceh semakin bertambah parah kepada Pemerintahan Indonesia ketika ditemukannya sumber cadangan minyak dan gas alam di Lhokseumawe Aceh Utara dan diketahui terbesar pada tahun itu. Namun keuntungannya tidak pernah dirasakan oleh masyarakat Aceh. 67 Aceh tetap saja miskin, seluruh keuntungan mengalir ke pusat yaitu Jakarta. Dan pada saat itu posisi-posisi penting dalam pemerintahan Aceh diduduki oleh orang Jawa dan semakin besar lah kebencian masyarakat Aceh terhadap orang Jawa yang dikarenakan anggapan masyarakat Aceh bahwa Pemerintahan Indonesia adalah Pemerintahan Jawa. Kemudian konflik Aceh berkecamuk dan Pemerintahan Indonesia menjadikan Aceh sebagai “Daerah Operasi Militer”. Semakin besar kekecewaan Aceh terhadap Pemerintahan Indonesia. Sehingga pastas saja Aceh saat itu menginginkan merdeka dari Republik Indoensia. Kebencian masyarakat Aceh terhadap Pemerintahan Indonesia berimbas kepada kebencian masyarakat Aceh terhadap suku Jawa. mereka menganggap bahwa semua suku Jawa adalah penghianat dan penipu, ini merupakan sisa-sisa dari penghianatan Pemerintahan Indonesia terhadap rakyat Aceh. Rakyat Aceh menganggap Pemerintahan Jawa yang sebenarnya adalah Pemerintahan Indonesia adalah sebagai penjajah. Seperti yang di katakan oleh Nur Janah Zaini yang merupakan masyarakat pendatang di Gampong Keude Matangglumpang Dua yang merupakan suku Jawa. Dia sudah menetap di Aceh sejak pada masa konflik Aceh dan Pemerintahan Indonesia. Sebagai pendatang dari suku Jawa banyak sekali penderitaan dan cacian yang dia terima di gampong ini apalagi dia sendiri adalah suku Jawa yang saat itu masyarakat Aceh sendiri sangat sentimen terhadap suku Jawa. Pada masa konflik tersebut dia pernah di usir dan di paksa keluar dari Aceh. dan pada saat itu dia terpaksa tinggal di medan dan kembali lagi ke Aceh ketika konflik Aceh sudah mereda. Beberapa cacian juga di terimanya, ada yang meneriakinya dengan “anak 68 buah Soeharto” dan bahkan di katai “penjajah”. Hal ini seperti yang di katakan oleh Nur Janah Zaini yang mengatakan bahwa: “dulu ketika masa GAM itu kami orang Jawa bukan Cuma di usir dari sini tapi juga sering diteriaki sama orang-orang Aceh seperti “nyaan pat ka trok ureueng Jawa nyang aneuek buah Soeharto” nah itu udah datang orang Jawa yang anak buahnya Soeharto. Hasil wawancara pada tanggal 23 November 2014. Dari hasil wawancara dengan beberapa informan baik masyarakat lokal dan masyarakat pendatang di dapati bahwa mereka manganggap masyarakat Jawa sudah mengeksploitasi sumber daya alam di Aceh namun hasilnya di pakai untuk pembangunan daerah di Jawa. Dan stereotip ini juga berlaku bagi masyarakat jawa yang mencari nafkah di Aceh. bahkan ada julukan sendiri kepada mereka orang Jawa yang bekerja mencari nafkah di Aceh yaitu “nyoe ureueng Jawa, menyoe peng dimita diisno kaleuhnyan harta i puwo u gampong, ek i manteng nyang i tinggai inoe”ini lah orang Jawa, kalau uang dicarinya disini abis itu hartanya di kirim pulang ke kampung, taiknya aja ditinggal disini. data di peroleh dari salah seorang masyarakat lokal yaitu Hidayatun Nufus pada tanggal 5 January 2015. Hal serupa juga dikatakan oleh salah seorang masyarakat pendatang dari suku Jawa yang mengatakan bahwa dirinya pernah di ejek dengan julukan yang sama ketika sedang berjualan jamu. Arif Ramdan dalam bukunya yang berjudul Aceh di Mata Urang Sunda mengatakan bahwa di sejumlah daerah di Aceh, contohnya Pidie, Aceh Utara, dan Bireuen ada penyebutan khusus untuk sesuatu yang bersifat telah menjadi sisa dan tidak bermakna akibat di makan rayap. Misalnya kata “Boh Jawa”, bermakna 69 serbuk papan yang terdapat di dinding-dinding kayu karena habis di makan rayap. Orang Aceh mengangap begini lah etnis Jawa memakan kekayaan Aceh. Konflik Aceh dan Pemerintahan Indonesia juga menyebabkan kecurigaan dan ketidak percayaan masyarakat lokal terhadap suku Jawa. Banyak dari masyarakat suku Jawa yang hanya ingin berjualan juga menjadi sasaran kecurigaan oleh masyarakat lokal. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Hidayatun Nufus yang mengatakan bahwa: “wate masa konflik nyan, lee ureueng Jawa nyang geu meukat pecah belah keno. Awaknyan geu jak me u rumoh-rumoh, nyan keuh nyan nyang yee ureueng Aceh, sabab awak nyan i eu-eu sampek u dalam rumoh jadi ureueng Aceh geu pikee awak nyan cuak nyang di kirem le Pemerintah Indonesia”. Hasil wawancara pada tanggal 5 January 2015. Terjemahan: “waktu masa konflik itu, banya orang Jawa yang jualan pecah belah disini. Mereka jualannya di bawak sampek ke rumah-rumah, itu lah yang membuat orang Aceh takut karena mereka ngeliat-liat sampe ke dalam rumah, jadi orang mikir kalau mereka itu adalah mata-mata yang dikirimkan oleh pemerintah Indonesia”. Dari beberapa pernyataan di atas, terlihat memang bahwa mereka memiliki kecurigaan dan ketidak percayaan mereka terhadap masyarakat suku Jawa. selain itu, stereotip tersebut juga muncul karena perasaan kesenjangan dari pemerintah yang pada akhirnya dapat memicu adanya rasa cemburu bahkan rasa curiga terhadap masyarakat pendatang terkhusus etnis Jawa. Stereotip yang sudah terinternalisasi dalam masyarakat lokal terhadap masyarakat pendatang etnis Jawa 70 susah untuk dihilangkan dan malah menimbulkan jarak atau menjadikan dinding bagi masyarakat lokal untuk dapat berinteraksi dengan masyarakat pendatang. Dalam penelitian ini saya menemukan bahwa yang dimaksut dengan suku Jawa oleh masyarakat lokal adalah semua yang tinggal dan semua orang dengan daerah asal di pulau Jawa. Padahal kenyataannya terdapat beberapa suku lain selain suku Jawa di pulau Jawa, yaitu suku Sunda, suku Betawi, suku Tangger, suku Madura dan lain-lain. 3. Munafik Dari penelitian lapangan di ketahui bahwa ada anggapan dari beberapa informan yang menganggap bahwa masyarakat suku Jawa adalah munafik. Anggapan ini tidak bisa di lepas dari sejarah pemerintahan Soekarno yang menyisakan pengalaman yang kurang menyenangkan terhadap masyarakat Aceh yang berujung kepada pandangan atau persepsi masyarakat lokal terhadap masyarakat suku Jawa. Kata munafik identik dengan orang yang pura-pura percaya namun di dalam hatinya tidak atau seseorang yang perbuatannya tidak sesuai dengan perkataannya. Dalam penelitian ini, salah satu informan yang merupakan masyarakat lokal yaitu Hidayatun Nufus mengatakan bahwa dia pernah memiliki teman dekat yang merupakan orang Jawa. mereka bekerja di satu toko peralatan sekolah yang sama, ketika saya bertanya tentang suku Jawa langsung Hidayatun Nufus mengatakan bahwa “orang Jawa itu munafik”. Hidayatun Nufus merasa pernah tertipu oleh masyarakat pendatang yang merupakan suku Jawa. menurutnya dia 71 sudah sangat percaya dengan orang Jawa tersebut, dia menceritakan rahasia- rahasianya dan bahkan dia selalu cerita tentang masalah keluarganya. Dia percaya bahwa temanya yang merupakan orang Jawa tersebut tidak akan membocorkan atau menceritakan aibnya kepada orang lain. Tetapi jauh dari perkiraannya ternyata temannya yang merupakan orang Jawa tersebut malah menceritakan aibnya tersebut kepada teman-teman yang lain di dalam tempat kerja yang sama dengannya. Menurutnya dia merasa tertipu dengan tampilan orang Jawa yang menurutnya lemah lembut dan sopan namun munafik. Hal ini seperti yang di katakan oleh Hidayatun Nufus yang mengatakan bahwa: “menyoe loen seulama nyoe hana tom na masalah ngen masyarakat pendatang. tetapi menyoe neu tanyoeong bak loen tentang ureueng Jawa awaknyan biasa jih geut meukeu tepai meulikeut brok”. Hasil wawancara pada tanggal 5 January 2015 Terjemahan: “kalau saya selama ini tidak pernah ada masalah dengan masyarakat pendatang, tetapi kalau di tanya tentang orang Jawa, orang itu biasanya di depan kita baik tapi kalau di belakang kita buruk”. Dari pengalamannya tersebut Hidayatun Nufus mengaku berhati-hati untuk berteman selanjutnya dengan orang dari suku Jawa. pengalamannya yang merasa tertipu dengan orang Jawa menbuatnya berfikir kalau begitu lah kebanyakan sifat orang Jawa. Pernyataan lainnya di peroleh dari informan yang merupakan masyarakat lokal yaitu Rusdi yang mengatakan bahwa dirinya sebenarnya tidak mengenal orang dari suku Jawa dengan baik, namun sepengetahuannya tentang suku Jawa dari teman-teman dan keluarganya banyak yang mengatakan bawa orang Jawa 72 adalah munafik. Mereka berbicara dengan sopan dan lemah lembut namun di belakang menusuk. Dia mengatakan bahwa ada pengalaman temannya yang pernah tertipu dengan orang Jawa. hal ini seperti yang di katakan oleh Rusdi yang mengatakan bahwa: “na ngeon loen ken cewwk jih ureueng Jawa. si kawannya kerja bak bangunan di banda. Ijih i peugah bak loen, jih peugah cewek jih nyan menyoe ta eu kok brat juu lage aneuek get-get. Si kawan nyan pih hana i teujeut pubut sapu. I neuk mat jaro pih hana i teujeut. Eh rupa-rupa jih hana trep i teupeu le si kawannyoe bahwa cewek jih ka mumee ngon agam laen. Nyan keuh nyan i peugah, awak Jawa nyoe i luwa sok get, sok sopan, padahai brok i dalam”. Hasil wawancara pada tanggal 25 November 2014. Terjemahan: “ada kawanku kan pacarnya orang Jawa. si kawan ini kerja bangunan di Banda Aceh. cerita dia samaku, di bilangnya pacarnya itu nampak kayak anak baik-baik kali lah. Si kawan itu pun segan mau ngapa-ngapai, mau mengang tangannya aja segan dia. Eh rupanya gak lama ketahuan sama si kawan ini kalau pacarnya hamil sama orang lain. Itu lah katanya, orang Jawa ini luarnya sok baik, sok sopan, padahal di dalamnya busuk”. Mendengar stereotip tentang suku Jawa yang munafik Rusdi tidak menyangkal bahwa sedikit tidaknya mempengaruhinya dalam banyak hal, termasuk dalam memilih teman, sahabat dan pacar. Bahwa akan lebih memilih untuk memiliki sahabat, pacar atau teman dari yang sesama suku dengannya yaitu suku Aceh. Dari hasil penelitian lapangan yang saya lakukan menemukan bahwa di balik stigma negatif Stereotip masyarakat Aceh yang melekat pada masyarakat pendatang suku Jawa ternyata juga terdapat stigma positif prototipe terhadap suku Jawa yaitu: 73 1. Pekerja Keras Beberapa informan ada yang menganggap bahwa orang Jawa adalah pekerja keras. Seperti yang di katakan oleh Rusdi, di balik stereotipnya terhadap orang Jawa dia juga memiliki stigma bahwa orang Jawa sangat pekerja keras. Ini seperti yang di lihatnya dari kebanyakan orang Jawa migran orang Aceh menyebutnya di Gampong Keude Matangglumpang Dua. Dia melihat bahwa orang-orang Jawa di gampong ini kebanyakan bekerja di perkebunan, dagang, dan tukang bangunan yang di dominasi oleh suku Jawa. Rusdi membandingkannya dengan masyarakat lokal sendiri, dia melihat kebanyakan masyarakat lokal yang nongkrong di warung kopi baik dari kalangan kakek-kakek, bapak-bapak, bahkan perempuan dan anak muda juga sering kelihatan nongkronng di warung kopi. Dan sebaliknya orang Jawa di gampong ini hampir tidak pernah kelihatan ikutan nongkrong di warung kopi. Ini jelas mencermintan orang Jawa yang sangat pekerja keras dan lebih mengunakan waktunya untuk bekerja dari pada hanya sekedar nongrong di warung kopi. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Rusdi yang mengatakan bahwa: “menyoe loen eu ureueng Jawa nyoe kok brat juu pekerja keras jih, Awak nyan dumpu but item. Bukti jih lah, but-but kreuh di gampong nyoe ken awaknyan dom di dalam, yang semula lah, kerja bangunan lah, ngon jamu keliling pih na wak nyan. Kop beda menyoe ngon ureueng Aceh nyoe, pane na ureueng-ureueng Aceh nyoe yang item bu-but kreuh menyoe keun sabab ka meucepiet that. Aci ne ue mantong ureueng-ureueng yang duk- duk bak keude kupi nyan. Hantom meu ta ue pih ureueng Jawa hinan”. Hasil wawancara pada tanggal 25 November 2014 74 Terjemahan: “ kalau ku lihat orang Jawa ini sangat pekerja keras, Mereka kerja apapun mau. Buktinya aja lah, pekerjaan-pekerjaan keras di gampong ini kan kebanyakan orang-orang itu di dalamnya, yang bertani lah, tukang bangunan lah, dagang jamu keliling itu pun ada mereka. Beda kali kalau sama orang Aceh ini, mana ada orang Aceh ini yang mau kerja keras kalau bukan karena terjepit kali. Tengok lah yang nongkrong-nongkrong di warung kopi itu, mana pernah kita lihat orang Jawa disitu”. Hal yang sama juga di katakan oleh salah seorang masyarakat lokal yaitu Zaryanti yang merupakan seorang pedagang di Keude Gampong Matangglumpang Dua. Dia mengaku mengenal beberapa orang Jawa yang merupakan langganannya berbelanja. Menurutnya orang Jawa sangat pekerja keras. seperti apa yang dikatakan oleh Rusdi, Zaryanti juga mengatakan bahwa orang Jawa biasanya pekerjaan apapun mereka mau. Karena bagi orang Jawa uang itu sangat berarti. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Zaryanti yang mengatakan bahwa: “loen galak loen eu ureueng Jawa, awak nyan kop brat pekerja keras, Mandum but ji tem wak nyan. Na loen meuturi ureueng meukat jamu, jih langganan loen jep jamu, kop geut ureueng jih. Ngon lako jih pih loen meuturi, awaknyan mendua sama-sama pekerja keras”. Hasil wawancara pada tanggal 25 November 2014 Terjemahan: “aku suka kalau lihat orang Jawa, mereka itu pekerja keras kali, semua pekerjaan mau aja mereka. Ada kenalan ku tukang jualan jamu, dia langgananku. Baik kali orangnya. Dia dan suaminya pun ku kenal, mereka sama-sama pekerja keras”. 75 2. Lemah Lembut Lemah lembut memang sudah merekat pada image orang Jawa. tanpa mengenal orang Jawa secara langsung juga bisa mengetahuinya. Di banyak media seperti Tv, internet dan lain-lain selalu menampilkan image orang Jawa yang lemah lembut tutur katanya dan sopan. Dalam hasil penelitian lapangan saya juga menemukan bahwa ada beberapa yang memiliki anggapan yang sama yaitu orang Jawa yang lemah lembut. Seperti yang di katakan oleh Titin Suhartini yang mengenal orang Jawa dengan image tersebut. Dia tidak pernah mengenal orang Jawa secara langsung namun jika di tanya tentang orang Jawa maka jawaban pertama yang keluar adalah orang Jawa lemah lembut tutur katanya. Dia mengakui bahwa sejak awal dia mengenal suku Jawa dari tv dia langsung suka dengan ke lemah lembutan orang-orang Jawa saat berbicara. Hal ini seperti yang di katakan oleh Titin Suhartini yang mengatakan bahwa: “iloen galak loen eu ureueng Jawa, sabab awaknyan biasa jih lembut, ramah, sopan, mangaaat juu bak ta eu. Tapi iloen jareueng shit meurempeok langsong ngon awaknyan. Tapi menyoe neu tanyong ke loen tentang ureueng Jawa yang lon teupeu ya meunan, awak nyan get, ramah ngon lembut. Tapi ya hana ta teupu shit kiban yang asli jih”. Hasil wawancara pada tanggal 7 January 2015. Terjemahan: “saya suka melihat orang Jawa, karena biasanya itu lemah lembut, sopan, ramah, enak gitu lihatnya. Tapi jarang juga sebenarnya jumpa langsung sama mereka. Tapi kalau di tanya tentang orang Jawa yang saya tahu ya gituuu.... mereka itu baik, ramah dan lembut, tapi gak tau juga kayak mana aslinya”. 76 Sama halnya juga seperti yang di katakan oleh Safrizal. Safrizal merupakan seorang mahasiswa di sebuah universitas di Gampong Keude Matangglumpang Dua. Dia juga merupakan anak dari seorang pedagang buah- buahan di gampong ini, ini tentu membuatnya banyak bertemu dengan orang- orang baik dari masyarakan lokal sendiri dan bahkan masyarakat pendatang dari berbagai suku. Namun Safrizal mengatakan bahwa dia sangat terkesan terhadap orang Jawa yang menurutnya mereka sangat ramah, baik, dan sopan. Dia mengatakan bahwa ada beberapa pembeli di kedai buahnya yang merupakan masyarakat pendatang termasuk orang Jawa, dia mengatakan bahwa dari beberapa suku pendatang yang ada di gampong ini dia lebih menyukai suku Jawa karena menurutnya orang Jawa lemah lembut dalam berbicara. Hal ini seperti yang di katakan oleh Safrizal bahwa: “hai menurut loen masyarakat pendatang ngon masyarakat lokal nyoe sebenar jih saban mantong. Menyoe geutanyoe get ke awak nyan, pasti awak nyan get shit ke awak geutanyoe. Loen pih hana shit yang krab that ngon awak pendatang. tapi menyoe loen eu, loen lebeeh galak loen eu ureueng Jawa. that lembut awak nyan menyoe i peugah haba. Mangaat keudeh bak ta dingeu. Awak nyan deuh lage sopan meunan bak cara peugah haba jih”. Hasil wawancara pada tanggal 25 November 2014 Terjemahan: “menurutku masyarakat pendatang sama masyarakat lokal ya sama aja sebenarnya. Kalau kita baik sama mereka pasti mereka juga bakal baik sama kita. Aku pun gak ada nya yang dekat kali sama masyarakat pendatang. cuman kalau ku liat, aku sih lebih suka sama orang Jawa. lembut kali orang itu kalau ngomongnya. Enak gitu dengarnya. Mereka kelihatan sopan gitu dari cara bicaranya”. 77 4.3.2 Stereotip Masyarakat Lokal terhadap Etnis Padang Bicara tentang etnis Padang, beberapa informan dari masyarakat lokal mengaku memiliki banyak kesamaan dengan etnis padang. Sama-sama memiliki daerah dengan keseluruh masyarakatnya memeluk agama islam. Dan sama-sama sebagai daerah yang pernah di jadikan sebagai tempat Pemerintahan Darurat Republik Indonesia PDRI pada masa Kolonial Belanda. Etnis Padang sangat menjunjung tinggi agama terlihat dalam motto adat minang yaitu “ada dua tali dalam hidup, yaitu tali darah dan tali adat. Tali darah yaitu islam dan tali adat yaitu budaya Minang”. Begitu juga dengan orang Aceh yang menganggap budaya dengan agama menjadi suatu hal yang tidak dapat dipisahkan. Dimana agama islam berakulturasi dengan kebudayaan lokal. Seperti terlihat dalam motto adat Aceh yaitu “Adat ngon hukom agama, lagei zat ngon sifeut”. Walaupun terdapat banyak kesamaan budaya dan agama antara Padang dan Aceh namun tidak menjamin tidak adanya stereotip yang muncul antara masyarakat lokal Aceh terhadap masyarakat pendatang Padang. Beberapa stereotip tersebut di antaranya: 1. Pilih Kasih Aceh:pileh gaseeh Dari hasil penelitian lapangan di temukan bahwa terdapat julukan yang yang di tujukan untuk orang Padang di Gampong Keude Matangglumpang Dua. yaitu “ureueng Padang pileh gaseeh, shehara droe i peutamong u rumoh tapi menyoe shehara lako i keubah i luwa” orang padang pilih kasih, saudaranya sendiri di bawak masuk ke dalam rumah sedangkan saudara dari suaminya di biarkan di luar rumah. Sama hal nya dengan yang di katakan oleh Teuku 78 Muhammad Nassir dan dia mengatakan bahwa julukan terhadap orang Padang tersebut memang lah sudah sangat di kenal di gampong ini. dan peneliti juga melihatnya sendiri yaitu ketika melakukan wawancara dengan Teuku Muhammad Nassir yang merupakan tokoh adat di Kecamatan Peusangan dan saat itu di sampingnya ada temannya Syeh Razali Puteh yang merupakan anggota adat perwakilan Kabupaten Bireuen. Pada saat peneliti menanyakan tentang pendangannya terhadap suku Padang serentak Teuku Muhammad Nassir dan temannya tersebut menjawab hal yang sama yaitu julukan bahwa orang padang pilih kasih. Pernyataan yang sama juga saya temukan dari salah seorang masyarakat pendatang yang merupakan suku Padang yaitu Yulisda dia mengatakan bahwa dia sendiri juga sering mendengar julukan tersebut. Walaupun tidak secara langsung di utarakan kepadanya. Namun dia yang merupakan orang Padang pernah merasakan dampaknya yaitu pihak keluarga suaminya yang tidak menyetujui pernikahannya dengan suaminya karena alasan dia adalah orang Padang. Selain itu, dia sendiri pada awalnya heran, apa yang salah dengan orang padang, mengapa mereka begitu marah saat mengetahui bahwa salah seorang dari keluarga mereka menikahi orang padang. Seiring waktu dia mengetahui alasannya dari suaminya dan beberapa dari yang dia dengar sendiri. Bahwa orang Aceh mengganggap orang Padang sebagai pilih kasih. Ini juga yang membuat orang Aceh was-was untuk menikahkan keluarganya dengan orang Padang. selain itu, selama di tinggal di Gampong Keude Matangglumpang Dua dia juga sering mendapatkan perlakukan dan perkataan yang kurang menyenangkan dari pihak keluarga suaminya. Dia pernah di anggap sebagai pencuri, padang jahat, dan 79 semuanya tanpa bukti dan alasan yang jelas. Yang menurutnya merupakan dampak dari stareotip masyarakat lokal terhadap orang padang. Ada juga yang mengatakan bahwa orang Padang “jahat” Aceh:brok akai hal ini seperti yang di katakan oleh Hidayatun Nufus, dia mengatakan berdasarkan pengalamannya di dalam keluarganya. Di dalam keluarganya ada pamannya yang menikah dengan orang Padang, dan dia melihat bahwa kebanyakan dari kelurganya tidak menyukai istri pamannya yang orang padang tersebut. Dia sendiri juga pernah mendengar stereotip tentang “orang Padang pilih kasih” namun bukan mendengarnya langsung dari keluarganya, tetapi dia sendiri penah mendengar tantenya Aceh:cecek yang mengatakan bahwa orang padang sifatnya jahat-jahat Aceh:brok akai. Tetapi menurutnya istri pamannya tersebut merupakan orang baik. Hal ini seperti yang di katakan oleh Hidayatun Nufus bahwa: “nyoe, na tom loen dingoe tentang ureueng Padang pileh gaseeh, tapi meunurot loen hana hai meunan. Loen na shit cecek loen ureueng Padang, peurumoh cek loen. Tapi menyoe meunurot loen gok nyan kok geut ureueng jih. Gok nyan kok geut shit ngon loen. Tapi memang tom shit loen dingoe cecek loen yang laen ji peugah bahwa ureueng Padang nyan brok- brok akai. Hai memang keun i peugah bak loen, tapi loen dingoe. Dan keluarga nyoe pih loen ue hana yang ke peurumoh cek loen nyan. Weeuh keudeh bak ta eu”. Hasil wawancara pada tanggal 5 January 2015 Terjemahan: “iya, aku pernah dengar tentang orang Padang pilih kasih, tapi menurutku gak ada lah kayak gitu. Aku juga punya tante orang Padang, istrinya pamanku. Tapi menurutku dia orangnya baik. Dia pun baik samaku. Tapi memang pernah ku dengat sendiri kalau tante ku yang lain bilang kalau orang Padang jahat-jahat. Memang bukan ngomongnya samaku, tapi aku dengar. Dan keluarga juga ku lihat gak ada yang suka sama istrinya pamanku itu, kasian lah dia”. 80 Di balik adanya stereotip masyarakat lokal terhadap orang Padang tetapi juga terdapat persepsi baik prototipe yaitu: 1. Baik Dari hasil penelitian lapangan di temukan ada dari beberapa informan yang menganggap bahwa orang Padang “baik”. Hal ini yang di katakan oleh Hidayatun Nufus seperti di atas. Dia mengatakan bahwa dia pernah mendengar dari orang-orang bahwa orang Padang “pilih kasih” dan dia melihat sendiri bahwa tantenya juga mengatakan bahwa orang Padang “jahat”. Tetapi dia sendiri tidak percaya kalau orang Padang “jahat” karena menurutnya berdasarkan pengalamannya orang Padang yang dilihatnya adalah baik. Karena dia sendiri merasakan bahwa istri pamannya yang merupakan orang Padang tersebut baik padanya bahkan juga pada adiknya. Dia mengatakan bahwa tidak banyak orang Padang yang di lihatnya tetapi yang dia ketahui dan di lihatnya bahwa orang Padang yang sangat baik padanya. Hal ini seperti yang di katakan Hidayatun Nufus yaitu: “ureueng Padang nyan geut-geut akai, bukti jih na cecek loen geu meunikah ngon ureueng Padang dan terbukti shit geut akai geeh”. Hasil wawancara pada tanggal 5 January 2015 Terjemahan: “orang Padang baik-baik kok mereka, buktinya ada paman ku yang menikah sama orang Padang dan terbukti memang dia baik”. Seperti hal nya yang di katakan Hidayatun Nufus di atas Rusdi juga mengatakan bahwa bahwa orang Padang “baik”. Menurut Rusdi, bagaimana orang 81 Aceh ya begitu juga lah orang Padang. Walaupun Rusdi mengaku tidak pernah memiliki hubungan dekat dengan orang Padang. Menurutnya ada banyak kesamaan antara orang Padang dan orang Aceh, baik dari segi kepercayaan, budaya, dan prinsip adat, dan pada jaman dulu juga di ketahui bahwa banyak ulama di Aceh yang berasal dari Tanah Minang dan begitu juga ulama-ulama Aceh juga terdapat di Padang. Alasan ini lah menurut Rusdi yang membuat banyak kesamaan antara orang Padang dan Aceh. Menurut Rusdi bagaimana orang Aceh ya begitu pula orang Padang. Hal ini seperti yang di katakannya bahwa: “menyoe ta eu ureueng Padang nyan kok hie ngon ureueng Aceh. di Aceh mandum ureueng jih islam saban shit lage di padang, bahkan wate jameuen ureueng Aceh ngon ureueng Padang sereng tuka-tuka ulama. Ulama bak Aceh geujak u padang meunan shit ulama di Padang geujak u Aceh. dari sifeuet jih pih hie ureueng Padang ngon ureueng Aceh sama- sama get akai. Pokok jih kiban ureueng Aceh meunan shit ureueng Padang”. Hasil wawancara pada tangal 25 November 2014 Terjemahan: “kalau kita lihat, orang Padang itu mirip kali sama orang Aceh. di Aceh samua penduduknya islam sama juga kayak di Padang, bahkan waktu jaman dulu orang Aceh sama orang Padang itu tukar-tukaran ulama. Ulama di Aceh pergi ke Padang dan kekgitu juga ulama di Padang pergi ke Aceh. dari sifatnya juga sama antara orang Padang sama orang Aceh sama-sama baik. Pokoknya kayak mana orang Aceh kekgitu juga orang Padang”. Hal yang sama juga di katakan oleh Titin Suhartini yang memiliki tetangga orang Padang, yang menurutnya berdasarkan orang Padang yang dikenalnya baik. menurutnya orang Padang yang merupakan tetangganya itu sangat baik, bahkan sering membagi-bagikan masakan ke tetangga-tetangga. 82 Bahkan dia juga ada beberapa kali pergi ke rumah orang Padang tersebut. Hal ini seperti yang di katakan Titin Suhartini bahwa: “ureueng Padang geut-geut akai, nyompat na tetangga loen yang ureueng Padang. Kok geut ureueng jih, ramah lom. Memang jareueng shit tanyoe ta peugahaba ngon awak nyan sabab awak nyan keun i meukat i kiede. Menyoe beungoh ngon malam mantong yang na i rumoh. Tapi menyoe magun meunan kadang tetangga-tetangga hino meureumpok shit, na geujok ke awak loen meunan. Hana krit ureueng jih. Mangat pulak masakan jih. Nyan pih awak nyan sagai yang ureueng pendatang, selaen nyan ureueng Aceh mandum”. Hasil wawancara pada tanggal 7 January 2015 Terjemahan: “orang Padang baik-baik, itu ada tetangga kami orang Padang. Baik kali orangnya ramah juga. Tapi memang jarang juga kami ngobrol-ngobrol sama orang itu karena kan mereka sibuk jualan. Kalau pagi sama malam aja mereka di rumah. Kadang kalau masak gitu mereka tetangga-tetangga disini pun kebagian masakannya, ada di kasih ke kami gitu. Gak pelit dia orangnya. Enak pulak masakannya. Itu pun di lingkungan ini Cuma mereka yang orang pendatang, yang lain orang Aceh semua”. 4.3.3 Stereotip Masyarakat Lokal terhadap Etnis Batak 1. Kotor Aceh:kuto Dari penelitian lapangan di ketahui bahwa terdapat beberapa informan yang merupakan masyarakat lokal yang memiliki stereotip terhadap orang Batak bahwa orang Batak “kotor” Aceh:kuto. Yaitu Hidayatun Nufus, dia mengatakan bahwa tantenya menikah dengan orang Batak yang tinggal di Kota Medan. Hidayatun Nufus pernah beberapa kali ke Medan bersama keluarganya untuk mengunjungi rumah keluarga suami tantenya dan menurutnya sangat “kotor”. Hidayatun Nufus mengatakan bahwa ketika dia ke medan dan melihat kebanyakan 83 dari rumah-rumah orang batak sangat kotor, dan kebanyakan anak-anak kecil orang Batak disana juga sangat kotor-kotor dengan baju yang kotor dan ingus yang meler-meler. Dan begitu juga yang di lihatnya di dalam keluarga suami tantenya yang terlihat jorok. Hal ini seperti yang di katakan oleh Hidayatun Nufus yang mengatakan bahwa: “nyoe hai ureueng Batak nyan kuto-kuto that sang. Soal jih na tom loen jak u medan, u rumoh syehara lako cek loen. Wate nyan loen eu rumoh awak nyan kok brat kuto, hana meumesaneut membacuut. Hai keun rumoh nyan mantong yang kuto, tapi rumoh-rumoh yang laen meunan shit, aneuek-aneuek manyak hinan pih kuto-kuto, baje jih kok brat kuto aleuh nyan meu i idom lom. Brarti pantas shit wate ubeuet-ubeuet awak loen jameuen menyoe awak loen maen kuto aleuh nyan nek geupeugah ke awak loen lage aneuk Batak”. Hasil wawancara pada tanggal 5 January 2015 Terjemahan: “iya hai orang Batak itu kotor-kotor kayaknya. Soalnya pernah kan aku ke Medan, ke rumah keluarga suami tanteku. Ku lihat rumahnya kotor kali, berantakan lah. Bukan Cuma rumah itu tapi rumah-rumah yang lain juga sama. Anak-anak disana pun kayaknya kotor-kotor, bajunya jorok trus ingusnya meler-meler pulak. Pantas aja waktu kami kecil-kecil dulupas main kotor pasti kami di teriaki anak Batak sama nenek kami”. Hal yang sama juga di katakan oleh Titin Suhartini, dia sendiri mengaku bahwa belum pernah mengenal langsung orang Batak. Tetapi jika di tanya tentang orang Batak yang dia ketahui adalah “Batak kotor”. Titin Suhartini mengatakan bahwa ketika kecil dia dan sepupu-sepupunya jika tidak mau mandi maka akan di ejek “anak Batak” oleh neneknya, itu lah yang membuatnya selalu ingat dengan orang Batak walaupun dia belum pernah sekalipun bertemu dengan orang Batak. Seperti yang di katakan oleh Titin Suhartini yaitu: “ureueng Batak nyan kuto-kuto. Home pih loen hana loen teupu shit le peujeut awak nyan ge kheun kuto. Sebab loen pih hana tom meuteumeung langsong ngen awak nyan. Tapi ureueng shiek jamueun na ge kheun, wate 84 ubeuet-ubeuet awak loen menyoe awak loen maen kuto dan han ek mano biasa jih ge khen “kuto that lage aneuek Batak” meunan”. Hasil wawancara pada tanggal 7 January 2015 Terjemahan: “orang Batak itu kotor-kotor. Entah aku juga pun gak tau kenapa mereka di bilang kotor, karena aku pun belum pernah ketemu langsung sama mereka orang Batak. Tapi orang-orang tua dulu pernah bilang, waktu kecil-kecil kami kalau kami main kotor dan gak mau mandi biasanya di bilang “ kotor kali kalian kayak anak Batak” gituu”. 2. Kasar Stereotip “kasar” pada orang Batak sepertinya bukan hanya dimiliki oleh orang Aceh terhadap orang Batak, tetapi lebih dari itu seluruh Indonesia tampaknya juga setuju dengan julukan tersebut. Dalam hal ini kata “kasar” tidak di maksutkan untuk perilaku yang jahat tetapi lebih mengacu kepada cara bicara mereka yang tinggi, keras dan kasar. Seperti yang peneliti dapati ketika penelitian lapangan di Gampong Keude Matangglumpang Dua dimana beberapa informan mengatakan hal yang sama bahwa orang Batak “kasar”. Seperti yang di katakan oleh Rusdi, dia menganggap bahwa orang Batak “kasar” yang tampak dari kebiasaan mereka yang berbicara keras-keras dan di dukung dengan perawakan mereka misalnya bentuk dan ekspresi muka. Rusdi sendiri tidak pernah ada hubungan yang terlalu dekat dengan orang Batak, namun dia sering berjumpa dengan orang Batak yang sama- sama berdagang di gampong ini. Dan kebiasaan orang Batak menggunakan kata “kau” yang menurut Rusdi sangat kasar. Di gampong ini hanya terdapat satu orang pedagang saja yang merupakan orang Batak. Tetapi menurut Rusdi hampir semua pedagang di gampong ini mengenalnya mungkin dari cara mereka yang 85 keras membuatnya lebih mudah untuk di kenal dan di lihat oleh orang-orang di sekelilingnya. Hal ini seperti yang di katakan oleh Rusdi yaitu: “awak nyan gasa i, mungken menyoe awak nyan i peugah haba ngon awak Aceh jeut ke tekejeut-kejeut awak Aceh i pegeut. Menyoe i peugah haba awak nyan kok rayeuk-rayeuk that suu jih. Menyoe i peugah haba pokok jih mandum ureueng eu ke goknyan. Aleueh nyan kata-kata “kau” nyan yang peugeut awak Batak tsang gasa that”. Hasil wawancara pada tanggal 25 November 2014 Terjemahan: “mereka itu kasar, mungkin kalau mereka itu ngomong sama orang Aceh bisa terkejut-kehu orang Aceh di buatnya. Kalau ngomong mereka keras- keras kali suaranya. Pokoknya kalau orang itu ngomong ngeliat lah semua orang ke dia. Abis itu kata-kata “kau” itu yang buat orang itu makin kelihatan kasar kali”. Sama hal nya juga di katakan oleh Titin Suhartini bahwa dia juga mengangap bahwa orang Batak “kasar”. Titin memiliki kenalan orang Batak yang di perkenalkan oleh temannya. Menurutnya orang Batak memang “kasar” bicaranya tetapi bukan berarti bermaksut untuk marah atau sebagainya. Titin mengaku ketika awal dia mengenal orang Batak tersebut dia merasa takut dan heran dengan nada bicara orang Batak yang kasar dan kuat seperti hendak mengajak bertengkar. Tetapi setelah dia lebih mengenal orang Batak tersebut lagi malah Titin mengaku dia senang berteman dengan orang Batak, walaupun bicaranya kasar tapi sebenarnya mereka baik. seperti yang Titin Suhartini katakan bahwa: “hai nyoe, awak nyan shit kok brat gasa-gasa menyo i peugah haba. Tapi yang loen teupeu sih get ureueng jih. Na ngen loen ureueng Batak, tapi get ureueng jih menyoe loen eu. Tapi hai hana loen teupeu shit kiban ureueng Batak yang laen tapi menyoe ngen loen nyan kok mangat ureueng jih. Memang menyoe i peugah haba kok brat gasa. Menyoe golom meturi yee 86 teu bak ta eu awak nyan, tapi menyoe ka ta meuturi mangat shit ta mengen ngon awak nyan”. Hasil wawancara pada tanggal 7 January 2015 Terjemahan: “iya, orang itu kasar-kasar kali memang kalau ngomongnya. Tapi baik kok yang setau aku. Ada kawanku orang Batak, tapi baik kok ku lihat, tapi gak tau juga lah ya kalau orang Batak yang lainnya, soalnya kalau kawanku itu baik orangnya. Ngomongnya aja yang kasar. Memang kalau belum kenal takut kita lihat orang itu, tapi kalau udah kenal enak kok berkawan sama orang itu”. Hidayatun Nufus juga memiliki pengalaman yang sama dengan beberapa informan sebelumnya yaitu Rusdi dan Titin. Di depan toko buku tempat Nufus bekerja ada pedagang salak yang merupakan orang Batak. Orang batak tersebut menyukai Nufus tetapi Nufus tidak menyukainya. Nufus mengaku tidak menyukai orang Batak karena bentuk dan ekspresi muka mereka yang khas dan cara bicara mereka yang kasar. Walaupun sebenarnya mereka baik. Dan stigma dalam dirinya yang menganggap orang Batak kotor juga menambah ketidak sukaannya terhadap orang Batak. Dan Nufus mengaku bahwa stereotip-stereotipnya terhadap orang Batak sedikit banyak mempengaruhinya dalam memilih teman, sahabat maupun pasangan hidup. Dan dia mengaku tidak mau jika harus memilih orang Batak sebagai pasangan hidup, sahabat dan lainnya. Dan Nufus sendiri juga memiliki pengalaman buruk terhadap orang Batak dari suami tantenya yang merupakan orang Batak telah banyak menipu keluarga besarnya. Hal ini seperti yang di katakan oleh Hidayatun Nufus bahwa: “ureueng Batak nyan yang meukat salak nyan gelak i ke loen. Tapi loen hana galak loen ke jih. Soal jih awak Batak nyan menyoe i peugah haba kok brat gasa aleuh nyan rayeuek-rayeuek that suu jih. Nyan keuh nyan hana galak loen eu ureueng Batak walapun hi geut na. Pu lom loen lee peungalaman ngon ureueng Batak, soal jih lako cek loen ureueng Batak. 87 Tom i peungeut keluarga reyeuk loen leh gok nyan. Harta cek loen segolom meukawen habeeh i publoe dum dan jino malah gok nyan i let-let le ureueng sabab ka lee that utang men saboh nyan. Nyan keuh nyan hana galak keluarga rayeuk loen ke jih. Aleuh nyan rumoh keluarga jih di Medan pih waseh-waseh that loen eu. Hana galak loen pokok jih menyoe ke ureueng Batak”. Hasil wawancara pada tanggal 5 January 2015 Terjemahan: “itu ada orang Batak yang jual salak itu suka samaku dia. Tapi aku gak suka sama dia. Soalnya orang Batak itu ngomongnya kasar kali terus kuat- kuat kali suaranya. Itu lah aku gak suka lihatnya walaupun kayaknya baik orangnya. Lagi pula aku banyak pengalaman sama orang Batak, soalnya kan suami tanteku kan orang Batak. Itu lah keluarga besar kami ditipu sama dia. Harta bawaan tanteku habis di jualnya semua dan sekarang dia malah di kejar-kejar sama penagih hutang karena udah banyak kali hutangnya dimana-mana. Itu lah jadinya benci keluarga besar kami semua sama dia. Terus rumah keluarganya di Medan pun jorok-jorok kali aku lihat. Gak suka lah aku pokoknya kalau sama orang Batak”. 4.3.4 Stereotip Masyarakat Lokal terhadap Etnis Tionghoa 1. Tertutup Etnis Tionghoa Aceh:orang China merupakan kelompok non-pribumi yang bermigrasi ke Aceh. Orang China memiliki kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan pada umumnya yang dimiliki oleh masyarakat Aceh dan khususnya memiliki keyakinan agama yang sama sekali berbeda dengan masyarakat Aceh. Seperti yang di katakan oleh salah seorang tokoh adat di Gampong Keude Matangglumpang Dua yaitu Teuku Muhammad Nassir, dia mengatakan bahwa mungkin ini lah yang menyebabkan orang China di gampong ini menjadi sangat tertutup mengenai kehidupan keluarga dan pribadi mereka. Di tambah lagi kasus PKI 1966 pada saat itu orang China di tuduh sebagai pendukung PKI dan di curigai ikut mendanai “G30SPKI” dan pada saat itu 88 banyak dari orang China di usir dari gampong ini. Dan kemudian di saat Indonesia memasuki Era Reformasi pada tahun 1998-1999, pada saat itu Indonesia megalami krisis moneter dan orang China kembali menjadi sasaran untuk melampiaskan rasa iri mereka masyarakat lokal, banyak toko-toko milik orang China di gampong ini di jarah dan di bakar. Sejak saat itu hubungan antara orang China dengan masyarakat lokal di warnai situasi yang tidak harmonis terkhusus di gampong ini. Pak Nassir juga mengatakan bahwa pada saat itu banyak dari orang China di Gampong Keude Matangglumpang Dua ini yang meletakkan sejadah di depan rumah mereka dan menuliskan “islam” di depan pintu toko mereka yang di maksutkan agar tidak di ganggu oleh masyarakat lokal yang mayoritas beragama islam. Namun tampaknya masih ada sisa-sisa trauma orang China terhadap masyarakat lokal jika di lihat sifat tertutup mereka. Seperti yang di ketahui dari salah seorang masyarakat lokal yaitu Rusdi, Rusdi mengatakan bahwa dia memiliki beberapa tetangga yang merupakan orang China walaupun mereka sering ada komunikasi tetapi hanya sekedarnya saja. Rusdi sebagai tetangga tidak banyak tahu tentang tetangganya yang merupakan orang China tersebut berbeda halnya dengan tetanganya yang merupakan masyarakat lokal juga. Menurut Rusdi, orang China di Gampong Keude Matangglumpang Dua ini sangat tertutup. Sebagai tentangga dia tidak banyak mengetehui tetang keluarga tetangganya yang merupakan orang China. Bahkan dia tidak mengetahui dimana keberadaan anak-anak tetangganya tersebut. Karena rumah orang China tersebut selalu dalam keadaan tertutup dan jarang sekali ada yang tampak berada di luar 89 rumah kalau bukan hanya sekedar untuk naik ke mobil lalu pergi. Hal ini seperti yang di katakan oleh Rusdi yaitu: “menyoe loen eu awak China nyoe teutop that, padahai kan kamo teutangga. Tapi memang jareuang awak nyan i teubit rumoh, rumoh awak nyan sabe teutop lage nyan. I teubit menyoe i neuk jak mantong. Hai bahkan tentang keluarga gok nyan mantong hana ta teupu awak tanyoe. Yang awak loen teupu na aneuk gok nyan menyoe hana salah na lhee ureueng tapi nyan keuh nyan hana tom awak loen eu anek-anek gok nyan di Aceh, aleh pat pih hana awak loen teupu. Padahai menyoe tetangga meunan biasa jih akrab keun tapi nyoe hana, padahai ka meuthon-thon meuteutangga. Laen menyoe ngon teutangga yang sama-sama ureueng Aceh shit, malah awak loen ka lage keluarga sebab keun ka lebih dari nam thon meuteutangga”. Hasil wawancara pada tanggal 25 November 2014 Terjemahan: “kalau ku lihat orang China ini tertutup kali, padahal kami kan tetangga nya. Tapi itu lah jarang emang orang itu keluar rumah, rumah nya selalu aja tertutup. Keluar kalau mau pergi aja orang itu, bahkan keluarganya aja gak pernah tau kami. Yang kami tau ada anaknya kalau gak salah tiga orang tapi itu lah gak pernah ku lihat anaknya ada di Aceh, ada dimana pun kami gak tau. Biasanya kalau tetangga gitu kan akrab ya kan tapi ini gak, padahal udah bertahun-tahun tetanggaan. Lain kalau sama tetangga yang sama-sama orang Aceh, malah udah kayak keluarga kami karena kan udah lebih dari enam tahun tetanggan”. Hal yang sama juga di ketahui dari hasil wawancara dengan Zaryanti yang juga merupakan seorang pedagang di Gampong Keude Matangglumpang Dua tentang orang China yang sangat tertutup. Menurutnya orang China sangat tertutup bahkan dengan tetangga sendiri yang sudah lebih dari 8 tahun bertetangga. Walaupun bertetangga dia mengaku jarang sekali mereka bicara, mengobrol dan sebagainya. Zaryanti mengatakan bahwa tetangganya tersebut kerap keluar rumah hanya untuk membeli sesuatu lalu masuk lagi. Jarang Zaryanti melihat mereka keluar dari rumah dan berbaur dengan masyarakat lokal dan 90 bahkan untuk kegiatan gotong royong pun mereka tidak pernah kelihatan ikut. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Zaryanti yang mengatakan bahwa: “nyoe hai, awak China nyan kok brat teutop awak nyan. Jareueng awak tanyoe jeut ta taupu tentang awak nyan. Padahai ka meuthon-thon meuteutangga ngon awak tanyoe. Menyoe ngon teutangga yang ureueng Aceh shit krab awak loen, na yang ka lage shehara pih sebab ka trep that meuteutangga. Tapi nyan keuh nyan shit beda menyoe ngon awak China nyoe. Hai jangankan ngon awak tanyoe, ngon ureueng laen pih hana tom na loen eu yang krab. Menyoe na acara gotong-royong pih hana tom awak nyan yang ikut”. Hasil wawancara pada tanggal 25 November 2014 Terjemahan: “iya hai, orang China ini tertutup kali orangnya. Jarang kita bisa tau tentang orang itu, padahal kan udah bertetangga sejak bertahun- tahunlalu. Kalau sama tetangga yang orang Aceh juga dekat kami, udah kayak saudara pun karena kan tetanggannya udah lama kali. Tapi itu lah beda memang kalau sama orang China ini. Jangan kan sama kita, sama orang lain pun gak pernah ku liat orang itu bergaul. Kalau ada acara gotong-royong di gampong pun mana pernah ada orang itu ikut”. 2. Tukang Tipu Dari hasil penelitian lapangan di temukan sesuatu yang unik dimana ada salah seorang yang merupakan anak dari ibu China dan ayah Aceh yaitu Hidayatun Nufus. Ketika peneliti bertanya bagaimana pandangannya terhadap orang China dia langsung mengatakan bahwa orang China adalah “tukang tipu”. Disini peneliti merasa takjub melihat Hidayatun Nufus yang tidak menutup-nutupi stereotipnya terhadap orang China walaupun dirinya sendiri adalah keturunan China. Nufus mengatakan bahwa dirinya memiliki pengalaman ketika berbelanja di kedai milik orang China dan dia di tipu dengan mengurangi timbangan, saat itu dia membeli gula 2 kg namun ketika di timbangnya lagi di rumah gula yang di belinya tersebut hanya seberat 112 kg. Dari pengalamannya tersebut Nufus 91 mengaku lebih memilih untuk berbelanda dari kedai milik orang Aceh saja karena menurutnya orang Aceh tidak akan mungkin melalukan hal yang serupa. Alasan Hidayatun Nufus mengatakan bahwa orang China “tukang tipu” bukan semata-mata berdasarkan pengalamannya saja tetapi nenek nya juga pernah memiliki pengalaman yang sama yaitu di tipu ketika berbelanja di kedai milik orang China. Yaitu ketika hendak membeli pewarna pakaian “WANTEK” si nenek menanyakan kepada si penjual mengenai merek yang biasa dia pakai. Dan ternyata merek yang di minta oleh si nenek tidak ada di jual di kedai tersebut lalu si penjual bersikeras mengatakan kepada nenek bahwa merek lain yang di jualnya memiliki kualitas yang lebih bagus dari pada merek yang di minta si nenek tadi. Ketika nenek mencoba di rumah si nenek merasa kecewa karena tertipu oleh si penjual yang merupakan orang China tersebut. Sejak itu si nenek mengatakan bahwa orang China tidak jujur dalam berdagang dan selanjutnya dia lebih memilih untuk berbelanja di kedai milik masyarakat lokal. Hal ini seperti yang di katakan oleh Hidayatun Nufus bahwa: “na tom loen i peungeut le awak China. Nyan keuh nyan wate loen jak beulanja bak keude awak nyan. Asli i peungeut ju awak loen beulanja hinan. Kok gram ju awak loen, wate nyan loen blo saka 2 kilo rupa jih i pekureueng ceng jih le awak nyan jeut ke sekilo setengoeh. Nyan keuh nyan kok galak awak i semeungeut kira juh. Keun Cuma loen hai yang tom na peungalaman meunan, nek loen pih tom shit i peungeut wate i beulanja bak keude awak China. I neuk blo wantek wate nyan nek loen keun, rupa jih i jok merek yang laen dan i peugah menyoe merek laen nyan lebeh get kualitas jih dari pada merek yang di lake le nek loen. Rupajih pas ge tre i rumah sama sekali hana get ju na yang ban geu blo le nek loen nyan. Sejak wate nyan hana tem lee awak kamo beulanja bak ureueng China. Seubab ureueng China tukang seumulet”. Hasil wawancara pada tanggal 5 January 2015 92 Terjemahan: “pernah aku di tipu sama orang China. Itu lah waktu belanja di tempat orang itu. Asli kena tipu orang kami belanja disana. Palak kali kami, beli gula dua kilo rupanya di kurangi mereka timbangannya jadi satu setengan kilo. Itu lah sukak kali orang itu nipu. Bukan Cuma aku hai yang pernah kayak tipu kayak gitu, tapi nenekku juga pernag dia di tipu waktu belanja di tempat orang China juga. Mau beli wantek watu itu nenekku kan. Rupanya di kasih merek yang lain katanya merek itu lebih bagus lah kan, rupanya pas di cobak di rumah sama sekali gak bagus yang barusan di beli nenekku itu. Sejak itu gak mau lagi kami belanja di tempat orang China. Karena orang China tukang Tipu”. 3. Kotor “kuto” “China kuto, sampoh ek ngon gertah” kalimat tersebut sangat terkenal di Gampong Keude Matangglumpang Dua seperti yang di ketahui saat penelitian lapangan dari hasil wawancara dengan beberapa informan yang mengatakan bahwa kalimat di atas tersebut memang sering sekali di pakai untuk mengatakan bahwa orang China kotor. Kalimat tersebut bukan tanpa alasan, seperti yang di katakan oleh Titin Suhartini bahwa dia dan teman-temannya dulu ketika masih duduk di Sekolah Menengah Atas selalu mengejek orang China dengan kalimat di atas tersebut. Menurut Titin ejekan tersebut mungkin karena dia dan teman- temanya sering melihat di dalam mall-mall memiliki WC yang sangat modern saat ini yaitu WC duduk dan menggunakan tisu sebagai media pembersihnya dan yang paling banyak penggunanya menurut Titin adalah orang China. Menurut Titin orang China lah yang kebanyakan ada di dalam mall-mall. Dan bersih menurut Titin dalam membersihkan hajat adalah dengan menggunakan air yang banyak dan lain halnya dengan orang China menggunkan kertas yang menurutnya tidak mampu membersihkan bekas hajat dengan baik. hal ini seperti yang di katakan Titin bahwa: 93 “awak loen jameun sabe ngeun-ngeun sereng ta kheun ke awak China kuto, sampoh ek ngon gertah. Ureueng-ureueng shik pih peugah lage nyan shit. Jameun hana awak loen teupu peujeut awak China ge kheun kuto dan peujeut awak nyan sampoh ek ngon gertah, ureueng shik pih hana ge teupu alasan jih, sabab ureueng-ureueng ge kheun lage nyan pokok jih tanyoe ta peugah shit lage nyan. Tapi jino ban loen teupu bahwa sanya awak nyan ge kheun lage nyan sebab awak nyan i pakek WC duk nyan dan sampoh ek jih ngon gertah. Hai keun beda ngon awak tanyo, tanyoe ta sompoh ek ngon ie be lee”. Hasil wawancara pada tanggal 7 January 2015 Terjemahan: “kami sama kawan-kawan dulu sering bilangin orang China kotor, cebok dengan kertas. Dan orang-orang tua pun bilang kekgitu juga. Dulu itu gak tau kami kenapa orang China di bilang kotor dan kenapa mereka itu cebok dengan kertas, dan orang tua pun gak nya tau alasannya, karena orang- orang bilang kayak gitu pokoknya ikut juga bilang kayak gitu. Tapi sekarang baru lah aku tau kalau rupanya orang China di ejek kayak gitu karena orang itu pakek WC duduk itu, dan ceboknya pakek tisu. Kan beda sama kita orang Aceh kan cebok pakek air yang banyak biar bersih”. Hal yang sama di katakan oleh Hidayatun Nufus yang mengatakan bahwa orang China yang kotor karena membersihkan hajat dengan tisu. Nufus mengaku sering mendengar hal tersebut dari kawan-kawan dan neneknya sendiri juga sering mengatakan hal yang sama. Walaupun mungkin banyak orang lain juga yang di luar sana yang juga menggunkan tisu sebagai media untuk membersihkan hajat tetapi di Gampong Keude Matangglumpang Dua hanya orang China yang di anggap kotor karena menggunakan tisu tersebut. Nufus sendiri menyadari kalau masyarakat lokal di gampong Keude Matangglumpang Dua ini masih sangat tradisional sehingga ketika melihat orang China yang menggunakan WC modern dan menggunakan tisu sebagai media nya maka di anggap kotor. Dan Nufus melihat sendiri di rumah saudara yang merupakan orang China memang menggunakan WC modern dan tisu seperti yang 94 sering di katakan oleh teman dan neneknya tersebut. Nufus juga mengatakan bahwa julukan “China kuto, sampoh ek ngon gertah” memang sudah sangat terkenal di kalangan masyarakat lokal dan sering di gunakan untuk mengejek orang China. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Hidayatun Nufus yang mengatakan bahwa: “nyoe hai sang mandum ureueng di Matang nyoe mandum teupu ngon julukan nyan ke ureueng China. Loen pih tom geukheun meunan le ngeun loen. Cukok gram loen. Menyoe na ureueng yang hana teupu bahwa loen nyoe ureueng China han ek loen kheun sebab lebeh geut hana so yang teupu, sebab kok gram loen ureueng-ureueng ge kheun ke loen sabe, yang China kuto lah, China khe’ lah, China kaphee. Droe loen male sabab loen ureueng China, aleh peujeut pih loen jeut ke ureueng China”. Hasil wawancara pada tanggal 5 January 2015 Terjemahan: “iya hai kayaknya semua orang di Matang ini tau semuanya sama julukan untuk orang China itu. Aku pun pernah di ejek kayak gitu sama kawan. Palak kali aku. Kalau ada orang yang gak tau kalau aku ini orang China gak mau aku ngaku kalau aku orang China karena lebih bagus kalau gak ada yang tau, karena benci kali aku orang-orang selalu aja ngejek aku, orang China kotor lah, China Khe’ lah, orang China kafir lah. Aku sendiri pun malas ntah apa pun jadi orang China”. Hidayatun Nufus sendiri juga sering di ejek oleh teman-teman sekolahnya dulu dengan kalimat tersebut dan membuat Nufus marah dan tidak mau mengakui kalau dirinya merupakan keturunan China. Dia mengaku kalau dirinya malu untuk mengakui kalau dirinya adalah orang China, yang menurutnya orang China sangat sering menjadi ejekan oleh masyarakat lokal di Gampong Keude Matangglumpang Dua ini. Walaupun ibu Nufus sudah masuk Islam dan menikah dengan ayahnya yang merupakan orang Aceh tetapi tetap saja dia sering di ejek- ejek oleh teman-temannya seperti “China khe’”, “anak China” dan bahkan “China 95 kaphee”. oleh karena itu dia lebih memilih untuk tidak mengakui kalau dia merupakan keturunan China agar tidak menjadi olok-olokan bagi teman-temannya dan bahkan di lingkungan masyarakat lokal. 4. “China Khe’” Mayoritas etnis China yang menetap di Gampong Keude Matangglumpang Dua adalah berasal dari keturunan China Hakka khe’. Dan mereka juga menggunakan bahasa khe’ dalam sehari-hari. Dari hasil wawancara dengan beberapa informan di ketahui bahwa nama keturunan mereka di jadikan ejekan untuk mengejek orang China di Gampong ini, seperti yang di katakan oleh salah seorang tokoh agama di gampong ini yaitu Ust Anwar yang mengatakan bahwa dia sering sekali mendengar murit-muritnya yang mengejek anak-anak dari keturunan China dengan sebutan “China khe’” dan “anak China”. Dia sendiri heran melihat anak-anak Aceh yang mengejek anak-anak China dengan tersebut di atas tapi begitu lah yang sering sekali di dengarrnya. Bukan hanya di lingkungan sekolah tetapi di lingkungan umum juga sering di dengarnya. Ust Anwar mengaku juga sering menegur anak-anak muritnya yang mengejek anak-anak China di sekolahnya tetapi tetap saja dia selalu mendengarnya lagi. Hal ini seperti yang di katakan oleh Ust Anwar yang mengatakna bahwa: “china khe’ nyan keuh nyan yang sereng loen dingeu bak sikula, aneuek- aneuek mit gadoh i kheun nyan ke peukaru aneuek mit China. Hana lee aneuek China yang sikula hinan aleh dua droe sagai tapi nyan keuh nyan awak nyan sabe keuneng peukaru bak sikula. Sabe na loen tegur na, tapi nan shit aneuek mit payah bak ta peugah na. Ta peugah tapi i peugeut lom”. Hasil wawancara pada tanggal 3 January 2015 96 Terjemahan: “China khe’ itu lah yang sering kali ku dengar di sekolah, anak-anak asik bilang itu-itu aja untuk gangguin anak-anak yang China. Gak banyak anak China di sekolah itu ntah Cuma dua orang aja tapi itu lah rang-orang itu aja yang kena ganggu sama anak-anak lain di sekolah. Selalu ada aku tegur, tapi namanya juga anak-anak susah kali di bilangin. Di tegus pasti di ulangin lagi”. Hal yang sama juga di katakan oleh Hidayatun Nufus dimana dia malu mengakui kalau dirinya merupakan keturunan China karena takut akan selalu di ejek “China khe’”dan “Aneuk China” oleh teman-temannya. Nufus mengakui bahwa dia selalu di ejek seperti tersebut sejak dia kecil dan itu membuat nya kesal. Padahal Nufus jika dilihat Nufus bukan merupakan China tulen melainkan campuran Aceh dan China tapi tetap saja dia menjadi olok-olokan teman- temannya bahkan sampai sekarang. Dia mengaku sering sekali menangis setiap kali orang mengejeknya sebagai “anak China” tetapi walaupun dia tidak mengatakan bahwa dia orang China tetap saja orang-orang akan tahu dengan melihat wajahnya yang mirip orang China. 5. “Kaphee” Ibu Elfi menyadari bahwa dia sebagai minoritas di Gampong Keude Matangglumpang Dua dimana di sekelilingnya semua merupakan orang Aceh. tidak banyak hal yang bisa dilakukannya ketika masyarakat lokal memberikan julukan-julukan terhadap etnis mereka di gampong ini. masyarakat lokal menjuluki etnis China dengan “Kaphee” kafir yang ibu elfi sendiri tidak mengerti apa artinya. Dia selalu tidak mau mengambil pusing apapun ejekan- 97 ejekan masyarakat lokal terhadap mereka. Hal ini seperti yang di katakan oleh ibu Elfi yang mengatakan bahwa: “Banyak lah kalo ejekan orang Aceh ini sama kami. Kalau kami lewat ada-ada aja panggilannnya. Tapi itu dulu lah yang parah kali. Sekarang gak terlalu kali ya walaupun masih ada juga satu-satu yang ngejek. Selain di ejek china khe’ kami juga sering dengar mereka bilang “kaphee” sama kami kalau kami lewat. Tapi saya juga gak ngerti apa itu maksutnya “kaphee”. Jadi kalau mereka ngejek itu saya gak terlalu mikirin”. Hasil wawancara pada tanggal 28 November 2014. Ust Anwar juga sering mendengar orang-orang mengejek “kaphee” untuk orang China bahkan di berbagai tempat termasuk di sekolah dan di kedai-kedai, intinya dimana saja yang terlihat orang China sedang melintas pasti akan ada saja yang mengucapkan ejekan tersebut. Dia sendiri mengaku miris mendengar hal tersebut karena menurutnya tidak selayaknya mengolok-olok agama yang di anut oleh orang lain. Menurut Ust Anwar ejekan tersebut merupakan sisa-sisa dari sentimen orang Aceh terhadap orang China pada masa G30SPKI dan Era Reformasi dimana saat itu Indoensia mengalami krisis moneter dan pada saat itu di Gampong Keude Matangglumpang Dua ini banyak dari orang China yang menjadi sasaran rasa iri masyarakat lokal. Banyak perlakuan yang di layangkan kepada orang China termasuk menjarah toko milik orang China, mengusir dan mengolok-olok orang China dengan berbagai sebutan bahkan sampai dengan sekarang ini termasuk ejekan “kaphee” tersebut. Hidayatun Nufus juga sering merdengar orang-orang mengejek “kaphee” untuk orang China yang sering sekali membuatnya tersinggung. Di dalam keluarga besar ibunya Nufus hanya ibunya saja yang telah masuk ke agama islam dan sebagian besar keluarga ibunya masih menganut agama Budha. walapun dia 98 telah menganut agama islam sejak lahir tetapi tetap saja orang-orang sering mengejeknya dengan sebutan “China kaphee”. Kata kaphee sendiri di artikan sebagai kafir yang oleh orang Aceh di maksutnya untuk menjuluki orang-orang selain penganut agama islam. Nufus juga mengatakan bahkan ketika dia bertengkar kecil dengar saudaranya, saudaranya juga kerap mengejeknya dengan “China Kaphee”. Oleh karena itu, sampai sekarang dia sangat benci disebut sebagai orang China karena orang China di Gampong Keude Matangglumpang Dua ini sering sekali dijadikan sebagai bahan olokan masyarakat lokal. Hal ini seperti yang di katakan oleh Hidayatun Nufus yaitu: “sebenar jih loen male jeut ke ureueng China. Sabab ureueng China di Gampog nyoe sabe-sabe ge olok-olok le ureueng mandung. Asai na mantong ureueng China yang tengoh wet pasti na mantong ureueng yang olok-olok. lage nyan shit ke loen, sabe-sabe na mantong yang kheun-kheun ke loen. Lage China kaphee nyan, padahai ken loen nyoe islam. hai memang mantong lee keluarga mak loen yang mantong Budha”. Hasil wawancara pada tanggal 5 January 2015 Terjemaha: “sebenarnya aku malu jadi orang China. Karena orang China di gampong ini selalu aja di ejek-ejek sama orang. Asal ada aja orang china yang lewat pasti ada aja juga yang mengejek. Kekgitu juga ke aku, selalu ada aja yang ngejek-ngejek. Kayak China kafir itu, padahal kan aku islam. ya memang masih banyak keluarga mamaku yang masih Budha”.

4.4 Stereotip Masyarakat Pendatang Terhadap Masyarakat Lokal