41
Selain syariat islam di gampong Keude Matangglumpang Dua juga sangat menjunjung tinggi pendidikan hal ini terlihat dari banyaknya sarana pendidikan
yang ada di gampong ini yaitu SD, SLTP, SMA, MAN, Pesantren dan bahkan Perguruan Tinggi juga terdapat di Gampong ini.
4.2 Profil Informan 1. Informan yang Berasal dari Masyarakat Pendatang
1. Nama : Nur Janah Zaini
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 47 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : pedagang
Suku : Jawa
Daerah Asal : Pekalongan
Nur Janah Zaini merupakan salah seorang pendatang di Gampong Keude Matangglumpangdua. Awal kedatangnya ke Aceh yaitu pada tahun 1994 dengan
alasan ingin membuka usaha di Aceh. dia memiliki saudara yang sudah lebih dulu tinggal dan menetap di Aceh dan saudaranya itu juga yang menyarankannya untuk
membuka usaha di Aceh. Nur Jana Zaini bekerja sebagai pedagang jamu sedangkan suaminya bekerja sebagai pedagang bakso. tapi tidak bertahan lama dia
kembali lagi ke kampung halamannya karena takut dengan perang saat itu antara aparat GAM dengan aparat Indonesia. Dia kembali lagi ke Aceh pada tahun 2000
42
dengan alasan ingin kembali lagi ke Aceh dan melanjutkan usaha dagangnya dan suami yang sempat terhenti akibat konflik GAM.
Nur Janah Zaini mengaku di dalam gang rumahnya hanya dirinya yang merupakan orang pendatang. dia sendiri tidak terlalu dengan dengan tetangga-
tetangganya karena dia sendiri terlalu sibuk berdagang yaitu dari pagi sampai sore. Bahkan sore harinya dia harus mengerjakan olahan jamu yang untuk di jual
esok harinya. Nur Janah Zaini mengatakan bahwa dia bisa berbahasa Aceh. selama dia
tinggal di Aceh dia sendiri berusaha untuk belajar bahasa Aceh agar mudah berbaur dengan masyarakat dan agar tidak ada terjadi salah faham. Apalagi dia
bekerja sebagai pedagang jamu yang memaksanya untuk bisa berbahasa Aceh supaya mudah untuk menjajakan jamunya kepada masyarakat. Dia mengatakan
bahwa setelah belajar bahasa kemudian dia belajar mengenal budaya masyarakat lokal karena menurutnya dia sudah menetap di Aceh berarti dia harus siap untuk
menyesuaikan diri dengan masyarakat lokal. Dalam sehari-hari dia menggunakan bahasa Aceh dalam Interaksi.
Menurut pengakuan Nur Janah Zaini ketika dia berbicara bahasa Indonesia ada beberapa dari masyarakat lokal yang mengomentari seperti “kau kan tinggal
di Aceh jadi kau harus pakai bahasa Aceh”. ada juga ketika sedang berjualan jamu dan pakai bahasa Indonesia ada juga beberapa yang mengomentari seperti “han ek
loen, nyan keun bahas loen” gak mau saya, itu bukan bahasa saya. Munurutnya masyarakat lokal tidak mau menerima dia masyarakat pendatang menggunakan
bahasa Indonesia. Menurutnya walaupun bahasa Aceh yang dia gunakan
43
bersalahan tetapi tetap saja dia menggunakanya. Walaupun tidak sedikit yang tertawa mendengarnya menggunakan bahasa Aceh dengan logat Jawa.
Nur Janah Zaini mengatakan bahwa dia tidak pernah mendengar ada aturan daerah yang mengatur masyarakat pendatang baik itu tentang bahasa dan
yang lainnya. Tapi dia sendiri yang ingin mengikuti adat dan tradisi di Aceh, supaya enak dan tidak ada masalah tinggal di Aceh, asalkan jangan kita yang
diganggu, gitu katanya. Nur Janah Zaini mengatakan bahwa untuk berinteraksi dia tidak pernah
membeda-bedakan orang berdasarkan sukunya. Mengingat orang-orang disekitarnya adalah orang Aceh. dia mengaku tidak pernah terlalu dekat dengan
orang Aceh di sekitar rumahnya karena menurutnya orang Aceh suka iri melihat masyarakat pendatang yang sukses di Aceh.
Nur Jana Zaini mengatakan bahwa menurutnya masyarakat Aceh tidak sopan, mereka sering memanggil dirinya yang sudah tua dengan sebutan “kah”
kau. Bahkan sering kali di olok-olok ketika sedang berkeliling untuk menjual jamu.
2. Nama : Yulisda
Umur : 46 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Pedagang
Suku : Minang
44
Daerah Asal : Padang Pariaman
Yulisda merupakan salah seorang pendatang di Gampong Keude Matangglumpangdua pada tahun 2000. Dia datang ke Aceh dengan alasan
mengikuti suaminya yang merupakan penduduk asli Gampong Keude Matangglumpangdua. Sebelumnya dia tinggal di Medan sebagai perantauan yang
mengikuti kakaknya untuk berjualan nasi padang. Di Medanlah dia bertemu suaminya dan menikah di Medan. Lalu oleh suaminya dia dibawa ke kampung
halamannya yaitu di Gampong Keude Matangglumpangdua. Di gampong ini yulisda tinggal besama keluarga besar daru suaminya. Dia
mengatakan bahwa di awal kedatangannya dia sedikit susah untuk berinteraksi karena semua orang di gampong ini menggunakan bahasa Aceh. bahkan di awal
kedatangannya dia pernah mendengar kakak iparnya berkata bahwa semua orang padang itu jahat-jahat. Ini membuatnya sakit hati dan dia bertekat untuk membuat
mereka merubah penilaian mereka terhadap orang padang. Bahkan ketika ada khenduri nikahan adik iparnya dia pernah di tuduh sebagai pencuri sendal oleh
kakak iparnya sendiri. Selain orang padang jahat-jahat mereka juga menganggap orang padang pancilok pencuri.
Yulisda di awal kedatangannya ke Gampong ini dia dituntut oleh salah seorang yang mengakunya sebagai aparat GAM untuk menggunakan bahasa Aceh
dalam sehari-hari. Inilah awalnya yulisda belajar bahasa Aceh dan menggunakannya dalam sehari-hari. Ketika awal-awal dia pakai bahasa Aceh
banyak sekali yang bahkan menertawainya karena menggunakan bahasa Aceh tetapi logatnya tetap dengan logat bahasa Indonesia. Tapi itu tidak membuatnya
45
berhenti. Dia tetap menggunakan bahasa Aceh hingga sekarang dia malah sudah sangat lancar menggunakan bahasa Aceh.
Dalam sehari-hari dia menggunakan bahasa Aceh dan menggunakan bahasa Indonesia dengan sesama pendatang dan terkadang juga menggunakan
bahasa Padang jika sesekali bertemu dengan orang yang sama-sama dari suku Padang. Walaupun tidak ada qanun Peraturan Daerah yang mewajibkan
masyarakat pendatang tidak boleh menggunakan bahasa daerah asalnya tapi ejekan-ejekan dari masyarakat lokal yang mendengan tetap ada.
Selain alasan di atas, yulisda menggunakan bahasa Aceh dalam sehari-hari dengan alasan karena di Gampong Keude Matangglumpang dua mayoritas dari
suku Aceh dan keseluruhan menggunakan bahasa Aceh dalam sehari-hari, jadi mau tidak mau harus bisa bahasa Aceh agar tidak sulit mengerti apa yang mereka
katakan. Apalagi yulisda bekerja sebagai pendagang, menurutnya akan susah jika tidak bisa bahasa Aceh.
Menurut yulisda tidak pernah ada aturan yang membatasai masyarakat pendatang, hanya saja untuk pendatang yang beragama islam diharapkan memakai
jilbab ketika datang ke Aceh. Menurutnya dia tidak pernah membeda-bedakan orang berdasarkan sukunya dalam berinteraksi karena menurutnya semua orang
layak ditegur dan disapa. Walaupun bergitu yulisda memiliki beberapa angapan terhadap masyarakat lokal Aceh, yang dilihatnya dari orang-orang disekelingnya
baik itu tetangga, keluarga dan lain-lain.
46
3. Nama : Ranti
Umur : 63 tahun
Agama : Budha
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Pedagang
Suku : Tionghoa
Asal Daerah : Tiongkok
Ranti merupakan salah seorang pendatang dari suku Tionghoa, ibunya yang membawanya pertama kali ke Gampong Keude Matangglumpang dua saat
itu dia masih sangat kecil. Bahkan SD pun dia bersama-sama dengan masyarakat Aceh dan menurut saya mereka baik. Dia mengaku bahwa untuk berinteraksi dia
tidak pernah menbeda-bedan orang berdasarkan sukunya hanya dia akan menyusuaikan diri, jika bertemu degan sesama China dia akan berbicara dengan
bahasa China kalau bertemu dengan orang Aceh yang tidak bisa bahasa Indonesia ya dia menggunakan bahasa Aceh. kalau bertemu dengan masyarakat Pendatang
yang tidak bisa bahasa Aceh ya dia menggunakan bahasa Indonesia. Menurut Ranti tidak pernah ada aturan daerah yang mengatur masyarakat
pendatang, hanya saja menurutnya harus menyesuaikan diri dengan masyarakat Aceh yang menggunakan syariat islam. Dalam berpakaian misalnya, dia mengaku
jika memakai celana pendek atau rok pendek di dalam rumah dan jika keluar rumah dia akan memakai rok atau celana panjang.
47
Ranti mengaku dengan pekerjaannya yang sebagai pedagang tak banyak kegiatan sosial yang dia ikuti bersama dengan masyarakat lokal. Bahkan kegiatan
gotong-royong pun dia tidak pernah ikut, sibuk alasannya. Dalam berbahasa Ranti sudah memakai bahasa Aceh sejak dia kecil. Dan tidak ada keterpaksaan untuknya
menggunakan bahasa Aceh. Bahkan susah menurutnya jika tinggal di Aceh dan tidak tahu bahasa Aceh karena di Gampong Keude Matangglumpang dua ini
mayoritas menggunakan bahasa Aceh dan apalahi saya sebagai pendagang akan susah jika tidak tahu bahasa Aceh.
4. Nama : Suprial
Umur : 23 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Pekerjaan : Pedagang
Suku : Mandailing
Agama : Islam
Daerah Asal : Medan
Suprial merupakan anak dari seorang pedagang salak yang belum lama datang dan menetap di Gampong Keude Matangglumpang Dua yaitu pada awal
tahun 2014. Dia memilih pindah ke Aceh untuk berdagang karena mendapat masukan dari saudaranya, saudaranya yang sudah terlebih dahulu menetap di
Aceh. Suprial mengaku dari awal hingga sekarang dia menetap di Gampong Keude Matangglumpang Dua belum pernah terlibat masalah antara dia dengan
masyarakat lokal. Dia mengaku hubungannya dengan masyarakat lokal baik-baik
48
saja. Menurutnya dia sebagai pendatang memanglah harus menyesuaikan diri di tempat yang dia datangi agar dapat berinteraksi dengan baik apalagi dia yang
merupakan seorang pedagang. Saat berdagang suprial bertetangga dengan masyarakat lokal namun
berbeda barang dagang. Dia mengakut hubungannya baik-baik saja dengan pedagang-pedagang di sekitarnya. Namun tidak banyak interaksi antara pedagang
karena masing-masing sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Suprial mengaku selama dia menetap di Gapong ini dia berusaha untuk
belajar bahasa Aceh dan memakainya dalam sehari-hari. Menerutnya memang seharusnya dia belajar mengerti dan menggunakan bahasa masyarakat lokal agar
mudah memahami apa yang dimaksut oleh pembelinya. Dia mengaku tidak semua dari bahasa Aceh dia ketahui, masih terlalu banyak yang dia belum ketahui tetapi
menurutnya tidak masalah walaupun pembendaharaan katanya dalam bahasa Aceh masih sedikit tetapi dia tetap memakainya. Walaupun tak jarang banyak
orang yang menertawainya dengan bahasa Acehnya yang kurang pas dan logat yang salah.
Selain mencoba berbahasa Aceh, Suprial terkadang juga menggunakan bahasa Batak yang merupakan bahasa ibunya. Tidak jarang beberapa komentar
dari yang mendengar ketika dia menggunakan bahasa Batak seperti “ngomong apa itu kalian? Bahasa planet ya?” dan tak jarang yang tertawa mendengarnya. Selain
itu, ketika menggunakan bahasa indonesia tak jarang juga orang langsung bertanya tentang suku, seperti “suku apa kok ngomong bahasa indonesia?”.
Menurutnya ketika ada orang yang berbicara dalam bahasa Indonesia pasti ada
49
saja yang langsung menanyai seperti “bukan orang Aceh ya? Dari mana? Suku apa?” dan dalam setiap akhir kata menyuruh untuk belajar menggunakan bahasa
Aceh seperti “ belajar bahasa Aceh ya karena kalau udah tinggal di Aceh harus bisa bahasa Aceh”.
Suprial mengaku dalam berinteraksi dia tidak memilih-milih orang apakah dia dari masyarakat pendatang atau dari masyarakat lokal. Menurutnya jika orang
lain baik terhadapnya maka dia harus baik juga terhadap orang tersebut. Tetapi selama dia menetap di Gampong ini ada beberapa kata yang dia dengar oleh
masyarakat lokal menyebut tentang orang suku batak. Mereka sering mengatakan bahwa orang dari suku batak adalah pelit. Tetapi dia mengaku menanggapinya
dengan santai dan tak ambil masalah. Karena dia datang dan menetap di gampong ini hanya karena mencari rezeki jadi dia mengaku untuk tidak ingin membuat
masalah dengan masyarakat lokal. Sebagai pendatang baru saat itu dia pernah mendengar secara tidak
langsung tentang peraturan terhadap masyarakat pendatang yaitu tentang kewajiban memakai pakaian yang menutup aurat. Dan tentang peraturan tersebut
menurutnya bukan hal yang memberatkan, karena memang sejak di daerah asalnya dia juga sudah memakai pakaian yang menutup aurat.
50
2. Informan yang Berasal Dari Masyarakat Lokal
1. Nama : Rusdi
Umur : 27 tahun
Jenis Kelamin : laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Pedagang
Rusdi merupakan salah seorang masyarakat lokal yang merupakan seorang pedagang elektronik. dalam interaksi dia tidak pernah membeda-bedakan orang
berdasarkan sukunya. Tetapi menurutnya jika dalam hal memilih sahabat, tetangga, dan pasangan hidup dia lebih memilih yang berasal dari suku yang sama
dengannya karena menurutnya orang yang berbeda suku pasti memiliki watak yang berbeda, akan perlu adaptasi yang lebih lama menurutnya.
Rusdi memiliki beberapa pandangan terhadap masyarakat pendatang yaitu Suku Padang yang baik dan ramah, menurut Rusdi Suku Padang sangat mirip
dengan Suku Aceh yang baik dan ramah, Suku Batak yang kasar, Suku China yang sangat tertutup, dan Suku Jawa yang pekerja keras, suka menipu, agak
sombong, keras kepala dan penjilat. Menurut Rusdi dia tidak pernah merasa bermasalah dengan kehadiran masyarakat pendatang, selama masyarakat
pendatang yang datang ke Gampong ini masih sesuai dengan syariat islam yang sangat di junjung oleh masyarakat lokal.
Menurut Rusdi tidak masalah jika ada dari masyarakat pendatang yang masuk ke dalam sistem pemerintahan Gampong Keude Matangglumpang dua
51
asalkan tidak korupsi dan harus bisa beradaptasi dengan masyarakat lokal, karena menurut Rusdi mereka masyarakat pendatang jarang bisa beradaptasi dengan
masyarakat lokal. Rusdi mengatakan bahwa dia tidak pernah mendengar tentang qanun undang-undang daerah untuk masyarakat pendatang tetapi menurutnya
asalkan perilaku masyarakat pendatang tidak ada yang menyimpang dari syariat islam.
Dalam sehari-harinya Rusdi menggunakan bahasa Aceh dalam Interaksi, dan menurutnya semua masyarakat lokal memang harus menggunakan bahasa
Aceh dengan alasan menjaga identitas suku. Rusdi ingin kebudayaan yang telah ada sejak nenek moyang mereka tetap dapat dijaga oleh pemuda-pemudi sebagai
penerus adat. 2. Nama
: Hidayatun Nufus Umur
: 20 tahun Jenis Kelamin
: Perempuan Agama
: Islam Pekerjaan
: pegawai toko Hidayatun Nufus merupakan salah seorang masyarakat lokal Gampong
Keude Matangglumpang Dua yang bekerja sebagai pegawai toko buku. Dia mengaku tidak banyak mengenal masyarakat pendatang tetapi dia mengatakan
bahwa banyak mendengar tentang sifat ataupun perilaku masyarakat pendatang dari orang tuanya, teman-teman dan lingkungan kerjanya. Diantaranya Suku Jawa,
Suku Batak, Suku Tionghoa, Suku Padang. Dia mengatakan bahwa sering sekali
52
dia mendengar masyarakat lokal mengatakan seperti orang Batak kotor, orang Jawa di depan baik tetapi di belakangnya buruk, orang China tukang tipu, orang
Padang Baik hati, dan lain sebagainya. Hidayatun Nufus pada awalnya berfikir kalau orang padang itu jahat-jahat,
dia sering mendengar hal itu dari keluarganya. Seriring dia besar stereotipnya terhadap orang padang berubah, karena dia melihat istri adik ayahnya cecek
yang orang padang namun baik hati menurutnya. Hidayatun Nufus sendiri mengaku tidak pernah merasa masalah dengan
adanya masyarakat pendatang, dia sendiri tidak membeda-bedakan orang dalam interaki. Tetapi jika dalam hal memilih sahabat dan pasangan hidup dia mengaku
hanya mau dengan masyarakat lokal saja. Alasannya adalah karena tidak ingin pergi jauh dari Aceh dan menurutnya juga kenapa dia lebih memilih masyarakat
lokal adalah karena dia tidak percaya dengan masyarakat pendatang yang menurutnya kebanyakan dari sifat mereka tidak bagus.
Sehari-harinya Hidayatun Nufus berbicara dalam bahasa Aceh. Menurutnya wajar saja karena semua orang di Gampong ini juga berbicara dengan
bahasa Aceh, termasuk pendatang. Dia mengaku terkadang dia juga pernah menggunakan bahasa Indonesia ketika melayani pembeli di toko buku dan selalu
saja ada tanggapan negatif dari yang mendengar. Menurutnya tidak ada masalah dengan masyarakat pendatang yang menggunakan bahasa Indonesia di gampong
ini. Karena ini kan memang Negara Indonesia. Bahkan dia mengatakan jika ada orang yang melarang masyarakat pendatang untuk berbicara dengan bahasa
53
Indonesia itu berarti mereka kampungan. Ini kan Negara Indonesia bukan Negara Aceh, katanya.
Menurut Hidayatun Nufus, masyarakat pendatang selama ini tidak ada pengaruh buruk bagi masyarakat lokal. Karena kebanyakan dari masyarakat
pendatang yang datang ke gampong ini adalah untuk berdagang dan tidak pernah membuat kekacauan. Tetapi masyarakat lokal sendiri yang terkadang menganggap
buruk kehadiran pendatang. Menurutnya sisa-sisa masa referendum yang menjadikan sikap masyarakat lokal terhadap masyarakat pendatang. Pada masa
referendum, semua masyarakat pendatang yang ada di Aceh di usir dari Aceh oleh aparat GAM baik itu Suku Jawa, Suku Tionghoa, Suku Batak, dan suku Padang.
Hidayatun Nufus mengaku tidak pernah mendengar tentang peraturan untuk masyarakat pendatang. Tetapi menurutnya memang seharusnya masyarakat
pendatang yang datang ke Aceh harus mengikuti syariat islam dan harus menghargi masyarakat lokal yang keseluruhan merupakan agama islam. Dan
masyarakat pendatang juga harus bisa menyesuaikan diri dengan masyarakat lokal menurutnya. Dan terhadap masyarakat pendatang yang non-islam dia tidak merasa
masalah. Asalkan mereka mau mengikuti syariat dan tidak membuat kekacauan. Hidayatun Nufus juga mengatakan bahwa dia setuju jika ada masyarakat
pendatang non-islam yang ingin membangun rumah ibadah mereka di gampong ini.
Dari dulu sampai sekarang ini belum pernah ada aparatur gampong yang berasal dari masyarakat pendatang, tetapi menurutnya tidak masalah jka suatu saat
ada dari masyarakat pendatang yang menjadi geuchik ataupun yang lainnya
54
asalkan memang itu yang terbaik. Tetapi menurut Hidayatun Nufus masyarakat lokal pasti akan lebih mengutamakan untuk memilih masyarakat lokal di
bandingkan masyarakat pendatang. Dan dia sendiri mengatakan akan lebih mengutamakan memilih masyarakat lokal di bandingkan dengan masyarakat
pendatang. Karena menurutnya dia lebih percaya dengan msyarakat lokal yang memimpin gampong.
3. Nama : Titin Suhartini
Umur : 31 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Guru Honor
Titin Suhartini merupakan salah seorang guru honorer SD di Gampong Keude Matangglumpang Dua, dia mengaku banyak bertemu dengan masyarakat
pendatang dari berbagai suku diantaranya Suku Padang, Suku Batak, Suku Jawa, Suku Tionghoa. Dia mengaku tidak membeda-bedakan orang berdasarkan suku
tertentu untuk sekedar menyapa dan berinteraksi. Tetapi lain halnya jika memilih sahabat maupun pasangan hidup dia hanya mau dengan masyarakat lokal juga
yaitu Suku Aceh karena dia takut jika menikah dengan orang dari suku pendatang maka akan dibawa oleh suaminya ke kampung halamannya kelak. Dia mengaku
bahwa dari kecil sampai sekarang dia belum pernah keluar dari Aceh, itu juga alasan yang membuatnya takut untuk masuk ke kota orang.
55
Titin Suhartini sendiri memiliki beberapa pandangan terhadap masyarakat pendatang yang mana pandangan ini dia ketahui dari ibunya. Terhadap Suku
Batak, dia menganggap orang-orang dari Suku Batak adalah “kotor” dan dia sendiri jika melihat keponakannya yang sedang main kotor langsung dia bilang
dengan “nyoe aneuk lage aneuk batak, kuto that” ini anak kayak anak batak, jorok kali. Begitu juga dengan orang-orang dari Suku Tionghoa dia
mengganggap mereka “kotor”. Sedangkan untuk orang-orang dari Suku Jawa dia mengatakan bahwa mereka baik, lembut, dan ramah. Dan dia mengaku belum
banyak mengenal orang-orang dari Suku padang. Yang dia tahu bahwa tetangganya yang merupakan Suku Padang adalah baik.
Untuk masyarakat pendatang Titin Suhartini mengatakan bahwa tidak masalah baginya jika mereka masyarakat pendatang tidak menggunakan bahasa
Aceh selama menetap di Aceh, asalkan tidak menggunakan bahasa adatnya. Dan untuk berpakaian menurutnya wajib untuk masyarakat pendatang mengikuti
syariat islam seperti halnya yang di patuhi oleh masyarakat lokal. Begitu juga dengan pesta pernikahan atau akikahan yang menggunakan adat juga harus
menggunakan adat Aceh. Titin mengaku sehari-hari dia berbicara dengan bahasa Aceh dengan
sesama masyarakat lokal, dan berbicara bahasa Indonesia dengan masyarakat pendatang dan di rumah dengan keponakannya pun dia menggunakan bahasa
Aceh agar keponakannya terbiasa dengan bahasa Indonesia katanya. Titin mengaku untuk hal berbelanja dia lebih memilih untuk membeli dari orang Aceh
karena menurutnya lebih baik mengutamakan orang sendiri dari pada orang lain suku lain. Menurutnya selama ini belum pernah ada masalah dengan adanya
56
masyarakat pendatang terhadap masyarakat lokal, mungkin karena jumlah mereka yang sangat sedikit.
Diantara masyarakat pendatang juga ada diantaranya yang merupakan non-islam, dan menurut Titin tidak setuju jika mereka ingin membangun rumah
ibadah mereka di gampong ini. Dengan alasan tidak suka.
3. Profil Informan yang Berasal dari Tokoh Adat
1. Nama : Teuku Muhammad Nassir
Umur : 60 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Ketua MAA Kecamatan Peusangan
Teuku Muhammad Nassir merupakan ketua MAA Kecamatan Peusangan yang mengurusi urusan adat untuk perwakilan Kecamatan Peusangan. Dia
mengatakan bahwa keadaan Aceh sekarang sudah sangat berbeda dengan keadaan Aceh zaman dulu, sekarang ini masyarakat Aceh mengalami kemunduran dalam
menjujung syariat islam. Hukum islam merupakan cerminan adat Aceh dimana Teuku Muhammad Nassir mengatakan bahwa apa saja yang di larang dalam
hukum islam maka adat Aceh juga pasti melarangnya. Masyarakat pendatang menurut Teuku Muhammad Nassir tidak pernah
dituntut untuk menggunakan bahasa Aceh atau budaya Aceh lainnya. Tetapi alangkah baikknya jika mengikuti, dan menurut Teuku Muhammad Nassir dia
melihat bahwa mereka masyarakat pendatang terlihat suka rela mengikuti
57
budaya Aceh. Teuku Muhammad Nassir mengatakan bahwa masyarakat pendatang di harapkan sebisa mungkin untuk mengikuti budaya Aceh, misalnya
dalam pesta pernikahan atau pengukuhan anak mereka yang baru lahir. Seperti yang pernah terjadi disini yaitu pesta pernikahan antara seseorang kebangsaan
India dengan seorang kebangsaan Australia yang menetap di Aceh dan mereka menggunakan adat Aceh dalam prosesinya.
Teuku Muhammad Nassir mengatakan bahwa masyarakat pendatang tidak dilarang menerapkan budaya asli mereka di Aceh asalkan selama tidak melanggar
syariat islam. Jika mereka melanggar, maka mereka harus siap untuk di usir ataupun sanksi lainnya. Teuku Muhammad Nassir mengatakan bahwa Aceh
memiliki hak istimewa yaitu memberlakukan hukum syariat islam, dan sanksi bagi mereka yang tidak mengikuti.
Menurutnya kebudayaan Aceh sendiri selama ini tidak terganggu dengan adanya masyarakat pendatang, mungkin karena jumlah masyarakat pendatang
yang sangat sedikit khususnya di Gampong Keude Matangglumpang Dua. Teuku Muhammad Nassir mengatakan bahwa dalam berinteraksi sehari-hari dia
menggunakan bahasa Aceh dengan masyarakat lokal, yang berbahasa Indonesia dengan masyarakat pendatang, dan akan menggunakan bahasa Aceh dengan
masyarakat pendatang yang bisa menggunakan bahasa Aceh. Teuku Muhammad Nassir mengatakan bahwa adat aceh tidak dapat
dipisahkan dengan agama islam. yang tercermin dalam nilai-nilai pribahasa Aceh yaitu : “adat ngon hukom agama, lagei zat ngon sifeut”. Jadi tidak ada masalah
dengan pendatang yang mau menjalankan atau mengikuti syariat islam. Tetapi
58
alangkah baiknya jika mereka mengikuti budaya-budaya Aceh lainnya. Teuku Muhammad Nassir juga mengatakan bahwa tidak di perbolehkan untuk
masyarakat pendatang dari agama non-islam yang ingin mendirikan rumah ibadah di Gampong Keude Matangglumpang Dua dengan alasan agar Aceh yang selama
ini di kenal dengan keislamannya dapat tetap terjaga. Kehadiran masyarakat pendatang di Gampong ini menurutnya bahkan
menjadikan Gampong ini lebih berkembang karena sebagian besar dari masyarakat pendatang bekerja sebagai pedagang dan menjadikan pasar Gampong
Keude Matangglumpang Dua menjadi lebih beragam. Teuku Muhammad Nassir mengatakan bahwa belum pernah ada masyarakat pendatang yang memasuki
struktur pemerintahan, dan kalau ada masyarakat pendatang yang masuk dalam srtuktur pemerintahan itu baru dapat diperhitungkan katanya.
4.Informan yang Berasal dari Tokoh Formal Desa
1. Nama : Edi saputra
Umur : 41 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Sekretaris Desa
Edi Syaputra merupakan perwakilan dari tokoh masyarakat formal dalam penelitian ini. Dia mengatakan bahwa tidak pernah ada persoalan apapun terkait
dengan masyarakat pendatang, selama niat mereka adalah untuk mencari rezeki
59
dan berumah tangga. Kebanyakan pendatang bekerja sebagai pendagang dan menurutnya ini malah bagus untuk kemajuan masyarakat Aceh sendiri.
Terkait dengan masyarakat pendatang dia mengatakan bahwa tidak ada qanun untuk mengatur masyarakat pendatang. masyarakat pendatang hanya
diwajibkan untuk mengikuti syariat islam. Kebanyakan dari masyarakat pendatang juga merupakan agama Islam dan mereka juga tidak masalah dengan
mengikuti syariat islam. Dalam sehari-hari masyarakat pendatang menggunakan bahasa Indonesia dan ada juga dari mereka yang sudah pandai bahasa Aceh. Dan
mengatakan bahwa tidak ada masalah dengan pendatang yang menggunakan bahasa Indonesia.
Menurut Edi Syaputra tidak pernah ada masalah antara masyarakat pendatang dengan msayarakat lokal, bahkan ketika ada kegiatan di desa seperti
kenduri pesta pernikahan, akikahan, sunatan, dan lain-lain dan gotong-royong mereka juga ikut. Tetapi dulu ketika konflik Aceh masyarakat pendatang tidak
diterima dan diusir dari Aceh dan tidak pernah terjadi lagi untuk sekarang. Sekarang masyarakat pendatang di terima dan tidak pernah ada perbedaan lagi
antara masyarakat pendatang dan masyarakat lokal khususnya di Gampong Keude Matangglumpang dua.
Terkait dengan sistem pemerintahan Gampong. Edi Syaputra mengatakan bahwa tidak pernah ada aparatur gampong dari masyarakat pendatang, bahkan
setingkat Gubernur pun tidak pernah. Tetapi kalau setingkat pegawai pusat ada, seperti tentara, jaksa, dan lain-lain. Menurut Edi Syaputra tidak mungkin aparatur
60
desa setingkat Geuchik kepala desa, sekretaris desa, dan camat dr masyarakat pendatang, karena pemilihannya di atur oleh daerah dan dipilih oleh masyarakat.
5. Informan yang Berasal dari Tokoh Agama Budha
1. Nama : Ibu Elfi
Umur : 51 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku : Tionghoa
Agama : Budha
Pekerjaan : Pedagang
Ibu Elfi merupakan seorang tokoh agama budha yang ada di Gampong Keude Matangglumpang Dua. Ibu Elfi merupakan salah satu dari 29 orang yang
menganut agama budha di Gampong ini dan selainnya merupakan agama islam. Untuk urusan keagamaan termasuk ketika beribadah Ibu Elfi mengatakan bahwa
tidak terdapat tempat ibadah untuk mereka di Gampong Keude Matangglumpang Dua. Sebagai penganut agama minoritas di Aceh mereka memahami dan tidak
menganggap itu sebagai masalah. Dia mengaku untuk beribadah mereka harus pergi ke Bireuen. mereka harus menempuh jarak 10 km atau 15 menit menuju
Biereuen. Karena untuk setingkat kabupaten hanya terdapat 1 unit rumah ibadah agama Budha.
Dia mengatakan bahwa sebenanrnya dia sudah lama memiliki keinginan agar di bangun rumah ibadah untuk mereka di Gampong Keude Matangglumpang
61
Dua. Namun dia belum pernah mengutarakannya secara langsung kepada pemerintah karena takut kalau niatnya tersebut tidak akan di kabulkan.
Sebagai pendatang yang berbeda agama ibu Elfi mengaku tidak pernah ada masalah. Ibu Elfi menetap di Aceh sudah sejak dia kecil dimana orang tuanya
yang membawanya ke Aceh dengan alasan mencari nafkah. Menurut ibu Elfi, dia sendiri tidak pernah membeda-bedakan orang berdasarkan agamanya. Menurutnya
semua agama sama saja hanya tergantung pada pemeluknya asalkan mereka meresa tenang dan damai dengan agamanya. Dia mengatakan bahwa dia tidak
masalah dengan masyarakat lokal yang keseluruhan beragama islam. Asalkan mereka tidak menganggu.
Ibu Elfi mengatakan bahwa dia sadar sebagai kelompok minoritas di Gampong Keude Matangglumpang Dua dan dia berusaha untuk menyesuaikan
diri dengan mengikuti adat dan budaya masyarakat Aceh. seperti misalnya sehari- hari dia menggunakan bahasa Aceh dalam berbicara dengan alasan agar dapat
berbaur dengan baik dengan masyarakat lokal. Selian itu dia juga menghormati syariat islam yang dijunjung masyarakat Aceh dengan menggunakan pakaian
yang sopan jika keluar rumah. Mengenai peraturan memakai jilbab di Aceh, ibu Elfi mengatakan bahwa
dia tidak pernah di paksa memakai jilbab atau selendang yang menjadi identitas wanita di Aceh tetapi dalam berpakaian dia sendiri berusahan untuk memakai
pakaian yang sopan seperti tidak memakai celana pendek, rok pendek, baju tidak berlengan dan lain-lain. Dan dia mengatakan untuk memakai pakaian yang sopan
juga menjadi ajaran dalam agamanya seperti tidak memakai rok pendek, dimana
62
dengan kata lain siapa yang memakai rok pendek sama saja dengan membiarkan segala hal yang buruk masuk kepadanya.
Dia mengaku dalam sehari-hari menggunakan bahasa khe’ dengan sesama Suku Tionghoa tetapi jika dengan masyarakat lokal dia menggunakan bahasa
Aceh. dia mengatakan bahwa tidak ada paksaan dia dalam menggunakan bahasa Aceh karena dia sendiri yang belajar dengan alasan agar dapat berinterkasi dengan
baik dengan masyarakat lokal dan agar tidak terjadi kesalah pahaman. Dulu Ibu Elfi pernah mendengar tentang masyarakat pendatang yang
beragama non-islam di wajibkan untuk memakai selendang, tetapi menurutnya kabar tersebut hanya isu saja karena dia sendiri tidak pernah disuruh untuk
memakai selendang. Ibu Elfi mengatakan bahwa banyak dari pendatang Suku Tionghoa yang pindah ke agama islam dan dia sendiri sebagai tokoh agama budha
tidak merasa bermasalah karena menurutnya itu merupakan pilihan untuk memeluk agama dan harus menghargainya. Malah dia akan merasa marah melihat
orang yang telah pindah agama dan malah tidak menjalankannya dengan baik. Di mengaku benci melihat orang yang mempermainkan agama.
Menurut ibu Elfi hubungan antar penganut agama di Gampong Keude Matangglumpang Dua tidak berjalan baik, kesenjangan antar agama masih sangat
tinggi, tetapi dia memakluminya karena jumlah kelompok mereka yang sangat sedikit. Pernah dulu ketika dia mengadakan acara rohani agama Budha di
rumahnya dan mengundang masyarakat gampong dan pemuka gampong tetapi banyak yang tidak datang terkadang ada yang datang dan cuma satu orang.
63
Ibu Elfi mengaku dulu ketika masa sekolah pernah di ejek-ejek teman- teman dan masyarakat lokal lainnya dengan “china khe’” tetapi menurutnya itu
bukan masalah karena dia memang china dan berbicara dengan bahasa khe’. Menurutnya semua orang sama saja dan dia sendiri juga merasa sebagai warga
Negara Indonesia hanya suku saja yang berbeda. Ejekan lain juga pernah dia dengar seperti panggilan “kaphee” kafir tetapi dia sendiri mengaku tidak
mengerti apa yang mereka maksutkan.
6. Informan yang Berasal dari Tokoh Agama Islam
1. Nama : Ust Anwar
Umur : 62 thn
Jenis Kelamin : laki-laki
Suku : Aceh
Agama : Islam
Pekerjaan : PNS
Ust Anwar merupakan salah seorang tokoh agama di Gampong Keude Matanglumpang Dua. dimana dia merupakan salah seorang imam mesjid di
gampong ini. Selain menjadi imam mesjid dia juga merupakan seorang guru pelajaran agama, karena profesinya sebagai guru yang membuatnya banyak
mengenal orang dari berbeda agama. diantara murit-muritnya ada yang berasal dari agama Budha. Dan menurutnya dia tidak melihat adanya masalah dengan
perbedaan agama. Tetapi terdakang dia sering mendengar dari muritnya yang
64
merupakan masyarakat lokal mengejek etnis mereka yaitu dengan sebutan “aneuek China” sambil tertawa.
Ust Anwar sendiri tidak membeda-bedakan orang dari suku maupun agamanya. Tetapi dia mengaku lebih menyukai pendatang dengan suku yang
berbeda dari pada pendatang dengan agama yang berbeda. Yang menurutnya jika pendatang dengan agama berbeda di takutkan akan membawa perubahan terhadap
Aceh sendiri yang selama ini dikenal dengan serambi mekahnya. Dia mengatakan bahwa akan sangat membahayakan jika pendatang yang berbeda agama dan
memiliki niat untuk membawa orang-orang muslin Gampong ini ke agama mereka.
Dia mengatakan selama niat pendatang itu baik maka dia tidak merasa masalah. Karena kebanyakan pendatang selama ini hanya untuk mencari nafkah
dengan berdagang, jadi tidak masalah menurutnya apalagi dengan jumlah mereka yang masih sangat sedikit. Dia mengaku selama ini belum ada pengaruh untuk
Gampong ini sendiri dengan masuknya pendatang. Menurutnya tidak ada peraturan-peraturan daerah yang mengatur perilaku masyarakat pendatang dan dia
mengaharapkan agar masyarakat pendatang sendiri yang tau diri dengan mengikuti adat dan tradisi di gampong ini. Menurutnya jika ada dari masyarakat
pendatang yang berbeda agama ingin mendirikan rumah ibadah mereka di gampong ini sama sekali tidak dibolehkan. Sama dengan alasannya sebelumnya,
takutnya citra Aceh yang selama ini di kenal akan berubah dengan adanya hal tersebut.
65
4.3 Stereotip Masyarakat Lokal Terhadap Masyarakat Pendatang