Penyebab Konflik Dalam Masyarakat Majemuk Karakteristik Masyarakat Aceh

14 1. Konflik rasial biasanya didasari oleh pemahaman yang salah antara ras satu dengan ras lainnya. Kesalahpahaman itu terletak pada perasaan antarras dimana satu kelompok ras memiliki perasaan lebih unggul dibanding dengan ras lainnya. 2. Konflik antarsuku bangsa. Konflik sosial antarsuku bangsa lebih banyak dipicu oleh stereotip terhadap kelompok lain, atau kecurigaan terhadap suku-suku tertentu atas penguasaan sumber-sumber vital yang menguasai hajat publik. Selain itu, konflik tersebut didukung oleh gejala pemahaman kekelompokan yang menimbulkan sikap etnosentrisme suku bangsa dengan menganggap suku bangsa lain lebih rendah. 3. Konflik antarpemeluk agama. Sumber utama dari perang antar pengikut agama ialah kepercayaan atau keyakinan akan kebenaran agama yang menganggap bahwa agama yang dianutnya merupakan yang paling benar, paling diridhai Tuhan, sedangkan agama yang dianut oleh penganut lain adalah sesat yang pada akhirnya sikap ini menimbulkan fanatisme yang berlebihan, sehingga menimbulkan sikap yang intoleransi terhadap pengikut agama lain.

2.4 Penyebab Konflik Dalam Masyarakat Majemuk

Dalam kehidupan masyarakat yang majemuk tidak dipungkiri banyak hal yang potensial menimbulkan adanya konflik sosial, yaitu beberapa yang menjadi penyebabnya adalah Elly 2011:557-558: 1. Menguatnya etnosentrisme kelompok. Etnosentrisme berasal dari kata etnos yang artinya suku, sedangkan sentrisme berasal dari kata sentral yang artinya 15 titik pusat. Dengan demikian, etnosentrisme memiliki arti perasaan kelompok di mana kelompok merasa dirinya paling baik, paling benar, paling hebat sehingga mengukur kelompok lain selalu merujuk kepada kelompoknya. Secara sosiologis, etnosentrisme dapat diartikan sebagai gejala dimana kelompok sosial selalu mengunakan indikator mengukur unsur-unsur kebudayaan kelompok lain selalu merujuk kepada kelompoknya. 2. Stereotip terhadap kelompok seperti: anggapan bahwa orang Batak kasar, orang Madura memiliki budaya kekerasan karena seringnya terjadi peristiwa carok. Biasanya stereotip seperti ini sering kali menimbulkan kesalahpahaman antar kelompok sosial. Ketersinggungan atas opini akan lebel kelompok dengan lebel-lebel yang bersifat ejekan seperti ini akan menimbulkan sifat ketersinggungan kelompok yang akhirnya menggugah tersulutnya konflik sosial. 3. Hubungan antar-penganut agama, sebagaimana terjadi di Poso, Sulawesi Tengah dan peristiwa pembongkaran rumah ibadah di Jawa Barat oleh kelompok tertentu. 4. Hubungan antara penduduk asli dengan penduduk pendatang seperti yang pernah terjadi di Sambas, Kalimantan Barat antara etnis Madura dan Dayak. Selain konflik Sambas juga terdapat konflik Sampit yaitu konflik antar etnis Jawa dan Dayak dimana konflik diawali oleh sikap-sikap tertentu yang menimbulkan ketersinnggungan antarpihak, antara penduduk pendatang dan penduduk asli. 16

2.4 Karakteristik Masyarakat Aceh

Aceh dilatarbelakangi oleh berbagai sukubangsa dan budaya yang merupakan suatu integrasi antar suku bangsa sehingga pada masa kerajaan Aceh Darussalam disebut dengan suku bangsa Aceh. Menurut temuan sejarawan Suku Aceh berasal dari India dan Timur Tengah. Realita tersebut karena letak geografis yang sangat strategis dengan Selat Malaka dan berdekatan dengan India. Di samping itu banyak budaya Aceh yang dipengaruhi negara Hindustan serta kemiripan wajah dengan bangsa India hal ini menyebabkan wajah-wajah orang Aceh berbeda dengan orang Indonesia yang yang berada di lain daerah. Namun demikian pada awal perkembangan kebudayaan suku Aceh di wilayah ujung Pulau Sumatera dinamakan Lambri dan Lamuri. Sistem kekerabatan masyarakat Aceh mengenal wali, karong, kaom yang merupakan bagian dari sistem kekerabatan. Agama islam adalah agama yang paling mendominasi di Aceh oleh karena itu Aceh dijuluki dengan “serambi mekkah”. Dari struktur masyarakat Aceh dikenal gampong, mukim, nanggroe dan sebagainya. Suku Aceh adalah salah satu kelompok “asal” di daerah Aceh yang kini merupakan Provinsi Aceh. Orang Aceh biasa menyebut dirinya dengan “ureueng Aceh”. Suku Aceh adalah penduduk asli yang tersebat populasinya di daerah Provinsi Aceh. Mereka mendiami daerah-daerah Kotamadya Sabang, Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Bireuen, Aceh Timur, Aceh Selatan dan Aceh Barat. Bahasa yang digunakan oleh suku Aceh termasuk dalam 17 rumpun bahasa Austronesia yang terdiri dari beberapa dialek, diantaranya dialek Pidie, Aceh Besar, Meulaboh, serta Matang. Suku Aceh atau Suku yang menggunakan bahasa Aceh umumnya hidup di daerah pesisir Aceh. Suku Aceh ini merupakan yang terbanyak diantara sub-suku Aceh yang lainnya. Suku Aceh mempunyai peranan yang baik di bidang ekonomi, politik dan sosial keagamaan. Suku Aceh ini berbicara dalam bahasa Aceh dan berbudaya Aceh serta mempunyai peranan dalam pengembangan agama Islam di Aceh. Suku Aceh berdomisili di sembilan daerah tingkat II. Suku Aceh ini diperkirakan berasal dari negara India, Indo Cina dan Persia, hidupnya terpencar baik di pesisir maupun di pedalaman Aceh. demikian juga mata pencaharian, mereka dapat kuasai dalam berbagai bidang. Kehidupan mereka lebih cepat menerima pembaruan. Keberadan Suku Aceh ini memperkuat sistem dan struktur masyarakat Aceh selanjutnya membentuk suatu peradaban Aceh yang Islami. Suku Aceh atau yang sering disebut dengan Aceh pesisir merupakan masyarakat yang mayoritas hidup dan berkembang sebagaimana sub-suku lainnya. Suku aceh merupakan mayoritas dominan dalam segi politik, ekonomi, dan perdagangan di Aceh. Suku Aceh ini juga sering diidentikkan dengan pekerja keras, tahan akan tantangan dan giat serta ulet dalam segala bidang. Suku Aceh atau Aceh pesisir merupakan salah satu suku yang sangat mudah menyesuaikan diri dengan lingkungannya, baik dengan para pendatang atau apabila mereka keluar daerah. Realita tersebut terlihat dengan banyaknya para tokoh politik, 18 pendidikan dan para saudagar dari Suku Aceh yang memainkan peranannya di Aceh maupun di tingkat pusat. Di Provinsi Aceh terdapat pula beberapa suku bangsa lainnya, sekaligus antar suku tersebut mempunyai budaya sendiri dan berbeda satu dengan yang lainnya. Berbagai suku tersebut diantaranya, Suku Gayo, Suku Tamiang, Suku Alas, Suku aneuk Jamee pendatang, Suku Kluet, Suku Melayu Singkil, Suku Defayan, dan Suku Sigulai. Gayo merupakan salah satu sub-suku Aceh yang hidup dan berkembang didataran tinggi tanah Gayo. Etnik Gayo merupakan sub-etnik yang mendekati atau hampir sama dengan etnik Batak. Etnik Gayo sebelumnya hidup di pedalaman Aceh tengah, akan tetapi setelah kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam antara tahun 1550-1650, etnik ini disatukan oleh Sultan Aceh sehingga statusnya sama dengan etnik Aceh yang hidup dan berkembang di daerah Aceh. etnik gayo dilihat dari kehidupan dan dalam interaksi dengan lingkungan budaya luar hidupnya agak khas dibanding dengan etnik lainnya, karena etnik Gayo sangat menghargai nilai-nilai budayanya. Kenyataannya tersebut dapat dilihat dari interaksinya dalam masyarakat. Akan tetapi selama perkembangan teknologi informasi kehidupan mereka telah mulai terbuka dengan lingkungannya. Etnik ini dalam kehidupan sehari-hari sangat menjujung tinggi nilai-nilai budaya serta bahasa mereka. Etnik Tamiang merupakan salah satu sub-etnis Aceh yang menurut sejarah merupakan turunan melayu dari Kerajaan Sriwijaya. Etnik ini berlayar ke daerah Sumatera bagian barat karena memudarnya Kerajaan Sriwijaya. Etnik ini 19 merupakan etnik pendatang ke Aceh, karena sebelumnya di ujung sumatera tersebut sudah ada penghuninya. Oleh karena itu mereka singgah di daerah Kuala Simpang. Etnik ini identik dengan Melayu Riau dan Melayu Malaysia. Akan tetapi secara keseluruhan etnik ini dapat menyetu dengan etnik Aceh, karena kelembutan dan keramahan etnik Melayu tersebut. Etnik Tamiang sering disebut Melayu Tamiang atau Aceh Tamiang. Dilihat dari bahasa dan warna kulitnya memang lebih banyak Melayunya dibandingkan dengan Acehnya. Demikian juga kebudayaan mereka hampir sama dengan kebudayaan Melayu Deli dan Suku Melayu lainnya di Semenanjung Malaka. Aceh Tamiang selain memakai bahasa melayu sebagai bahasa pengantar, sekaligus budayanya mirip dengan etnik Melayu lainnya di Nusantara. Sedangkan etnis Alas merupakan etnik yang tinggal di Kabupaten Aceh Tenggara dan Hulu Sungai Singkil. Secara Antropologi Etnik Alas ini mendekati etnik Karo, yang ada di Sumatera Utara. Demikian juga bahasa mereka pun hampir dengan bahasa Karo. Namun demikian etnis Alas ini hidup dan berkembang serta berbudaya dengan budayanya sendiri. Mereka juga umumnya tinggal di daratan tinggi Aceh Tenggara. Etnis Alas sampai saat ini di perdesaan masih memakai marga, akan tetapi marganya pun berbeda dengan marga Batak, selain karena kedekatan budaya sekaligus berdekatan dengan Sumatera Utara. Demikian juga dengan budaya baik pakaian ataupun bahasanya mirip dengan budaya dan bahasa Batak. Etnik Aneuk Jamee merupakan etnik pendatang, umumnya dari Sumatera Barat. Etnik Aneuk Jamee ini tidak jauh berbeda dengan etnik Aceh yang lainnya. 20 Akan tetapi mereka sebenarnya merupakan integrasi antara etnis Minang dengan etnis Aceh, sehingga lahir lah satu etnik yang disebut dengan Aneuk Jamee kamu-pendatang. Sedangkan etnik Kleut, baik Kleut Utara maupun Kleut Selatan, merupakan salah satu turunan dari etnis Alas. Bahkan etnis Alas menurut cerita berasal dari berasal dari etnis Kleut ini. Dan etnis Singkil adalah satu etnis yang hidup di Kabupaten Aceh Singkil. Etnis ini mirip bahasanya dengan etnis Melayu dan bahasa kleut dan bahasa Batak Karo. Terakhir adalah etnik Defayan dan Singulai. Etnik ini hidupnya di kabupaten Simeulu atau Pulau Simeulu. Etnik ini mendekati turunan dari etnis Nias Sumatera Utara. Akan tetapi etnis Defayan dan Singulai semuanya menganut agama islam dan berbudaya seperti budaya islam. Secara antropologi etnis ini jika dilihat bentuk mukanyapun mendekati etnis Nias dan kebanyakan mereka berkulit agak putih. Inilah etnik-etnik Aceh yang hidup dan berkembang saat ini. Mereka umumnya beragama Islam dan tunduk kepada syariat Islam. Etnik-etnis Aceh tersebut disatukan kedalam satu bangsa pada masa Kerajaan Islam dengan nama Bangsa Aceh Rani Usman 2003:38-42.

2.6 Stereotipe Antarbudaya