BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengelolaan Produksi Gula
Pendapatan usahatani tebu adalah pendapatan petani yang diperoleh dari jumlah penerimaan usahatani dikurangi dengan jumlah biaya produksi yang
dikeluarkan. Biaya produksi dalam usahatani ada dua yaitu biaya tetap dan biaya variabel, menurut Mubyarto Parsono, 2004:8. Biaya tetap ialah biaya yang tidak
tergantung dari besar kecilnya jumlah produksi dan biaya variabel ialah biaya yang tergantung dari besarnya jumlah produksi.
Dalam menjaga produksinya secara teratur dan berkualitas produsen gula sangat tergantung pada kerelaan petani untuk memanfaatkan lahannya guna ditanami tebu. Ini artinya bahwa usahatani tebu harus memiliki nilai
kompetitif yang mampu bersaing dengan usahatani lainnya terutama padi dan palawija. Dalam sistem usaha tani tebu tersedianya tebu secara teratur dengan kualitas memadai sangat tergantung dari
tersedianya faktor produksi secara penuh. Di tingkat petani faktor produksi utama antara lain; lahan, bibit, alsintan, pupuk, pestisida, modal, bantuan biaya hidup, tersedianya tenaga kerja serta teknologi.
2.1.1. Budidaya tebu
Secara umum ada dua tipe pengusahaan tanaman tebu. Untuk pabrik gula PG swasta, kebun tebu dikelola dengan menggunakan manajemen perusahaan
perkebunan estate di mana PG sekaligus memiliki lahan Hak Guna Usaha HGU untuk tanaman tebunya. Seperti pabrik gula PG Indo Lampung dan
pabrik gula PG Gajah Putih Mataram. Untuk PG milik BUMN terutama yang berlokasi di Pulau Jawa, sebagian besar tanaman tebunya dikelola oleh rakyat.
Dengan demikian, PG di Pulau Jawa umumnya melakukan hubungan kemitraan dengan petani tebu. Secara umum, PG lebih berkonsentrasi di pengolahan,
sedangkan petani sebagai pemasok bahan baku tebu. Petani tebu di Jawa secara umum didominasi 70 persen oleh petani kecil
luas areal kurang dari 1 ha. Proporsi petani dengan areal lahan antara 1-5 ha di estimasi sekitar 20 persen, sedangkan yang memiliki lahan di atas 5 ha, bahkan
sampai puluhan hektar diperkirakan sekitar 10 persen. Bagi petani yang arealnya luas, sebagian lahan mereka pada umumnya merupakan lahan sewa.
Berdasarkan agroklimat khususnya curah hujan, ada dua kalender pertanaman. Pola pertama adalah pengolahan tanah dilakukan mulai bulan April
dan penanaman dilakukan bulan Mei-Juni. Masa panen berlangsung pada bulan Mei hingga November tahun berikutnya. Pola ke dua adalah pengolahan lahan
dilakukan September dan penanaman dilakukan Bulan Oktober dan November. Untuk pola ini. Panen dilakukan pada Bulan Oktober dan November tahun
berikutnya. Untuk dapat melakukan jadwal tanam dan tebanggiling secara baik dengan
harapan diperoleh produktivitas tebu dan rendemen yang tinggi, maka PG berusaha melakukan kerja sama dengan kelompok tani dalam menyusun jadwal
tanam dan tebang. Namun demikian, perebutan waktu khususnya tebang, masih sering terjadi dan hal ini menjadi masalah. Para petani mengeluh bahwa mereka
sering mendapat jatah tebang yang tidak sesuai dengan harapan mereka. Di sisi lain pihak manajemen PG menyebutkan bahwa PG sudah secara maksimal
mengatur jadwal tebang giling guna memaksimalkan potensi secara keseluruhan. Namun demikian, PG tidak bisa memenuhi harapan seluruh petani karena
keterbatasan PG pada puncak bulan Giling serta PG juga harus memenuhi jumlah hari giling minimal.
Produktifitas gula di Jawa cenderung meningkat. Sementara itu, sekitar 80 persen jumlah Pabrik Gula PG dari 59 buah PG di seluruh Indonesia tahun
2002 dan sekitar 64 persen areal tebu berada di Pulau Jawa. Sehingga persoalan
produktifitas tebugula sesungguhnya adalah persoalan industri gula di pulau Jawa. Namun demikian, hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa pabrik gula di
Jawa masih berpotensi untuk ditingkatkan produksi dan produktifitasnya, yakni melalui optimalisasi kapasitas giling serta penggalangan kemitraan dengan petani.
Sebagian areal tebu dan PG berada di Pulau Jawa, maka upaya pemecahan persoalan budidaya dan masalah kurang efisien PG di Pulau Jawa akan
mempercepat usaha peningkatan produksi gula nasional dalam jangka pendek, upaya-upaya ekspansi perluasan areal tanam tebu dan pendirian PG di luar pulau
Jawa di pandang belum perlu karena iklim usaha yang belum benar-benar pulih. Infrastuktur dasar yang masih lemah, sehingga biaya infestasi akan sangat tinggi
serta potensi sengketa pertanahan mudah terjadi. Sekitar 82 persen dari total luas areal lahan tebu di Pulau Jawa pada tahun
2005 yaitu 239,3 ribu ha seperti dinyatakan dalam Tabel 3 merupakan milik petani. Areal tersebut cukup menyebar dan terfragmentasi, sehingga menyulitkan
intregrasi dalam satu manajemen yang sama antara aktivitas budidaya dengan aktivitas pengolahan PG akibatnya tingkat inefisiensi menjadi tinggi.
Pada umumnya suplai tebu sebagai bahan baku gula semakin dominan berasal dari tebu rakyat sekitar 70 persen. Tebu rakyat tersebut umumnya lahan
tebu yang digunakan lebih dari 3 kali kepras yang kondisinya kurang terpelihara serta terserang hama dan penyakit khususnya RDS Ratoon Stunding Disease
dan penyakit luka api PLA. Kondisi ini menjadi salah satu penyebab utama penurunan produktifitas gula.
Kredit untuk mendukung usahatani tebu tidak tersedia dengan mudah. Tingkat bunga program kredit yang ada tidak jauh berbeda dengan tingkat bunga
pasar, serta sering kali tidak tepat waktu pencairannya. Hal ini menjadi kendala penting dalam upaya peningkatan produktifitas dan produksi tebu.
Luas areal tebu sawah beririgasi di Jawa semakin berkurang. Kini hanya 40 persen, selebihnya telah beralih areal tegalan. Penurunan tersebut jelas
menunjukkan bahwa tanaman tebu tidak mampu bersaing dengan tanaman padi di lahan sawah yang sering kali beririgasi. Namun tanaman tebu relatife lebih
mampu bersaing dengan tanaman lain di lahan tegalan.
2.1.2. Pabrik Gula
Pada umumnya pabrik gula di Jawa beroperasi jauh di bawah kapasitas giling secara rata-rata hanya mampu mencapai sekitar 46 persen. Hal ini
terutama disebabkan karena sebagian besar pabrik gula kesulitan dalam memperoleh bahan baku tebu. Bahan baku yang terbatas itu diperebutkan oleh
banyak pabrik gula. Bahkan, pabrik gula yang berada dalam PTPN sama saling memperebutkan bahan baku tebu.
Sebagian besar 53 persen pabrik gula di pulau Jawa didominasi oleh pabrik gula dengan kapasitas giling kecil 3.000 TCD, 44 persen berkapasitas antara
3000-6000 TCDTon Cane Dayton tebu per hari, dan hanya 3 persen yang berkapasitas giling 6000 TCD, dari 68 persen jumlah pabrik gula yang ada telah
berumur 75 tahun umumnya berskala kecil serta kurang mendapatkan perawatan secara memadai. Kondisi ini menyebabkan tingkat efisiensi yang rendah. Biaya
produksi gula per unit pada pabrik gula berskala kecil jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pabrik gula berskala besar atau bermesin yang relatife baru.
Tabel 4. Jenis Produk Sampingan TebuProduk Derivate Tebu PDT di Indonesia
No Kelompok Jenis
produk
1 Pucuk tebu
- Wafer pucuk tebu 2
Produk ampas - Jamur
- Kertas - Papan partikel
- Papan serat - Kampas rem
3 Produk tetes
- Alkohol - Asam asetat
- Ethil asetat - Asam Glutamat
- MSG - L-Lysine
- Ragi roti - CO2 padatcair
Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tebu. Hal. 8 Departemen Pertanian . 2005
Tabel 5 menunjukkan beberapa produk yang dapat dihasilkan dari bahan baku tebu. Pada umumnya pabrik gula di Indonesia menggunakan tebu untuk
menghasilkan gula pasir, sedikit diantaranya yang memproduksi alkohol dan produk-produk lain produk turunan tanaman tebu. Padahal tebu dapat digunakan
untuk menghasilkan berbagai produk turunan, seperti pupuk, makanan ternak, jus, Molasses dan Bagases. Turunan produk Molases masih cukup banyak diperlukan,
misalnya oleh Distilling Industry, Fermentation Industry, dan lain-lain. Demikian pula Bagasse, yang dapat digunakan untuk menghasilkan berbagai macam produk
dan turunannya, seperti bahan Baker, Fibrous Produck.
2.1.3. Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia APTRI
Pada tanggal 25 November 2000 lahirlah sebuah organisasi independen yang lahir atas inisiatif para petani tebu dengan nama Asosiasi Petani Tebu Rakyat
Indonesia APTRI, di Jember. Tujuan dari lahirnya Asosiasi Petani Tebu Rakyat ini adalah petani tebu diharapkan mempunyai wadah yang legal untuk
menyalurkan aspirasi para anggota dalam hal ini para petani tebu. Hubungan kerjasama antara petani tebu dan PG Pabrik Gula tidak lagi
diatur oleh pemerintah di mana besarnya sewa ditetapkan oleh SK Bupati atau Gubernur. Bentuk hubungan yang terjadi sekarang adalah tergantung dari
kesepakatan antara APTR dan PG yang bersangkutan. Bentuk hubungan bisa persewaan lahan dan kemitraan. Selain meningkatkan daya tawar petani
sebenarnya juga memudahkan PG untuk berhubungan dan bernegosiasi dengan petani dalam meningkatkan areal lahan tebu untuk memenuhi kapasitas gilingnya.
2.2. Efisiensi Teknis dan Ekonomis