Analisis harga pokok produksi gula pada petani tebu rakyat yang tergabung dalam asosiasipetani tebu rakyat PG Soedono Kabupaten Jawa Timur

(1)

ANALISIS HARGA POKOK PRODUKSI GULA

PADA PETANI TEBU RAKYAT YANG TERGABUNG DALAM

ASOSIASI PETANI TEBU RAKYAT PG SOEDHONO

KABUPATEN NGAWI

PROPINSI JAWA TIMUR

Nasrodin Hasan

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

ANALISIS HARGA POKOK PRODUKSI GULA

PADA PETANI TEBU RAKYAT YANG TERGABUNG DALAM

APTR PG SOEDHONO KABUPATEN NGAWI PROPINSI

JAWA TIMUR

Oleh:

NASRODIN HASAN 101092123367

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian

Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

”SYUKURKU”

ALAMDULILLAH, DENGAN IZIN ALLAH SWT YANG MAHA

PEMURAH DAN PENOLONG SKRIPSI INI DAPAT SAYA

SELESAIKAN

DAN

KARYA INI SAYA PERSEMBAHKAN KEPADA ORANG TUAKU,

SOUDARA-SAUDARAKU DAN ISTRIKU TERCINTA SERTA

BAYI CANTIKKU TERSAYAN TERIMA KASIH ATAS

PENGORBANAN TANPA BATASNYA


(4)

ANALISIS HARGA POKOK PRODUKSI GULA

PADA PETANI TEBU RAKYAT YANG TERGABUNG DALAM APTR PG

SOEDHONO KABUPATEN NGAWI PROPINSI JAWA TIMUR

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian

Pada Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Oleh:

NASRODIN HASAN 101092123367

Menyetujui

Pembimbing 1 Pembimbing 2

Dr. H. Kusharyono, SE, MM Drs. Abdul Hamid Cebba, Ak, MBA

Mengetahui

Ketua Jurusan Sosek Pertanian

Ir. Mudatsir Najamuddin, MMA NIP : 150317958


(5)

JURUSAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang ditulis oleh :

Nama : Nasrodin Hasan

NIM : 101092123367

Program Studi : Sosial Ekonomi Pertanian

Judul Skripsi : Analisis Harga Pokok Produksi Gula Pada Petani Tebu Rakyat Yang Tergabung Dalam APTR PG Soedhono Kabupaten Ngawi Propinsi Jawa Timur

Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar sarjana Pertanian pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Juni 2006

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Pembimbing I, Pembimbing II,

DR. H. Kusharyono, SE, MM Drs. Abdul Hamid Cebba, Ak, MBA

Mengetahui,

Dekan Ketua Jurusan

DR. Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis Ir. Mudatsir Najamuddin, MMA NIP. 150 317 965 NIP. 150 317 958


(6)

PENGESAHAN UJIAN

Skripsi yang berjudul ” Analisis Harga Pokok Produksi Gula Pada Petani Tebu Rakyat Yang Tergabung Dalam APTR PG Soedhono Kabupaten Ngawi Propinsi Jawa Timur” telah lulus dalam sidang Munaqosah Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Jakarta pada hari Sabtu, 17 Juni 2006 untuk memperoleh gelar Sarjana 1 (S1) pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian/Agribisnis.

Jakarta , Juni 2006

Tim Penguji

Penguji I Penguji II

Ir. Mudatsir Najamuddin, MMA Ir. Achmad Tjahya Nugraha, MSi

Penguji III Penguji IV

DR. H. Kusharyono, SE, MM Drs. Abdul Hamid Cebba, Ak, MBA

Mengetahui Dekan

Fakultas Sains dan Teknologi

DR. Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis NIP: 150 317 956


(7)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN

Jakarta, Juni 2006

Nasrodin Hasan 101092123367


(8)

RINGKASAN

NASRODIN HASAN, Analisis Harga Pokok Produksi Gula Pada Petani Tebu Rakyat Yang Tergabung Dalam APTR PG Soedhono Kabupaten Ngawi Propinsi Jawa Timur (Di bawah bimbingan KUSHARYONO dan ABDUL HAMID CEBBA).

Sejalan dengan terus membaiknya perkembangan industri gula di Indonesia, dalam upaya memenuhi kebutuhan dalam negeri, maka Pemerintah harus didorong untuk terus mengeluarkan kebijakan yang ditujukan untuk membangun dan membina industri gula agar mampu meningkatkan produktifitas dengan kualitas yang baik. Sehingga diharapkan produsen gula mampu berdaya saing dengan gula impor serta dapat mengurangi ketergantungan akan impor gula secara bertahap.

Pada tahun 2005 volume impor gula relatif cukup rendah dibandingkan tehun 2004 yaitu 1.149.812 ton. Hal ini disebabkan konsumsi gula yang relatif stabil setiap tahunnya (Tabel. 1). namun demikian, pada tahun 2005 produksi gula nasional masih rendah yaitu 2.241.742, sehingga masih di bawah kebutuhan nasional yaitu 3.439.640 ton. Untuk memenuhi devisit produksi sebesar 1.149.812 ton maka dilakukan impor untuk memenuhi kebutuhan gula nasional.

Tujuan kegiatan penelitian ini adalah: (1) menganalisis harga pokok produksi gula pada petani tebu yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR) PG Soedhono. (2) Dapat memberikan masukan kepada pihak-pihak terkait guna menarik minat petani untuk usahatani tebu.

Pelaksanaan kegiatan penelitian ini pada bulan Mei 2005 untuk usahatani tebu dengan periode masa tanam tahun 2004-2005. Penelitian ini dilakukan pada petani tebu yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR) Pabrik Gula (PG) Soedhono salah satu unit usaha PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) XI yang berlokasi kabupaten Ngawi propinsi Jawa Timur. Data yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengisien kuesioner yang diisi oleh petani, wawancara dengan pengurus APTR PG Soedhono dan pengamatan secara langsung di lapangan.


(9)

Untuk menganalisis harga pokok produksi gula dalam usahatani tebu dilakukan dengan menghitung seluruh komponen biaya yang dikeluarkan dalam usahatani tebu ditambah biaya pajak lahan. Metode yang digunakan untuk menganalisa harga pokok produksi tersebut menggunakan metode akutansi. Sedangkan untuk menganalisa agar petani tertarik usahatani tebu adalah dengan mengumpulkan keluhan petani dalam usahatani tebu sehingga dapat ditarik kesimpulan mengenai apa yang menjadi keinginan petani.

Dalam satu hektar lahan pertanian tebu rata-rata mampu menghasilkan 80.400 kilogram tebu. Rendemen yang dihasilkan rata-rata 6.05 kg gula per kwintal tebu sehingga tiap hektar mampu menghasilkan gula rata-rata sebanyak 4.864,2 kilogram. Bagian petani 3.210,37 kilogram atau 66 persen dari total gula yang dihasilkan.

Pada musim tanam 2004-2005 usahatani tebu di kabupaten Ngawi rata-rata dalam saru hektar membutuhkan biaya sebagai berikut; (1) biaya sewa lahan sebesar Rp. 4.290.345,00 (2) biaya garap yang terdiri dari biaya pengolahan lahan, biaya penanaman, biaya pemeliharaan, dan biaya penyulaman totalnya sebesar Rp 3. 343.543,00 (3) biaya bibit sebesar Rp 1.356.897,00 (4) biaya pembelian pupuk sebesar Rp 1.401.069,00 (5) biaya tebang angkut sebesar Rp 3.946.552,00 (6) biaya pajak lahan sebesar Rp 160.000,00 . Sehingga total biaya dalam usahatani tebu dalam masa tanam pertama rata-rata menghabiskan biaya sebesar Rp. 14.338.406,00 per hektar.

Dengan menghitung besarnya biaya yang dikeluarkan rata-rata per hektar serat hasil gula yang diterima petani maka harga pokok produksi rata-rata yang dikeluarkan sebesar Rp 4.076,90 per kilogram. Apabila harga jual mengambil keuntungan 10% sehingga harga pokok penjualannya sebesar Rp 4.484,59 dibulatkan menjadi Rp. 4.500,00 perkilogram. Hasil ini diatas ketetapan pemerintah tentang harga minimal gula nasional yaitu Rp 3.800,00 maupun hasil kesepakatan antara pihak Pabrik Gula (PTPN XI) dengan pihak APTR. Walapun demikian, petani tidak dirugikan karena harga yang berlaku dalam proses penjualan adalah sesuai harga pasar yang melalui proses lelang.Untuk menarik minat petani perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: (1) harus dilakukan


(10)

inovasi dalam usahatani tebu sehingga waktu tanam tidak terlalu lama untuk mencapai masa panen, (2)Menyediakan kredit yang jumlahnya memadai dengan persyaratan yang mudah dan jumlah yang memadai bagi petani untuk usahatani tebu, (3) sarana irigasi harus diperbaiki untuk mengurangi biaya pengairan yang dikeluarkan petani tebu dan (4) subsidi pupuk harus diawasi dalam penjualan dan distribusinya sehingga saat petani membutuhkan dapat tersedia dengan mudah dan harga yang murah.


(11)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat-Nya, pertolongan-Nya dan petunjuk-Nya. Syolawat serta salam marilah selalu kita curahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, shahabat dan kepada umatnya sampai akhir zaman kelak. Amiin. Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada;

1. Bapak/Emakku, Mbakyu-mbakyuku dan kakak2 Iparku (Mbak Ipung dg Kak Farisnya, Mbak Janah dg Mas Tomonya, Mbak Siti dg Mas Arifnya, Mbak Solik dg mas Widadinya terima kasih dana tanpa batasnya sehingga saya bisa menyelesaikan kuliahku). Mohon maaf ya atas kesalahanku mungkin kalau bukan panjenengan2 saya sudah diumbar

2. Buat istriku tercinta (Wiwin Sulastri) dan anakku tersayang (Nasyafira Fazahra) makasih ya atas kesabaran dan pengertiaanya.

3. Yth, Bpk. DR. Kusharyono dan Bpk. Drs. Abdul Hamid Cebba, MBA terima kasih atas bimbingannya, bantuannya, pengertiannya dan saya mohon maaf apabila selama ini saya sering mengganggu Bapak.

4. Yth, Bpk. Ir. Mudatsir Najamuddin, MMA dan Bpk. Ir. Achmad Jhahya Nugraha, MMA mohon maaf atas jawaban-jawaban saya mungkin kurang berkenan saat ujian, saya terlalu gugub.

5. Ketua Jurusan Bpk. Ir. Mudatsir Najamuddin, MMA, Sekjur Pak Drs. Aceb Muhib, MMA dan staff Jurusan ( Bu Lilis, Bu Rizki, Bu Bintan dan Triaji) saya mendukung dengan sepenuh hati langkah2 Bapak/Ibu dalam memajukan Jurusan. Semoga mendapatkan Akreditasi A. Amiin

6. Yth, Dosen-dosenku; Pak Achmad Jhahya (Mohon maaf ya Pak saya pernah membuat kesal Bapak, saya jualan kopi seduh saat jam belajar), Pak Kus, Pak Junaidi, Pak Iwan, Pak Tumari, Pak Setyo, Pak Prof. Aki Baihaki, Pak Yon, Pak Geteng, Pak Prof. Tumari, Pak Jamil, Pak Aji Jumiono, Pak Cebba, Pak Herni, Pak Sudaru Dono, Pak A. Rodoni, Pak Muji, Pak Mudatsir, Pak Maman, Pak Gholib, Ibu Lilis, Ibu Widyaastuti,


(12)

Ibu Eni, Ibu Emita, Ibu dan Bapak/Ibu yang lain. Terimakasih, semoga pengabdian Bapak dibalas Allah dan Dicatat sebagai amal kebaikan. 7. Yth, Dekan FST DR. Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis dan Wakil2 Dekan,

semoga Bapak2 mendapatkan terus kekuatan dan semangat untuk mengembangkan FST.

8. Ibu2 orang tua asuh yang tergabung dalam kelompok pengajian ”NAMIRA” ada Ibu Idal, Ibu tini Firdaus, Ibu Susi dan ibu yang lain mohon maaf tidak saya cantumkan. Saya ucapkan banyak terima kasih atas beasiswanya sehingga saya dapat kuliah. Semoga Allah membalas kebaikan Ibu2 semua dengan pahala. Oya saya mohon maaf karena baru bisa menyelesaikan skripsi ini hingga semester X.

9. Orang tua angkatku; Bapak Kol. (Mar) Sih Soerono P (alm) dan Ibu serta Bapak Ir. Royke Cahyadi dan Ibu Dra. Lina Roslina beserta keluarga (Mbak Ana, Mas Iwan, Mas Bram, Wibby dan Nadya) terima kasih saya bisa diterima menjadi bagian keluarga Bapak. Mohon maaf atas banyak kesalahan yang saya lakukan.

10.Kepala Dinas Perkebunan Kab. Ngawi, Bpk. S. Edi Sukamto (Ketua APTR PG Soedhono beserta staff dan anggota APTR terima kasih atas bantuannya) dan Kepala BPS BPS Kab. Ngawi serta Pak Teguh (PG Soedhono)

11.Buat Adikku Muhammad Mudzakir dan Nasirotul Munafi’ah serta Ponakan2ku; Ernod De Rian Diky Setiawan, Nurul Fadilah, Muhammad Dzakir Rifa’i dan Andika Setiawan. Semoga menjadi anak yang sholeh dan Sholekah, dan Mas/Om Mohon ambil sisi baik dari saya dan sisi buruk saya cukup saya yang mengalaminya.

12.Buat kawan2ku satu jurusan angkatan 2001 bagi yang telah lulus (Ocid, Angga, Riko, Aji, Ilham <terimakasih atas nasehat2nya>, susi, Nova, Ayu, Rahayu, Adel, Evi, Ela<terima kasih atas bantuannya saat sidang> Agung, QQ, Yanti, Dll) yang sudah kerja selamat yang belum jangan patah semangat. Yang sedang skripsi (Mova, Babe, Delvin, Irwan, Mira, Ai, Dian, Nia, Rosidi, Tia, Khotib, Siti Zubaedah, Dll) jangan patah semangat


(13)

ingat usaha dan doa, dan yang belum2 mulai skripsi (Sapar, Didin, Riza, Dll) ingat langkah ke seribu diawali oleh langkah pertama, jangan sungkan untuk bertanya dan meminta bantuan kepada kami. Kami siap membantu 13.Yth, Ibu Ovah, Pak Gun, Pak Muksin, Pak Bilal, Pak Sukmo, Ibu Fitroh,

Dll Staff akademik FST Terima kasih atas bantuannya melayani kami sejak dari awal kuliah hingga detik2 perpisahaan.

14.Buat Sapar serta Adik2nya Wadu’ dan Rohim terima kasih atas komputernya, kontrakannya, airnya, sabunnya, odolnya,dll. Maaf bila bila saya sering menggangu ketenangan kalian.

15.Buat temen-temenku SD Teguhan I, SMPI Al Hidayah, SMA 97 Jakarta, Seluruh Temen2 satu jurusan dari seluruh angkatan, satu Fakultas dan satu Kampus serta kawan kawanku semua salam dahsyat dari gw. (terima kasih dan maaf tidak bisa menyebut satu per satu)

16.Semua pihak yang membantu saya dalam menyelesaikan skripsi ini.

Saya menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, saya mengharapkan saran dan kritiknya agar kelak dalam penulisan tesis (Insyaallah) dapat lebih baik lagi. Akhirnya penulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis, petani dan APTR PG Soedhono khususnya serta segenap pembaca skripsi ini. Aamiin

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

.


(14)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ... HALAMAN PENGESAHAN UJIAN ... HALAMAN PERNYATAAN ... RINGKASAN ... KATA PENGANTAR ...

DAFTAR ISI ...ii

DAFTAR TABEL ...iii

DAFTAR GAMBAR ...iv

DAFTAR LAMPIRAN ...v

BAB I PENDAHULUAN...1

1.1Latar Belakang...1

1.2Rumusan Masalah...6

1.3Tujuan Penelitian...8

1.4Manfaat Penelitian...9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...10

2.1 Pengelolaan Produksi Tebu/Gula...10

2.1.1 Budidaya Tebu...10

2.1.2 Pabrik Gula...13

2.2.3 Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI)...15 i ii iii vi ix x xi xii xiii xiv 1 1 6 8 9 10 10 10 13 15 16 19 19 20 20 22 22 23


(15)

2.2 Efisiensi Teknis dan Ekonomis...16

2.3 Kerangka Teoritis...20

2.3.1 Produksi...20

2.3.2 Sistem Produksi...21

2.3.3 Faktor-faktor Produksi...22

2.3.3.1 Lahan Pertanian...23

2.3.3.1.1 Tingkat Kesuburan Tanah...23

2.3.3.1.2 Lokasi...24

2.3.3.1.3 Topografi...24

2.3.3.1.4 Status Lahan...24

2.3.3.2 Tenaga Kerja...25

2.3.3.2.1 Tersedianya Tenaga Kerja...25

2.3.3.2.2 Kualitas Tenaga Kerja...25

2.3.3.2.3 Jenis Kelamin...25

2.3.3.2.4 Tenaga Kerja Musiman...26

2.3.3.2.5 Upah Tenaga Kerja...26

2.3.3.3 Modal...26

2.3.3.4 Manajemen...27

2.3.4 Teori Biaya dan Manfaat...27

2.3.4.1 Biaya tetap...27

2.3.4.2 Biaya variabel...27

2.3.4 Biaya Periodik dan Harga Pokok Produksi...28

2.3.6 Perhitungan Harga Pokok Produksi...30

2.4 Kerangka Pemikiran...33 23 24 24 24 24 25 25 25 26 26 26 27 27 29 30 33 33 34 35 36 37 39 39 40 41


(16)

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN...35

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian...35

3.2 Difinisi Operasional...35

3.3 Jenis dan Sumber Data...37

3.4 Metode Pengumpulan Data...37

3.5 Metode Analisis Data...38

BAB IV KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN………...40

4.1 Letak Geografis dan Administratif……….40

4.2 Penduduk………41

4.3 Wilayah Kabupaten Ngawi………42

4.3 Keadaan Umum Usahatani Tebu Rakyat PG Soedhono di Kabupaten Ngawi……….43

4.3.1 Pembuatan Guludan atau Persiapan Lahan………...44

4.3.2 Pengadaan Bibit...45

4.3.3 Penanaman...46

4.3.4 Pemeliharaan dan Pemupukan...46

4.3.5 Pendapatan...48

4.3.5.1 Bagi Hasil Gula/Hablur...48

4.3.5.2 Bagi Hasil Tetes...49

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN...50

5.1 Identitas Responden...50

5.1.1 Umur...50 5.1.2 Pendidikan...51 45 45 47 47 48 49 49 49 50 50 51 52 53 55 55 58 60 61 62


(17)

5.1.3 Asal Kecamatan ...52

5.1.4 Luas Lahan Garapan ...53

5.2 Hasil Identifikasi Biaya Produksi Tebu ...54

5.3 Hasil Identifikasi Pendapatan ...55

5.4 Hasil Perhitungan Harga Pokok Produksi Tebu dan Gula ...56

5.4.1 Penghitungan Harga Produksi Gula Oleh Pihak Pabrik ...57

5.4.2 Penghitungan Harga Pokok Produksi Oleh Peneliti ...59

5.3.3 Analisa Harga Pokok Produksi antara Penghitungan Peneliti dan Pabrik ... 5.5 Kendala Utama yang Dihadapi PetaniTebu ... 5.6 Alternatif Untuk Menarik Minat Petani dalam Usahatani Tebu... BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ...63

6.1 Kesimpulan ...63

6.2 Saran ...64

DAFTAR PUSTAKA...65


(18)

DAFTAR TABEL

Tabel 1: Konsumsi dan Produksi Gula Tahun 1996-2000 ...2

Tabel 2 : Beberapa Indikator Kinerja Industri Gula Nasional ...3

Tabel 3 : Luas Areal dan Produksi Gula Di Indonesia Tahun 1999-2005 ...5

Tabel 5 : Jenis Produk Sampingan/Produk Derivate Tebu (PDT) Di Indonesia....15

Tabel 6 : Isian Data Biaya Produksi Tebu Tahun 2005 ...39

Tabel 7: Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Ngawi dari Tahun 1999-2003 ...41

Tabel 8 : Luas Lahan Sawah dan Bukan Sawah (Ha) ...42

Tabel 9 : Luas Areal Pekebunan ...43

Tabel 10 : Klasifikasi Umur Responden ...50

Tabel 11 : Tingkat Pendidikan Petani Tebu Rakyat ...51

Tabel 12 : Jumlah Petani Menurut Kecamatan ...52

Tabel 13 : Luas Lahan yang Dikelola Petani Tebu Rakyat ...53

Tabel 14 : Harga Pokok Produksi Gula Tebu Rakyat PG Soedhono pada Lahan Sawah Per Ha ...57

Tabel 15 : Harga Pokok Produksi Gula Tebu Pabrik PG Soedhono pada Lahan Sawah Per Ha ...58

Tabel 16 : Penghitungan Harga Pokok Produksi Gula per Kilogram ...60 Tabel 17 : Perbandingan Penghitungan Harga Pokok Produksi pada Lahan

Sawah Dalam 1 Ha Masa Tanam 2004-2005 ... 2 3 4 7 14 38 40 41 42 49 50 50 51

56

57 59


(19)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 : Sistem Pergulaan Nasional & Efisiensinya ...17

Gambar 2 : Kebijakan dan Fasilitasi Untuk Sistem Pergulaan Nasional ...18

Gambar 3 : Proses Produksi Sebagai Proses Transformasi atau Konversi ...19

Gambar 4 : Arus Harga Pokok Produk dan Harga Periodik ...28

Gambar 5 : Arus Biaya Full Costin ...29

Gambar 6 : Arus Biaya Variable Costing ...30

Gambar 7: Kerangka Pemikiran Analisa Harga Pokok Produksi Gula ...32


(20)

LAMPIRAN

Lampiran 1 : Komponen-komponen Biaya Dalam Usahatani Tebu Rakyat

PG Soedhono Tahun 2005 ...67

Lampiran 2 : Rata-rata Biaya Produksi Usahatani Tebu Rakyat PG soedhono ...74

Lampiran 3 : Kinerja industri Gula di Indonesia ...77

Lampiran 4 : Harga Pokok Produksi Tebu Rakyat PG Soedhono (pada lahan sawah) Per Ha ...78

Lampiran 5 : Harga Produksi Gula Tebu Pabrik PG Soedhono (pada lahan sawah) Per ha ... ...79

Lampiran 6 : Tabel Isian Data Biaya Produksi Petani Tebu Tahun 2006 ...80

Lampiran 7 : Pencarian Data Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Ngawi Propinsi Jawa timur ...81

Lampiran 8 : Kuisioner ...82

Lampiran 9 : Gambaran dalam Usahatani Tebu di Kabupaten Ngawi ...84

Lampiran 10 : Surat Keterangan Penelitian ...86


(21)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Krisis moneter yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1997, membawa Indonesia ke dalam krisis ekonomi yang berkepanjangan, seakan-akan tanpa ada penyelesaian yang tepat. Dampak yang ditimbulkan dari krisis tersebut adalah terganggunya pembangunan nasional secara luas, termasuk pembangunan industri gula. Pembangunan pada industri gula berarti akan meningkatkan kesejahteraan juataan penduduk Indonesia khususnya petani dan pelaku agribisnis gula. Pembangunan industri gula tidak hanya diarahkan pada peningkatan produksi dan pendapatan produsen saja. Akan tetapi, menyangkut pula para petani tebu dan pengembangan secara keseluruhan sistem agribisnis gula yang dilaksanakan secara terpadu.

Sejalan dengan terus membaiknya perkembangan industri gula di Indonesia, agar mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri (swasembada). Pemerintah harus didorong untuk mengeluarkan kebijakan yang ditujukan untuk membangun dan membina industri gula agar mampu meningkatkan produktifitas dengan kualitas yang baik. Sehingga mampu berdaya saing dengan gula impor serta dapat mengurangi ketergantungan akan impor gula secara bertahap.

Pada tahun 2005 volume impor gula putih dan gula mentah (raw sugar) yang diolah menjadi gula refinasi untuk keperluan industri makanan dan minuman menurun bila dibandingkan impor tahun 2004 sebesar 164. 814 ton. Hal ini disebabkan konsumsi gula per kapita yang cukup stabil yaitu 12 Kg per kapita/ tahun (Tabel 1), sedangkan produksi dalam negeri belum bisa mencukupi kebutuhan konsumsi nasional. Pada tahun 2005 produksi gula nasional masih rendah yaitu 2.241.742 ton. Sehingga masih di bawah kebutuhan nasional yaitu 3.439.640 ton. Untuk memenuhi devisit produksi sebesar 1.149.812 ton maka dilakukan impor untuk memenuhi kebutuhan gula nasional. Berikut ini


(22)

data konsumsi nasional, produksi dalam negeri, volume impor dan stok gula nasional dari tahun 1996 sampai dengan tahun 2005.

Tabel 1. Konsumsi dan Produksi Gula Tahun 1996-2005 (ton) Tahun Persediaan awal

Nasional Produksi Dalam Negeri Impor Konsumsi Nasional Persediaan Akhir Nasional 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 486.404 488.964 676.532 1.163.737 652.340 532,331 460,002 650,000 670,624 648,086 2.100.477 2.196.545 1.496.027 1.493.067 1.685.826 1,725,467 1,755,434 1,689,919 2,051,644 2,241,742 975.830 1.364.563 1.730.473 995.536 1.194.165 1,353,070 1,435,105 1,689,516 1,314,626 1,149,812 3.073.765 3.373.522 2.739.295 3.000.000 2,989,171 3,150,866 3,000,541 3,300,800 3,388,808 3,439,640 488.964 676.532 1.163.737 652.340 532.331 460,002 650,000 670,624 648,086 600,000 Sumber : Sekretariat Dewan Gula Indonesia 2006

Berdasarkan Tabel 1 di atas pertumbuhan industri gula nasional sejak tahun 2000 tampak mulai tumbuh secara signifikan. Hal ini dapat dilihat dari produksi dalam negeri yang semakin meningkat dalam 6 tahun terakhir. Pada tahun 2005 produksi telah mencapai 2.241.742 ton dibandingkan tahun 2000 produksi masih sekitar 1.685.826 ton.

Penurunan pertumbuhan ekonomi pada tahun 1997 yang sangat drastis hingga mencapai angka minus telah membuat petani kita tidak berdaya untuk berusahatani tebu dengan optimal. Hal ini berdampak terhadap kebutuhan kemampuan petani dalam memenuhi sarana produksi yang sangat menentukan dalam tingkat produksi. Belum terlepas dari krisis ekonomi, petani terkena terpaan iklim El-Nino yang menyebabkan usahatani tebu mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan air. Hal ini mengakibatkan turunnya produktifitas


(23)

kemampuan tebu untuk menghasilkan rendemen dan hablur yang tinggi sehingga mempengaruhi tingkat produksi gula nasional.

Sejak tahun 2000 seiring dengan perkembangan agro-ekonomi yang semakin berkembang. Industri gula nasional juga mengalami peningkatan seperti terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Beberapa Indikator Kinerja Industri Gula Nasional Tahun Luas areal

(ha) Produksi (ton hablur) Rendemen (%) Konsumsi (ton hablur) Impor (ton hablur)

2000 340,660 1,690,004 7.04 3,200,000 1,500,000

2001 344,441 1,725,467 6.85 3,250,000 1,500,000

2002 350,722 1,755,354 6.88 3,300,000 1,500,000

2003 336,257 1,634,560 7.21 3,350,000 1,500,000

2004 344,000 2,051,000 7.67 3,400,000 1,348,349

Sumber : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tebu.Hal. 2 Departemen Pertanian . 2005

Tabel 2 di atas menunjukkan kinerja industri gula nasional mengalami peningkatan pada tahun 2000 produksi gula/hablur sekitar 1,690,004 ton gula. Sedangkan pada tahun 2004 produksi hablur meningkat dengan tajam hingga mencapai 2,051,000 ton hablur. Kinerja ini terus meningkat pada tahun 2005 (seperti yang dinyatakan dalam tabel 3) berikut;

Tabel 3. Luas Areal dan Produksi Gula Di Indonesia Tahun 1999 - 2005

Produksi Tebu Produksi Hablur

Tahun Luas Areal

(ha) (ton) Ton/ ha Rendemen (%) (ton) Ton/ha Kontri busi % hablur JAWA

1999 209,709.8 12,791,139 61.0 6.65 851,007.6 4.06 57.2 2000 209,056.2 14,583,135 69.8 6.48 945,644.0 4.52 55.9


(24)

2001 211.000,4 15,456,113 73.3 6.18 655,690,5 4.53 55.4 2002 226,402.9 16,715,498 73.8 6.54 1,093,030.5 4.83 62.3 2003 208,566.1 14,788,442 70.9 6.93 1,024,760.6 4.91 62.8

2004 212,660.4 16,78,51 79.8 7.10 1,206,173.4 5.67 58.8

2005 239,310.4 20,434,296 85.4 6.79 1,387,049.1 5.80 61.8 LUAR JAWA

1999 131,079.03 8,610,695 65.7 7.40 637,591.2 4.56 42.8 2000 131,601.04 9,448,220 71.8 7.89 745,023.2 5.66 44.1 2001 133,440.69 9,730,141 72.9 7.91 769,776.9 5.77 44.6 2002 124,320.069 8,817,933 70.9 7.51 662,403.2 5.33 37.7

2003 127,158.5 7,842,667 61.7 7.74 607,158.3 4.77 37.2

2004 132,133.0 9,764,429 73.9 8.66 845,470.4 6.40 41.2

2005 142,737.5 10,704,329 75.0 7.99 855,747.6 6.00 38.2 Indonesia

1999 340,800.1 21,401,834 62.8 6.96 1,488,598.8 4.37 100.0 2000 340,660.2 24,031,355 70.5 7.04 1,690,667.2 4.96 100.0 2001 344,441.3 25,186,254 73.1 6.85 1,725,467.4 5.01 100.0 2002 350,722.9 25,533,431 72.8 6.88 1,755,433.7 5.01 100.0 2003 335,724.6 22,631,109 67.4 7.21 1,631,918.9 4.86 100.0 2004 344,793.4 26,743,179 77.6 7.67 2,051,643.8 5.95 100.0 2005 382,047.9 31,138,625 81.5 7.20 2,242,796.7 5.87 100.0 Sumber: Sekretariat Dewan Gula Indonesia 2006

Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa luas areal dan produksi tebu (gula) dalam tujuh tahun terakhir mengalami peningkatan. Pada tahun 2000 luas areal tebu mengalami penurunan sekitar 139,9 ha, sedangkan pada tahun 1999 luas areal mencapai 340.800,1 ha. Pada tahun 2001 dan 2002 mengalami kenaikan sekitar 6.281,6 ha dan terus meningkat sehingga pada tahun 2002 luas areal tebu mencapai 350.722,9 ha. Akan tetapi, pada tahun 2003 mengalami penurunan sekitar 14.998,3 ha. Namun demikian, pada tahun 2004 dan 2005 luas areal tebu tebu kembali mengalami peningkatan. Sehingga pada tahun 2005 luas areal tebu mencapai 382.047.9 ha dengan hasil produksi gula sebesar 2.242.796,7 kilogram.


(25)

Salah satu cara untuk meningkatkan produksi gula adalah dengan memperluas skala usaha yaitu menambah pabrik gula yang diikuti dengan penambahan areal lahan tebu. Perluasan areal tersebut artinya akan memberikan peluang dalam penyerapan tenaga kerja. Perluasan areal tebu dapat terjadi jika petani tertarik untuk menanam tebu yaitu bila usahatani tebu lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan usahatani komoditi pertanian lainnya.

Untuk meningkatkan kapasitas produksi, pabrik gula harus memperluas areal lahan tebunya untuk memasok bahan baku tebu untuk memenuhi kapasitas giling pabrik gula. Hal ini akan berpengaruh pada biaya sewa lahan yang terus meningkat, begitu pula biaya produksinya. Maka diperlukan suatu analisa tentang biaya pokok produksi gula untuk menentukan harga pokok gula pada petani tebu yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR).

1.2. Perumusan Masalah

Kebutuhan untuk konsumsi gula nasional masih belum dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri, kekurangan kebutuhan gula nasional mengharuskan pemerintah untuk mengimpor gula. Peluang industri gula indonesia untuk berkembang sangat terbuka karena selain sumberdaya alam yang memadai peluang pasar dalam negeri masih terbuka.

Gula merupakan produk utama dari PTPN XI yang diproduksi oleh 17 PG yang tersebar di seluruh Jawa Timur. Pada tahun 2001, PTPN IX menghasilkan gula sebanyak 291.021 ton gula dengan produktivitas yang dinyatakan dalam hablur per hektar pada tahun yang sama sebesar 4,71 ton, pada tahun 2002 produksi gula mengalami peningkatan menjadi 332.523 ton.

Aktivitas utama PTPN XI adalah memproduksi gula berbahan baku tebu. Setiap tahun PTPN XI menggiling tebu hingga 5,1 juta ton pada 17 pabrik gula (PG) dengan kapasitas terpasang total 38.200 ton tebu per hari. Perusahaan ini mampu menghasilkan gula sekitar 395.000 ton per tahun, terdiri dari gula milik sendiri sebanyak 270.000 ton dan gula milik petani sebanyak 125.000 ton. Dengan posisi seperti ini, PTPN XI memasok sekitar 13 persen kebutuhan gula nasional atau sekitar 20 persen produksi gula nasional. Posisi ini sekaligus menempatkan PTPN XI sebagai penghasil gula terbesar ke dua di Indonesia.


(26)

Pemerintah dan seluruh pihak yang terkait dengan industri gula setiap tahunnya menghitung dan menetapkan harga pokok produksi gula. Penghitungan rutin dilakukan guna mengantisipasi perubahan harga biaya-biaya yang

mengalami penurunan/kenaikan. Sehingga dalam penetapan harga pokok produksi baik pihak pabrik dan pihak petani tidak ada yang dirugikan.

Berdasarkan hal-hal tersebut, maka dapat dirumuskan suatu inti permasalahan sebagai berikut;

1. Bagaimana menghitung dan menetapkan harga pokok produksi gula milik Petani tebu yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR) pabrik gula Soedhono?

2. Menganalisisa faktor-faktor yang bisa menarik minat petani untuk usahatani tebu.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, diperlukan adanya peninjauan analisis harga pokok produksi gula, guna mengidentifikasi masalah-masalah dalam penentuan harga pokok produksi gula. Dengan demikian tujuan yang ingin dicapai antara lain :

1. Menganalisis harga pokok produksi gula pada Petani tebu yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR) PG Soedhono. 2. Menganalisa faktor-faktor yang bisa menarik minat petani untuk

usahatani tebu.

1.4. Manfaat Penelitian

Dari hasil-hasil yang akan diperoleh dari penelitian ”Analisis Harga Pokok Produksi Gula Pada Petani Tebu Rakyat Yang Tergabung Dalam APTR PG Soedhono kabupaten Ngawi Propinsi Jawa Timur” diharapkan akan berguna sebagai berikut;

1. Informasi dalam menentukan harga pokok produksi tebu dan mengevaluasi kebijakan industri gula untuk kemajuan di masa yang akan datang,


(27)

2. Sebagai bahan literatur bagi personal maupun institusi yang akan melakukan penelitian tentang analisis harga pokok produksi tebu dan harga pokok produksi gula,

3. Bahan informasi bagi halayak dan perusahaan (PG soedhono) khususnya, dalam menentukan harga pokok dan


(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengelolaan Produksi Gula

Pendapatan usahatani tebu adalah pendapatan petani yang diperoleh dari jumlah penerimaan usahatani dikurangi dengan jumlah biaya produksi yang dikeluarkan. Biaya produksi dalam usahatani ada dua yaitu biaya tetap dan biaya variabel, menurut Mubyarto (Parsono, 2004:8). Biaya tetap ialah biaya yang tidak tergantung dari besar kecilnya jumlah produksi dan biaya variabel ialah biaya yang tergantung dari besarnya jumlah produksi.

Dalam menjaga produksinya secara teratur dan berkualitas produsen gula sangat tergantung pada kerelaan petani untuk memanfaatkan lahannya guna ditanami tebu. Ini artinya bahwa usahatani tebu harus memiliki nilai kompetitif yang mampu bersaing dengan usahatani lainnya terutama padi dan palawija.

Dalam sistem usaha tani tebu tersedianya tebu secara teratur dengan kualitas memadai sangat tergantung dari tersedianya faktor produksi secara penuh. Di tingkat petani faktor produksi utama antara lain; lahan, bibit, alsintan, pupuk, pestisida, modal, bantuan biaya hidup, tersedianya tenaga kerja serta teknologi.

2.1.1. Budidaya tebu

Secara umum ada dua tipe pengusahaan tanaman tebu. Untuk pabrik gula (PG) swasta, kebun tebu dikelola dengan menggunakan manajemen perusahaan perkebunan (estate) di mana PG sekaligus memiliki lahan Hak Guna Usaha (HGU) untuk tanaman tebunya. Seperti pabrik gula (PG) Indo Lampung dan pabrik gula (PG) Gajah Putih Mataram. Untuk PG milik BUMN terutama yang berlokasi di Pulau Jawa, sebagian besar tanaman tebunya dikelola oleh rakyat. Dengan demikian, PG di Pulau Jawa umumnya melakukan hubungan kemitraan dengan petani tebu. Secara umum, PG lebih berkonsentrasi di pengolahan, sedangkan petani sebagai pemasok bahan baku tebu.

Petani tebu di Jawa secara umum didominasi (70 persen) oleh petani kecil luas areal kurang dari 1 ha. Proporsi petani dengan areal lahan antara 1-5 ha di estimasi sekitar 20 persen, sedangkan yang memiliki lahan di atas 5 ha, bahkan


(29)

sampai puluhan hektar diperkirakan sekitar 10 persen. Bagi petani yang arealnya luas, sebagian lahan mereka pada umumnya merupakan lahan sewa.

Berdasarkan agroklimat khususnya curah hujan, ada dua kalender pertanaman. Pola pertama adalah pengolahan tanah dilakukan mulai bulan April dan penanaman dilakukan bulan Mei-Juni. Masa panen berlangsung pada bulan Mei hingga November tahun berikutnya. Pola ke dua adalah pengolahan lahan dilakukan September dan penanaman dilakukan Bulan Oktober dan November. Untuk pola ini. Panen dilakukan pada Bulan Oktober dan November tahun berikutnya.

Untuk dapat melakukan jadwal tanam dan tebang/giling secara baik dengan harapan diperoleh produktivitas tebu dan rendemen yang tinggi, maka PG berusaha melakukan kerja sama dengan kelompok tani dalam menyusun jadwal tanam dan tebang. Namun demikian, perebutan waktu khususnya tebang, masih sering terjadi dan hal ini menjadi masalah. Para petani mengeluh bahwa mereka sering mendapat jatah tebang yang tidak sesuai dengan harapan mereka. Di sisi lain pihak manajemen PG menyebutkan bahwa PG sudah secara maksimal mengatur jadwal tebang giling guna memaksimalkan potensi secara keseluruhan. Namun demikian, PG tidak bisa memenuhi harapan seluruh petani karena keterbatasan PG pada puncak bulan Giling serta PG juga harus memenuhi jumlah hari giling minimal.

Produktifitas gula di Jawa cenderung meningkat. Sementara itu, sekitar 80 persen jumlah Pabrik Gula (PG) (dari 59 buah PG di seluruh Indonesia tahun 2002) dan sekitar 64 persen areal tebu berada di Pulau Jawa. Sehingga persoalan


(30)

produktifitas tebu/gula sesungguhnya adalah persoalan industri gula di pulau Jawa. Namun demikian, hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa pabrik gula di Jawa masih berpotensi untuk ditingkatkan produksi dan produktifitasnya, yakni melalui optimalisasi kapasitas giling serta penggalangan kemitraan dengan petani.

Sebagian areal tebu dan PG berada di Pulau Jawa, maka upaya pemecahan persoalan budidaya dan masalah kurang efisien PG di Pulau Jawa akan mempercepat usaha peningkatan produksi gula nasional dalam jangka pendek, upaya-upaya ekspansi perluasan areal tanam tebu dan pendirian PG di luar pulau Jawa di pandang belum perlu karena iklim usaha yang belum benar-benar pulih. Infrastuktur dasar yang masih lemah, sehingga biaya infestasi akan sangat tinggi serta potensi sengketa pertanahan mudah terjadi.

Sekitar 82 persen dari total luas areal lahan tebu di Pulau Jawa pada tahun 2005 yaitu 239,3 ribu ha (seperti dinyatakan dalam Tabel 3) merupakan milik petani. Areal tersebut cukup menyebar dan terfragmentasi, sehingga menyulitkan intregrasi (dalam satu manajemen yang sama) antara aktivitas budidaya dengan aktivitas pengolahan (PG) akibatnya tingkat inefisiensi menjadi tinggi.

Pada umumnya suplai tebu sebagai bahan baku gula semakin dominan berasal dari tebu rakyat (sekitar 70 persen). Tebu rakyat tersebut umumnya lahan tebu yang digunakan lebih dari 3 kali kepras yang kondisinya kurang terpelihara serta terserang hama dan penyakit khususnya RDS (Ratoon Stunding Disease) dan penyakit luka api (PLA). Kondisi ini menjadi salah satu penyebab utama penurunan produktifitas gula.


(31)

Kredit untuk mendukung usahatani tebu tidak tersedia dengan mudah. Tingkat bunga program kredit yang ada tidak jauh berbeda dengan tingkat bunga pasar, serta sering kali tidak tepat waktu pencairannya. Hal ini menjadi kendala penting dalam upaya peningkatan produktifitas dan produksi tebu.

Luas areal tebu sawah beririgasi di Jawa semakin berkurang. Kini hanya 40 persen, selebihnya telah beralih areal tegalan. Penurunan tersebut jelas menunjukkan bahwa tanaman tebu tidak mampu bersaing dengan tanaman padi di lahan sawah yang sering kali beririgasi. Namun tanaman tebu relatife lebih mampu bersaing dengan tanaman lain di lahan tegalan.

2.1.2. Pabrik Gula

Pada umumnya pabrik gula di Jawa beroperasi jauh di bawah kapasitas giling (secara rata-rata hanya mampu mencapai sekitar 46 persen). Hal ini terutama disebabkan karena sebagian besar pabrik gula kesulitan dalam memperoleh bahan baku tebu. Bahan baku yang terbatas itu diperebutkan oleh banyak pabrik gula. Bahkan, pabrik gula yang berada dalam PTPN sama saling memperebutkan bahan baku tebu.

Sebagian besar (53 persen) pabrik gula di pulau Jawa didominasi oleh pabrik gula dengan kapasitas giling kecil (< 3.000 TCD), 44 persen berkapasitas antara 3000-6000 TCD(Ton Cane Day/ton tebu per hari), dan hanya 3 persen yang berkapasitas giling >6000 TCD, dari 68 persen jumlah pabrik gula yang ada telah berumur 75 tahun (umumnya berskala kecil) serta kurang mendapatkan perawatan secara memadai. Kondisi ini menyebabkan tingkat efisiensi yang rendah. Biaya


(32)

produksi gula per unit pada pabrik gula berskala kecil jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pabrik gula berskala besar atau bermesin yang relatife baru. Tabel 4. Jenis Produk Sampingan Tebu/Produk Derivate Tebu (PDT) di

Indonesia

No Kelompok Jenis produk

1 Pucuk tebu - Wafer pucuk tebu

2 Produk ampas - Jamur

- Kertas

- Papan partikel - Papan serat - Kampas rem

3 Produk tetes - Alkohol

- Asam asetat - Ethil asetat - Asam Glutamat - MSG

- L-Lysine - Ragi roti - CO2 padat/cair

Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tebu. Hal. 8 Departemen Pertanian . 2005

Tabel 5 menunjukkan beberapa produk yang dapat dihasilkan dari bahan baku tebu. Pada umumnya pabrik gula di Indonesia menggunakan tebu untuk menghasilkan gula pasir, sedikit diantaranya yang memproduksi alkohol dan produk-produk lain (produk turunan tanaman tebu). Padahal tebu dapat digunakan untuk menghasilkan berbagai produk turunan, seperti pupuk, makanan ternak, jus,

Molasses dan Bagases. Turunan produk Molases masih cukup banyak diperlukan, misalnya oleh Distilling Industry, Fermentation Industry, dan lain-lain. Demikian pula Bagasse, yang dapat digunakan untuk menghasilkan berbagai macam produk dan turunannya, seperti bahan Baker, Fibrous Produck.


(33)

2.1.3. Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI)

Pada tanggal 25 November 2000 lahirlah sebuah organisasi independen yang lahir atas inisiatif para petani tebu dengan nama Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), di Jember. Tujuan dari lahirnya Asosiasi Petani Tebu Rakyat ini adalah petani tebu diharapkan mempunyai wadah yang legal untuk menyalurkan aspirasi para anggota dalam hal ini para petani tebu.

Hubungan kerjasama antara petani tebu dan PG (Pabrik Gula) tidak lagi diatur oleh pemerintah di mana besarnya sewa ditetapkan oleh SK Bupati atau Gubernur. Bentuk hubungan yang terjadi sekarang adalah tergantung dari kesepakatan antara APTR dan PG yang bersangkutan. Bentuk hubungan bisa persewaan lahan dan kemitraan. Selain meningkatkan daya tawar petani sebenarnya juga memudahkan PG untuk berhubungan dan bernegosiasi dengan petani dalam meningkatkan areal lahan tebu untuk memenuhi kapasitas gilingnya.

2.2. Efisiensi Teknis dan Ekonomis

Efisiensi adalah ukuran jumlah relatif dari beberapa input yang digunakan untuk menghasilkan output tertentu. Apabila untuk menghasilkan output tertentu digunakan input yang paling kecil (dalam satuan fisik), maka dapat dikatakan efisiensi secara teknis dapat dicapai. Sedangkan efisiensi secara ekonomis dapat dicapai apabila untuk menghasilkan output dalam jumlah tertentu digunakan biaya terendah. Jadi baik efisiensi teknis maupun efisiensi ekonomis tergantung

teknologi yang ada dan harga input yang digunakan Teken dan Asnawi, 1997 (Parsono, 2004:14).

Teori ekonomi menganggap bahwa suatu faktor produksi sudah dipergunakan dengan efisien secara ekonomis apabila faktor produksi tersebut menghasilkan keuntungan yang maksimal dengan biaya terendah. Sedangkan penggunaan faktor produksi dikatakan efisien secara teknis apabila faktor produksi yang dipakai menghasilkan produksi yang maksimum. Kriteria persyaratan dalam penentuan tingkat produksi yang optimum harus memenuhi syarat keharusan (merupakan efisiensi teknis) di mana menunjukkan hubungan fisik antara faktor produksi yang digunakan dengan produk yang dihasilkan dan syarat kecukupan (merupakan efisiensi ekonomis). Menurut Teken dan Asnawi, 1997 (Parsono, 2004:16) menyatakan bahwa konsep efisiensi teknis tidak memberi keterangan tentang keuntungan yang diperoleh produsen atau biaya yang dikeluarkan. Sebaliknya tingkat keuntungan atau biaya tersebut merupakan salah satu faktor penting yang menjadi tujuan produsen. Oleh karena itu, dalam proses produksi yang tepat dapat digunakan oleh produsen untuk mencapai keuntungan maksimum atau biaya minimum.

Agar kombinasi penggunaan faktor-faktor produksi dan tingkat biaya optimum, nisbah antara NPM (Nilai Produk Maksimal) dan BFM (Biaya Faktor Marginal) yang merupakan syarat untuk mencapai efisiensi ekonomis,


(34)

diharapkan mencapai titik nilai satu. Jadi untuk mencapai keuntungan yang maksimum maka NPM dari faktor produksi yang bersangkutan harus sama dengan harganya (Parsono, 2004: 15).

Gambar 1 Sistem Pergulaan Nasional & Efisiensinya

Sumber: Dedi M. Masykur Riyadi “pemanfaatan Sumberdaya dalam Pemberdayaan Pergulaan di Era Otonomi daerah” Jakarta, 12 Juni 2003

Gambar 1. Menunjukkan efisiensi produksi gula dapat tercapai jika efisiensi pada industri hulu yang menyediakan input produksi dan efisiensi produksi tebu dapat tercapai jika input yang digunakan untuk usahatani tebu juga efisien. Efisiensi produksi gula juga harus ditunjang oleh efisiensi manajemen perkebunan dan efisiensi pabrik. Efisiensi pasar dipengaruhi oleh efisiensi distribusi dan banyaknya jumlah gula yang impor yang beredar di pasar. Gula impor yang beredar di pasar tergantung kebijakan yang diambil oleh pemerintah.

Gula impor

Kebijakan Perdagangan LN

(the same level of playing field)

Pasar Gula nasional Input : Saprodi Kredit Litbang Efisiensi Industri Hulu Efisiensi

Produksi manjemen Efisiensi perkebunan & pabrik Efisiensi Distribusi Efisiensi Pasar

Petani Perkebunan Produksi

Tebu

Pabrik gula


(35)

Gambar 2 Kebijakan dan Fasilitasi Untuk Sistem Pergulaan Nasional Sumber: Dedi M. Masykur Riyadi “pemanfaatan Sumberdaya dalam

Pemberdayaan Pergulaan di Era Otonomi daerah” Jakarta, 12 Juni 2003

Gambar 2 menunjukkan bahwa perkebunan tebu (baik perkebunan petani maupun perkebunan pabrik/PTP) berkembang dengan baik jika fasilitas input yang digunakan dapat tersedia dengan baik serta kebijakan permodalan yang disediakan pihak perbankkan juga mendukung. Sedangkan untuk pabrik gula yang paling penting adalah pasokan tebu yang kontinyu serta kredit investasi guna rehabilitasi pabrik dan mesin harus tersedia dengan baik. Jika keadaan seperti ini dapat tercapai maka industri gula nasional akan dapat perkembang dengan baik.

INPUT

Fasilitasi Input (Jaminan distribusi

lancar dan subsidi jika perlu) & litbang

• Pembinaan Petani

• Hubungan Petani dengan Pabrik/PTP PERKEBUNAN

TEBU (PETANI & PTP) JAMINAN

BANK

KREDIT PRODUKSI

Tebu, jaminan kontinuitas pasokan Rp

PENGAWASAN UNTUK EFISIENSI

PASAR

PASAR GULA PABRIK GULA

KREDIT INVESTASI

(REHABILITASI PABRIK & MESIN)

Gula


(36)

Sumber: Elwood S. Buffa, Edisi ke-7 jilid. 1 hal. 9 “Manajemen Produksi/Operasi Modern”

2.3. Kerangka Teoritis

2.3.1. Produksi

Produksi menurut Assauri (2004: 11) adalah kegiatan untuk menciptakan atau menambah kegunaan suatu atau jasa. Menciptakan atau mengolah dari bahan mentah menjadi barang setengah jadi atau barang jadi yang langsung dapat dikonsumsi oleh konsumen. Produksi dilakukan melalui suatu proses produksi. Proses produksi menurut Assauri (2004:11), yaitu cara, metode dan teknik untuk menciptakan atau menambah kegunaan suatu barang dan jasa dengan menggunakan sumber-sumber (tenaga kerja, mesin, bahan-bahan dan dana) yang ada.

Umpan Balik Informasi mengenai pengeluaran Untuk keperluan pengendalian proses

Gambar 3 Proses produksi sebagai proses transformasi atau konversi

Pada Gambar 3 di atas dapat menggambarkan proses produksi mentranformasikan input produksi yang menghasilkan produk dan jasa membutuhkan pepngendalian proses yang dilkakukan oleh manajemen operasi. Dalam kaitan produksi tebu aspek yang harus diperhatikan adalah; sistem produksi, manajemen produksi, biaya produksi dan pendapatan.

2.3.2. Sistem Produksi

Sistem produksi menurut Buffa (1983:8), yaitu wahana yang dipakai dalam mengubah masukan-masukan sumberdaya untuk menciptakan barang dan jasa yang bermanfaat. Masukan (input) sumberdaya dapat berbentuk macam-macam. Dalam operasi manufaktur masukan ini berupa bahan baku, energi, tenaga kerja, mesin, informasi dan teknologi. Dalam sistem yang berorientasi ke jasa sebagian

Proses transformasi/konfersi

Manajemen Operasi:

Disain Sistem Perencanaan dan Pengendalian Operasi

Keluaran Produk dan Jasa Bahan Baku

Tenaga kerja Mesin Sarana Fisik Energi Informasi dan Teknologi


(37)

besar masukannya ialah tenaga kerja, tetapi tergantung pada sistemnya, mesin, sarana fisik, informasi dan teknologi dapat merupakan masukan yang juga penting (misalnya dalam sistem pelayanan kesehatan). Dalam sistem penyediaan makanan, bahan baku menjadi masukan (input) yang penting. Proses konversi itu sendiri tidak hanya melibatkan penerapan teknologi, tetapi juga manajemen dari berbagai variabel yang dapat dikendalikan. Di sinilah manajemen produksi/operasi berperan dengan mendisein dan menyempurnakan sistem itu dan dalam merencanakan serta mengendalikan operasi.

2.3.3. Faktor-faktor Produksi

Faktor produksi (input) harus diketahui oleh produsen baik jumlah maupun kualitas input yang dibutuhkan dalam memproduksi suatu barang atau jasa. Dalam menghasilkan produk diperlukan pengetahuan hubungan antara faktor produksi (input) dan produksi (output). Hubungan antara input dan output disebut “factor relationship” (FR). Dalam rumus matematis, FR ini dapat dituliskan dengan:

Y = f (X1 . X2 . …Xi….Xii ) Di mana:

Y = Produk yang dipengaruhi oleh faktor produksi, X, dan X = faktor produksi atau variabel yang mempengaruhi Y.

Dalam proses produksi tebu, maka Y adalah produksi tebu dan X berupa lahan pertanian, tenaga kerja, dan manajemen. Namun demikian, dalam kenyataannya bahwa ke empat komponen faktor produksi tersebut belum cukup untuk dapat memjelaskan Y. Faktor-faktor sosial ekonomi lainnya, seperti tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, tingkat keterampilan dan lain-lain juga berperan dalam mempengaruhi tingkat produksi.

Dalam prakteknya faktor-faktor yang mempengaruhi produksi ini dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu; faktor biologi, seperti lahan pertanian dengan macam tingkat kesuburannya, bibit, varietas, pupuk, obat-obatan, gulma, dan sebagainya dan Faktor sosial ekonomi seperti biaya produksi, harga, tenaga kerja, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, resiko dan ketidakpastian, tersedianya kredit dan sebagainya.


(38)

2.3.3.1. Lahan Pertanian

Dalam banyak kenyataan bahwa lahan pertanian dapat dibedakan dengan tanah pertanian. Lahan pertanian banyak diartikan sebagai tanah yang disiapkan untuk diusahakan usahatani, misalnya sawah, tegal dan pekarangan. Dalam usaha perkebunan tebu biasanya lahan pertanian yang digunakan adalah lahan sawah dan tegalan. Sedangkan tanah pertanian adalah tanah yang belum tentu diusahakan dengan usaha pertanian. Dengan demikian, luas tanah pertanian selalu lebih luas dari lahan pertanian.

Ukuran luas lahan pertanian sering dinyatakan dengan hektar. Akan tetapi, bagi petani-petani di pedesaan sering kali masih menggunakan ukuran tradisional; misalnya “ru, bata, jengkal, patok, bahu” dan sebagainya. Petani di Jawa Timur ukuran yang sering dipakai adalah “bahu” sebagai ukuran lahan mereka. Menurut Soekartawi (2003;5) disamping luas lahan, dalam faktor produksi lahan pertanian harus diperhatikan hal-hal berikut; tingkat kesuburan lahan,lLokasi, topografi dan status lahan.

a. Tingkat Kesuburan Tanah

Dahulu ukuran tingkat kesuburan dipakai untuk menentukan tingkat besar-kecilnya pajak tanah atau Iuran Pembangunan Daerah (IPeDa). Di mana pajak lahan sawah selalu lebih tinggi dari pada pajak lahan tegal. Hal ini dapat terjadi karena harga lahan sawah lebih tinggi dari pada harga atau nilai lahan tegal, atau dengan kata lain lahan yang relatif subur harganya juga relatif lebih mahal.

b. Lokasi

Harga lahan pertanian juga dipengaruhi oleh lokasi di mana lahan itu berada. Lahan yang kurang subur tetapi dekat dengan jalan besar atau dekat dengan pusat-pusat pelayanan publik maka harganya relatif lebih mahal bila dibandingkan dengan harga atau nilai lahan yang subur tatapi lokasinya terpencil.


(39)

Seringkali lahan pertanian di dataran rendah, harganya relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan nilai lahan pertanian di dataran tinggi. Situasi ini berkaitan dengan kemampuan lahan untuk dapat berproduksi. Lahan pertanian di dataran rendah dapat ditanami padi, palawija, atau sayur-sayuran dalam empat kali setahun, lahannya relatif lebih subur, beririgasi sementara lahan di dataran tinggi kurang subur dan umumnya tidak beririgasi.

d. Status Lahan

Status lahan pertanian, umumnya diklasifikasikan menjadi: lahan milik, lahan sewa dan lahan sakap. Nilai atau harga lahan dengan status milik sering kali lebih mahal bila dibandingkan dengan lahan yang bukan milik. Lahan milik yang biasanya dinyatakan dengan bukti sertifikat tanah selalu harganya lebih tinggi. Hal ini salah satunya disebabkan karena adanya kepastian hukum kepemilikan tanah. Tanah atau lahan pertanian dengan status hak pakai atau hak guna usaha, nilainya relatif lebih rendah daripada harga lahan dengan status hak milik.

2.3.3.2. Tenaga Kerja

Faktor produksi tenaga kerja, merupakan faktor produksi yang penting dan perlu diperhitungkaan dalam proses produksi. Baik dalam jumlah tenaga kerja yang tersedia tetapi juga dari segi kualitas dan macam tenaga kerja perlu juga diperhatikan. Beberapa hal yang harus diperhatikan pada faktor produksi tenaga kerja adalah sebagai berikut; tersedianya tenaga kerja, kualitas tenaga kerja, jenis kelamin, tenaga kerja musiman dan upah tenaga kerja.


(40)

Setiap proses produksi diperlukan tenaga kerja yang sukup memadai. Jumlah tenaga kerja yang diperlukan perlu disesuaikan dengan kebutuhan sampai tingkat tertentu sehingga jumlahnya optimal.

b. Kualitas Tenaga Kerja

Dalam proses produksi, apakah itu proses produksi barang-barang pertanian atau bukan, selalu diperlukan spesialisasi. Persediaan tenaga kerja spesialisasi ini diperlukan sejumlah tenaga kerja yang mempunyai spesialisasi pekerjaan tertentu; dan tenaga kerja yang mempunyai spesialisasi tersedia biasanya dalam jumlah yang terbatas.

c. Jenis Kelamin

Kualitas tenaga kerja juga dipengaruhi jenis kelamin; apalagi dalam proses produksi pertanian. Tenaga kerja pria mempunyai spesialisasi dalam bidang pekerjaan tertentu seperti mengolah tanah dan tenaga kerja wanita mengerjakan proses tanam.

d. Tenaga Kerja Musiman

Karena proses produksi pertanian ditentukan oleh musim, maka terjadilah penyediaan tenaga kerja musiman dan pengangguran musiman. Bila terjadi pengangguran semacam ini, maka konsekuensinya akan terjadi migrasi atau urbanisasi musiman.


(41)

Besar-kecilnya upah tenaga kerja ditentukan oleh berbagai hal; antara lain dipengaruhi oleh mekanisme pasar atau bekerjanya sistem pasar, jenis kelamin, kualitas tenaga kerja yang menentukan besar-kecilnya upah, Umur tenga kerja di pedesaan juga sering menjadi penentuan besar-kecilnya upah, Lama waktu bekerja, dan tenaga kerja bukan manusia, seperti mesin dan hewan ternak.

2.3.3.3 Modal

Dalam kegiatan proses produksi pertanian, maka modal dibedakan menjadi dua macam, yaitu modal tetap dan modal tidak tetap. Modal Tetap dapat didefinisikan sebagai komponen biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi yang tidak habis dalam sekali proses produksi. Peristiwa ini terjadi dalam waktu yang relatif pendek (short term) dan tidak berlaku untuk jangka panjang (long term), sedangkan modal tidak tetap atau modal variabel adalah komponen biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi dan habis dalam satu kali proses produksi.

2.3.3.4 Manajemen

Dalam usaha tani modern, peranan manajemen menjadi sangat penting dan strategis. Manajemen dapat diartikan sebagai “seni” dalam merencanakan, mengorganisasikan dan melaksanakan serta mengevaluasi suatu proses produksi. Karena proses produksi melibatkan sejumlah orang (tenaga kerja) dari berbagai tingkatan; baik tingkatan umur, tingkatan pendidikan dan tingkatan posisi maupun tingkatan jabatan, maka manajemen harus bisa mengelola komponen orang-orang tersebut dalam tingkatan atau tahapan proses produksi. Manajemen dalam praktek


(42)

banyak dipengaruhi oleh: tingkat pendidikan, tingkat keterampilan, skala usaha, besar-kecilnya kredit, dan komoditas.

2.3.4. Teori Biaya dan Manfaat

Gittinger, 1986 (Parsono, 2004: 25) memberikan definisi secara sederhana tentang biaya dan manfaat. Biaya adalah segala sesuatu yang mengurangi suatu tujuan dan suatu manfaat adalah segala sesuatu yang membantu suatu tujuan.

Biaya produksi adalah sejumlah kompensasi yang diterima oleh pemilik faktor-faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi. Biaya produksi tersebut meliputi; biaya tetap dan biaya variabel.

2.3.4.1.Biaya Tetap

Biaya tetap yaitu biaya yang besarnya tetap dan tidak dipengaruhi oleh besar-kecilnya jumlah produksi Teken dan Asnawi, 1977 (Parsono, 2004: 27). Menurut Kay, 1986 (Parsono, 2004: 27). Biaya tetap adalah biaya yang perlu tetap dikeluarkan walaupun faktor produksi tidak digunakan. Besarnya biaya tetap dalam produksi gula dipengaruhi antara lain; besarnya nilai lahan (sewa lahan), pajak tanah dan pabrik, gaji karyawan dan lain- lain.

2.3.4.2. Biaya Variabel

Biaya variabel Kay, 1981 (Parsono, 2004: 26) adalah biaya yang besarnya berubah-ubah sesuai dengan jumlah produksi yang dilakukan. Biaya variabel antara lain; biaya upah tenaga kerja, transportasi, biaya perbaikan pabrik dan biaya lainnya. Perbedaan biaya tetap dan biaya tidak tetap adalah untuk mempermudah dalam membuat perancanaan jangka pendek dan jangka panjang.

Biaya produksi gula kemudian dapat dijabarkan menjadi biaya produksi gula per kilogram gula, yang berguna bagi pabrik gula serta lembaga berwenang seperti Dewan Gula Nasional dan lembaga pemerintah terkait sebagai indikator untuk menentukan harga pokok gula yang layak diterima oleh petani tanpa harus membebani konsumen dan dapat berdaya saing dengan harga gula impor.


(43)

2.3.5. Biaya Periodik dan Harga Pokok Produksi

Biaya periodik adalah biaya yang pembebanannya terhadap pendapatan atau pengakuannya sebagai beban, biaya dapat dikelompokkan sebagai harga produk dan biaya periodik. Biaya-biaya periodik terdiri dari biaya-biaya yang secara langsung dibebankan pada laporan laba-rugi sebagai beban dalam periode terjadinya biaya periodik tersebut. Termasuk dalam biaya ini adalah biaya-biaya pemasaran atau penjualan, dan biaya-biaya administrasi dan umum. Dalam penyajian laporan laba rugi dengan pendekatan variable costing semua biaya tetap dilakukan sebagai biaya periodik.

Harga pokok produksi adalah semua biaya yang terjadi dalam rangka pembelian faktor-faktor produksi dalam pembuatan produk. Dalam pendekatan

full costing harga pokok produk akan sama dengan jumlah dan komponennya dengan biaya pabrik. Termasuk dalam kelompok biaya ini adalah biaya bahan langsung, dan biaya overhead pabrik. Dalam pendekatan variable costing harga pokok produk hanya terdiri dari biaya-biaya pabrik variabel.

Gambar 4 berikut ini menunjukkan bahwa harga pokok produk dan biaya-biaya periodik pada akhirnya secara bersama-sama akan disajikan sebagai pengurang atas pendapatan dalam laporan laba rugi, tetapi pertemuan ke dua kelompok biaya tersebut bisa terjadi pada periode yang berbeda. Biaya-biaya periodik dibebankan sebagai pengurang pendapatan saat terjadinya. Sedangkan harga pokok produk nanti akan dibebankan sebagai pengurang atas pendapatan pada periode penjualan produknya, bukan pada saat terjadinya.

Harga pokok produk

Neraca Aktiva lancar

Persediaan xx

Saat barang Pada saat


(44)

Gambar 4 Arus harga pokok produk dan harga periodik

2.3.6. Perhitungan Harga Pokok Produksi

Dalam pendekatan full costing semua unsur biaya produksi menjadi elemen harga pokok produk. Dalam pendekatan variable costing dari semua unsur biaya produksi hanya biaya-biaya produksi variabel yang diperhitungkan sebagai elemen harga pokok produk. Oleh karena itu, pendekatan variblel costing bagi manajemen lebih baik digunakan sebagai alat perencanaan dan pengambilan keputusan-keputusan jangka pendek yang tidak mengharuskan pertimbangan tentang biaya-biaya non produksi.

Biaya periodik Harga pokok gula

Biaya penjualan dan administrasi

Biaya OH Pabrik

Biaya OH Pabrik variabel

Biaya tenaga kerja langsung

Persediaan barang dalam proses/jadi

Sumber: Samryn L,M Akuntansi Manajemen Suatu Penganta/L.M. Ed.1 Cet. 2 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002)


(45)

Sumber: Samrin L,M, Akuntansi Manajemen Suatu Pengantar/L.M, Ed.1 Cet. 2

(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002)

Gambar 5 Arus Biaya full costing

Pada Gambar 5 di atas menunjukkan bahwa dalam arus biaya full costing

elemen biaya periodik hanya terdiri biaya administrasi dan biaya penjualan. Elemen harga pokok produknya terdiri dari biaya overhead tetap, biaya overhead variabel serta bahan baku dan biaya tenaga kerja langsung, sedangkan untuk Gambar 6 berikut merupakan arus biaya variabel costing. Dalam arus biaya ini elemen biaya periodik terdiri dari biaya overhead tetap ditambah biaya administrasi dan penjualan. Elemen harga produknya hanya terdiri dari komponen biaya overhead variabel serta biaya bahan baku dan tenaga kerja langsung, tidak termasuk biaya overhead tetap.

Biaya periodik


(46)

Gambar 6 Arus Biaya Variable Costing

Sumber: Samrin L,M, SE, Ak, MM, Akuntansi Manajemen Suatu Pengantar/L.M, Ed.1 Cet. 2 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Perasada, 2002)

2.4. Kerangka Pemikiran

Konsumsi gula terus meningkat seiring dengan terus meningkatnya jumlah penduduk di Indonesia. Kebutuhan akan gula belum dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri dan masih banyak mengimpor dari luar negeri. Sehingga perlu adanya kebijakan dari pemerintah yang konsisten untuk menggalakkan peningkatan produksi gula dalam negeri. Pelaksanaan program pemerintah akselerasi peningkatan produksi gula yang telah ditetapkan sejak tahun 2003 yang diharapkan Indonesia mampu swasembada gula tahun 2007, program ini harus dilaksanakan secara konsisten baik oleh pemerintah selaku pemegang kebijakan dan bagi seluruh pelaku agribisnis gula.

Kabupaten Ngawi merupakan salah satu daerah Provinsi Jawa Timur yang telah mengakar sebagai daerah penghasil tebu sebagai bahan baku gula. Daerah ini masih sangat potensial untuk menjadi daerah penghasil gula karena dilihat dari letak dan geografis yang memungkinkan untuk terus berkembang.

Perlunya suatu analisa harga pokok produksi gula dirasakan sangat penting baik oleh petani tebu maupun oleh pabrik gula. Karena dengan demikian petani bisa menghitung berapa besar pendapatannya dengan usahatani tebu dan berapa keuntungannya jika dibandingkan usahatani lainnya.

Analisa harga pokok produksi gula yang akan dilakukan adalah melalui satu cara yaitu dengan pendekatan biaya Full Costing karena pendekatan ini sudah mencakup biaya secara keseluruhan.

Biya penjualan Dan administrasi

Biaya OH Pabrik

tetap

Biya OH Pabrik variabel

Biaya-biaya periodik

Biaya tenaga kerja langsung

Persediaan barang dalam proses/jadi

Beban pokok penjualan


(47)

Gambar 7 Kerangka Pemikiran Analisa Harga Pokok Produksi Gula Biaya Pembelian

tebu Persediaan/kontin

uitas persediaan pasokan Proses

produksi gula

Persediaan barang jadi

gula Biaya tenaga kerja

langsung Biaya overhead

pabrik gula

Nilai total produksi

gula

Analisa:

-- Harga pokok produksi (gula petani)

Usahatani Tebu


(48)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada petani tebu yang tergabung dalam APTR PG Soedhono salah satu unit usaha PTPN XI yang berlokasi kabupaten Ngawi propinsi Jawa Timur. Pemilihan lokasi ini dilakukan secara sengaja (purposive) dengan mempertimbangkan bahwa PG Soedhono berada di bawah naungan PTPN XI yang memiliki kapasitas produksi tidak terlalu besar, bila dibandingkan dengan pabrik gula yang juga di bawah naungan PTPN XI. Hal ini untuk memudahkan pengelolaan data yang diambil. Pertimbangan lain adalah daerah ini dari dahulu merupakan daerah penghasil tebu yang andal karena daerah ini lingkungan mendukung baik iklim, suhu, dan lingkungan sesuai dengan kebutuhan fisiologis tanaman tebu.

Kegiatan penelitian lapang tentang “Analisis Harga Pokok Produksi Gula Pada Petani Tebu Rakyat Yang Tergabung Dalam Asosiasi Petani Gula Rakyat (APTR) Pabrik Gula (PG) Soedhono Kabupaten Ngawi Propinsi Jawa Timur”, pelaksanaan penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Mei 2005 sampai dengan bulan Juni 2005.

3.2. Definisi Operasional

Penelitian ini menggunakan variabel pembatas/spesifikasi variabel sebagai berikut:

1. Biaya produksi adalah seluruh biaya yang dikeluarkan dalam proses transformasi inpu-input produksi untuk dijadikan output tujuan.


(49)

2. Analisis Harga Pokok Produksi adalah analisa semua biaya-biaya yang terjadi dalam pembelian faktor-faktor produksi dalam pembuatan produk.

3. BEP (break event point) adalah nilai titik impas.

4. Faktor produksi adalah masukan-masukan (input) yang dibutuhkan dalam proses produksi.

5. Factor Relation (FR) adalah faktor-faktor yang mempengaruhi dalam proses produksi.

6. Fixed Cost adalah seluruh biaya yang yang tidak tergantung pada besar-kecilnya jumlah produksi (biaya tetap).

7. Full Costing adalah penghitungan harga pokok produksi melalui pendekatan biaya biaya keseluruhan.

8. Input adalah masukan-masukan yang dipakai dalam proses produksi.

9. Intregrated Sugar Cane Based Industry adalah mengintegrasikan pelaksanaan insustri gula tebu yang berbasis industri.

10. Long Term adalah waktu jangka panjang.

11. Output adalah hasil dari proses produksi.

12. Phase Out adalah menutup secara bertahap.

13. Short Term adalah jangka waktu pendek.

14. Total Cost adalah biaya variabel ditambah dengan biaya tetap

15. Total Revenue adalah total produksi dikalikan harga per unit berang

16. Variable Cost adalah semua biaya yang besarnya tergantung pada jumlah produksi.


(50)

17. Variable Costing adalah penghitungan harga produksi melalui pendekatan biaya variabel.

18. Rendemen adalah besaran persentase gula dari hasil pengolahan tebu menjadi gula.

19. Hablur adalah nama dari gula yang biasa digunakan dalam industri gula.

20. Tetes adalah produk sampingan yang dihasilkan dari proses produksi tebu menjadi gula.

3.3. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer meliputi jumlah petani, biaya produksi usahatani tebu (bibit, pupuk, modal, nilai sewa lahan, tenaga kerja, pajak bumi dan bangunan, dan lain-lain). Data primer ini digunakan untuk menghitung besarnga harga pokok produksi gula yang terjadi di petani tebu yang tergabung dalam APTR PG

Soedhono. Data sekunder meliputi; luas lahan tebu yang ada di Kabupaten Ngawi, jumlah petani tebu yang tergabung dalam APTR PG Soedhono, besarnya pajak per Ha lahan, tingkat suku bunga KKP dan data pendukung lainnya. Data sekunder digunakan sebagai penunjang diperoleh melalui studi literatur, jurnal, laporan keuangan, surat kabar, dari instansi terkait misalnya Departemen

Pertanian, Dewan Gula indonesia, website dan hasil-hasil penelitian yang relevan dengan masalah penelitian oleh suatu lembaga terkait.

3.4. Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengisien kuesioner yang diisi oleh petani, wawancara dengan pengurus APTR PG Soedhono dan pengamatan secara langsung di lapangan. Sebagai alat bantu dalam wawancara digunakan daftar pertanyaan kuesioner. Hasil yang diperoleh melalui observasi berguna untuk pendataan terhadap fakta-fakta yang ada untuk merumuskan masalah. Hasil wawancara yang dilakukan hasilnya dikumpulkan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi komponen-komponen penelitian. Data sekunder dikumpulkan untuk mencari informasi perumusan masalah yang dibahas serta mendukung kesimpulan yang akan diperoleh. Dalam pengambilan sampel untuk pengambilan data primer yang melalui penyebaran kuisioner menggunakan metode Gay (Umar, 2003: 147) yang menyatakan bahwa ukuran minimal sampel yang dapat diterima berdasarkan desain penelitian yang digunakan yaitu dengan metode deskriptif. Metode


(51)

deskriptif untuk ukuran sampelnya yaitu minimal 10 persen dari jumlah populasi, jika populasi relatif kecil maka sampel yang diambil minimal 20 persen dari jumlah populasi. Pada APTR PG Soedhono jumlah Petani yang tergabung sekitar 150 orang. Maka, dalam penelitian ini jumlah sampel yang diambil adalah

sebanyak 30 Petani atau 20 persen dari jumlah petani yang tergabung dalam APTR PG Soedhono.

3.5. Metode Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini adalah dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisa secara kualitatif digunakan untuk

mengetahui gambaran pelaksanaan dan perkembangan produksi gula. Sedangkan analisa kuantitatif digunakan untuk mengetahui dan menetapkan besaran biaya yang digunakan dalam proses produksi gula sehingga dapat ditentukan harga pokok produksi gula per kilogram yang diterima petani dan pabrik.

Data kualitatif dan kuantitatif nantinya akan dimasukkan dalam bentuk tabulasi. Penggunaan tabulasi ini dimaksudkan untuk menyederhanakan data ke dalam bentuk yang mudah dipahami. Komponen biaya-biaya produksi yang relatif sangat kecil akan digabungkan ke dalam komponen biaya yang sesuai dengan kelompoknya.

Adapun metode pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan bantuan aplikasi komputer dan hasilnya dijelaskan secara deskriptif. Metode analisis meliputi analisis biaya produksi tebu, metode analisis biaya produksi gula dan analisa harga pokok produksi gula.

Dalam perhitungan harga pokok produksi gula dapat dilakukan dengan metode akutansi yang melalui pendekatan Full costing dan variable costing. Dalam penelitiaan ini peneliti menggunakan pendekatan variable costing.

Format penghitungan harga pokok produksi gula sesuai dengan perhitungan pemerintah dalam hal ini Dewan Gula Indonesia. Adalah sebagai berikut;


(52)

Tabel 5. Isian Data Biaya Produksi Petani Tebu Tahun 2005

Lahan Sawah No Uraian

PC Ratoon 1 Sewa Lahan

Biaya garap - Pembabadan

- Pengolahan Lahan s/d Siap Tanam - Penanaman

- Pemupukan

- Pemeliharaan (Drainase, Penyiangan, Bumbun, Klenteg - Pemberantasan Hama

2 - Penyulaman 3 Bibit Pupuk - ZA - TSP 4 - KCL/ZK Pemberantasan Hama - Biaya pestisida - Azodrin 5

- Guzadrin Tebang Angkut - Biaya tebang 6

- Biaya angkut

Jumlah - -

Bunga Bank

Jumlah Biaya Produksi - -

Penjualan Tetes

Total Biaya - -

Produksi Tebu (Kg) Rendemen (%)

Produksi Gula Petani (Kg)

Bagian Produksi Gula Petani (Kg)

Biaya Produksi Gula per Kg - -

Keuntungan Petani 10% - -

Total (Harga Pokok) - -

7

Pembulatan

Sumber. Sekretariat Dewan Gula Indonesia 2006

Ket : PC = Plant Cane (Tebu Tanam Pertama) Ratoon = Tebu Keprasan


(53)

BAB IV

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

4.1. Letak Geografis dan Administratif Kabupaten Ngawi

Letak geografis (seperti yang dilampirkan dalam lampiran 11) Kabupaten Ngawi pada 7021’-70 31’ Lintang Selatan dan 1100 10’ – 111040 Bujur Timur. Daerah ini merupakan daerah yang wilayahnya merupakan dataran tinggi dan sedang.

Kabupaten Ngawi merupakan salah satu wilayah paling Barat Propinsi Jawa Timur. Wilayah Kabupaten Ngawi di sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Blora, Kabupaten Grobogan (ke dua Kabupaten ini merupakan masuk wilayah Propinsi Jawa Tengah) dan Kabupaten Bojonegoro, untuk sebelah Barat Berbatasan dengan Karesidenan Surakarta, batas sebelah Selatan Kabupaten Ngawi adalah Kabupaten Magetan dan Kabupaten Madiun, sedangkan batas sebelah timur adalah Kabupaten Madiun. Kabupaten Ngawi Terdiri dari 17 kecamatan dan 217 Desa. Di mana 4 dari 217 desa adalah kelurahan.

4.2. Penduduk Kabupaten Ngawi

Sesuai dengan laporan Badan Pusat Statistik dalam buku “Kabupaten Ngawi Dalam Angka 2003” pada tahun 2003 jumlah penduduk tercatat mencapai 868.651 jiwa, Penduduk laki-laki 424. 401 jiwa dan penduduk wanita 444. 250 jiwa. Jumlah Penduduk terbesar di kecamatan Paron 90.509 jiwa, sedangkan jumlah Penduduk terandah kecamatan Pitu 27.773 jiwa. Daerah yang paling padat pendududknya di Kecamatan Ngawi dan Geneng yang mencapai lebih dari 1000


(54)

Jiwa/Km, sedangkan untuk keseluruhan di kabupaten Ngawi kepadatannya mencapai 670 jiwa /km2.

Tabel 6. Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Ngawi dari Tahun 1999-2003

No Tahun Laki-laki Perempuan Total Sex ratio

1 2003 424. 401 442.250 868.651 95,53

2 2002 423.083 442.544 865.677 95,65

3 2001 421.687 440.846 862.533 95,70

4 2000 420.282 439.165 859.447 95,50

5 1999 417.210 436.863 854.073 95,53

Sumber : Laporan BPS dalam buku “Kabupaten Ngawi Dalam Angka 2003”

Tabel 6 menunjukkan bahwa jumlah penduduk setiap tahun terus bertambah. Pada tahun 1999 jumlah penduduk kabupaten Ngawi sekitar 854.073 jiwa. Sedangkan pada tahun 2003 mencapai 868.651 jiwa. Jumlah penduduk perempuan lima tahun terakhir (periode 1999-2003) menunjukkan jumlah yang lebih besar dari pada jumlah penduduk laki-laki. Pertumbuhan penduduk tahun (2003) 0,35 per tahun.

4.3. Luas Wilayah Kabupaten Ngawi

Luas wilayah Kabupaten Ngawi mencapai 1.298,58 kilometer persegi atau Luas 129.598 ha. Wilayah Ngawi terdiri sawah, hutan, dan tanaman perkebunan yang menampung 76 persen penduduknya. Untuk lahan sawah luasnya sekitar 40 persen atau sekitar 506,4 km2 lahan sawah


(55)

Tabel 7. Luas Lahan Sawah dan Bukan Sawah (ha)

No Tahun Sawah Bukan Sawah Total

1 2003 50.639 78.959 129.598

2 2002 50.639 78.959 129.598

3 2001 50.644 78.954 129.598

4 2000 50.834 78.764 129.598

Sumber: Laporan BPS dalam buku “Kabupaten Ngawi Dalam Angka 2003”

Tabel 7 memperlihatkan bahwa sebagian besar areal pertaniaannya digunakan lahan persawahan. Yaitu sebesar 40 persen dari luas wilayah keseluruhan. Namun, dalam perkembangannya dari tahun 2000-2003 luas sawah mengalami penurunan. Pada tahun 2000 luas sawah mencapai 50.834 ha, pada tahun 2003 mengalami penurunan sebesar 195 ha yaitu menjadi 50.639. Sedangkan untuk lahan bukan sawah mengalami peningkatan sebesar 195 ha. Lahan sawah beralih fungsi menjadi lahan bukan sawah akibat dari alih fungsi lahan sawah.

Tabel 8. Luas Areal Perkebunan Kabupaten Ngawi No Tahun Tebu

Sugar cane

Kelapa (Coconut)

Tembakau Virginia Tobacco

Tembakau Rakyat Private Tobacco

Karet Rabber

1 2003 3.211,8 2.469,00 - 691,75 897,42 2 2002 3.592,76 2.413,00 33,00 1.598,00 897,42 3 2001 4.304,59 2.230,20 141,50 1.035,50 897,42 4 2000 4.608,65 2.374,00 251,00 3.000,00 897,42

Sumber : Laporan BPS dalam buku “Kabupaten Ngawi Dalam Angka 2003”

Tabel 8 menunjukkan bahwa luas areal tebu mengalami penurunan, pada tahun 2000 luas mencapai 4.608,65 ha pada tahun 2003 hanya sebesar 3.211,8 ha.


(56)

Perkebunan kelapa mengalami peningkatan luas areal perkebunannya. Perkembangangan perkebunan tembakau dikabupaten Ngawi mengalami penurunan yang tajam, sedangkan untuk perkebunan karet tidak mengalami perubahan luas.

4.4. Keadaan Umum Usahatani Tebu Rakyat PG Soedhono di Kabupaten Ngawi

Petani tebu di kabupaten Ngawi yang menjadi binaan pabrik gula (PG) Soedhono tergabung dalam wadah APTR (Asosiasi Petani Tebu Rakyat) PG Soedono. APTR ini dijadikan suatu jembatan penghubung antara kepentingan petani dan kepentingan PG. Petani menjadikan APTR sebagai tempat berkumpul dan bermusyawarah tentang berbagai permasalahan yang dihadapi dalam usaha perkebunan tebu.

Petani juga melakukan bertukar pikiran dan tukar pengalaman dalam pemeliharaan dan cara mengatasi kendala dalam budidaya tebu. Biasanya petani akan mengikuti langkah-langkah petani lain yang berhasil memperoleh hasil tabu yang baik. Mereka juga mendiskusikan penyakit atau hambatan lain dalam usahatani tebu. Saling membantu memperoleh informasi mendapatkan modal dan bantuan baik dari bank maupun dari instansi pemerintah. Pengurus APTR juga membantu dalam membuatkan penghitungan kelayakan usaha petani tebu (yang pada umumnya awam tentang penghitungan analisa kelayakan usaha) guna untuk mengajukan kredit di bank.


(57)

4.4.1. Pembuatan Guludan atau Persiapan Lahan

Pembuatan guludan adalah langkah pertama persiapan lahan dalam usaha tani tebu. Pembuatan guludan yaitu hamparan tanah tanah dibuat gundukan tanah sedemikian rupa sehingga membentuk barisan gundukan tanah (seperti dalam gambar). Jarak antar gundukan digunakan untuk tempat menanam bibit tebu. Sementara bagian tengah serta pinggir yang mengelilingi gundukan dalam petakan digunakan untuk saluran air. Fungsi gundukan tanah sendiri adalah untuk menutup bagian bibit tebu.

Fungsi pembuatan gundukan yang utama adalah agar tebu apabila sudah dewasa tidak gampang roboh. Selain untuk menimbun bagian bawah tebu fungsi lain yang tidak kalah penting dari pembuatan guludan adalah bias mengurangi pertumbuhan rumput.

Proses pembuatan guludan biasanya petani memperkerjakan enam orang laki-laki dewasa. Lama pembuatan tergantung dari jenis tanahnya serta air, apabila tanah lempung dan airnya mudah akan semakin cepat pengerjaannya. Biasanya untuk tanah satu hektar biasa dikerjakan dalam waktu 10-14 hari. Akan tetapi ada pula yang pengerjaannya menggunakan sistem borongan. Biaya dalam pengerjaan ini berkisar antara 200 ribu sampai 250 ribu tergantung dari keadaan tanah dan air. Pembuatan guludan hanya dilakukan pada tebu tris 1 selanjutnya tebu jenis tris 2, tris 3 dan selanjutnya tidak membuat guludan lagi.

4.4.2. Pengadaan Bibit

Bibit tebu biasanya diperoleh dari pabrik atau dari petani lain yang khusus menanam tebu untuk bibit karena semua petani menggunakan lahan sawah maka


(58)

petani mengguanakan bibit tebu untuk lahan sawah. Bibit tebu yang dipakai adalah jenis Triton, PS 851, BZ 10029 dan BZ 148.

Tebu bibit daunnya masih banyak yang menempel, maka harus dilakukan pengentekan atau pembersihan daun. Bibit tebu kemudian dipotong-potong yaitu setiap potongan harus menyisakan bagian tunas minimal 2 tunas sebagai bakal tebu. Memotong tebu untuk bibit kira-kira memakai 1,5 sampai 2 bagian geratan tebu. Cara ini banyak dipakai petani karena selain lebih efisien serta tebu yang dihasilkan juga sangat baik.

Petani dalam pengadaan bibit setelah terjadi kesepakatan harga menerimanya sudah di lahan yang akan di tanami tebu. Biaya pengadaan bibit per hektar berkisar antara 1 juta rupiah sampai 1,8 juta rupiah.

Sementara proses penglentekan daun tebu bibit dan pemotongannya dilakukan oleh pekerja perempuan. Untuk bibit seluas satu hektar biasanya dikerjakan 4 sampai 6 orang. Pengerjaan ini bisa memerlukan waktu 4-6 hari atau borongan dengan biaya 100 ribu sampai 150 ribu.

4.4.3. Penanaman

Bibit setelah dipotong-potong maka harus segera dilakukan penanamank arena bibit tebu yang sudah dipotong-potong kalau tidak segera ditanam akan mudah kering. Sehingga tidak bisa digunakan menjadi bibit yang baik.

Proses penanaman dilakukan oleh pekerja-pekerja perempuan dibantu oleh pekerja laki. Pekerja perempuan bertugas menanam sedangkan pekerja laki-laki membawakan bibit ke gundukan (lahan yang akan ditanami). Pekerjaan ini memerlukan waktu kira-kira 2 sampai 3 hari dengan jumlah pekerja perempuan 4


(59)

orang sedangkan untuk pekerja laki-laki 2 orang dengan mengerjakan lahan 1 hektar.

Bibit ditanam secara miring hambir di ratakan dengan tanah tidak dilakukan secara tegak karena tunas yang akan tumbuh pasti akan tegak dan apabila sudah besar maka akarnyan akan semakin kuat menunjang berat pohon tebu di atasnya.

4.4.4. Pemeliharaan dan Pemupukan

Budidaya tebu memerlukan pemeliharaan dan teknik pemupukan yang harus diperhatikan setiap petani tebu supaya mendapatkan hasil yang optimal. Langkah langkah pemeliharaan dan pemupukan (tebu pabrik) terperinci dalam buku cadongan (buku pedoman) budidaya tebu. Petani tebu rakyat di Ngawi juga menerapkan teknik pemeliharaan dan pemupukan yang mengacu pada buku cadongan tersebut. Akan tetapi biasanya petani kekurangan dana untuk melaksanakan teknik pemeliharaan yang sesuai dengan buku cadongan.

Langkah-langkah pemeliharaan budidaya tebu sebagai berikut;

1. Penanaman. Bila bibit tebu sudah siap untuk ditanam (sudah dipotong-potong) maka harus segera ditanam agar bibit tidak kering.

2. Sulam. Bila dalam waktu satu bulan bibit yang tidak tumbuk maka harus diganti dengan bibit baru (disulam). Penyulaman tidak boleh melebihi umur tebu sampai dua bulan, ini untuk menghindari pertumbuhan yang tidak merata.

3. Obor Patri atau pengairan. Proses ini adalah mengairi tebu yang sudah tumbuh umur dua bulan. Pengairan ini bersifat spesifik karena air untuk


(60)

mengairi harus mencapai batas bibit yang ditanam. Obor patri biasanya dilakukan sebanyak minimal dua kali yaitu umur 3 bulan dan 6 bulan.

4. Cemplong. Mengeruk tanah pada saluran air yang mengalami pendangkalan. Sama halnya proses obor patri, cemplong juga dilakukan minimal dua kali pada umur tebu 3 dan enem bulan.

5. Walek. Membongkar tanah guludan untuk ditutuphan pada pangkal tebu. 6. Beset atau pengelentekan daun tebu. Proses ini dilakukan dua kali pada

saat tebu umur antara enam sampai sepuluh bulan. Daun bagian bawah yang sudah mengering dibuang agar tidak menimbulkan penyakit karena bila tidak dibuang maka batang akan lembab sehingga akan mudah penyakit muncul.

7. Pemupukan. Pemupukan dilakukan sebanyak dua kali yaitu pada saat umur 2-3 bulan pada tahap pamupukan pertama dan pada umur 4-5 bulan pada tahap ke dua.

8. Tebang angkut. Bila tebu sudah mencapai 12-14 bulan maka tebu sudah siap untuk dipanen. Biasanya petani menyerahkan proses tebang angkut pada pihak pabrik. Apabila penebangan lewat dari umur 14 bulan kandungan air akan berkurang dan mutunya juga menurun.

4.5. Pendapatan

Pendapatan petani tebu yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR) PG Soedhono meliputi dua pendapatan. Sesuai dengan hasil musyawarah bersama antara APTR dan pihak pabrik untuk tebu masa tanam tahun 2004-2005 mengenai bagi hasil. Pendapatan petani diperolah dari bagi hasil gula dan dari


(61)

bagi hasil tetes. Tebu yang diolah di pabrik gula mengasilkan gula (hablur), tetes, blotong, dan ampas. Bagi hasil hanya meliputi bagi hasil gula (hablur) dan tetes. Sedangkan untuk blotong dan ampas tidak termasuk dalam nilai bagi hasil.

4.5.1. Bagi Hasil Gula

Bagi hasil gula untuk petani tergatung dari besar rendemen tebu yang dihasilkan. Tebu petani yang rendemennya < 6, maka nilai bagi hasil gula yang diperoleh sebesar 66 persen untuk petani dan 34 persen untuk pabrik gula. Sedangkan untuk tebu petani yang rendemennya > 6 maka nilai bagi hasil gula yang diperoleh sebesar 66 persen untuk petani dan 34 persen untuk pabrik gula kelebihan rendemen 6 persen 70 persen bagi petani dan 30 persen bagi pabrik. Harga tebu yang disepakati untuk masa giling tahun 2005 harga dasar sebesar RP 4.000,00.

Rumusan pendapatan dari bagi hasil gula;

Jika rendemen < 6 = besar rendemen x 66 persen x tebu (Kw) x Harga gula Jika rendemen > 6 = [besar rendemen x 66 persen + {kelebihan rendemen 6 persen x 70 persen x tebu (kw)}tebu (Kw)] x Harga gula

4.5.2. Bagi Hasil Tetes

Tetes adalah produk sampingan dari proses produksi tebu menjadi gula. Tetes dalam industri dapat dimanfaatkan untuk bahan dasar penyedap rasa dan spirtus. Bagi hasil yang disepakati untuk petani adalah sebesar 2,5 Kg tetes per Kwintal tebu yang dihasilkan. Harga tetes yang disepakati adalah sebesar RP 400,00. Rumusan pendapatan dari bagi hasil tetes, pendapatan tetes = hasil tebu (Kwintal) x 2,5 x Rp 400,00


(62)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Identitas Responden

Identifikasi responden bertujuan untuk mengetahui gambaran umum petani tebu yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tebu Rakyat Pabrik Gula (PG) Soedhono. Identifikasi ini meliputi; identifikasi umur, identifikasi tingkat pendidikan, identifikasi asal kecamatan petani dan luas lahan garapan yang di usahakan petani tebu.

5.1.1. Klasifikasi Umur Responden

Identifikasi untuk mengetahui gambaran umum umur petani yang tergabung dalam APTR PG Soedhono.

Tabel 9. Klasifikasi Umur Responden No Klasifikasi Umur

(tahun)

Jumlah (orang) Persentasi (persen)

1 21 sampai < 30 1 3,33

2 31 sampai < 40 7 23,33

3 41 sampai < 50 16 53,33

4 51 sampai < 60 5 16,67

5 61 sampai < 1 3,33

JUMLAH 30 100

Sumber : Data primer diolah

Table 9 menunjukkan bahwa petani tebu yang paling banyak mengusahakan usahatani tebu adalah petani yang berumur antara 41 tahun sampai 50 tahun yaitu sebesar 53,33 persen, sedangkan yang paling sedikit yaitu sekitar 3,33 persen patani yang berumur antara 21 tahun sampai dengan 30 tahun dan yang berumur


(63)

antara 61 tahun sampai 70 tahun. Petani dengan umur 31 tahun sampai 49 tahun jumlahnya juga banyak yaitu sekitar 23,33 persen dan untuk petani yang berumur antara 51 sampai 60 tahun jumlahnya hanya 16,67 persen.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa petani yang berpangalaman dan yang masih memiliki tenaga kuat yang masih mau berusahatani tebu. Petani yang belum berpengalaman meskipun tenaganya kuat (umur antara 20-30 tahun) dan petani yang berpengalaman tetapi tenaga badannya sudah lemah (umur antara 61 tahun ke atas) enggan untuk usahatani tebu.

5.1.2. Pendidikan Responden

Identifikasi ini dimaksudkan untuk mengetahui tingkat pendidikan petani secara umum yang tergabung dalam APTR PG Soedhono.

Tabel 10. Tingkat Pendidikan Petani Tebu rakyat

No Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) Persentase (persen)

1 SD 17 56,67

2 SLTP 4 13,33

3 SLTA 6 20

4 Perguruan Tinggi 1 3,33

5 Lainnya (pesantren dan Scaba TNI AD)

2 6,67

Jumlah 30 100

Sumber : Data primer diolah

Tabel 11 menunjukkan bahwa petani tebu rakyat di Kabupaten Ngawi pada umumnya hanya berpendidikan sekolah dasar yaitu sebesar 56,67 persen. Sedangkan untuk petani yang berpendidikan sampai perguruan tinggi hanya 3,33 persen. Namun, petani yang berpendidikan SLTA lebih besar jumlahnya dari pada


(1)

Lampiran. 10


(2)

Lampiran 11.

Peta Batas Wilayah Kabupaten Ngawi

Sumber: BPS Ngawi, Kabupaten Ngawi dalam Angka (Ngawi Regency In Figure) 2003


(3)

Tabel …. Nomor induk TRM masa tanam 2004/2005

SKW NO INDUK NAMA ALAMAT KEBUN HA TAKSASI JUMLAH

1 1025 Suwandi Geneng Pitu 2 1028 Gunawan Jongke Jongke 3 1005 Pardi BR Gulun Gulun 4 1006 Maryono Sambiram

be

Sambira mbe 5 1007 Eko Budi

P

Geneng 6 1008 Sarijo Keras 7 1009 Ontiyono Tempuran 8 1010 Mustofa Temboro 9 1011 H.Tohir Temboro 10 1012 Didik. S Rejomuly

o

11 1029 H. Slamet Temboro 12 1030 Sumiran Ngrombo 13 1031 Mulyadi Purwosari 14 1032 Sulastri Tirak

15 1033 Agus BR Takeran 16 1034 H.Mukmi

n

Temboro 17 1035 H. Jalil Kwadunga

n

18 1036 Supalal Kajang 19 1037 Sunarno Kwadunga

n

20 1038 Jamal Rejomuly o

21 1039 Mutasan Kaniten 22 1040 Winarto Beran 23 1041 Surat Rejomuly

o

24 1044 Rukayah Temboro 25 1047 Bambang

T

Maospati 26 1050 Murbasar Klitik 27 1053 Zainal A Tanjung

sari

28 1054 Joko T Keniten 29 1055 Radi Belotan 30 1056 Agus BR Melikan 31 1057 Prayogo Kauman 03

32 1060 Bambang T


(4)

33 1061 Sukadi S Temboro 34 1065 Usmania

nto

Temboro 35 1066 Agus Patihan

Tabel …. Nomor induk TRM masa tanam 2004/2005

SKW NO INDUK NAMA ALAMAT KEBUN HA TAKSASI JUMLAH

1 1025 Suwandi Geneng Pitu 2 1028 Gunawan Jongke Jongke 3 1005 Pardi BR Gulun Gulun 4 1006 Maryono Sambiram

be

Sambira mbe 5 1007 Eko Budi

P

Geneng 6 1008 Sarijo Keras 7 1009 Ontiyono Tempuran 8 1010 Mustofa Temboro 9 1011 H.Tohir Temboro 10 1012 Didik. S Rejomuly

o

11 1029 H. Slamet Temboro 12 1030 Sumiran Ngrombo 13 1031 Mulyadi Purwosari 14 1032 Sulastri Tirak

15 1033 Agus BR Takeran 16 1034 H.Mukmi

n

Temboro 17 1035 H. Jalil Kwadunga

n

18 1036 Supalal Kajang 19 1037 Sunarno Kwadunga

n 03

20 1038 Jamal Rejomuly o


(5)

21 1039 Mutasan Kaniten 22 1040 Winarto Beran 23 1041 Surat Rejomuly

o

24 1044 Rukayah Temboro 25 1047 Bambang

T

Maospati 26 1050 Murbasar Klitik 27 1053 Zainal A Tanjung

sari

28 1054 Joko T Keniten 29 1055 Radi Belotan 30 1056 Agus BR Melikan 31 1057 Prayogo Kauman 32 1060 Bambang

T

Mantren 33 1061 Sukadi S Temboro 34 1065 Usmania

nto

Temboro 35 1066 Agus Patihan


(6)