Peranan Badan Pengawas Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah Di Kabupaten Karo

(1)

PERANAN BADAN PENGAWAS DAERAH DALAM

PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH

DI KABUPATEN KARO

SKRIPSI

Diajukan untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara Medan

OLEH:

TAUFAN H. TARIGAN

NIM : 050200013

DEPARTEMEN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERANAN BADAN PENGAWAS DAERAH DALAM

PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH

DI KABUPATEN KARO

SKRIPSI

OLEH:

TAUFAN H. TARIGAN

NIM : 050200013

Disetujui oleh:

KETUA DEPARTEMEN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

NIP : 195409121984031001 Dr. Pendastaren Tarigan, SH., MS

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Pendastaren Tarigan, SH., MS

NIP : 195409121984031001 NIP : 196002141987032002 Suria Ningsih, SH.,M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

ABSTRAK *Taufan H. Tarigan

*Dr. Pendastaren Tarigan,SH,MS *Suria Ningsih,SH,M.Hum

Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui kedudukan Inspektorat daerah dalam struktur pemerintahan Kabupaten Karo, untuk mengetahui apa saja yang menjadi tugas, fungsi, wewenang serta dapat atau tidaknya Inspektorat melaksanakan perannya setelah pemberlakuan otonomi daerah di Kabupaten Karo. Spesifikasi penulisan ini bersifat deskriptif dengan menggunakan metode penelitian gabungan dimana data yang didapat dilapangan diaplikasikan dengan

peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penelitian. Berdasarkan hasil penelitian bahwa kedudukan Inspektorat daerah kabupaten

Karo sebagai perangkat daerah yang menjalankan fungsi pengawasan fungsional terhadap penyelenggaraan pemerintahan di daerah sangatlah strategis. Selain eksistensinya didukung oleh kekuatan yuridis, peran Inspektorat kabupaten Karo khususnya dalam membantu tugas pengawasan Bupati sangat signifikan bagi upaya menciptakan pemerintahan yang bersih (clean and good governance). Penulisan menunjukkan bahwa meskipun kedudukan dan peran Inspektorat kabupaten karo sangat strategis dan signifikan namun dalam proses aktualisasinya menemukan berbagai kendala, seperti lemahnya sumber daya manusia, anggaran pendanaan operasional, dan hasil dari temuan untuk dapat ditindaklanjuti ke proses hukum apabila ditemukan indikasi penyelewengan maka harus melalui ijin dari kepala daerah, karena Inspektorat Kabupaten Karo hanyalah lembaga pengawas yang berada dibawah kepala daerah (Bupati).

*Taufan H. Tarigan adalah mahasiswa Fakultas Hukum USU aktif dengan NIM 050200013 * Dosen Pembimbing I


(4)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI ...

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

BAB I : PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Pengertian dan Penegasan Judul... 4

C. Alasan Pemilihan Judul ... 6

D. Perumusan Masalah ... 6

E. Kegunaan Penelitian ... 7

F. Metode Penelitian ... 8

G. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN KARO DAN PENGAWASAN ... 13

A. Gambaran Umum Kabupaten Karo ... 13

B. Otonomi Daerah ... 20

C. Pengawasan Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah ... 27

1. Pengertian Umum Pengawasan ... 28

2. Maksud dan Tujuan Pengawasan ... 33

3. Prinsip-Prinsip dan Landasan Pengawasan ... 37

4. Subjek Pengawasan ... 40

D. Badan Pengawas Daerah Atau Inspektorat Kabupaten ... 42

BAB III : KEDUDUKAN INSPEKTORAT DALAM STRUKTUR PEMERINTAH KABUPATEN KARO ... 48

A. Tugas, Fungsi, dan Susunan Organisasi Inspektorat Kabupaten Karo ... 48

B. Kewenangan dan Tata Kerja Inspektorat Kabupaten Karo ... 52

C. Objek Yang Diawasi Oleh Inspektorat Kabupaten Karo ... 55

D. Struktur Inspektorat Dalam Pemerintahan Kabupaten Karo... 56

BAB IV : PERANAN INSPEKTORAT DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN KARO ... 64

A. Pelaksanaan Pemeriksaan Dalam Rangka Pelaksanaan Tugas Pengawasan Oleh Inspektorat Kabupaten Karo ... 64


(5)

B. Tindak Lanjut Hasil Pengawasan Sebelum dan Sesudah

Pemberlakuan Otonomi Daerah ... 69

C. Kendala-Kendala Dalam Pelaksanaan Tugas Inspektorat ... 72

D. Upaya Mengatasi Kendala-Kendala Yang Dihadapi Badan Pengawas Daerah... 77

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 83

A. Kesimpulan ... 83

B. Saran... 84


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI ...

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

BAB I : PENDAHULUAN... 1

H. Latar Belakang ... 1

I. Pengertian dan Penegasan Judul... 4

J. Alasan Pemilihan Judul ... 6

K. Perumusan Masalah ... 6

L. Kegunaan Penelitian ... 7

M. Metode Penelitian ... 8

N. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN KARO DAN PENGAWASAN ... 13

E. Gambaran Umum Kabupaten Karo ... 13

F. Otonomi Daerah ... 20

G. Pengawasan Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah ... 27

1. Pengertian Umum Pengawasan ... 28

2. Maksud dan Tujuan Pengawasan ... 33

3. Prinsip-Prinsip dan Landasan Pengawasan ... 37

4. Subjek Pengawasan ... 40

H. Badan Pengawas Daerah Atau Inspektorat Kabupaten ... 42

BAB III : KEDUDUKAN INSPEKTORAT DALAM STRUKTUR PEMERINTAH KABUPATEN KARO ... 48

E. Tugas, Fungsi, dan Susunan Organisasi Inspektorat Kabupaten Karo ... 48

F. Kewenangan dan Tata Kerja Inspektorat Kabupaten Karo ... 52

G. Objek Yang Diawasi Oleh Inspektorat Kabupaten Karo ... 55

H. Struktur Inspektorat Dalam Pemerintahan Kabupaten Karo... 56

BAB IV : PERANAN INSPEKTORAT DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN KARO ... 64

A. Pelaksanaan Pemeriksaan Dalam Rangka Pelaksanaan Tugas Pengawasan Oleh Inspektorat Kabupaten Karo ... 64


(7)

B. Tindak Lanjut Hasil Pengawasan Sebelum dan Sesudah

Pemberlakuan Otonomi Daerah ... 69

C. Kendala-Kendala Dalam Pelaksanaan Tugas Inspektorat ... 72

D. Upaya Mengatasi Kendala-Kendala Yang Dihadapi Badan Pengawas Daerah... 77

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 83

C. Kesimpulan ... 83

D. Saran... 84


(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI ...

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

BAB I : PENDAHULUAN... 1

O. Latar Belakang ... 1

P. Pengertian dan Penegasan Judul... 4

Q. Alasan Pemilihan Judul ... 6

R. Perumusan Masalah ... 6

S. Kegunaan Penelitian ... 7

T. Metode Penelitian ... 8

U. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN KARO DAN PENGAWASAN ... 13

I. Gambaran Umum Kabupaten Karo ... 13

J. Otonomi Daerah ... 20

K. Pengawasan Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah ... 27

1. Pengertian Umum Pengawasan ... 28

2. Maksud dan Tujuan Pengawasan ... 33

3. Prinsip-Prinsip dan Landasan Pengawasan ... 37

4. Subjek Pengawasan ... 40

L. Badan Pengawas Daerah Atau Inspektorat Kabupaten ... 42

BAB III : KEDUDUKAN INSPEKTORAT DALAM STRUKTUR PEMERINTAH KABUPATEN KARO ... 48

I. Tugas, Fungsi, dan Susunan Organisasi Inspektorat Kabupaten Karo ... 48

J. Kewenangan dan Tata Kerja Inspektorat Kabupaten Karo ... 52

K. Objek Yang Diawasi Oleh Inspektorat Kabupaten Karo ... 55

L. Struktur Inspektorat Dalam Pemerintahan Kabupaten Karo... 56

BAB IV : PERANAN INSPEKTORAT DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN KARO ... 64

A. Pelaksanaan Pemeriksaan Dalam Rangka Pelaksanaan Tugas Pengawasan Oleh Inspektorat Kabupaten Karo ... 64


(9)

B. Tindak Lanjut Hasil Pengawasan Sebelum dan Sesudah

Pemberlakuan Otonomi Daerah ... 69

C. Kendala-Kendala Dalam Pelaksanaan Tugas Inspektorat ... 72

D. Upaya Mengatasi Kendala-Kendala Yang Dihadapi Badan Pengawas Daerah... 77

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 83

E. Kesimpulan ... 83

F. Saran... 84


(10)

ABSTRAK *Taufan H. Tarigan

*Dr. Pendastaren Tarigan,SH,MS *Suria Ningsih,SH,M.Hum

Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui kedudukan Inspektorat daerah dalam struktur pemerintahan Kabupaten Karo, untuk mengetahui apa saja yang menjadi tugas, fungsi, wewenang serta dapat atau tidaknya Inspektorat melaksanakan perannya setelah pemberlakuan otonomi daerah di Kabupaten Karo. Spesifikasi penulisan ini bersifat deskriptif dengan menggunakan metode penelitian gabungan dimana data yang didapat dilapangan diaplikasikan dengan

peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penelitian. Berdasarkan hasil penelitian bahwa kedudukan Inspektorat daerah kabupaten

Karo sebagai perangkat daerah yang menjalankan fungsi pengawasan fungsional terhadap penyelenggaraan pemerintahan di daerah sangatlah strategis. Selain eksistensinya didukung oleh kekuatan yuridis, peran Inspektorat kabupaten Karo khususnya dalam membantu tugas pengawasan Bupati sangat signifikan bagi upaya menciptakan pemerintahan yang bersih (clean and good governance). Penulisan menunjukkan bahwa meskipun kedudukan dan peran Inspektorat kabupaten karo sangat strategis dan signifikan namun dalam proses aktualisasinya menemukan berbagai kendala, seperti lemahnya sumber daya manusia, anggaran pendanaan operasional, dan hasil dari temuan untuk dapat ditindaklanjuti ke proses hukum apabila ditemukan indikasi penyelewengan maka harus melalui ijin dari kepala daerah, karena Inspektorat Kabupaten Karo hanyalah lembaga pengawas yang berada dibawah kepala daerah (Bupati).

*Taufan H. Tarigan adalah mahasiswa Fakultas Hukum USU aktif dengan NIM 050200013 * Dosen Pembimbing I


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Republik Indonesia adalah Negara kesatuan, dalam penyelenggaraan pemerintahannya menekankan azas desentralisasi yang secara utuh dilaksanakan di Daerah Kota/Kabupaten untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dilakukan menurut prakarsanya sendiri serta didasari oleh aspirasi rakyat sesuai yang diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

Perbedaan mendasar antara pelaskanaan otonomi daerah dan era orde baru dengan pelaksanaan otonomi daerah setelah keluarnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 terletak pada azas desentralisasi. Pada masa orde baru penerapan otonomi daerah hanya dengan prinsip nyata dan bertanggung jawab, sedangkan setelah keluarnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 penerapan otonomi daerah menekankan prinsip luas, nyata dan bertanggung jawab.1

Otonomi daerah yang menganut prinsip luas, nyata dan bertanggung jawab membutuhkan pemahaman yang tepat terhadap wawasan kebangsaan dimana pemahaman tersebut antara lain sosial budaya, ekonomi, politik, hukum, pertahanan, keamanan, penanaman nilai-nila i

1


(12)

kebangsaan serta rasa cinta tanah air. Sebab tanpa pemahaman yang tepat, maka kebebasan ini dapat menjadi ancaman disintegrasi bangsa antara lain:

1. Masih banyak calon daerah otonom yang merasa tidak sanggup untuk melaksanakan otonomi karena tidak adanya sumber penerimaan daerah.

2. Banyak daerah yang tergolong kaya ingin memisahkan diri, seolah-olah mereka selama ini menganggap mensubsidi daerah lain.

3. Daerah Propinsi seperti tidak rela untuk menerima kenyataan bahwa kewenangannya yang ada selama ini akan hilang.

4. Dan lain-lain kebijaksanaan pemerintah pusat.

Wujud otonomi nyata, yang tertuang dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa:

(1) Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah.

(2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.

Oleh karena itu otonomi daerah yang luas membutuhkan pengawasan yang baik agar roda pembangunan di daerah berjalan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai oleh Undang-undang nomor 32 Tahun 2004 yaitu pemerataan dan keadilan.


(13)

Pasal 8 Peraturan Pemerintah 20 Tahun 2001 menyebutkan bahwa ada beberapa macam pengawasan yang dapat dilakukan antara lain yaitu:2

(1) Pengawasan represif yaitu pengawasan yang dilakukan terhadap kebijakan yang telah ditetapkan oleh daerah baik berupa Peraturan Daerah, Keputusan Kepala Daerah, Keputuasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah maupun Keputusan Pemimpin Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah.

(2) Pengawasan fungsional yaitu pengawasan yang dilakukan oleh Lembaga/Badan/Unit yang mempunyai tugas dan fungsi melakukan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah Daerah.

Dalam skripsi ini akan diteliti salah satu dari pengawasan yang tertuang dalam “Peraturan Pemerintah” Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah yaitu tentang pengawasan fungsional. Pengawasan fungsional dilakukan meliputi beberapa aspek, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 12 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 aspek-aspek tersebut adalah sebagai berikut:

1. Perencanaan; 2. Pelaksanaan; 3. Pelaporan; dan

4. Tindak lanjut hasil pengawasan.

Pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah Daerah merupakan bagian integral dari system penyelenggaran pemerintahan Negara. Karena hal tersebut maka dibentuk suatu badan di daerah yang bertugas melakukan pembinaan dan pengawasan secara umum di daerah yaitu

2


(14)

Inspektorat. Badan ini dibentuk dalam rangka mencapai beberapa tujuan antara lain:

1. Mencapai suatu tingkat kinerja tertentu;

2. Menjamin susunan pengelolaan administrasi yang terbaik dalam pengorganisasian unit-unit kerja pemerintahan daerah baik secara internal maupun hubungannya dengan lembaga-lembaga lain;

3. Untuk memperoleh perpaduan yang maksimal dalam pengelolaan pembangunan daerah dan nasional;

4. Untuk melindungi warga masyarakat dari penyalahgunaan kekuasaan pemerintahan daerah;

5. Untuk tercapainya integritas nasional; dan

6. Pembinaan dan pengawasan tetap terjaga agar tidak membatasi inisiatif dan tanggung jawab daerah disamping itu hal ini merupakan upaya menyelaraskan nilai efisien dan demokrasi.

B. Pengertian dan Penegasan Judul

Judul dari pada skripsi ini adalah “Peranan Inspektorat dalam pelaksanaan Otonomi daerah Di Kabupaten Karo”. Sebelum menguraikan lebih lanjut mengenai materi dari skripsi ini, terlebih dahulu penulis memberikan pengertian judul dari skripsi ini dengan lebih terperinci untuk dapat di mengerti tujuan dan isi pembahasannya.

Adapun yang dimaksud dengan Badan Pengawasan Daerah adalah merupakan unsur pengawas penyelenggaraan pemerintahan daerah yang


(15)

mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah Kabupaten, pelaksanaan pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan desa dan pelaksanaan urusan pemerintah desa.

Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Daerah otonom adalah merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam system Negara Kesatuan Republik Indoensia.

Demikian penegasan pengertian judul skripsi, baik dilihat dari sudut etimologi maupun dari segi pengertian pada umumnya. Dari uraian-uraian diatas dapat kita lihat bahwa secara etimologi dan pendapat umum, maka pengertian judul skripsi di atas adalah : peranan Inspektorat dalam pelaksanaan urusan pemerintahan daerah dalam mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan perundang-undangan dan prinsip otonomi daerah.


(16)

C. Alasan Pemilihan Judul

Pada daerah Kabupaten Karo, pelaksanaan pembinaan dan pengawasan dilakukan oleh Inspektorat. Namun target yang ingin dicapai dari kinerja badan ini bertolak belakang dan masih belum mencapai tujuan yang diinginkan, kenyataan bahwa masih banyak terdapat berbagai bentuk penyelewengan dalam penyelenggaraan pemerintahan merupakan bukti yang riil masih kurangnya pembinaan dan pengawasan, baik yang dilakukan oleh aparat pengawasan fungsional yang bersangkutan maupun yang dilakukan oleh pimpinan/atasan langsung. Sehingga menarik untuk dikaji mengapa kinerja Inpektorat di Kabupaten Karo belum mencapai target yang diinginkan.

Bertolak dari permasalahan tersebut diatas, maka perlu diteliti tentang hal tersebut dengan mengangkat judul : Peranan Inspektorat dalam pelaksanaan Otonomi daerah di Kabupaten Karo.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis mengangkat beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana Peranan Inspektorat Dalam Pelaskanaan Otonomi Daerah di Kabupaten Karo ?

2. Apakah Inspektorat dapat melakukan perannya sebagai lembaga pengawas setelah pemberlakuan Otonomi Daerah di Kabupaten Karo?


(17)

E. Kegunaan Penelitian 1. Maksud Penelitian

a. Untuk memeproleh data yang lengkap tentang kedudukan Inspektorat dalam Pelaskanaan Otonomi Daerah di Kabupaten Karo.

b. Untuk memperoleh data yang lengkap apa saja yang menjadi tugas, fungsi, wewenang serta dapat atau tidaknya Inspektorat melakukan peranannya setelah pemberlakuan Otonomi Daerah di Kabupaten Karo.

2. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui kedudukan Inspektorat dalam struktur pemerintnahan di Kabupaten Karo.

b. Untuk mengetahui apa saja yang menjadi tugas, fungsi, wewenang serta dapat atau tidaknya Inspektorat melaksanakan peranannya setelah pemberlakuan Otonomi Daerah di Kabupaten Karo.

3. Kegunaan Penelitian

a. Diharapkan dapat memperluas pemikiran dan pengetahuan mengenai fungsi Inspektorat terhadap pelaksanaan tugas yaitu melakukan pembinaan dan pengawasan di Kabupaten Karo, sehingga nantinya dapat memberikan masukan dan sumbangan pemikiran baik bagi Inspektorat itu sendiri, maupun pihak lain.


(18)

b. Diharapkan dapat memberikan sumbang saran dan upaya pemecahan terhadap hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Inspektorat dalam melakukan fungsi pembinaan dan pengawasan di Kabupaten Karo.

c. Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian gabungan, yaitu menggunakan metode penelitian normatif dan metode penelitian empiris dimana data yang didapat di lapangan diaplikasikan dengan Peraturan Perundang-undangan yang terkait dengan penelitian tersebut.

a. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian deskriptif yaitu penerapan Peraturan Perudnang-undangan mengenai pengawasan di Kabupaten Karo.

b. Metode Penentuan Sampel

1. Penentuan Wilayah atau Lokasi

Penentuan wilayah dilakukan di Kabupaten Karo 2. Populasi

Yang menjadi populasi adalah : a. Inspektorat Kabupaten Karo


(19)

b. Bidang-bidang yang dinaungi oleh Inspektorat Kabupaten Karo 3. Sampel

Penentuan sampel responden menggunakan teknik purposive

sampling, yaitu yang sengaja dipilih berdasarkan kecakapan dan

kedudukan yang dapat mewakili populasi sehingga ditentukan sebagai sampel responden adalah :

a. Kepala Kantor Badan Pengawas Daerah di Kabupaten Karo b. Satu orang pegawai setiap bidang atau yang terkait dengan

Inspektorat di Kabupaten Karo. 4. Metode Pengumpulan Data

Dengan menggunakan metode gabungan antara metode penelitian normatif dan metode penelitian empiris, maka yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.

a. Metode Penelitian Normatif

Metode Penelitian Normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya

b. Metode Penelitian Empiris

Metode Penelitian Empiris merupakan metode penulisan yang memperoleh data secara langsung melihat fakta yang terjadi dilapangan


(20)

Data primer diperoleh melalui penelitian (field reseach) yang langsung dilakukan ke objek yang ditentukan melalui wawancara langsung secara terbuka kepada responden.

d. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh melalui kepustakaan dengan cara membaca dan menelaah peraturan perundang-undangan, buku-buku, makalah dan semua bentuk tulisan yang berhubungan dengan obyek penelitian.

5. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Berdasarkan data yang diperoleh, baik data primer maupun data sekunder, setelah dikumpulkan, diseleksi dan disempurnakan, kemudian dilakukan pengolahan data yaitu dengan cara data dikumpulkan diperiksa dan diteliti kembali. Kemudian data yang telah diteliti tersebut diklasifikasikan sesuai dengan permasalahannya masing-masing.

Selanjutnya dilakukan analisis data secara kualitatif dengan menggunakan pendekatan deduktif yaitu cara berfikir dengan menarik kesimpulan dari data-data yang bersifat umum ke data-data yang bersifat khusus dan pendekatan induktif yaitu cara menarik kesimpulan dari data yang bersifat khusus kedata-data yang bersifat umum. Dari analisis data tersebut, diperoleh pengetahuan baru dan disusun dengan bentuk skripsi.


(21)

G. Sistematika Penulisan

Dalam menyusun skripsi ini, penulis menguraikan bab demi bab sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini diuraikan tentang Latar Belakang, Pengertian dan Penegasan Judul, Alasan Pemilihan Judul, Permasalahan, Kegunaan Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN KARO DAN PENGAWASAN

Dalam bab ini dikemukakan mengenai Gambaran Umum Kabupaten Karo, Otonomi Daerah, Pengawasan Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, Pengertian Umum Pengawasan, Maksud dan Tujuan Pengawasan, Prinsip-Prinsip dan Landasan Pengawasan, dan Subjek Pengawasan.

Badan Pengawas Daerah

BAB III : KEDUDUKAN INSPEKTORAT DALAM STRUKTUR PEMERINTAHAN KABUPATEN KARO

Dalam bab ini dipaparkan tentang, Tugas, Fungsi, dan Susunan Organisasi Inspektorat Kabupaten Karo, Kewenangan dan Tata Kerja Inspektorat Kabupaten Karo, Objek Yang Diawasi Oleh Inspektorat Kabupaten Karo, dan


(22)

Kedudukan Inspektorat Dalam Struktur Pemerintahan Kabupaten Karo.

BAB IV : PERANAN INSPEKTORAT DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN KARO

Dalam bab ini diuarikan tentang, Tindak Lanjut Hasil Pengawasan Sebelum dan Sesudah Pemberlakuan Otonomi Daerah, Kendala-Kendala Dalam Pelaksanaan Tugas Badan Pengawas Daerah, Upaya Mengatasi Kendala-Kendala Yang Dihadapi Badan Pengawas Daerah, dan Peranan Badan Pengawas Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah Di Kabupaten Karo.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan bab kesimpulan dan saran dari seluruh rangkaian bab-bab sebelumnya. Dalam bab ini berisikan kesimpulan yang dibuat berdasarkan uraian penelitian, kemudian dilengkapi dengan saran yang mungkin bermanfaat di masa yang akan datang.


(23)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN KARO DAN PENGAWASAN

A. Gambaran Umum Kabupaten Karo

Secara geografis Daerah Kabupaten Karo terletak antara 02 050’ s/d 03 019’ LU dan 97 055’ s/d 98 038’ BT. Daerah Kabupaten Karo terletak di daerah dataran tinggi bukit barisan dengan total luas administrasi 2.127,25 km² atau 212.725 ha. Wilayah Kabupaten Karo berbatasan dengan:

1. Kabupaten Langkat dan Deli Serdang dibagian Utara; 2. Kabupaten Simalungun dibagian Timur;

3. Kabupaten Dairi dibagian Selatan; dan

4. Propinsi Nangro Aceh Darusalam dibagian Barat.

Ibukota Kabupaten Karo adalah Kabanjahe yang terletak sekitar 76 km sebelah selatan kota Medan ibukota Provinsi Sumatera Utara.

a. Ditinjau dari topografinya

Ditinjau dari kondisi topografinya (hamparan wilayahnya), wilayah kabupaten karo terletak didataran tinggi bukit barisan dengan elevasi terendah + 140 m diatas permukaan laut (Paya lah-lah Mardingding) dan yang tertinggi ialah + 2.451 meter diatas permukaan laut (Gunung Sinabung). Daerah kabupaten karo yang berada di daerah dataran tinggi bukit barisan dengan kondisi topografi yang berbukit dan bergelombang, maka diwilayah ini ditemui banyak lembah-lembah dan alur-alur sungai yang dalam dan lereng-lereng bukit yang curam/terjal.


(24)

Sebagaian besar (90%) wilayah Kabupaten Karo berada pada ketinggian/elevasi +140 m s/d 1400 m di atas permukaan air laut.

Pada wilayah Kabupaten Karo terdapat dua hulu daerah aliran sungai (DAS) yang besar yakni DAS sungai Wampu dan DAS sungai Lawe Alas. Sungai Wampu bermuara ke Selat Sumatera dan Sungai Renun (Lawe Alas) bermuara ke Lautan Hindia.

b. Ditinjau dari iklimnya

Tipe iklim daerah Kabupaten Karo adalah E2 menurut klasifikasi Oldeman dengan bulan basah lebih tiga bulan dan bulan kering berkisar 2-3 bulan atau A menurut Koppen dengan curah hujan rata-rata di atas 1.000 mm/tahun dan merata sepanjang tahun. Curah hujan tahunan berkisar antara 1.000-4.000mm/tahun, dimana curah hujan terbesar terjadi pada bulan basah yaitu Agustus sampai dengan Januari dan Maret sampai dengan Mei.

c. Ditinjau dari kependudukan

Jumlah penduduk Kabupaten Karo pada akhir tahun 2009 ialah sebanyak 342.555 jiwa. Jumlah penduduk Kabupaten Karo jika dibandingkan dengan luas wilayah Kabupaten Karo yakni 2.127,25 km2 maka kepadatan penduduk Kabupaten Karo pada akhir tahun 2009 adalah 161,03 jiwa/km²,. Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Karo pada periode tahun 2003-2009 adalah sebesar 3,19 % per tahun.

Komposisi penduduk berdasarkan agama yang dianut memperlihatkan bahwa penganut agama nasrani merupakan yang terbanyak baru disusul oleh pemeluk agama Islam dan agama lainnya.


(25)

d. Ditinjau dari etnis

Ditinjau dari segi etnis, penduduk Kabupaten Karo mayoritas adalah suku Karo, sedangkan suku lainnya seperti suku Batak Toba/Tapanuli, Jawa, Simalungun, dan suku lainnya hanya sedikit jumlahnya (di bawah 5%).

e. Ditinjau dari administrasi pemerintahan

Kabupaten Karo adalah merupakan bagian dari Propinsi Sumatera Utara dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia yang secara administratif dibagi atas tujuh belas kecamatan yaitu :

1) Kecamatan Kabanjahe dengan ibukota Kabanjahe terdiri dari 13 desa; 2) Kecamatan Berastagi dengan ibukota Berastagi terdiri dari 9 desa;

3) Kecamatan Simpang Empat dengan ibukota Simpang Empat terdiri dari 17 desa;

4) Kecamatan Tigapanah dengan ibukota Tigapanah terdiri dari 22 desa; 5) Kecamatan Payung dengan ibukota Tiganderket terdiri dari 8 desa; 6) Kecamatan Munte dengan ibukota Munte terdiri dari 22 desa;

7) Kecamatan Tigabinanga dengan ibukota Tigabinanga terdiri dari 19 desa; 8) Kecamatan Merek dengan ibukota Merek terdiri dari 19 desa;

9) Kecamatan Kutabuluh dengan ibukota Kutabuluh terdiri dari 16 desa; 10)Kecamatan Juhar dengan ibukota Juhar terdiri dari 24 desa;

11)Kecamatan Lau Baleng dengan ibukota Lau Baleng terdiri dari 13 desa; 12)Kecamatan Mardingding dengan ibukota Mardingding terdiri dari 10 desa; 13)Kecamatan Barusjahe dengan ibukota Barusjahe terdiri dari 19 desa;


(26)

14)Kecamatan Naman Teran dengan ibukota Naman Teran terdiri dari 14 desa;

15)Kecamatan Tiganderket dengan ibukota Tiganderket terdiri dari 17 desa; 16)Kecamatan Dolat Rayat dengan ibukota Dolat Rayat terdiri dari 7 desa;

dan

17)Kecamatan Merdeka dengan ibukota Merdeka terdiri dari 9 desa.

Dari 17 (tujuh belas) kecamatan tersebut diatas terdiri dari 248 (dua ratus empat puluh delapan) desa dan 10 (sepuluh) kelurahan.

f. Ditinjau dari sistem pemerintahan

Sistim pemerintahan tertua yang dijumpai di wilayah Kabupaten Karo ialah Penghulu, yang menjalankan pemerintahan di Kampung (Kuta) menurut adat. Terbentuknya suatu Kuta harus memenuhi persyaratan adat antara lain: ada Merga pendiri (Merga taneh/simantek Kuta), ada Senina Simantek Kuta, ada Anak Beru simantek Kuta (Anak Beru Taneh) serta ada Kalimbubu Simantek Kuta (Kalimbubu Taneh).

Pada masa penjajahan Belanda mulai tahun 1906, sistem pemerintahan di wilayah Kabupaten Karo pada dasarnya ialah Pemerintahan oleh Onderafdeling

Karo Landen yang dipimpin oleh Controleur pimpinan pemerintahan selalu

ditangan bangsa Belanda.

Landschaap, yaitu pemerintahan Bumi Putra. Pemerintahan (Landschaap)

ini dibentuk berdasarkan perjanjian pendek dengan pemerintahan Onderafdeling. Berdasarkan perjanjian pendek (Korte Verklaring) tahun 1907, maka di Tanah


(27)

Karo terdapat 5 (lima) Landschaap yang dikepalai oleh Sibayak yang membawahi beberapa Urung yang dikepalai oleh Raja Urung yaitu:

1. Landschaap Lingga, membawahi 6 (enam) urung: a. Sepuluh Dua Kuta di Kabanjahe;

b. Telu Kuta di Lingga; c. Tigapancur di Tigapancur; d. Empat Teran di Naman;

e. Lima Senina di Batu Karang; dan f. Tiganderket di Tiganderket.

2. Landschaap Kutabuluh, membawahi 2 (dua) urung:

a. Namo Haji di Kutabuluh; dan b. Liang Melas di Samperaya.

3. Landschaap Sarinembah, membawahi 4 (empat) urung:

a. Sepuluhpitu Kuta di Sarinembah; b. Perbesi di Perbesi;

c. Juhar di Juhar; dan

d. Kuta Bangun di Kuta Bangun.

4. Landschaap Suka, membawahi 4 (empat) urung: a. Suka di Suka;

b. Sukapiring/Seberaya di Seberaya; c. Ajinembah di Ajinembah; dan d. Tongging di Tongging.


(28)

a. Sipitu Kuta di Barusjahe; dan b. Sinaman Kuta di Sukanalu.

Pada masa penjajahan Jepang (Tentara Jepang masuk ke Tanah Karo bulan Maret 1942) susunan pemerintahan di Tanah Karo adalah serupa dengan masa penjajahan Belanda, dengan pergantian orang-orangnya yakni yang setia kepada penjajah Jepang.

Sedangkan pada masa Kemerdekaan Republik Indonesia, struktur pemerintahan di Tanah Karo adalah sebagai berikut:

1. Pemerintahan Tanah Karo sebagai alat pemerintahan Pusat yang pada saat itu dikepalai oleh Sibayak Ngerajai Milala;

2. Pemerintahan Swapraja yaitu Landschaap: a. Lingga dengan 6 Urung;

b. Barusjahe dengan 2 Urung; c. Suka dengan 4 Urung;

d. Sarinembah dengan 4 Urung; dna e. Kutabuluh dengan 2 Urung.

Oleh Komite Nasional Indonesia, Tanah Karo dalam sidangnya tanggal 13 Maret 1946, Kabupaten Karo diperluas dengan Daerah Deli Hulu dan Cingkes, dibagi kedalam 3 (tiga) Kewedanaan dengan masing-masing membawahi 5 (lima) Kecamatan yaitu:

1. Kewedanaan Kabanjahe membawahi 5 Kecamatan yaitu: a. Kabanjahe;


(29)

c. Barusjahe;

d. Simpang Empat; dan e. Payung.

2. Kewedanaan Tigabinanga membawahi 5 Kecamatan yaitu: a. Tigabinanga;

b. Juhar Munte; c. Kutabuluh; dan d. Mardingding.

3. Kewedanaan Deli Hulu membawahi 5 Kecamatan yaitu: a. Pancur Batu;

b. Sibolangit; c. Kutalimbaru; d. Biru-Biru; dan e. Namo Rambe.

4. Bentuk dan Susunan Pemerintahan Daerah

Susunan Pemerintah Daerah seperti yang diatur menurut UU No. 22 Tahun 1999 bahwa di daerah dibentuk DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah dan Pemerintah Daerah sebagai Badan Eksekutif Daerah. Kepala Daerah Kabupaten disebut Bupati, dan dalam melaksanakan tugas dan kewenangan selaku Kepala Daerah, Bupati dibantu oleh seorang Wakil Bupati.


(30)

B. Otonomi Daerah

Sistem otonomi luas dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan revisi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 merupakan pilar utama bagi negara kesatuan, atau terpeliharanya integrasi nasional. Secara logis hal itu disebabkan bahwa daerah merupakan benteng negara yang paling kokoh. Oleh karenanya, penguatan nasional berbasis daerah yang tentunya ditujukan demi terwujudnya kesejahteraan, kemakmuran, dan kemandirian harus diperkuat melalui otonomi yang luas.3

Dengan otonomi daerah, maka akan tercipta mekanisme dimana daerah dapat mewujudkan sejumlah fungsi politik pemerintahan, hubungan kekuasaan menjadi lebih adil, sehingga dengan demikian daerah akan memiliki tingkat kepercayaan dan akhirnya akan terintegrasi ke dalam pemerintahan nasional.4

Untuk menemukan pengertian tentang otonomi daerah sebagai sarana membangun kualitas kemandirian (zelfstandingheid) yang integral, demikian diungkapkan Solly Lubis, yaitu:

Namun, demikian dalam rangka implementasi paket otonomi daerah tidaklah semudah yang dibayangkan. Paket otonomi daerah dapat berperan sebagai pengaturan integrasi nasional, sepanjang hal itu diupayakan dengan tepat dan benar.

5

3

M. Ryaas Rasyid., Op. cit., hal. 285.

4

Bambang Indra Gunawan., Peranan Bawasda Menurut Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, (Medan: Fakultas Hukum USU, 2006), hal. 2.

5


(31)

“Dengan memberikan otonomi daerah, akan tumbuh prakarsa dan kreativitas daerah, meningkatkan partisipasi dan demokrasi, meningkatkan efektivitas pembangunan dan semakin kuatnya integrasi nasional, dan pada akhirnya akan terhindar ketidakadilan selama ini dimana daerah-daerah terlalu tergantung pada putusan dan sistem subsidi dari pusat”.

Otonomi dan pengawasan memiliki hubungan logis yang sulit dipisahkan. Antaranya keduanya memiliki konsekuensi yang dapat saling mengukuhkan atau sebaliknya, apabila dijalankan dengan tanpa mempertimbangkan realitas dan manfaatnya bagi penguatan ekonomi menyebabkan kebebasan yang tidak terarah.

Sejalan dengan hal tersebut, Bagir Manan mengatakan bahwa sistem pengawasan juga menentukan kemandirian suatu otonomi. Untuk menghindari agar pengawasan tidak melemahkan otonomi, maka sistem pengawasan ditentukan secara spesifik, baik lingkup maupun tata cara pelaksanaannya.6

Tegasnya lagi, semakin banyak dan semakin intensifnya pengawasan, maka semakin sempit pula kemandirian daerah. Begitu juga sebaliknya, tidak boleh ada sistem otonomi yang menafikan pengawasan. Hal tersebut justru akan menyebabkan munculnya sistem berotonomi yang mengabaikan kepentingan nasional.7

Seiring dengan bergulirnya arus reformasi yang menginginkan adanya perbaikan di segala bidang kehidupan bangsa dan negara Indonesia, maka salah satu substansi dari tuntutan reformasi adalah

6

Bagir Manan., Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal. 39.


(32)

kebutuhan dan desakan untuk melakukan perubahan atas sistem pemerintahan yang sentralistis kepada pemberian kewenangan otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah.

Alasan mengadakan pemerintah daerah semata-mata disebabkan karena banyaknya urusan-urusan pemerintah pusat mengurusi kepentingan daerah. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Boedi Soesetyo yaitu:8

TAP MPR Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, telah menggariskan bahwa kebijakan otonomi diarahkan kepada pencapaian sasaran-sasaran sebagai berikut:

”Bahwa alasan mengadakan pemerintahan daerah adalah semata-mata untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien. Hal yang dianggap doelmatig untuk diurus oleh pemerintah setempat, pengurusannya diserhakan kepada daerah. Hal-hal yang lebih tepat diurus oleh pemerintah pusat tetap diurus oleh pemerintah pusat yang bersangkutan. Dengan demikian, maka persoalan desentralisasi adalah persoalan teknik belaka yaitu teknik pemerintahan yang ditujukan untuk mencapai hasil yang sebaik-baiknya.”

9

1. Peningkatan pelayanan publik dan kreativitas masyarakat serta aparatur pemerintahan di daerah;

2. Kesatuan hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antara pemerintah daerah dalam kewenangan dan keuangan;

8

Boedi Soesetyo., dalam Liang Gie., Pertumbuhan Pemerintah Daerah Di Negara

Republik Indonesia, Jidil III, (Jakarta: Gunung Agung, 1989), hal. 38.

9


(33)

3. Untuk menjamin peningkatan rasa kebangsaan, demokrasi, dan kesejahteraan masyarakat di daerah; dan

4. Menciptakan ruang yang lebih luas bagi kemandirian daerah.

Keharusan pemberian kewenangan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dapat dilihat ketentuan dalam Pasal 18 dan Pasal 18 A amandemen keempat UUD 1945. dalam ketentuan tersebut termaktub keharusan pemberian kewenangan kepada daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan. Artinya, terdapat keharusan untuk menerapkan asas desentralisasi. Sebab, asas tersebut memberikan indikasi positif bagi penyelenggaraan pemerintahan antara pusat dan daerah.

Sebagaimana disebutkan Amrah Muslimin, ”Desentralisasi adalah pelimpahan kewenangan kepada badan-badan dan golongan-golongan dalam masyarakat dan daerah tertentu untuk mengurus rumah tangganya sendiri”.10 Sedangkan menurut Riant Nugroho D. Mengartikan desentralisasi sebagai prinsip pendelegasian, prinsip ini mengacu kepada fakta adanya span of control dari setiap organisasi sehingga organisasi perlu diselenggarakan secara bersama-sama.11

Pemerintah daerah merupakan sub sistem dari pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, segala tujuan dan cita-cita yang diamanatkan oleh pembukaan UUD 1945 adalah juga merupakan cita-cita dan tujuan pemerintah daerah yang harus dicapai. Dengan

10

Amrah Muslimin., Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, (Bandung: Alumni, 1982), hal. 4.

11


(34)

dilaksanakannya asas desentralisasi, pemerintah daerah menjadi pemegang kendali bagi pelaksanaan pemerintah di daerah.

Prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah adalah penekanan terhadap aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, dan partisipasi masyarakat serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai wujud dari penekanan berbagai prinsip di atas, telah membuka peluang dan kesempatan yang sangat luas kepada daerah otonom untuk melaksanakan kewenangannya secara sendiri, luas, nyata, dan bertanggung jawab.

Paradigma baru desentralisasi membuka tantangan besar bagi seluruh bangsa Indonesia, namun apabila pemahaman terhadap wawasan kebangsaan keliru, akan menimbulkan tuntutan-tuntutan yang bersifat memperlemah kesatuan dan persatuan bangsa, seperti tuntutan atas pengalihan sumber-sumber pendapatan negara, bahkan tuntutan bentuk pemisahan diri daerah dari negara di luar sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penyelenggaraan pemerintahan pada hakekatnya tidak terlepas dari prinsip-prinsip manajemen modern, dimana fungsi-fungsi manajemen senantiasa berjalan secara simultan, proporsional dalam kerangka pencapaian tujuan organisasi.

Desentralisasi merupakan penyerahan wewenang pemerintah pusat kepada daerah otonomi. Menurut Hans Kelsen desentralisasi lebih luas yaitu sebagai lingkungan tempat (juga lingkungan orang) suatu kaidah


(35)

hukum yang berlaku sah. Oleh karena itu desentralisasi mengandung teretorial dan fungsional. Lebih spesifik Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dalam pasal 1 ayat (7) dijelaskan desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (2) dijelaskan bahwa pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan pemerintahan daerah otonom oleh Pemeintah Daerah dan DPRD menurut azas desentralisasi, Pasal ini menunjukkan bahwa otonomi merupakan aplikasi dari azas desentralisasi tersebut.

Menurut Bagir Manan,12 otonomi adalah hak untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan tertentu di bidang administrasi Negara yang merupakan urusan rumah tangga daerah. Hak untuk mengatur rumah tangganya sendiri mnimbulkan adanya otonomi atau dikenal dengan daerah otonom. Sedangkan secara tegas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (5) menyebutkan bahwa otonomi daerah adalah wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


(36)

Seiring dengan pendapat-pendapat diatas, Mohammad Hatta menyebutkan:13

13

Mohammad Hatta., dalam Bagir Manan., Op. cit., hal. 42. Negara Kesatuan Republik Indoensia juga termasuk Negara berkedaulatan rakyat atau demokrasi, maka prinsip kesatuan

“Menurut dasar kedaulatan rakyat itu, hak rakyat untuk menentukan nasibnya tidak hanya ada pada pucuk pemerintahan negeri melainkan juga pada tiap tempat di kota, di desa, dan di daerah. Tiap-tiap golongan persekutuan itu mempunyai badan perwakilan sendiri, seperti gemeenterraad, Provincial Road, dan lain-lain, dengan keadaan demikian tiap-tiap bagian atau golongan mendapat otonom”.

Berdasarkan pendapat di atas, maka dalam Negara kesatuan yang diikuti dengan prinsip demokrasi, penyerahan kewenangan pusat kepada daerah merupakan suatu kewajiban yang tidak dapat ditawar-tawar. Dengan desentralisasi pemerintah akan dapat memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya terhadap masyarakat yang mempunyai berbagai tuntutan yang berbeda antara satu dengan daerah lain.

Tujuan utama pemberian otonomi luas kepada daerah adalah untuk lebih mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan menumbuhkan kemandirian daerah untuk mengelola serta mengurus rumah tangganya sendiri. Sedangkan tujuan yang hendak dicapai dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah “Terwujudnya otonomi daerah yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab” yang berarti bahwa pemberi otonomi daerah didasarkan pada faktor-faktor perhitungan dan tindakan atau kebijaksanaan yang benar-benar menjamin daerah yang bersangkutan untuk mengurus rumah tangganya sendiri.


(37)

Sehubungan dengan paparan di atas, maka ditetapkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menggantikan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah dan Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Daerah. Salah satu perubahan yang sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah adalah disatukannya pengaturan mengenai pemerintahan daerah dengan pemerintahan desa. Apabila sebelumnya pemerintahan daerah dan pemerintahan desa diatur dalam dua paket undang-undang yang berbeda, maka dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, selain mengatur tentang pemerintahan desa sehingga terjadinya penghematan produk hukum serta pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah

C. Pengawasan Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah

Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan di daerah dimaksudkan sebagai upaya nyata dan terpadu dalam menjalankan asas desentralisasi. Penguatan asas tersebut hanya dilihat dari sejauh mana pelaksanaan otonomi daerah oleh pemerintahan di daerah mampu dibina dan diawasi secara benar dan bertanggung jawab. Pembinaan dan pengawasan menjadi penting, sebab tidak jarang hal tersebut menemukan berbagai kendala atau berbeda dengan relitasnya di lapangan.


(38)

1. Pengertian Umum Pengawasan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia karangan WJS. Poerwadarminta14

14

WJS. Poerwadarmita., Kamus Besar Bahasa Indoensia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986),

, pengawasan adalah bentuk kata berimbuhan pe-an, berasal dari kata “awas” yang berarti dapat melihat baik-baik, waspada dan lain-lain. Dengan kata lain pengawasan dapat diartikan kurang lebih “mampu mengetahui secara cermat dan seksama”, sebagai bentuk kata kerja.

Untuk dapat melakukan pengawasan diperlukan orang/subjek yang disebut “pengawas”, dapat berbentuk orang perorangan maupun bentuk Badan/Lembaga/Instansi, yang mempunyai tugas sebagai mata dan telinga Pimpinan/Manager suatu organisasi.

Semakin berkembangnya suatu organisasi, serta semakin luas dan banyaknya urusan/pekerjaan yang harus dilaksanakan untuk mencapai tujuan organisasi, membuat Pimpinan/Manager tidak mempunyai waktu dan kesemptan yang cukup untuk mengawasi jalannya organisasi secara pribadi, maka untuk itu memerlukan untuk mendelegasikan kewenangannya/menggunakan tenaga staf sebagai ganti dirinya dengan tugas khusus mengawasi organisasi apakah segala macam pekerjaan dilaksanakan sesuai rencana yang telah ditetapkan sebelumnya, secara berdaya guna, berhasil guna dan tepat dalam rangka mencapai tujuan organisasi.


(39)

Selanjutnya Soejamto,15

SP. Siagian

memberikan batasan mengenai pengertian pengawasan adalah segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kegiatan yang sebenarnya mengenai pelaskanaan dan menilai kenyataan apakah sesuai dengan semestinya atau tidak.

Sedangkan istilah pengawasan dalam bahasa Inggris, disebut “Controlling” diterjemahkan dengan istilah pengawasan dan pegendalian, sehingga istilah controlling ini lebih luas artinya daripada pengawasan. Dikalangan para ahli telah disamakan pengertian “controlling” ini dengan pengawasan, jadi pengawasan termasuk pengendalian.

Ada juga yang tidak setuju disamakannya makna istilah “controlling” ini dengan pengawasan karena controlling pengertiannya lebih luas daripada pengawasan. Dikatakan bahwa pengawasan adalah hanya kegiatan mengamati saja atau hanya melihat sesuai dengan seksama dan melaporkan hasil kegiatan sedangkan controlling disamping melakukan pengawasan juga melakukan kegiatan pengendalian yakni menggerakkan, memperbaiki dan meluruskan menuju arah yang benar.

16

15

Sujamto., Beberapa Pengertian Tentang Pengawasan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hal. 32.

16

SP. Siagian., Pengawasan dan Pengendalian di Bidang Pemerintahan, (Jakarta: UI

memberikan definisi pengawasan sebagai berikut : proses pengamatan daripada pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin supaya semua pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya.


(40)

Selanjutnya M. Manullang17

Kemudian dalam kata pengawasan ada istilah yang disebut dengan pemeriksaan dimana pemeriksaan ini diartikan oleh Suejamto,

mengatakan pendapatnya mengenai pengertian dari pengawasan yaitu suatu proses untuk menetapkan pekerjaan apa yang sudah dilaksanakan, menilai dan mengoreksi bila perlu dengan maksud supaya pekerjaan sesuai dengan rencana semula.

18

Menurut Panglaykin dan Hazil,

sebagai berikut, “Pemeriksaan adalah suatu cara atau bentuk kritik pengawasan yang dilakukan dengan jalan mengamati, menyelidiki atau mempelajari pekerjaan akan segala dokumen dan keterangan-keterangan lainnya yang bersangkutan dengan pelaksanaan pekerjaan tersebut akan menerangkan hasilnya dalam Berita Acara Pemeriksaan”.

19

a. Pelaksanaan pengawasan itu menitikberatkan kepada pekerjaan-pekerjaan yang sedang berjalan.

pengawasan adalah kegiatan yang meliputi aspek-aspek mengawasi, penelitian, apakah yang dicapai itu sesuai dan sejalan dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan lengkap dengan perencanaan/kebijaksanaan, program dan lain sebagainya.

Dengan demikian dapat diambil suatu pengertian bahwa pengawasan merupakan jaminan atau penjagaan supaya dapat diperoleh hasil yang sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.

Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa:

17

M. Manullang, Manajemen Personalia, (Jakarta: Ghalia Indoensia, 1976), hal. 32.

18

Sujamto, Op. cit., hal. 65.

19


(41)

b. Pengawasan tersebut adalah suatu proses pengamatan untuk mencapai sasaran tugas dengan baik dan bukan untuk mencari kesalahan seseorang yaitu tidak mengutamakan mencapai siapa yang salah;

c. Apabila ditemukan kesalahan, penyimpangan dan hambatan supaya diteliti apa penyebabnya dan mengusahakan cara memperbaikinya;

d. Pengawasan itu merupakan proses yang berlanjut, yang dilaksanakan terus-menerus, sehinga dapat diperoleh hasil pengawasan yang berkesinambungan.

Pengawasan atas penyelenggaraan otonomi daerah dimaksudkan untuk mencapai beberapa tujuan yaitu untuk;20

a. Mencapai tingkat kinerja tertentu;

b. Menjamin susunan administrasi yang baik dalam operasi unit-unit pemerintah daerah baik secara internal maupun dalam hubungannya dengan lembaga-lembaga lain;

c. Memperoleh perpaduan yang maksimum dalam pengelolaan pembangunan daerah dan nasional;

d. Melindungi warga masyarakat dari penyalahgunaan kekuasaan di daerah;

e. Mnecapai integritas nasinal; dan

20


(42)

f. Pembinaan dan pengawasan tetap dijaga agar tidak membatasi inisiatif dan tanggung jawab daerah, di samping itu hal ini merupakan upaya menyelaraskan nilai efisiensi dan demokrasi. Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ditentukan tentang pengawasan fungsional sebagaimana juga telah diatur dalam Keppres Nomor 74 Tahun 2001 tentang Tata Cara Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah khususnya pada Pasal 7 Ayat (1) disebutkan, ”Bupati/Walikota melakukan pengawasan fungsional atas kegiatan pemerintah Kabupaten/Kota”. Kembali ditegaskan bahwa pelaksanaan pengawasan fungsional tersebut dilakukan oleh sebuah badan yang merupakan bagian dari perangkat daerah yang termasuk dala m kategori lembaga teknis daerah dan salah satu tugas lembaga teknis daerah itu adalah pengawasan seperti ketentuan dalam Pasal 10 ayat (1), (2), dan ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah.

Adapun azas-azas yang harus dipatuhi dalam melakukan pengawasan antara lain sebagai berikut:

1. Azas legalitas, yaitu pelaksanaan pengawasan haruslah berdasarkan pada suatu kewenangan yang diatur menurut Peraturan Perundang-undangan.

2. Azas pengawasan terbatas, yaitu pengawasan yang dibatasi pada sasaran yang telah dijadikan pedoman pada waktu kewenangan tersebut diberikan.


(43)

3. Azas motivasi, yaitu bahwa alasan-alasan untuk melaskanakan pengawasan harus dapat mendukung keputusan yang diambil berdasarkan pengawasan tadi dan keputusan tersebut haruslah dimotivasi oleh masyarakat luas.

4. Azas kecermatan, yaitu dalam melakukan pengawasan harus bersifat hati-hati dan teliti.

5. Azas kepercayaan, yaitu bahwa hasil pengawasan itu harus dapat dipertanggungjawabkan pada pihak manapun.

2. Makasud dan Tujuan Pengawasan

Setiap kekuasaan sekecil apapun cenderung untuk disalahgunakan. Oleh sebab itu, dengan adanya keleluasan bertindak dari aparatur negara dalam lingkup pemerintahan yang memasuki semua sektor kehidupan masyarakat, yang kadang-kadang dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat itu sendiri. Maka sangat wajar apabila timbul suatu keinginan untuk mengadakan suatu sistem pengawasan terhadap jalannya pemerintahan, yang merupakan jaminan agar jangan sampai keadaan negara menjerumus ke arah diktator, dengan tanpa batas melaksanakan kewenangannya yang bertentangan dengan ciri negara hukum.21

a. Agar terciptanya jaminan perlindungan hukum bagi masyarakat agar pemerintah tidak melakukan tindakan yang sewenang-wenang dalam pelaksanaan tugasnya;

Oleh karena itu, sistem pengawasan memiliki maksud dan tujuan sebagai berikut:

22

21

SF. Marbun., Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: UII Press, 2001), hal. 261.


(44)

b. Agar juga ada perlindungan hukum bagi pemerintah dalam bertindak yang berarti segala tindakan pemerintah sesuai dengan aturan hukum dan tidak melakukan perbuatan yang salah menurut hukum;23

c. Pengawasan itu sendiri menilai suatu pelaksanaan tugas secara de

facto;24

d. Tujuan dari pengawasan hanya terbatas pada pencocokan apakah kegiatan yang dilaksanakan telah sesuai dengan tolak ukur yang telah ditetapkan sebelumnya (dalam hal ini berwujud dalam suatu rencana).25

Pengawasan selalu terkait dengan sistem manajemen apalagi jika dihubungkan dengan sistem manajemen pemerintahan, maka oleh karena itu pengawasan akan selalu diperlukan untuk menjamin pelaksanaan, perencanaan, dan tugas-tugas pemerintah sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Apabila dihubungkan dengan pemerintahan yang dalam hal ini mempunyai tugas salah satunya menjalankan serta menciptakan iklim usaha atau kondisi yang baik pada negara untuk kepentingan pembangunan, dan dalam rangka proses menciptakan pembangunan yang kondusif itu maka peranan pengawasan pun akan sangat penting. Hal ini sejalan dengan pendapat Ismail Saleh., yang menyebutkan bahwa:26

”Pengawasan sebagai faktor pengaman pembangunan tidak boleh diabaikan, bahkan ia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses pembangunan itu sendiri. Tanpa adanya pengawasan pembangunan akan terjadi banyak kebocoran, dan kebocoran itu pada dasarnya mampu menggagalkan pembangunan. Sehubungan dengan hal itu, maka seiring dengan lajunya pembangunan maka pengawasan pun tidak boleh surut. Semakin meningkatnya pembangunan maka pengawasan pun semakin tidak boleh surut. Dan tujuan pengawasan yang utama adalah ikut berusaha

23

Ibid.

24

Nimatul Huda., Otonomi Daerah Filosofi, Sejarah dan Problematika, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. 68.

25


(45)

memperlancar roda pembangunan, serta mengamankan hasil-hasil pembangunan.”

Dapat dikatakan bahwa untuk menjamin hasil optimal yang diharapkan dari kegiatan aparatur pemerintahan dalam mengemban tugas pembangunan, diperlukan pengawasan secara berkesinambungan dan berlangsung terus-menerus sesuai sesuai dengan tingkat perkembangan pembangunan dan rencana yang telah ditetapkan.

Menurut Manullang27

Selanjutnya Josef Riwu Kaho menyebutkan tujuan dari pengawasan:

tujuan pengawasan adalah agar pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan instruksi yang dikeluarkan untuk mengetahui kesulitan-kesulitan yang dihadapi yang sekaligus dapat diambil tindakan-tindakan perbaikan.

28

a. Untuk mengetahui apakah pelaskanaan pemerintahan telah sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan atau belum;

b. Untuk mengetahui kesulitan apa yang dijumpai oleh para pelaksana sehingga dengan demikian dapat diambil langkah-langkah guna perbaikan dikemudian hari;

c. Mempermudah atau meringankan tugas-tugas pelaksanaan karena pelaksanaan tidak mungkin dapat melihat kemungkinan-kemungkinan kesalahan yang dibuatnya karena kesibukan-kesibukan sehari-hari; dan

27

M. Manullang., Op. cit., hal. 68.

28


(46)

d. Pengawasan bukanlah mencari-cari kesalahan, akan tetapi untuk memperbaiki kesalahan.

Sedangkan menurut Soewarno Handayaningrat,29

a. Agar terciptanya aparatur pemerintah yang berwibawa, bersih dan bertanggung jawab yang didukung oleh situasi system manajemen pemerintahan yang berdaya guna dan berhasil guna serta ditunjang oleh partisipasi masyarakat yang terkonstruktif dan terkendali dalam wujud pengawasan masyarakat yang objektif, sehat serta bertanggung jawab;

mengatakan bahwa pengawasan bertujuan, ”Agar hasil pelaskanaan pekerjaan diperoleh secara berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif), sesuai dengan rencana yang telah ditentukan”.

Secara garis besarnya, dalam penelitian ini diperoleh bahwa tujuan pengawasan itu adalah:

b. Agar terselenggaranya tertib administrasi di lingkungan aparatur pemerintah serta menumbuhkan disiplin kerja yang sehat; dan

c. Agar terdapat kelugasan dalam menjalankan peranan, tugas, fungsi atau kegiatan yang tumbuh budaya malu dari dalam diri masing-masing aparatur, rasa bersalah dan berdosa yang lebih mendalam untuk berbuat hal-hal yang tercela terhadap masyarakat dan jajarannya.

29


(47)

Dari pendapat di atas dapat dikatakan bahwa pengawasan itu merupakan alat pengontrol, pembimbing serta pencegah, kemudian melakukan tindakan perbaikan untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditentukan.

3. Prinsip-Prinsip dan Landasan Pengawasan

Untuk mendapatkan pengawasan yang efektif dan efisien tentunya tidak terlepas dari prinsip-prinsip yang yang menjadi landasan dan terkandung dalam pengawasan itu sendiri. Adapun prinsip-prinsip yang terkandung dalam melakukan pengawasan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Objek yang menghasilkan fakta. Pengawasan harus objektif dan harus dapat menemukan fakta atau bukti konkrit tentang pelaksanaan pekerjaan dan berbagai faktor yang mempengaruhinya. b. Pengawasan berpedoman pada kebijakan yang berlaku. Untuk

mengetahui dan menilai ada tidaknya indikasi penyimpangan dan kesalahan, haruslah bertolak pangkal dari keputusan pimpinan yang tercantum dalam:

1) Peraturan-peraturan yang telah ditetapkan; 2) Pedoman kerja yang telah digariskan; 3) Rencana kerja yang telah ditetapkan; dan 4) Tujuan dan sasaran yang ditetapkan.

c. Preventif. Pengawasan harus bersifat mencegah sedini mungkin terjadinya penyimpangan atau kesalahan. Oleh karena itu


(48)

pengawasan harus dilakukan dengan menilai rencana yang akan dilakukan.

d. Pengawasan Bukan Tujuan. Pengawasan hendaknya tidak dijadikan tujuan, namun hanya sarana untuk menjamin dan meningkatkan efisiensi dan efektifitas pencapaian suatu tujuan organsiasi.

e. Efisiensi. Pengawasan harus dilakukan secara efisien, bukan justru menghambat efisiensi pelaksanaan pekerjaan.

f. Menemukan apa saja yang salah. Pengawasan terutama harus ditujukan mencari apa yang salah, penyebab kesalahan dan bagaimana sifat kesalahan tersebut.

g. Hasil temuan dari hasil pengawasan berupa pemeriksaan haruslah diikuti dengan tindak lanjut.

Adapun landasan dari pelaksanaan pengawasan Indonesia antara lain sebagai berikut:

1. Landasan Idil.

Pelaksanaan pembangunan di lingkungan pemerintah khususnya pembangunan di bidang pengawasan adalah berdasarkan Pancasila sebagai landasan idil dan Undang-undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional. Dalam hubungan itu yang penting bagi pembangunan, pengawasan harus dijiwai oleh norma-norma luhur Pancasila yang berfungsi mengatur, membatasi dan mengarah pada pola sikap, pola pikir dan pola tindak dalam pelaksanaan pengawasan. Di samping itu pelaksanaannya harus memperhatikan kaidah-kaidah hukum yang berlaku


(49)

baik bersumber dari Undang-Undang Dasar 1945 maupun sumber-sumber hukum yang lain yang dijabarkan dari hukum dasar tersebut.

2. Landasan Formil.

Untuk melaksanakan pembangunan di bidang pengawasan diperlukan pedoman. Oleh karena itu landasan formil bagi pelaksanaan pembangunan di bidang pengawasan di Indonesia mengacu pada Program Pembangunan Nasional (Propenas).

Program Pembangunan Nasional (Propenas) sebagai pedoman pelaksanaan pembangunan yang ditetapkan lima tahun sekali oleh presiden bersama Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) untuk tahun 2001 menyatakan bahwa penyelenggaraan Negara yang menyeluruh untuk pembangunan tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta mewujudkan kemajuan di segala bidang yang menempatkan Bangsa Indonesia sederajat dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

3. Landasan Fungsional

Perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian merupakan fungsi manajemen yang harus diemban atau dilaksanakan oleh aparat pemerintah sebagai penyelenggara Negara. Dengan demikian berarti keharusan melaksanakan manajemen yang berdaya guna dan berhasil guna khususnya dalam proses pengawasan merupakan landasan fungsional yang diemban oleh pejabat Negara yang menempati posisi pimpinan dari tingkat yang paling rendah sampai tingkat yang paling tinggi.


(50)

Berdasarkan landasan tersebut berarti pula bahwa kewenangan pengawasan berada pada pejabat/pimpinan, baik pejabat/pimpinan struktural sebagai atasan terhadap bawahannya, maupun pejabat /pimpinan sesuai dengan tugas yang dipimpinnya maupun pimpinan proyek.

4. Subyek Pengawasan

Pada prinsipnya pengawasan adalah salah satu unsur penting dalam rangka peningkatan pendayagunaan aparatur pemerintah dala m mendukung keberhasilan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.

Berdasarkan pengertian di atas maka pengawas tersebut adalah pegawai yang bertugas melakukan pengawasan, yang meliputi dua pengertian pokok yaitu para petugas pengawasan fungsional dan para pejabat atau pimpinan yang karena jabatannya harus senantiasa melakukan pengawasan dan pengendalian seluruh pelaksanaan tugas yang dilakukan oleh perangkatnya.

Dalam melakukan pengawasan kepribadian pengawas hendaknya dilandasi sifat jujur, berani, bijaksana dan bertanggung jawab, selain itu juga harus memiliki keahlian atau kemampuan teknik yang diperlukan dalam bidang tugasnya. Sehubungan dengan hal tersebut Soetamto,30

a. Keahlian atau pengetahuan yang menyangkut obyek yang diawasi/diperiksa;

berpendapat bahwa ada tiga kelompok atau tiga garis keahlian yang diperlukan oleh setiap pengawas, yaitu :


(51)

b. Keahlian tentang teknik atau cara melakukan pemeriksaan; dan c. Keahlian dalam menyampaikan hasil pengawasan/pemeriksaan

Dengan demikian jelas bahwa fungsi pengawasan mempunyai landasan yang kuat, baik landasan idil, landasan formil maupun landasan fungsional. Selanjutnya kepada pimpinan suatu organisasi pemerintahan tertentu dibentuk perangkat pengawasan fungsional yang bertugas membantu pimpinan dalam segala tingkat untuk melakukan kegiatan serta meningkatkan mutu pengawasan.

Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2001 tentang tata cara pengawasan penyelenggaraan Pemerintah Daerah, bahwa pengawasan fungsional menurut Pasal 1 ayat (7) adalah kegiatan yang dilakukan oleh lembaga/badan/unit yang mempunyai tugas dan fungsi melakukan pengawasan dengan cara melalui pengawasan, pengujian, pengusutan dan penilaian. Adapun pengertian dari pemeriksaan, pengujian, pengusutan dan penilaian lebih lanjut dalam Pasal 1 ayat (11,15,16,17) yaitu:

(1) Pasal 1 ayat (11), ditentukan bahwa, Pemeriksaan adalah suatu bentuk pengawasan fungsional yang dilakukan dengan cara membandingkan antara peraturan/rencana/program degnan kondisi dan atau kenyataan yang ada. Adapun pemeriksaan terbagi menjadi beberapa macam, yaitu :


(52)

1. Pemeriksaan regular yaitu kegiatan pemeriksaan yang dilakukan secara teratur berdasarkan rencana yang telah ditetapkan terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan. 2. Pemeriksaan insidentil adalah kegiatan pemeriksaan yang dilakukan

sewaktu-waktu terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan.

(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud, pada ayat (1) dilaksanakan oleh badan/lembaga pengawasan daerah kabupaten dan kota.

Dalam pasal 20 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2001 disebutkan bahwa pimpinan tingkat propinsi, kabupaten dan kota mengambil langkah tindak lanjut hasil pengawasan penyelenggaraan pemerintah di daerah berupa :

1. Tindakan administratif sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

2. Tindakan tuntutan perbendaharaan atau tuntutan ganti rugi; 3. Tindakan tuntutan/gugatan perdata;

4. Tindakan pengaduan perbuatan pidana; dan

5. Tindakan penyempurnaan kelembagaan, kepegawaian dan ketatalaksanaan.

D. Badan Pengawas Daerah Atau Inspektorat Kabupaten

Sejalan dengan perubahan mendasar pembangunan nasional sejak kurun waktu 1998 (era reformasi), maka titik berat pembangunan nasional


(53)

adalah di daerah yang berarti pemerintahan. Di daerah diberi keleluasan mengatur daerahnya demi kepentingan pembangunan di daerah tersebut. Ruang yang terbuka luas bagi pencapaian kualitas daerah melalui otonomi daerah dan desentralisasi berimplikasi kepada ketentuan perundang-undangan yang mengatur hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Hal tersebut terlihat dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian digantikan menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dilaksanakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125).

Pada Bab XII, Pasal 218 ayat (1) dan (2) ditentukan bahwa pengawasan atas pemerintah daerah dilaksanakan oleh pemerintah meliputi pelaksanaan pemerintahan daerah, peraturan daerah, dan keputusan kepala daerah. Kemudian ketentuan dalam Pasal 223 menyebutkan pedoman mengenai pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan otonomi daerah ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Sejalan dengan itu, pada bagian IX mengenai perangkat daerah Pasal 120 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa perangkat daerah terdiri dari Sekretaris Daerah yang betugas membantu kepala daerah dalam pengambilan kebijakan, koordinasi dengan seluruh perangkat daerah, membina profesionalitas Pegawai Negeri Sipil (PNS) termasuk meningkatkan kinerja institusi mereka lalu Dinas-Dinas Daerah, dan lembaga teknis daerah lainnya, sesuai dengan kebutuhan di daerah tersebut.


(54)

Selain itu, pada Pasal 1 ayat (7) Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah, memberikan penjelasan tentang perangkat daerah yakni organisasi atau lembaga pada pemerintahan daerah yang bertanggung jawab kepada kepala deaerah dan membantu kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan yang terdiri atas Sekretaris Daerah, Dinas Daerah, dan Lembaga Teknis Daerah, Kecamatan, dan Kelurahan sesuai dengan kebutuhan daerah. Aturan mengenai tugas pengawasan dilaksanakan oleh lembaga teknis daerah yang dipimpin oleh seorang kepala serta bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah.

Kedua ketentuan di atas mengisyaratkan bahwa pengawasan penyelenggaraan pemerintah di daerah menitikberatkan berfungsinya lembaga-lembaga teknis daerah. Selain itu dibutuhkan perpanjangan kemampuan bagi daerah melalui kepala daerah untuk menjalankan fungsi pengawasan khususnya pengawasan fungsional di daerah. Dengan kata lain Inspektorat Daerah belum secara eksplisit tertuang dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. namun kehadiran Inspektorat Daerah terlihat melalui Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 yang kemudian Peraturan Pemerintah ini diganti menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pembinaan dan Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah sebagai konsekuensi digantinya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah daerah.


(55)

Pada Bab I ketentuan umum, Pasal 1 butir (4) Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 dinyatakan bahwa pengawasan atas penyelenggaraan pemerintah daerah adalah proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintah daerah berjalan secara efisien dan efektif sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, Keppres Nomor 74 Tahun 2001 pada butir (7) juga ditegaskan mengenai pengawasan fungsional yakni pengawasan yang dilakukan oleh lembaga/badan/unit yang mempunyai tugas dan fungsi melakukan pengawasan melalui pemeriksaan, pengujian, pengusutan, dan penilaian.

Menurut kacamata manajemen, dibentuknya lembaga-lembaga pengawasan internal dan eksternal secara berlapis-lapis seperti sekarang ini sebenarnya telah mengikuti kaidah-kaidah manajemen modern. Luasnya rentang kendali dan kompleksitas berbagai urusan penyelenggaraan negara/pemerintahan memerlukan suatu sistem/mekanisme kontrol yang efektif, efisien, dan ekonomis sehingga visi-misi penyelenggaraan negara/pemerintahan tercapai secara tepat asas. Pembentukan lembaga pengawasan secara berlapis, menurut I Wayan Monoyasa, auditor perwakilan BPKP justru meminimalkan peluang bagi manajer publik untuk mengkoopasi operasi pengawasan, karena terjadi


(56)

proses check and recheck oleh lembaga pengawasan yang lebih eksternal.31

Pengawasan yang dimuat menurut Undang-Undnag Nomor 32 Tahun 2004, meliputi dua bentuk pengawasan yakni pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah dan pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. Salah satu peran pelaksanaan pengawasan dilaksanakan oleh aparat pengawas internal pemerintah yang saat ini berbentuk Badan Pengawas Daerah, baik untuk

Di samping itu, setiap aspek penyelenggaraan negara/pemerintah dapat dijangkau oleh lembaga pengawasan yang berlapis tersebut sehingga menekan sekecil mungkin terjadinya potensi/praktik manajemen yang tidak sehat, dimana lembaga pengawasan eksternal mengenai hal-hal yang bersifat lebih makro dan strategis. Jadi, sebagai suatu sitem pengawasan fungsional maka keberadaan Badan Pengawas Daerah baik di tingkat propinsi, kabupaten dan kota sebagai salah satu lembaga pengawasan dalam pemerintahan khususnya pemerintah daerah sesungguhnya tidak ada yang berlebihan menyangkut keberadaan Badan Pengawas Daerah ini. Apabila dikaitkan dengan lembaga-lembaga pengawasan pemerintahan yang lain maka Badan Pengawas Daerah propinsi, kabupaten dan kota memiliki paranan yang berbeda dengan lembaga pengawas lainnya. Peranannya sebagai lembaga pengawasan fungsional yang bersifat pengawasan internal terhadap penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

31

I Wayan Monoyasa., “Lembaga Pengawasan dan Good Governance, Menghilangkan Perasaan Yang Over Dosis”, Artikel Warta Pengawasan, Masyarakat dan Membudidayakan


(57)

daerah propinsi maupun daerah kabupaten atau kota. Namun sekarang ini apabila disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pembinaan dan Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, maka sudah ada beberapa Badan Pengawas Daerah yang diubah namanya menjadi Inspektorat seperti Inspektorat Propinsi Sumatera Utara.32

Sedangkan pengaturan tentang tugas pokok dan fungsi Inspektorat Kabupaten itu sendiri diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati Karo Berdasarkan Pasal 23 Peraturan Daerah Kabupaten Karo Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Organisasi dan Tata kerja Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Karo, Badan Pengawas Daerah di Kabupaten Karo juga telah diubah namanya menjadi Inspektorat Kabupaten. Inspektorat Kabupaten Karo dikukuhkan berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Karo Nomor 19 Tahun 2008 tentang organisasi dan tata kerja lembaga teknis daerah Kabupaten Karo.

Menurut Pasal 23 Perda tersebut bahwa yang dimaksud dengan Badan Pengawasan daerah adalah unsur penunjang pemerintahan Kabupaten yang dipimpin oleh seorang kepala, berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati melalui sekretaris daerah dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas-tugas pemerintah kota baik sebagai unit staf maupun unit pengawas.

32


(58)

Nomor 177 Tahun 2008 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Uraian Tugas Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Karo.

BAB III

KEDUDUKAN INSPEKTORAT DALAM STRUKTUR PEMERINTAHAN KABUPATEN KARO

A. Tugas, Fungsi, dan Susunan Organisasi Inspektorat Kabupaten Karo

Dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah ditegaskan tentang kewenangan pemerintah daerah untuk kabupaten dan kota meliputi:

1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;

2. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;

3. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; 4. Penyediaan sarana dan prasarana umum;

5. Penanganan bidang kesehatan; 6. Penyelenggaraan pendidikan; 7. Penanggulangan masalah sosial; 8. Pelayanan bidang ketenagakerjaan;

9. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; 10.Pengendalian lingkungan hidup;

11.Pelayanan pertanahan;

12.Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; 13.Pelayanan administrasi umum pemerintahan; 14.Pelayanan administrasi penanaman modal; 15.Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan

16.Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

Urusan-urusan di atas wajib dan menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota. Untuk melaksanakan kewenangan tersebut di atas, diperlukan perangkat daerah


(59)

sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 120 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa perangkat daerah untuk kabupaten/kota terdiri atas Sekretaris Daerah, Sekretrais DPRD, Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah, Kecamatan dan Kelurahan.

Hal ini berarti pada pemerintah Kabupaten/Kota akan dapat membentuk dinas daerah untuk melaksanakan fungsi otonomi dan juga daerah dapat dapat membentuk lembaga teknis sesuai dengan kebutuhan daerah yang berbentuk badan, kantor, atau Rumah Sakit Umum Daerah yang kemudian natinya lembaga teknis ini dipimpin oleh Kepala yang yang bertanggung jawab kepada daerah melalui sekretaris daerah.33

Mengacu pada ketentuan dalam Pasal 23 Peraturan Daerah Kabupaten Karo Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Organisasi dan Tata kerja Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Karo yang dituangkan dalam

Sampai pada saat ini Badan Pengawas Daerah di Kabupaten Karo yang telah diubah namanya menjadi Inspektorat Kabupaten dalam pelaksanaan tugasnya tetap masih berpedoman kepada Peraturan Daerah Kabupaten Karo Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Organisasi dan Tata kerja Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Karo yang dituangkan dalam Peraturan Bupati Karo Nomor 117 Tahun 2008 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Uraian Tugas Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Karo, yang di dalamnya dimuat mengenai tugas tugas, kewajiban, dan wewenang dari Inspektorat Kabupaten tersebut.

33


(60)

Peraturan Bupati Karo Nomor 117 Tahun 2008 Tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Uraian Tugas Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Karo. Selengkapnya bunyi ketentuan dalam Pasal 23 Peraturan Daerah Kabupaten Karo Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Organisasi dan Tata kerja Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Karo adalah:

(1) Inspektorat Kabupaten adalah merupakan unsur pengawas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

(2) Inspektorat Kabupaten mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan Pemerintahan di Daerah Kabupaten, pelaksanaan pembinaan atas penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan pelaksanaan urusan Pemerintahan Desa.

(3) Inspektorat Kabupaten dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini menyelenggarakan fungsi:

a. Perencanaan program pengawasan;

b. Perumusan kebijakan dan fasilitasi pengawasan;

c. Pemeriksaan, Pengusutan, Pengujian dan Penilaian tugas pengawasan; dan d. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Bupati sesuai dengan tugas dan

fungsinya.

(4) Inspektorat Kabupaten dipimpin oleh Kepala dengan sebutan Inspektur.

(5)Inspektur dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab langsung kepada Bupati dan secara teknis administratif mendapat pembinaan dari Sekretaris Daerah.


(61)

Mengenai tugas pokok dan fungsi serta susunan organisasi Inspektorat Kabupaten Karo sebagai berikut:

a. Tugas

Badan Pengawas Daerah (Bawasda) Kabupaten Karo mempunyai tugas pokok melakukan tugas terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan di serahkan ke kabupaten, pelaksanaan pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan desa dan pelaksanaan urusan pemerintahan desa.

b. Fungsi

Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud di atas, Inspektorat kabupaten Karo menyelenggarakan fungsi:

a. Perencanaan program pengawasan;

b. Perumusan kebijakan dan fasilitasi pengawasan;

c. Pemeriksaan, pengusutan, pengujian, dan penilaian tugas pengawasan; dan

d. Pelaskanaan tugas lain yang diberikan oleh bupati sesuai dengan tugas dan fungsinya.

c. Susunan Organisasi

1. Badan Pengawas Daerah (Bawasda) Kabupaten Karo terdiri atas: a. Kepala dengan sebutan Inspektur;

b. Sekretariat;

c. Inspektur Pembantu; d. Sub Bagian;


(62)

2. Sekretariat membawahi:

a. Sub Bagian keuangan, umum, dan kepegawaian; b. Sub Bagian evaluasi dan pelaporan;

3. Inspektur pembantu dibidang pengawasan regular; 4. Inspektur pembantu dibidang pengawasan khusus;

Sedangkan pengaturan tentang tugas pokok dan fungsi Inspektorat Kabupaten itu sendiri diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati Karo Nomor 177 Tahun 2008 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Uraian Tugas Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Karo.

B. Kewenangan dan Tata Kerja Inspektorat di Kabupaten Karo 1. Kewenangan

Dalam melaskanakan fungsi, Inspektorat Kabupaten Karo mempunyai kewenangan:

a) Pelaksanaan Pemeriksaan terhadap tugas Pemerintah Daerah Kabupaten meliputi pemerintahan, agrarian, keuangan, perlengkapan dan peralatan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Pembangunan, kesatuan bangsa dan perlindungan masyarakat, perekonomian daerah dan kesejahteraan masyarakat.

b) Penguraian dan penilaian atas kebenaran laporan berkala atau sewaktu-waktu dari setiap tugas perangkat daerah.


(63)

c) Pengusutan mengenai kebenaran laporan-laporan atau pengaduan tentang hambatan, penyimpangan atau penyalahgunaan tugas perangkat daerah.

d) Pembinaan tenaga fungsional pengawasan dilingkungan Inspektorat Kabupaten.

e) Evaluasi dan laporan pelaksanaan tugas.

Berdasarkan kewenangan Inspektorat tersebut di atas jika dikaitkan dengan kedudukannya sebagai aparat pengawasan yang berada dan bertanggung jawab kepada Bupati selaku Kepala Daerah, maka sangatlah tidak mungkin untuk melakukan peranannya dengan baik karena intervensi atau campur tangan pihak lain dalam hal ini Pemerintah Daerah itu sendiri, sehingga sulit untuk memperoleh hasil yang optimal atau objektif dari badan tersebut.

Sebaiknya Badan Pengawas Daerah ini bersifat Independen atau terpisah dengan instansi lain untuk memperoleh kepastian hukum terhadap hasil pengawasan. Untuk itu perlu dibentuk suatu badan atau lembaga pengawasan fungsional yang berdiri sendiri tanpa campur tangan instansi lain yang berkedudukan setingkat dengan Bupati, sehingga tidak adanya intervensi dari hasil pengawasan itu sendiri.

2. Tata kerja

Dalam melaksanakan tugasnya Inspektorat Kabupaten Karo wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi dan sinkronisasi baik dalam


(64)

lingkungan badan maupun antar jabatan organisasi sesuai tugas masing-masing.

a) Prinsip satuan organisasi, wajib mengambil pelaksanaan tugas bawahannya masing-masing dan apabila terjadi penyimpangan agar mengambil langkah-langkah sesuai dengan peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

b) Setiap satuan pimpinan organisasi bertanggung jawab memipin dan mengkoordinasikan bawahannya masing-masing serta memberikan bimbingan, pedoman serta petunjuk bagi pelaksanaan tugas bawahannya.

c) Setiap pimpinan satu organisasi wajib mengikuti dan mematuhi petunjuk-petunjuk dan bertanggung jawab kepada atasan secara berkala maupun sewaktu-waktu.

d) Setiap laporan diterima oleh pimpinan satuan organisasi dari bawahan, wajib diolah dan dipergunakan sebagai bahan penyusun laporan laebih lanjut dan dalam rangka memberikan petunjuk kepada bawahannya.

Dalam melaksanakan tugasnya setiap pimpinan organisasi dibantu oleh pimpinan unit organisasi bawahannya dan dalam rangka pemberian bimbingan kepada bawahannya masing-masing mengadakan rapat berkala.

Apabila seorang pimpinan satuan organisasi dilingkungan badan berhalangan melaksanakan tugasnya maka yang bersangkutan dapat


(65)

menunjuk seorang pejabat satu tingkat lebih rendah yang bertindak untuk dan atas nama pimpinan satuan organisasi yang bersangkutan.

C. Obyek yang Diawasi Oleh Badan Pengawasan Daerah Kabupaten Karo

Badan Pengawas Daerah atau Inspektorat Kabupaten Karo memiliki bidang-bidang yang menjadi objek pengawasannya meliputi bidang pemerintahan dan sosial politik, bidang perekonomian dan kesejahteraan rakyat, bidang aparatur dan tenaga kerja, bidang pendapatan dan kekayaan. Bidang-bidang tersebut dipaparkan berikut ini:

a) Bidang Pemerintahan dan Sosial Politik. Meliputi: 1. Pemerintahan Umum

2. Pemerintahan Daerah 3. Pemerintahan Kecamatan 4. Pemerintahan Kelurahan 5. Masalah Pertanahan

6. Penyelenggaraan pembinaan sosial politik yang menjadi tugas dan tanggung jawab Bupati.

b) Bidang Perekonomian dan Kesejahteraan Rakyat. Meliputi:


(1)

kurang merata atau sarana dan prasarana yang kurang memadai harus segara dipenuhi agar tugas pengawasan fungsional yang dilakukan dapat menghasilkan hasil pengawasan yang optimal dan dapat mencegah sedini mungkin pelanggaran yang terjadi atau juga dapat segera merespon segala pengaduan yang masuk ke dalam lembaga Inspektorat Kabupaten Karo di lingkungan Pemerintahan Kabupaten Karo.

Kemudian hal lain yang tidak kalah pentingnya untuk mendukung tingkat kepercayaan publik, maka Pemerintah Kabupaten Karo juga seyogiyanya membangun kerja sama yang baik dengan pihak BPKP dan Kejaksaan atau aparatur hukum yang lain, terutama untuk mempercepat proses penyelidikan terhadap dugaan KKN yang secara nyata dapat merugikan keuangan negara. Kerja sama tersebut pada intinya memberikan ruang bagi pihak Inspektorat Kabupaten Karo untuk meneruskan kasus yang ditemukan kepada pihak atau pejabat yang berwenang. Dengan demikian, kedudukan dan peranan Inspektorat Kabupaten Karo akan bekerja lebih efektif. Karena masalah yang dihadapi selama ini apabila hendak melakukan tindak lanjut dari hasil penemuannya kepada jalur hukum, maka hal itu juga harus mendapat persetujuan dari Bupati Karo sebagai Kepala Daerah Kabupaten Karo, karena hal ini mengingat kedudukan Inspektorat Kabupaten Karo bertanggung jawab kepada Kepala Daerah.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan atas permasalahan dalam penelitian ini, maka diperoleh beberapa kesimpulan yakitu:

1. Inspektorat Kabupaten Karo berkedudukan di bawah Pemerintahan Daerah Kabupaten Karo, sejajar dengan badan dan dinas lain yang dinaungi oleh Pemerintah Kabupaten Karo antara lain Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Bakesbang Linmas), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, serta badan lain yang merupakan unsur penunjang bertanggung jawab kepada Bupati melalui sekretaris Daerah dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas-tugas Pemerintah Kabupaten Karo baik sebagai unit staf maupun unit pengawas.

2. Hasil pemeriksaan kasus yang ditangani terutama pada tindak lanjut hasil pengawasan dimana sebelum pelaksanaan otonomi daerah birokrasinya agak rumit dan panjang serta menghabiskan waktu yang lama, dalam penyelesaian suatu kasus harus diselesaikan oleh pusat dengan campur tangan pihak provinsi. Sedangkan setelah pelaksanaan otonomi daerah cukup diselesaikan oleh bupati melalui surat keputusan Bupati, kecuali terhadap kasus yang terdapat indikasi tindak pidana atau perdata yang memerlukan campur tangan pihak ketiga.


(3)

3. Adapun faktor-faktor pendukung pelaksanaan dan pengawasan fungsional yang dilakukan oleh Inspektorat Kabupaten Karo setelah keluarnya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 adalah tidak terlepas dari sumber daya manusia, sarana-prasarana, instrumen pengawasan dan ketersediaan anggaran. Menjadi satu hal yang cukup ironis ketika faktor-faktor diatas menjadi pendukung pelaksanaan pengawasan fungsional di Kabupaten Karo. Namun juga menjadi kendala dalam pelaksanaan tugas diantaranya; Penyebaran SDM dan spesifikasi disiplin keilmuan/keahlian yang belum merata, artinya secara kualitas belum dapat terpenuhi, kemudian sarana dan prasarana yang masih minim yang nantinya dapat berpengaruh kepada kinerja dari aparatur pengawas dan keterbatasan anggaran.

B. Saran

Adapun yang menjadi saran sebagai masukan sesuai dengan permasalahan yang ada, maka saran dalam penelitian ini adalah:

1. Diharapkan kedudukan Badan Pengawas Daerah atau Inspektorat Kabupaten Karo tersebut tidak berada di bawah Pemerintah Daerah Kabupaten Karo itu sendiri. Namun untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja Pemerintahan Kabupaten Karo dan jajarannya dilakukan oleh Badan Pengawas Propinsi. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi penyelesaian kasus di tempat karena mengingat kedudukan Inspektorat Kabupaten Karo berada di bawah Bupati Karo tentunya Bupati Karo dapat


(4)

saja menginterpensi temuan kasus tersebut sehingga tidak dapat muncul ke permukaan untuk dilakukan penyelidikan oleh pihak yang berwajib.

2. Diharapkan kepada Pemerintah Kabupaten Karo yakni kepada Bupati Karo agar transparan dalam menyikapi dan meneruskan kasus-kasus temuan oleh Inspektorat Kabupaten Karo dengan melakukan kerja sama yang baik dengan pihak Kejaksaan, Kepolisian, Tim Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), sehingga dengan demikian terciptanya pemerintahan yang baik (good government).

3. Bupati Karo diharapkan dapat memberi anggaran dana yang lebih memadai terutama untuk penyediaan sarana-prasarana pelaksanaan tugas , karena tanpa sarana-prasarana yang memadai maka tuntutan optimalisasi kinerja Inspektorat Kabupaten Karo akan sangat sulit diraih.


(5)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

D. Riant Nugroho., Otonomi Daerah, Desentralisasi Tanpa Revolusi Kajian dan Kritik Atas Kebijakan Desentralisasi di Indonesia, Jakarta: PT. Alex Media Komputindo, 2002.

Gie, Liang., Pertumbuhan Pemerintah Daerah Di Negara Republik Indonesia, Jidil III, Jakarta: Gunung Agung, 1989.

Gunawan, Bambang Indra., Peranan Bawasda Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, Medan: Fakultas Hukum USU, 2006.

Hadayaningrat Soewarno., Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Manajemen, Jakarta: Gunung Agung, 1981.

Huda, Nimatul., Otonomi Daerah Filosofi, Sejarah dan Problematika, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Kaho, Josep Riwo M., Analisa Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indoensia, Jakarta: Bina Aksara, 1982.

Lubis, M. Solly., Politik dan Hukum Di Era Reformasi, Bandung: CV. Mandar Maju, 2000.

Manan, Bagir., Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Manullang M., Manajemen Personalia, Jakarta: Ghalia Indoensia, 1976.

Marbun., SF., Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press, 2001.

Muslimin, Amrah., Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, Bandung: Alumni, 1982.

Panglaykin., dan Hazil., Wetwork Perencanaan dan Pengawasan Aktivitas Perusahaan, Yogyakarta: BPFE UGM, 1986.

Poerwadarmita, WJS., Kamus Besar Bahasa Indoensia, Jakarta: Balai Pustaka, 1986.

Rasyid, M. Ryaas., Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Saleh, Ismail., Ketertiban dan Pengawasan, Jakarta: Haji Mas Agung, 1988. Sujamto., Beberapa Pengertian Tentang Pengawasan, Jakarta: Ghalia Indonesia,


(6)

Siagian, SP., Pengawasan dan Pengendalian di Bidang Pemerintahan, Jakarta: UI Press, 1994.

Sujamto., Beberapa Pengertian Tentang Pengawasan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983.

Sunarno, H. Siswanto., Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

B. Artikel, dan Wawancara

Hasil wawancara dengan Sekretaris Inspektorat Kabupaten Karo pada tanggal 25 Juli 2010.

Monoyasa, I Wayan., “Lembaga Pengawasan dan Good Governance, Menghilangkan Perasaan Yang Over Dosis”, Artikel Warta Pengawasan, Masyarakat dan Membudidayakan Pengawasan, Edisi April 2001, Jakarta: BPKP, 2001.

C. Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

Majelis Permusyawaratan Rakyat., Ketetapan-Ketetapan MPR Pada Sidang Tahunan, Jakarta: Sinar Grafika, 2000.

Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.

Peraturan Daerah Kabupaten Karo Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Organisasi dan Tata kerja Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Karo. Peraturan Bupati Karo Nomor 117 Tahun 2008 tentang Tugas Pokok,

Fungsi dan Uraian Tugas Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Karo. D. Internet

http://akuntansi.usu.ac.id/jurnal-akuntansi-25.html, diakses terakhir tanggal 5 Agustus 2010.