Teori Umum 1. Sistem BENTUK-BENTUK MUZARA’AH

BAB II LANDASAN TEORI

A. Teori Umum A.1. Sistem Dalam kamus manajemen karangan B.N Marbun, SH disebutkan bahwa yang dimaksud sistem adalah sekelompok unsur saling bergantung dan jalin menjalin serta dapat dianggap atau diperlukan sebagai kesatuan. 17 A.2. Tingkat Tingkat adalah angka yang menunjukkan tingkat nilai, harga, kecepatan perkembangan, produksi dan sebagainya dari sesuatu berdasarkan satuan ukur tertentu. 18

B. MUZARA’AH

1. Pengertian Muzara’ah

Menurut Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh as-Sunnah mendefinisikan muzara’ah dengan,” menyerahkan tanah kepada orang yang akan menggarapnya, dengan ketentuan si penggarap akan mendapatkan bagian dari hasil tanaman itu, separuh, sepertiga atau lebih, atau kurang dari itu, berdasarkan kesepakatan bersama.” 19 Adapun muzara’ah menurut Imam Maliki yaitu” perjanjian kerjasama dalam sektor 17 B.N. Marbun, Kamus Manajemen, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003 18 B.N. Marbun, Kamus Manajemen, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003 19 Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Dar al-Fikr, Beirut 1998, jilid 3, h.137 19 pertanian”. Sedangkan menurut Imam Hambali yaitu” Suatu kontrak penyerahan tanah kepada seorang petani untuk digarap dan hasilnya dibagi dua”. 20 Menurut Rahman, muzara’ah diartikan sewa dalam bentuk bagi hasil terhadap tanah pertanian, sedangkan musaqat dilakukan terhadap tanah perkebunankebun. Sedangkan dalam perbankan Syariah dikatakan bahwa muzara’ah diidentikkan dengan mukhabarah, hanya saja bila muzara’ah benihnya dari pemilik tanah, maka kalau mukhabarah benihnya dari penyewa. Musaqat diartikan persewaan tanah dimana penyewa hanya berkewajiban mengairi dan memelihara tanah. 21 Besarnya sewa ditetapkan dari hasil produksi dengan cara menentukan besarnya masing-masing dalam bentuk proporsi seperti : 13;14 dan lain-lain sesuai dengan kesepakatan antara kedua belah pihak serta berdasarkan kebijakan masing- masing daerah atau kondisi wilayah di mana tanah itu berada. Menurut Sunarto Zulkifli membedakan jenis muzara’ah kepada dua bagian : 22 1. Muzara’ah adalah kerjasama pengolahan lahan pertanian dimana benih berasal dari pemilik lahan. 2. Mukhabarah adalah kerjasama pengolahan lahan pertanian dimana benih berasal dari petani penggarap. 20 Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqih al-Islami Wa’adillatuh, Beirut:Dar-al-Fikr,1983, Juz 5, h.613 21 Muhammad, Ekonomi Mikro dalam Perspkektif Islam, BPFE-Yogyakarta: Yogyakarta, 2005, h.326 22 Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah, Jakarta: Zikrul Hakim, 2003 cet.1, h.56 Muzara’ah adalah metode pendanaan tradisional yang menggunakan prinsip mudharabah dan musyarakah 23 . Muzara’ah adalah imbangan tradisional dari mudharabah dalam bidang pertanian di mana petani mengambil lahan pertanian berdasarkan prinsip bagi hasil panen. Bank-bank menyerahkan kepada para petani lahan yang mereka miliki atau yang bukan dalam pemilikan mereka. Kapling tanahnya harus benar-benar ditentukan dalam perjanjian dan harus ditetapkan untuk suatu periode waktu tertentu. Hasil dari lahan itu dibagi di antara bank dan petani menurut proporsi yang disepakati. Menurut Nasrun Haroen dalam buku fiqh muamalah, secara etimologi, al muzara’ah berarti kerjasama di bidang pertanian antara pemilik tanah dengan petani penggarap. Sedangkan dalam terminology fiqh terdapat beberapa definisi al muzara’ah yang dikemukakan ulama fiqh. Menurut Imam Maliki yaitu : ﺮﺸﻟا ﺔآ ﻰﻓ ﺰﻟا ر ع 24 Perserikatan dalam pertanian. Menurut Imam Hambali al muzara’ah adalah: د ﻓ ضرﻻا ﻰ ا ﺎﻬ رﺰ وا ﺎﻬ عرﺰ او ﺎ ﻬ 25 Penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk digarap dan hasilnya dibagi berdua. 23 Latifa M. Alqaoud dan Mervyn K. Lewis, Perbankan Syariah Prinsip Praktik Prospek, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2003, h.81 24 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007, h.275 25 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, h.275 Pengertian tersebut dalam kebiasaan Indonesia disebut sebagai “paroan sawah. Penduduk Irak menyebutnya “ al-mukhabarah”, tetapi dalam al-mukhabarah, bibit yang akan ditanam berasal dari pemilik tanah. Imam asy-Syafi’I mendefinisikan al-mukhabarah dengan : ضرﻻا ﺎ ﺮ ج ﺎﻬ ﺬ او ر ﺎ ا 26 Pengelolaan tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian disediakan penggarap tanah. Dalam al-mukhabarah, bibit yang akan ditanam disediakan oleh penggarap tanah, sedang dalam al-muzara’ah bibit yang akan ditanam boleh dari pemilik.

2. Dasar Hukum Muzara’ah

Dalam membahas hukum muzara’ah terjadi perbedaan pendapat para ulama. Ada ulama yang menolak sistem muzara’ah dan ada pula ulama yang membolehkan akad muzara’ah. Imam Abu Hanifah 80-150 H699-767 M dan Zufair ibn Huzail 728-774 M, pakar fiqh hanafi, berpendapat bahwa akad al-muzara’ah tidak boleh. Menurut mereka, akad al-muzara’ah dengan bagi hasil, seperti seperempat dan seperdua, hukumnya batal. Alasan Imam Abu Hanifah dan Zufair ibn Huzail adalah hadist yang bersumber dari Tsabit Ibnu adh-Dhahhak. 26 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, h.275 Dalam riwayat Sabit ibn adh-Dhahhak dikatakan : نا ﻮ ر ل ﷲا ﻰ ﷲا و ﻰﻬ ﺔ راﺰ ا اور ﺎ كﺎ ا 27 Rasulullah saw. melarang al-muzara’ah HR Muslim dari tsabit Ibnu Adh- dhahhak. Menurut mereka, obyek akad dalam al-muzara’ah belum ada dan tidak jelas kadarnya, karena yang dijadikan imbalan untuk petani adalah hasil pertanian yang belum ada al-ma’dum dan tidak jelas al-jahalah ukurannya, sehingga keuntungan yang akan dibagi, sejak semula tidak jelas. Boleh saja pertanian itu tidak menghasilkan, sehingga petani tidak mendapatkan apa-apa dari hasil kerjanya. Oleh karena itu unsur spekulasi untung-untungan dalam akad ini terlalu besar, obyek akad yang bersifat al-ma’dum dan al-jahalah inilah yang membuat akad ini tidak sah. Adapun perbuatan Rasulullah saw. dengan penduduk Khaibar menurut mereka, bukan merupakan akad al-muzara’ah, adalah berbentuk al-kharaj al-muqasamah, yaitu ketentuan pajak yang harus dibayarkan petani kepada Rasulullah setiap kali panen dalam prosentase tertentu. Dalam hadist yang diriwayatkan al-Jama’ah mayoritas pakar hadist dikatakan bahwa : 27 Imam Muslim, Shahih Muslim, Liban: Dar al-Firk, 1993, Jilid 3, h.27 نا ﻮ ر ل ﷲا ﻰ ﷲا و ﺎ ها ﺮ ﺮ ﺸ ﺎ جﺮ ﺮ عرزوا اور ىرﺎ ا و ﻮ او دواد ﻰ ﺎ او او ﺎ ﺮ او ىﺬ ﺪ او ﺪ ﷲا ﺮ 28 Rasulullah saw. melakukan akad muzara’ah dengan penduduk Khaibar, Yang hasilnya dibagi antara Rasul dengan para pekerja.HR al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, an-Nasa’I, Ibnu Majah,at-Tirmizi, dan Imam Ahmad ibn Hanbal dari Abdullah ibn Umar. Abu Yusuf 113-182 H731-798 M, Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani 748-804 M, keduanya sahabat Abu Hanifah, juga berpendapat bahwa akad al- muzara’ah hukumnya boleh, karena akadnya cukup jelas, yaitu menjadikan petani sebagai serikat dalam penggarapan sawah. Menurut mereka, akad ini bertujuan untuk saling membantu antara petani dengan pemilik tanah pertanian. Pemilik tanah tidak mampu untuk mengerjakan tanahnya, sedangkan petani tidak mempunyai tanah pertanian. Oleh sebab itu, adalah wajar apabila antara pemilik tanah persawahan bekerjasama dengan petani penggarap, dengan ketentuan bahwa hasilnya mereka bagi sesuai dengan kesepakatan 28 Ahmad Zaidun, Ringkasan Hadist Shahih Al-Bukhari, Jakarta: Pustaka Amani, 1996, Cet. h. 496 bersama. Menurut mereka, akad seperti ini termasuk ke dalam firman Allah dalam surat al-Ma’idah, 5:2 yang berbunyi : ﺎ و ﻰ اﻮ و ﺮ ا او ىﻮ ﻻو ﺎ اﻮ و ﻰ ﻻا و ﺪ ا ناو ةﺪ ﺎ ا : 2 ‘’Bertolong menolonglah kamu atas kebajikan dan ketakwaan dan jangan tolong menolong atas dosa dan permusuhan…. ‘’Q.S. Al Maidah:2 Firman Allah dalam surat An Nisaa: 29 berbunyi : ﺎﻬ أﺎ اﻮ اء ﺬ ا ﻻ اﻮ آْﺄَ ﻜ اﻮ أ ﻜ ِ ﺎ ﺎِ ﺎَإ نأ نﻮﻜَ ةرﺎ ﻜ ضاﺮَ ... ءﺎ ا : 29 “Hai Orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu…”Q.S. An Nisaa’:29 Mujahid juga meriwayatkan bahwa: ﻰ ﻰ ﺎ ﺪ . ،وﺮ ﺪ ز د ﺎ ﺎ ﺮ ا نا سوﺎ لﺎ اﺪهﺎ : ﺪ ﻓار ا ﻰ ا ﺎ ا . ﺎﻓ و ﷲا ﻰ ا ا ﺪ ا . ﺮﻬ ﺎﻓ لﺎ . نا ﷲا ﻰ ﷲا لﻮ ر ﻓ ﺎ ﻰﻬ و . ﻰ ﺪ ﻜ و ﻬ اﻮه سﺎ ا ﻰ : ﷲا ﻰ ﷲا لﻮ ر نا لﺎ و ﺎﻬ ﺪ ﺎ نا ﺮ را ﺎ ا ﺮ ا ن ﻻ ﺎ ﻮ ﺎ ﺮ اور 29 “Mujahid meriwayatkan dari Rafi’bin Khadij bahwa Rasulullah SAW melarang mereka untuk melakukan urusan yang mendatangkan keuntungan memberi tanah dengan bagi hasil atau pembayaran tunai Rasulullah SAW juga berkata kepada mereka bahwa jika mereka mempunyai tanah, mereka 29 Imam Muslim, Shahih Muslim, h.27 harus menggarapnya sendiri atau menyerahkannya kepada saudara-saudara mereka yang dipercayai untuk menggarapnya.” Riwayat Muslim Imam Syafi’i juga berpendapat bahwa akad al-muzara’ah tidak sah, kecuali apabila al-muzara’ah mengikut pada akad al-musaqah kerjasama pemilik kebun dengan petani dalam mengelola pepohonan yang ada di kebun itu, yang hasilnya nanti dibagi menurut kesepakatan bersama. Misalnya apabila terjadi kerjasama dalam pengolahan perkebunan, kemudian ada tanah kosong yang boleh dimanfaatkan untuk al-muzara’ah pertanian, maka menurut Imam Syafi’i, akad al-muzara’ah boleh dilakukan. Akad ini tidak berdiri sendiri, tetapi mengikut pada akad al-musaqah. Ada juga yang melarang dengan dalil hadist shahihnya yang menerangkan bahwa nabi SAW melarang menyewakan tanah dengan penyewaan atau bagian tertentu, yaitu hadis yang diriwayatkan dari Nabi oleh dua orang peserta Perang Badar Rafi’bin Khadij dan Jabir bin Abdullah. 30 Diriwayatkan dari Rafi’bin Khadij r.a. berkata: ىﺮﻜ ﺎ آ ﺎ ر دﺰ ﺔ ﺪ ا ها ﺮ آا ﺎ آ لﺎ ﺪ ﻓار و ﻚ اذ ب ﺎ ﺎ ﻓ لﺎ ضﺮ ا ﺪ ﻰ ﺎﻬ ﺔ ﺎ ﺎ ضﺮ ا ه ﺬ ا ﺎ ا ﺎ ﻬ ﻓ ﻚ اذ و ضﺮ ا ب ﺎ ﺎ و ضﺮ ا ﻓ قرﻮ او ﺬ ﻮ ﻜ . ىرﺎ ا اور : 2327 31 “Diriwayatkan dari Rafi’bin Khadij r.a. dia berkata: kami adalah penduduk Madinah yang paling banyak memiliki lading. Kami menggarap lahan 30 http: media.isnet.orgislamQardhawiHalal.htm, 2 Mei 2007, h.3 31 Ahmad Zaidun, Ringkasan Hadist Shahih Al-Bukhari, h. 496 pertanian dengan cara bagi hasil dengan ditentukan lokasi mana yang akan kami pungut hasilnya dan mana pula yang akan dipungut hasilnya oleh pekerja. Kadang-kadang lokasi tertentu jatah untuk upah pekerja terserang hama, sementara lokasi yang lain jatah untuk kami selamat. Kadang-kadang juga terjadi sebaliknya. Maka kami dilarang oleh Rasulullah SAW menerapkan cara bagi hasil seperti itu. Ketika itu mata uang emas dinar dan perak dirham belum berlaku”. Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari, nomor hadis: 2327 Adapun yang berpendapat bahwa penyewaan tanah yang dilarangnya itu ialah penyewaan dengan uang emas dan parak. Adapun muzara’ah dipandang tidak apa- apa tetapi dengan 13 atau ¼ ialah Thawus salah seorang ahli Fiqih dari Yaman dan seorang Tabi’in besar, Muhammad bin Sirin dan Al-Qasim bin Muhammad bin Abu baker as-Shiddiq. 32 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membolehkan menyewakan tanah, tetapi beliau sendiri menyebutkan, bahwa muzara’ah adalah lebih sesuai dengan keadilan dan prinsip syariah Islamiyah. Beliau berkata: “Muzara’ah lebih halal daripada kira’ 33 , dan lebih mendekati kepada keadilan dan pokok ajaran agama Islam. Sebab dalam muzara’ah itu kedua belah pihak bersekutu dalam keuntungan dan kerugian, berbeda dengan kira’, maka pemilik tanah sudah pasti menerima keuntungan, sedang pihak penyewa kadang-kadang dapat dan kadang-kadang tidak dapat. 34 Muzara’ah yang adil adalah cara yang dilakukan oleh kaum muslimin di zaman Rasulullah SAW, para khulafaur Rasyidin, keluarga Abu bakar, keluarga Umar, keluarga Usman, keluarga Ali dan kaum muhajirin. Dan ini pulalah yang 32 http: media.isnet.orgislamQardhawiHalal.htm, 2 Mei 2007, h.3 33 Kira’ yaitu bentuk muzara’ah yang dilarang karena pemilik sudah pasti menerima keuntungan sedangkan untuk penyewa belumpasti menerima hasil. 34 http: media.isnet.orgislamQardhawiHalal.htm, 2 Mei 2007, h.3 menjadi pendirian kebanyakan para sahabat seperti Ibnu Mas’ud, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit dan lain-lain. Dan ini pulalah yang menjadi pendirian Ulama ahli hadist seperti Imam Ahmad, Ishak bin rahawih, Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Daud bin Ali, Muhammad bin Ishak bin Khuzaimah, Abu bakar bin al-Mundzir, Muhammad bin Nasr al-Maruzi. Dan ini juga yang menjadi pendirian kebanyakan ulama Islam seperti Al-Laits bin Sa’ad, Ibnu Abi Laila, Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan dan lain-lain. 35

3. Rukun dan Syarat-syarat Muzara’ah a. Rukun Muzara’ah

Jumhur Ulama yaitu Imam Maliki, Imam Syafi’I dan Imam Hambali yang membolehkan akad muzara’ah mengemukakan rukun yang harus dipenuhi, agar akad itu menjadi sah, di antaranya : 1 Pemilik tanah; 2 Petani penggarap pengelola; 3 Objek muzara’ah yaitu antara manfaat lahan dan hasil kerja pengelola; 4 Ijab dan Kabul. 36 Secara sederhana ijab dan kabul cukup dengan lisan saja. Namun, sebaliknya dapat dituangkan dalam surat perjanjian yang dibuat dan disetujui bersama, termasuk bagi hasil persentase kerjasama itu. 37 35 http: media.isnet.orgislamQardhawiHalal.htm, 2 Mei 2007, h.6 36 Ijab adalah ungkapan penyerahan lahan dari pemilik lahan dan Qabul adalah pernyataan menerima lahan untuk diolah dari petani.

b. Syarat-syarat Muzara’ah

Syarat-syarat muzara’ah, ada yang berkaitan dengan orang yang berakad, benih yang akan ditanam, lahan yang akan dikerjakan, hasil yang akan dipanen, dan jangka waktu berlaku akad. 1. Syarat yang berkaitan dengan orang yang melakukan akad, harus baligh dan berakal, agar mereka dapat bertindak atas nama hukum. 2. Syarat yang berkaitan dengan benih yang akan ditanam harus jelas dan menghasilkan. 3. Syarat yang berkaitan dengan lahan pertanian adalah : 38 a Menurut adat kebiasaan dikalangan petani, lahan itu bisa diolah dan menghasilkan panen dan bukan tanah tandus 39 . Sebab, ada tanaman yang tidak cocok ditanami pada daerah tertentu. b Batas-batas lahan itu jelas c Lahan itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk diolah dan pemilik lahan tidak boleh ikut campur tangan untuk mengelolanya. 40 4. Syarat yang berkaitan dengan hasil panen adalah sebagai berikut : Pembagian hasil panen harus jelas persentasenya dan ditentukan dari awal kontrak, agar tidak terjadi perselisihan 41 . 37 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam Jakarta:PT. Raja Grafindo, 2003, cet.1, h.283-284 38 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, h.278 39 AH. Azharudin Lathif, Fiqh Muamalat, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005, h.140 40 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, h. 278 41 AH. Azharudin Lathif, Fiqh Muamalat, h.141 Hasil panen itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa ada pengkhususan seperti disisihkan lebih dahulu sekian persen, persyaratan ini pun sebaiknya dicantumkan di dalam perjanjian, sehingga tidak timbul perselisihan dibelakang hari, terutama sekali lahan yang dikelola itu sangat luas. 5. Syarat yang berkaitan dengan waktu pun harus jelas didalam akad, sehingga pengelola tidak dirugikan, seperti membatalkan akad itu sewaktu-waktu. Untuk menentukan jangka waktu ini biasanya disesuaikan dengan adat kebiasaan setempat. 6. Syarat yang berhubungan dengan objek akad, juga harus jelas pemanfaatannya benihnya, pupuknya, dan objeknya, seperti yang berlaku pada daerah setempat. Perjanjian dengan sistem muzara’ah akan sah apabila tidak seorangpun yang dikorbankan haknya, tidak boleh ada syarat-syarat yang sejenisnya yang dapat menimbulkan perselisihan antara kedua belah pihak dan tidak satupun syarat yang tidak diberi ketetapan pada saat perjanjian itu berlangsung yang mungkin membahayakan hak salah satu dari kedua belah pihak. 42 Maksud dari kalimat diatas bahwa masing-masing kedua belah pihak tidak boleh melakukan kecurangan sehingga saat melakukan kerjasama harus timbul adanya saling percaya. 42 Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Yogyakarta: PT Dana Bhakti wakaf UII, jilid 2, h.287

3. Akibat Akad Muzara’ah

Menurut Jumhur Ulama yang membolehkan akad muzara’ah, apabila akad ini telah memenuhi rukun dan syaratnya, maka akibat hukumnya adalah sebagai berikut : 1. Petani bertanggung jawab mengeluarkan biaya benih dan biaya pemeliharaan pertanian tersebut. 2. Biaya pertanian, seperti pupuk, biaya penuaian, serta biaya pembersihan tanaman, ditanggung oleh petani dan pemilik tanah sesuai dengan prosentase bagian masing-masing. 3. Hasil panen dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama. 4. Pengairan dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan bersama. Apabila tidak ada kesepakatan, berlaku kebiasaan ditempat masing-masing. 43 Apabila kebiasaan tanah itu diairi dengan air hujan, maka masing-masing pihak tidak boleh dipaksa untuk mengairi tanah itu dengan melalui irigasi. Apabila tanah pertanian itu biasanya diairi melalui irigasi, sedangkan dalam akad disepakati menjadi tanggungjawab petani, maka petani bertanggungjawab mengairi pertanian itu dengan irigasi. 5. Apabila salah seorang meninggal dunia sebelum panen, akad tetap berlaku sampai panen, dan yang meninggal diwakili oleh ahli warisnya, karena jumhur ulama berpendapat bahwa akad upah mengupah al ijarah bersifat mengikat kedua belah pihak dan boleh diwariskan. Oleh sebab itu, menurut mereka, kematian salah satu pihak yang berakad tidak membatalkan akad ini. 43 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, h.278

4. Berakhirnya Akad al-Muzara’ah

Para ulama fiqih yang membolehkan akad al-muzara’ah mengatakan bahwa akad ini akan berakhir apabila : 1. Jangka waktu yang disepakati berakhir. Akan tetapi, apabila jangka waktunya sudah habis, sedangkan hasil pertanian itu belum laik panen, maka akad itu tidak dibatalkan sampai panen dan hasilnya dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama di waktu akad. Oleh sebab itu, dalam menunggu panen itu, menurut jumhur ulama, petani berhak mendapatkan upah sesuai dengan upah minimal yang berlaku bagi petani setempat. Bila kerjasama berakhir sebelum panen, maka yang diterima oleh pekerja adalah upah dan yang diterima oleh pemilik lahan adalah sewa dalam ukuran yang patut yang disebut ujratul mitsil 44 . Selanjutnya, dalam menunggu masa panen itu biaya tanaman, seperti pupuk, biaya pemeliharaan, dan pengairan merupakan tanggungjawab bersama pemilik tanah dan petani, sesuai dengan prosentase pembagian masing-masing. 2. Menurut ulama Hanafiyah dan ulama Hanabillah, apabila salah seorang yang berakad wafat, maka akad al-muzara’ah berakhir, karena mereka berpendapat bahwa akad al-ijarah tidak boleh diwariskan. Akan tetapi ulama Malikiyah dan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa akad al-muzara’ah itu dapat diwariskan. Oleh karena itu, akad tidak berakhir dengan wafatnya salah satu pihak yang berakad. 44 AH. Azharudin Lathif, Fiqh Muamalat, h.141 3. Adanya uzur salah satu pihak, baik dari pihak pemilik tanah maupun dari pihak petani yang menyebabkan mereka tidak boleh melanjutkan akad al-muzara’ah itu. Uzur dimaksud antara lain adalah : a Pemilik tanah terbelit utang, sehingga tanah pertanian itu harus ia jual, karena tidak ada harta lain yang dapat melunasi utang itu. Pembatalan ini harus dilaksanakan melalui campur tangan hakim. Akan tetapi, apabila tumbuh- tumbuhan itu telah berbuah, tetapi belum laik panen, maka tanah itu tidak boleh dijual sampai panen. b Adanya uzur petani, seperti sakit atau harus melakukan suatu perjalanan ke luar kota, sehingga ia tidak mampu melaksanakan pekerjaannya.

C. BENTUK-BENTUK MUZARA’AH

Ada suatu bentuk muzara’ah yang sudah biasa berlaku dizaman Nabi, tetapi oleh beliau dilarangnya karena terdapat unsur-unsur penipuan dan kesamaran yang berakibat kepada persengketaan, dan bertentangan dengan jiwa keadilan yang sangat dijunjung tinggi oleh Islam dalam seluruh lapangan. Diantaranya, yaitu : a. Bentuk Muzara’ah yang dianggap terlarang oleh para ahli Fiqih seperti Rafi’bin Khadij, Jabir bin Abdullah serta Tsabit ibnu adh-Dhahhak, yaitu : 1. Suatu bentuk perjanjian yang menetapkan sejumlah hasil tertentu yang harus diberikan kepada pemilik tanah, yaitu suatu syarat yang menentukan bahwa apapun hasilnya yang diperoleh, pemilik tanah tetap akan menerima lima atau sepuluh maund dari hasil panen. 2. Apabila hanya bagian-bagian tertentu dari lahan itu yang berproduksi, misalnya bagian utara atau bagian selatan dan sebagainya, maka bagian-bagian tersebut diperuntukkan bagi pemilik tanah. 3. Apabila hasil itu berada dibagian tertentu, misalnya disekitar aliran sungai atau didaerah yang mendapat cahaya matahari, maka hasil daerah tanah tersebut disimpan untuk pemilik tanah, semua bentuk-bentuk pengolahan semacam ini dianggap terlarang karena bagian untuk satu pihak telah ditentukan sementara bagian pihak lain masih diragukan, atau pembagian untuk keduanya tergantung pada nasib baik atau buruk sehingga ada satu pihak yang merugi. 4. Penyerahan tanah kepada seseorang dengan syarat tanah tersebut tetap akan menjadi miliknya jika sepanjang pemilik tanah masih menginginkannya dan akan menghapuskan kepemilikannya manakala pemilik tanah menghendakinya. Karena hal ini mengandung unsur ketidakadilan bagi para petani atau akan membahayakan hak-hak mereka dengan adanya penarikan tanah yang telah menjadi milik mereka bias menimbulkan kesengsaraan dan kemelaratan. Oleh karena itu syarat yang penting untuk keabsahan Muzara’ah yaitu dengan menentukan jangka waktu persetujuan. 5. Ketika petani dan pemilik tanah sepakat membagi hasil tanah tapi satu pihak menyediakan bibit dan yang lainnya alat-alat pertanian. 6. Apabila tanah pertanian menjadi tanah milik pertama, benih dibebankan kepada pihak kedua, alat-alat pertanian kepada pihak ketiga dan tenaga kerja kepada pihak keempat; atau dalam hal ini tenaga kerja dan alat-alat pertanian termasuk bagian dari pihak lainnya. 7. Perjanjian pengolahan menetapkan tenaga kerja dan tanah menjadi tanggung jawab pihak pertama dan benih serta alat-alat pertanian pada pihak lainnya. 8. Bagian seseorang harus ditetapkan dalam jumlah, misalnya sepuluh atau duapuluh maunds gandum untuk satu pihak dan sisanya untuk pihak lain. 9. Ditetapkan jumlah tertentu dari hasil panen yang harus dibayarkan kepada satu pihak selain dari bagiannya dari hasil tersebut. 10. Adanya hasil panen lain selain daripada yang ditanam di ladang atau di kebun harus dibayar oleh satu pihak sebagai tambahan kepada hasil pengeluaran tanah. Perjanjian dengan sistem muzara’ah akan sah hanya apabila tidak seorangpun yang dikorbankan haknya, dan tidak ada pemanfaatan secara tidak adil atas kelemahan dan kebutuhan seseorang, dan tidak boleh ada syarat-syarat yang sejenisnya yang dapat menimbulkan perselisihan antara kedua belah pihak, dan tidak satupun syarat yang tidak diberi ketetapan pada saat perjanjian itu berlangsung yang mungkin membahayakan hak salah satu dari kedua belah pihak.

b. Bentuk-bentuk muzara’ah yang dibolehkan

Berikut ini ada bentuk-bentuk sistem bagi hasil yang dianggap sah yaitu : 1. Perjanjian kerjasama dalam pengolahan dimana tanah milik satu pihak, peralatan pertanian, benih dan tenaga kerja dari pihak lain, keduanya menyetujui bahwa pemilik tanah akan memperoleh bagian tertentu dari hasil. 2. Apabila tanah, peralatan pertanian dan benih, semuanya dibebankan kepada pemilik tanah sedangkan hanya buruh yang dibebankan kepada petani maka harus ditetapkan pemilik tanh mendapat bagian tertentu dari hasil. 3. Perjanjian dimana tanah dan benih dari pemilik tanah sedangkan peralatan pertanian dan buruh adalah dari petani dan pembagian dari hasi tersebut harus ditetapkan secara proporsional. 4. Apabila keduanya sepakat atas tanah, perlengkapan pertanian, benih dan buruh serta menetapkan bagian masing-masing yang akan diperoleh dari hasil. 5. Imam Abu Yusuf menggambarkan bentuk muzara’ah yang dibolehkan bahwa : Jika tanah diberikan secara Cuma-Cuma kepada seseorang untuk digarap, semua pembiayaan pengolahan ditanggung oleh petani dan semua hasil menjadi miliknya tapi kharaj akan dibayar oleh pemilik tanah. Dan jika tanah tersebut adalah “ Ushri, akan dibayar oleh petani. 5. Apabila tanah berasal dari satu pihak dan kedua belah pihak bersama menanggung benih, buruh dan pembiayaan-pembiayaan pengolahannya, dalam hal ini keduanya akan mendapat bagian dari hasil. Jika hal ini merupakan “Ushri”’Ushr yang harus dibayar berasal dari hasil dan jika tanah itu “kharaj”, kharaj akan dibayar oleh pemilik tanah. 6. Apabila tanah disewakan kepada seseorang dan itu adalah Kharaj 45 , maka menurut Imam Abu Hanifah, kharaj akan dibayar oleh pemilik tanah dan jika tanah itu”’Ushri”, ‘Ushr juga akan dibayar olehnya, tapi menurut Imam Abu Yusuf, jika tanah itu “Ushri”,’Ushr akan dibayar oleh petani. 7. Apabila perjanjian Muzara’ah ditetapkan dengan sepertiga atau seperempat dari hasil, maka menurut Imam Abu Hanifah, keduanya, Kharaj dan ‘Ushr akan dibayar oleh pemilik tanah.

D. UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PETANI a. Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2005

Dokumen yang terkait

Tradisi Masyarakat Desa Janji Mauli Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan (1900-1980)

3 83 104

Respon Masyarakat Desa Sitio Ii Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbang Hasundutan Terhadap Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat Oleh Rumah Sakit Umum Daerah Doloksanggul

2 59 107

Pengaruh Otonomi Desa Terhadap Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Desa (Studi Pada Desa Pulau Jambu, Kecamatan Kampar, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau)

28 194 120

Persepsi Masyarakat Terhadap Pemakaian Gigitiruan Di Desa Ujung Rambung Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai Februari 2010

3 35 78

KERUKUNAN ANTARA JEMAAT GEREJA KRISTEN JAWA (GKJ) SLAWI DENGAN MASYARAKAT MUSLIM DI DESA BALAPULANG KULON KABUPATEN TEGAL

1 8 115

Tingkat Pendapatan dan Pengeluaran Keluarga Nelayan Cantrang di Kelurahan Tegalsari Kecamatan Tegal Barat Kotamadya Tegal, Jawa Tengah

0 14 322

Analisis pendapatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi usahatani wortel di Kabupaten Tegal kasus di Desa Rembul, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah

12 62 103

Fungsi Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) dalam penanggulangan kemiskinan: kasus BKM di Kelurahan Pakembaran Kecamatan Slawi Kabupaten Tegal Propinsi Jawa Tengah

2 29 211

GEJALA BAHASA PROKEM DIALEK TEGAL DI LINGKUNGAN REMAJA DESA KALISAPU KECAMATAN SLAWI KABUPATEN TEGAL

0 0 13

BAB II LANDASAN TEORI - GEJALA BAHASA PROKEM DIALEK TEGAL DI LINGKUNGAN REMAJA DESA KALISAPU KECAMATAN SLAWI KABUPATEN TEGAL - repository perpustakaan

0 0 29