Terhadap Status Harta SuamiIsteri dan Harta Bersama

Berdasarkan pasal 42 Undang-undang Perkawinan No. 1 1974, bahwa anak dikatakan sah apabila ia lahir dari perkawinan yang sah. Apabila perkawinan rumah tangga yang di dalamnya telah terjadi kemurtadan pada suami menurut pasal 39 ayat 1 dan 2 Undang-undang Perkawinan No. 1 1974, bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan hakim Pengadilan, begitu juga dengan kemurtadan yang terjadi pada suami dan belum diajukan ke Pengadilan, maka perkawinan rumah tangga tersebut tetap dianggap sah dan berlaku karena pengadilan belum memutuskannya. Karena perkawinan itu masih dianggap sah menurut Undang- undang Perkawinan No. 1 1974, maka hubungan mereka juga tetap dianggap sah dan bukan sebagai perbuatan zina, begitu juga dengan anak- anak yang dilahirkan dair hasil perkawinan tersebut adalah sah hukumnya. Karena anak tersebut dianggap sah maka konsekwensinya adalah : 1. Anak tetap bernasab kepada bapak dan ibunya. 2. Anak mewarisi bapak dan ibunya. 3. Bila anak itu perempuan, maka bapak berhak menjadi wali dalam perkawinannya.

c. Terhadap Status Harta SuamiIsteri dan Harta Bersama

Setelah secara resmi hakim memutuskan perceraian diantara keduanya yang diakibatkan oleh adanya perpindahan agamamurtad yang dapat menyebabkan perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus di antara keduanya, maka akibat putusnya perkawinan inidalam hal harta kekayaan diadakan pembagian, terutama terhadap kekayaan yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan yang lebih dikenal dengan harta bersama. Menurut Undang-undang No. 1 1974 pasal 35 dinyatakan bahwa : “harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sedangkan harta bawaan dari masing-masing suami atau isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain”. Selanjutnya di dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan apabila perkawinan putus, maka harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing, yaitu hukum adapt dan hukum-hukum lainnya penjelasan pasal 35. 32 Dilihat dair bunyi pasal di atas, maka harta kekayaan dalam perkawinan terbagi atas 2 dua macam : 1 Harta bersama Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Ini berarti terbentuknya harta bersama ialah sejak saat 32 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Bandung: PT. Alumni, 1993, h. 155 tanggal terjadinya perkawinan sampai ikatan perkawinan itu putus, mati, maupun karena perceraian cerai hidup. 33 2 Harta pribadi Harta yang diperoleh berupa warisan atau hibah oleh salah satu pihak yang dibawa masuk dalam perkawinan danterletak di luar harta bersama. 34 Harta pribadi ini dapat dibagi menjadi 4 empat bagian, menurut pasal 35 ayat 2 yaitu : a Harta bawaan suami b Harta bawaan isteri c Harta hibahwarisan suami d Harta hibahwarisan isteri 35 Dalam hal pembagian harta kekayaan, maka menurut ketentuan pasal 35 yang telah disebutkan diatas tadi dan dalam pasal 36 yang berbunyi : 1 Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. 2 Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. 33 M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama , Jakarta : Pustaka Kartini, 1997, Cet. ke-3, h. 299 34 Ibid., h. 300 35 J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, Bandung: Citra Aditya Sakti, 1991, Cet. ke-1, h. 188 Mengenai harta warisan masing-masing suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Asas hukum yang diatur dalam ketentuan pasal 35 ayat 2 merupakan asas teori hukum yang diatur dalam syariat hukum Islam, dimana isteri tetap memegang kekayaan sebagai subyek hukum atas segala miliknya sendiri, mengusai hasil pencaharian yang diperolehnya dari jerih payah yang dilakukannya, berhak menerima hibah dan warisan selam perkawinannya berlangsung, dan dengan sendirinya menjadi hak dan berada di bawah pengawasannya sendiri. 36 Apabila pasal 35 ayat 2 dihubungkan dengan pasal 36 ayat 2, terdapat perbedaan antara harta bawaan dan pusaka warisan yang diperoleh salah satu pihak dan harta yang diperoleh karena hibah atau berdasar usaha sendiri pada pihak lain, yaitu : 1 Mengenai harta bawaan dan harta warisan yang diperoleh dalam perkawinan; terhadap kedua harta inilah yang dimaksudkan oleh pasal 36 ayat 2, masing-masing berhak dan berkuasa penuh menurut hukum atas harta-harta tersebut. 2 Akan tetapi mengenai hibah dan hadiah atau hasil jerih payah masing- masing termasuk pada kategori pasal 35 ayat 2, yaitu berada dibawah pengawasannya masing-masing, tetapi penguasaannya tidak mutlak sepenuhnya seperti berlaku terhadap harta bawaan dan warisan. Jadi 36 Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, h. 303 pengawasan ada ditangan pihak-pihak tapi bagaimana dan kemanfaatannya tidak sepenuhnya ditentukan oleh pemiliknya. Dalam pembagian harta, semata-mata didasarkan kepada perceraian, seperti yang terdapat dalam pasal 37 bahwa : “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing- masing”. Jadi apabila putus karena perceraian, maka harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan harus dibagi dua bersama suami dan isteri. Mengenai hukum pembagiannya, maka undang-undang memberi jalan : 1 Dilakukan berdasarkan hukum agama jika hukum agama itu merupakan kesadaran hukum yang hidup dalam mengatur tata cara perceraian. 2 Aturan pembagianya akan dilakukan menurut hukum adapt, jika hukum tersebut merupakan kesadaran hukum yang hidup dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan. Berdasarkan pasal 37 mengenai pembagian harta bersama ini didasarkan atas adanya perceraian dan tidak memandang adanya perbedaan agama, yang disebabkan karena berpindah agamamurtadnya suami dalam suatu perkawinan. Jadi perbedaan agama bukanlah suatu penghalang dalam halpembagian harta. Asal saja diantara suami-isteri telah resmi bercerai dan atas dasar keputusan hakim dalam sidang pengadilan. Harta bawaan suami yang diperoleh sewaktu masih dalam keadaan Islam yakni sebelum dia murtadpindah agama, baik harta itu diperoleh sebagai hadiah atau warisan dari orang tuanya, maka berarti anak-anaknya dapat mewarisi harta bawaan bapaknya yang didapatkan sebelum bapaknya itu murtad. Lain halnya dengan harta yang diperoleh setelah bapaknya murtad, menurut pandangan hukum Islam maka anak- anaknya atua ahli warisnya yang lain tidak dapat menjadi ahli waris dari harta orang yang telah murtadpindah agama itu. 37 Jadi tidak dapat dilakukan pembagian warisan karena berbeda agama. Dasarnya adalah hadis Nabi saw yang berbunyi : ص ا نا ﺪ ﺰ ﺔ ﺎ ا . لﺎ م : ثﺮ ا ﺮ ﺎﻜ ا ثﺮ و ﺮ ﺎﻜ ا ا Artinya: “Dari Usamah bin Yaazid katanya, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Tidak mewarisi orang muslim terhadap orang kafir, dan tidak mewarisi orang kafir terhadap orang muslim”. 38 Dengan demikian, apabila suami-isteri yang murtad itu mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama untuk diadakan pembagian warisan terhadap harta mereka, maka Pengadilan Agama tidak berhak dalam hal ini, karena mereka berbeda agama. Masalah perbedaan 37 T. M. Hasbi ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris dalam Syariat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, h. 62 38 Imam Muslim, Shahih Mulim, Vol. II, diterjemahkan oleh Mahmoud Matraji, Beirut : Daar el-Fikr, 1993, h. 273 agama yang disebabkan karena perpindahan agamamurtad adalah menjadi penghalang dalam hal waris-mewaris.

2. Akibat Hukum Menurut Kompilasi Hukum Islam