Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam berisi aturan-aturan tentang setiap segi kehidupan manusia, termasuk didalamnya segi pergaulan antar jenis yang secara ilmiah memerlukan terpenuhinya kebutuhan lahir dan batin. Dalam syurah al-Dzaariyat 49 Allah menyatakan : .. ⌧ ⌧ Artinya: “Dan segala sesuatu yang kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah”. 1 Tuhan telah menciptakan secara berpasang-pasangan segala hal yang ada di dunia ini, dan menjadikan perkawinan sebagai sunnatullah bagi mahluk- Nya. Dengan demikian, tingkat kebutuhan lahir dan batin manusia tidak menghalangi pergaulan antara pria dan wanita disebabkan sudah adanya suatu ikatan perkawinan. 1 Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta, Departemen Agama Republik Indonesia, 1990. Perkawinan menurut hukum Islam merupakan suatu perjanjian suci antara seorang perempuan dan seorang laki-laki untuk membentuk keluarga yang bahagia. Perjanjian ini mengandung pengertian adanya kemauan bebas antara kedua belah yang saling berjanji berdasarkan prinsip suka sama suka, sehingga diharapkan perkawinan tersebut dapat berlangsung sampai akhir hayat. Meskipun mengandung pengertian adanya kemauan bebas, perkawinan harus tetap memperhatikan aturan-aturan hukum yang telah ditetapkan dan berlaku secara sah, karena perkawinan disamping sebagai ibadah ritual juga merupakan suatu perbuatan hukum. Untuk mengatur perkawinan sebagai perbuatan hukum, maka Negara menetapkan peraturan yang akan menjadi dasar atau acuan bagi masyarakat yang akan melaksanakan perkawinan. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 merupakan pedoman bagi pemeluk agama Islam yang berisi tentang tata cara perkawinan. Pada pasal 1 Undang- undang tersebut menyatakan bahwa ; “Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam perkawinan adalah akad yang sangat kuat atau mustaqon gholidzan untuk mentaati perintah Allah dan mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. 2 Prinsip dari keluarga sakinah tersebut diatas secara Qur’ani antara lain diatur dalam surat Al-Rumm ayat 21: ☯ ☺ ⌧ Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadika-nNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mau berpikir”. Q. S. al-Rum 30:21. Sedangkan pada pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyebutkan tentang keabsahan perkawinan yang berbunyi : “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Berdasarkan bunyi dari pasal tersebut di atas telah jelas bahwa ikatan lahir batin yang dilakukan antara seorang pria dengan seorang wanita, bertujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal yang dilakukan berdasarkan ketentuan hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang bersangkutan. 2 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Departemen Agama Republik Indonesia, 2004. Sesuai dengan penjelasan pasal tersebut, kita dapat mengartikan adanya prinsip kebebasan beragama bagi setiap warga Negara. Hal ini sejalan dengan pasal 29 ayat 2 Undang-undang 1945 yang menjamin tentang kebebasan dalam memeluk agama dan kepercayaan masing-masing yang mana hal tersebut dilihat dari keabsahan perkawinan, apabila dilakukan menurut aturan hukum masing-masing. Beradasar ketentuan di atas, yang mengartikan prinsip kebebasan beragama bagi setiap warga Negara, maka dapat juga diartikan secara tegas makna yang tersirat di dalamnya yang mengandung arti kebebasan untuk pindah agama, sejauh tidak ada paksaan atau bujukan agar seseorang mau melakukan pindah agama. Perbuatan pindah agama riddah menurut syara’ adalah keluar dari agama Islam, baik menjadi kafir atau tidak beragama sama sekali. Dalam ikatan perkawinan, murtadnya salah satu pihak baik atas kemauan sendiri maupun karena bujukan dari orang lain akan dapat mengakibatkan putusnya ikatan perkawinan dengan sendirinya, yang mana hal tersebut didasarkan atas pertimbangan keselamatan agama dari laki-lakiperempuan yang beragama Islam, dan dikhawatirkan anak-anaknya akan mengikuti agama bapaknyaibunya yang bukan Islam. Adapun hal-hal yang mendorong penulis memilih judul ini adalah berdasarkan prinsip Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh Sunnah jilid II, sebagai berikut : ﺮﺧ ﺎ ﺎ ﻬ ﺔ ﻄ ا ﺔﺟوﺰ ا وا جوﺰ ا ﺪ را اذا ﺎ ﻬ ﺔ ﺮ ﺔ ﺟﻮ ﺎ ﻬ ﺪﺧاو يا ةدر ن Artinya: “Apabila suami isteri murtad, maka putuslah hubungan perkawinan keduanya, karena riddahnya salah seorang dari suami-isteri itu adalah hal yang mewajibkan pisahnya mereka” 3 Dan juga berdasarkan firman Allah SWT dalam al-Qur’an yang berbunyi : ☺ ☺ ☺ ☺ ⌧ ⌧ ☺ ☺ ⌧ ⌧ Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah skepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji keimanan mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka benar- benar beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada 3 Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Bairut: Daar al-Fikr, 1983, Juz. 8, Jilid II, h. 389 suami-suami mereka orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada suami suami mereka, mahar yang telah mereka bayar, dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya, dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali perkawinan dengan perempuan- perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. Q. S. al- Mumtahanah: 10 Dari ayat diatas kita dapat menyimpulkan bahwa hukum Islam melarang adanya ikatan perkawinan antara orang Islam dan orang kafir, yang mana murtadnya salah satu pihak dapat menjadikan putusnya perkawinan. Hal ini juga dipertegas dalam surat al-Baqarah ayat 221 yang menjelaskan tentang larangan berpegang pada tali perkawinan dengan orang kafir dan orang musyrik sebelum mereka beriman, dengan didasarkan atas pertimbangan kemadharatan dan dikhawatirkan akan terbawa kepada agama suaminya. Akan tetapi, jika kita lihat dalam kehidupan bermasyarakat masih banyak kita temui maslah-maslah perpindahan agama, yang mana satu sama lain tetap mempertahankan agama dan keyakinannya masing-masing tanpa mengindahkan larangan-larangan tersebut. Misalnya sebelumnya dia telah memeluk agam Islam kemudian pindah agama selain Islam. Ada beberapa alasan atau sebab seseorang untuk pindah agama, yaitu: 1. Karena mengikuti kehendak atau bujuk rayu dari suami atau isteri. 2. Karena adanya tekanan atau ancaman yang memaksanya untuk pindah agama. 3. Karena tertarik dengan ajaran agama lain. 4. Yang tadinya non Islam, karena belum kuat imannya memeluk agama Islam, sehingga mudah kembali keagama semula yang dia anut. 5. Karena belum mengetahui atau mengerti akibat dari perbuatannya, bahwa murtadnya itu akan berpengaruh dalam kehidupan rumah tangganya. Perpindahan agama dalam suatu perkawinan juga ada hubungannya dengan masalah warisan, di mana perbedaan agama itu dapat menghalangi seseorang untuk mendapatkan warisan dan tidak berhak untuk diwarisi, sebagaimana sabda nabi Muhammad SAW: ص ا ا ﺪ ﺰ ﺔ ﺎ ا . لﺎ م : ا ثﺮ ا ﺮ ﺎﻜ ا ثﺮ و ﺮ ﺎﻜ ا Artinya: “Dari Usamah bin Yazid, katanya: bahwa Rasulullah saw bersabda:”Tidak mewarisi orang muslim terhadap orang kafir, begitu pula sebaliknya tidak mewarisi orang kafir terhadap orang Islam”. HR. Muttafaq Alaih. 4 Dalam Islam, perkawinan tidak diikat dalam ikatan yang mati dan tidak pula mempermudah terjadinya perceraian. Perceraian boleh dilakukan jika benar-benar dalam keadaan darurat atau terpaksa. Perceraian dibenarkan dan diperbolehkan apabila hal tersebut lebih baik daripada tetap dalam ikatan perkawinan tetapi tidak tercapai kebahagiaan dan selalu berada dalam penderitaan. Agama Islam pun membolehkan suami istri bercerai, tentunya 4 Imam Bukhari dan Muslim, Sahih Muslim, terj. Mahmud Matraji, Beiru: Daar al_Fikr, 1993, vol. 2, h. 273 dengan alasan-alasan tertentu, kendati perceraian itu sangat dibenci oleh Allah SWT. 5 Dalam penyelesaian keluarga hubungan suami istri apabila sudah tidak ada jalan lain, tidak ada kata sepakat antara kedua belah pihak untuk menyatu lagi membangun keluarga, bahkan kalau diteruskan mungkin merusak hubungan keluarga, maka perceraian merupakan alternative terakhir, dimana suami istri harus berpisah. Pihak yang menentukan sah atau tidaknya talak dalam suatu peraturan hukum adalah Pengadilan Agama. 6 Masalah murtadnya salah satu pasangan suami atau isteri dalam suatu perkawinan merupakan salah satu alasan yang dapat diajukan untuk bercerai. Perceraian karena pindah agama murtad di dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tidak diatur secara jelas. Dalam Undang-undang tersebut ada beberapa hal yang dapat dijadikan alasan perceraian, diatur dalam pasal 38. Dan untuk alasan perceraian karena salah satu pihak pindah agama murtad diatur dalam pasal 116 huruf h Kompilasi Hukum Islam yang apabila terjadi peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga oleh salah satu pihak antara suami isteri. Dari masalah perceraian tentunya akan membawa akibat-akibat hukum bagi para pihak beserta anak hasil dari perkawinan tersebut, belum lagi nantinya 5 Ahmad Shiddiq, Hukum Talak Dalam Ajaran Islam Surabaya: Pustaka Pelajar 2001, cet. Ke-I, h. 54-55 6 Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fiqih, UU No I Tahun 1974 sampai KHI Jakarta: Prenada Media, 2004, cet. Ke- 2, h. 233-234 juga akan menyangkut mengenai harta yang mereka peroleh selama masa perkawinan. Berangkat dari hal tersebut, maka penulis memilih judul skripsi ini dengan “Akibat Hukum Dari Perceraian Dengan Alasan Suami Murtad Analisis Putusan No. 1154 Pdt. G 2007 PA. JS” . B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Agar pokok permasalahannya dalam memahami skripsi ini tidak terlalu meluas dan tetap pada jalurnya, penulis membatasi ruang lingkup pembahasan ini hanya berkisar pada perceraian yang dilatarbelakangi adanya perpindahan agama riddah yang dilakukan oleh suami. Dari permasalahan tersebut penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah akibat hukum apabila terjadi perceraian dengan alasan suami murtad ditinjau Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 maupun Kompilasi Hukum Islam? 2. Bagaimana putusan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan terhadap perkara perceraian dengan alasan suami murtad? 3. Atas pertimbangan apa saja Pengadilan Agama dalam memutuskan perkara perceraian dengan alasan suami murtad?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian