Sedangkan berdasarkan pasal 116 huruf h Kompilasi Hukum Islam, bahwa perpindahan agamamurtad yang dilakukan oleh suami atau
isteri dalam suatu perkawinan dapat dijadikan salah saut alasan untuk memfasakhkan perkawinan dengan mengajukan permohonan cerai ke
Pengadilan Agam, maka Hakim berhak untuk mefasidkan perkawinan dengan berdasarkan peralihan agama atau murtad yang menyebabkan
terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga. Akan tetapi, apabila peralihan agama dalam suatu perkawinan,
tetapi dalam hubungan perkawinan mereka tidak menimbulkan perselisihan dan pertengkaran, dengan kata lain rumah tangga mereka
tetap dalam keadaan rukun dan damai, dan mereka tetap mempertahankan perkawinannya, maka para ulama sepakat bahwa perkawinan mereka tetap
tidak sah, dikarenakan dalam pandangan Islam hubungan yang dilakukan oleh orang muslim dan orang kafir adalah tidak halal dan hukumnya
haram. Keharaman perkawinan perempuan muslimah dengan laki-laki bukan Islam ini berdasarkan pertimbangan kemudharatan. Hal ini
dikarenakan setelah perkawinan wanita tersebut terikat kepada suaminya, di bawah kekuasaannya.
44
b. Terhadap Status Anak
Perpindahan agamamurtad akan dapat mempengaruhi keabsahan suatu perkawinan, demikian pula anak yang dilahirkannya akan
44
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Bandung : PT. Pustaka Setia, 2000, h. 132
mempunyai pengaruh yang sangat kuat sekali. Status anak itu dapat dibedakan menjadi 3 tiga golongan, yaitu :
1 Anak yang dilahirkan sewaktu Islam, anak ini adalah anak muslim,
menurut kesepakatan para fuqaha. 2
Anak yang dikandung sewaktu Islam dan dilahirkan setelah murtad, maka hukumnya adalah sama dengan anak yang dilahirkan sewaktu
Islam, karena dia telah dibuahi diwaktu Islam. 3
Anak yang dikandung dan dilahirkan setelah murtad, maka anak itu hukumnya kafir, karena dia dilahirkan diantara kedua orang tuanya
yang kafir, tidak ada pendapat lain dalam masalah ini. Oleh karena itu, apabila isteri yang beragama Islam tetap
mengikuti suaminya yang telah murtad dan hidup sebagai suami-isteri, maka perkawinan rumah tangga mereka sudah tidak sah lagi haram
menurut hukum Islam dan hubungan mereka adalah suatu perzinaan. Dalam Kompilasi Hukum Islam masalah anak ini diatur dalam
pasal 99 yang berbunyi : a.
anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
b. anak yang sah adalah hasil perbuatansuami isteri yang sah dilua rahim
dan dilahirkan oleh isteri tersebut. Perpindahan
agama adalah satu faktor yang dapat
mempengaruhi nasab dari seorang anak, apabila kedua suami isteri itu
tetap melakukan hubungan badan layaknya suami isteri setelah adanya peralihan agama dari suami tanpa mengindahkan ketentuan hukum
perkawinan yang melarang ikatan perkawinan mereka. Hal ini dijelaskan dalam apsal 100 yang berbunyi : “Anak yang
lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Dan pasal 101 yang berbunyi : “ Seorang
suami yang mengingkari sahnya anak, sedang isteri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li’an”.
Berdasarkan pasal 99 Kompilasi Hukum Islam, bahwa ; “anaka yang sah adalah anak yang lahir akibat dari perkawinan yang sah.” Maka
apabila dalam rumah tangga suami murtad, maka menurut pasal 40 huruf c dan pasal 44 yang melarang adanya perkawinan antar agama, maka
perkawinan tersebut harus dibatalkan difasakhkan oleh Hakim dalam siding Pengadilan Agama.
Karena perkawinan tersebut tidak sah atau telah difasakhkan menurut ketentuan hukum Islam, maka anak-anak yang dilahirkan
darihasil perkawinan tersebut adalah haramtidak sah, sehingga akibatnya adalah :
a. Anak tersebut hanya bernasab kepada ibunya saja.
b. Anak hanya dapat mewarisi dari ibunya saja.
c. Bila anak itu perempuan, maka bapak tidak berhak menjadi wali dalam
perkawinannya.
c. Terhadap Status Harta SuamiIsteri dan Harta Bersama