Terhadap Status Perkawinan Akibat Hukum Menurut Kompilasi Hukum Islam

agama yang disebabkan karena perpindahan agamamurtad adalah menjadi penghalang dalam hal waris-mewaris.

2. Akibat Hukum Menurut Kompilasi Hukum Islam

a. Terhadap Status Perkawinan

Salah satu dari tujuan perkawinan adalah membentuk dan membina keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Selain dari itu perkawinan juga diwujudkan untuk mencari ketenangan jiwa serta kebahagiaan dunia dan akhirat, yang mana kebahagiaan suatu keluarga sangat ditentukan oleh kesamaan pandangan hidup dan kesatuam aqidah antara suami-isteri. Perbedaan pandangan hidup atau kegoncangan keyakinan dalam suatu keluarga dapat membuat perselisihan dan pertengkaran yang akhirnya membuat keluarga itu berantakan atau kehilangan pandangan hidup. Munculnya perubahan pandangan hidup ataupun perbedaan aqidah dalam suatu keluarga dapat mempengaruhi kerukunan dan keharmonisan dalam rumah tangga. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Sayyid Quthub : “Perkawinan adalah suatu ikatan yang paling dalam, paling kuat dan paling kekal yang menghubungkan dua orang manusia. Ikatan itu merupakan peluang emas untuk mewujudkan pengertian di antara dua orang manusia. Oleh karena itu diperlukan adanya kesatuan hati dan keyakinan, dan supaya hati itu dapat dipersatukan, maka perlu kesatuan aqidah dan segala hal yang berkaitan dengannya. Dan aqidah terhadap agama adalah sesuatu yang paling dalam menancap pada jiwa manusia”. 39 Perpindahan agamamurtad dalam suatu perkawinan yang dilakukan oleh suami ataupun isteri adalah termasuk perbedaan hati dan aqidah yang dapat mempengaruhi langkah dan tujuan yang telah dibentuk dan dibina oleh keduanya. Hal tersebut merupakan perubahan kegoncangan keyakinan yang paling besar, dimana dalam pandangan Islam seseorang yang murtad adalah telah keluar dari cahaya Islam dan masuk ke dalam lembah kekafiran. Ditinjau dari hukum Islam perpindahan agama murtad yang dilakukan suami, dapat menimbulkan putusnyafasakhnya ikatan perkawinan itu dengan sendirinya, dan berkewajiban untuk berpisah dari isterinya, sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh Sunnah, sebagai berikut : ﺎ ﻬ ﺔ ﻄ ا ﺔﺟوﺰ ا وا جوﺰ ا ﺪ را اذا ﺔ ﺮ ﺔ ﺟﻮ ﺎ ﻬ ﺪ او يا ةدر ن ﺮﺧ ﺎ ﺎ ﻬ Artinya: “Apabila suami isteri murtad, maka putuslah hubungan perkawinan keduanya, karena riddahnya salah seorang dari suami isteri itu adalah hal yang mewajibkan pisahnya mereka. 40 39 Abdul Azis, Perkawinan yang Harmonis dan Bahaya Perkawinan dengan Wanita Asing, Jakarta: PT. Firdaus, 1993, h. 10 40 Sabiq, Fiqh Sunnah, h. 389 Hal tersebut mengandung arti bahwa kemurtadan salah seorang suami isteri dapat memfasakh ikatan perkawinan mereka. Dan apabila kemurtadan itu terjadi sebelum mereka bersetubuh, maka perkawinan mereka terputus pada saat itu juga, akan tetapi apabila kemurtadan itu terjadi sesudah mereka bersetubuh, maka status dari perkawinan mereka menjadi tertangguh tawaqquf, artinya apabila yang murtad itu ingin kembali masuk Islam dalam masa iddah, maka perkawinannya tetap sah. Pada masa tawaqquf itu, haram bagi keduanya untuk berkumpul sebagaimana layaknya suami siteri dalam hubungan perkawinan yang sah. Dan akibat riddahnya mereka menimbulkan akibat hukum yamh mewajibkan pisahnya mereka. Dan apabila salah satu dari suami-isteri yang murtad itu bertaubat dan kembali lagi ke dalam Islam, maka untuk mengadakan hubungan perkawinan seperti semula mereka haruslah memperbaharui lagi akad nikah dan mahar. 41 Para ulama bersepakat atas batalnya fasakh perkawinan, apabila suami keluar murtad dari agama Islam dengan 2 dua alasan : 1 Firman Allah swt dalam Q. S Al-Mumtahanah :10, “Dan janganlah kamu memegangi pertalian nikahmu denagn wanita-wanita kafir”. Dalam ayat yang sama dinyatakan; “janganlah kamu mengembalikan mereka wanita-wanita yang telah beriman kepada ornag-orang kafir 41 Sayyid Sabbiq, Tarjamah Fiqh Sunnah, Bandung, PT. al-Ma’arif, 1993, cet. ke-8, jilid 9, h. 170 suami mereka. Wanita-wanita itu tidak halal bagi suami-suami yang tidak beriman dan suami-suami yang tidak beriman itu tidak halal bagi mereka”. 2 Perbedaan agama antara suami istri, dimana salah saut di antara keduanya adalah agama yang batil, karena itu wajib difasakhkan ikatan perkawinan mereka. 42 Inilah landasan hukum yang melarang terpautnya dua hati yang keyakinannya tidak sama, atau yang pada dasarnya tidak mungkin bertemu. Jika terjadi perkawinan antara seorang laki-laki muslim dengan wanita musyrik, maka perkawinan itu akan menjadi sebuah ikatan yang sangat rapuh. Kedua suami isteri itu tidak akan pernah menemukan kesepakatan dalam mencintai Allah. 43 Dan jika ditinjau dari Kompilasi Hukum Islam, masalah mengenai perpindahan agama ini dilihat dari pasal 4 empat mengenai keabsahan perkawinan yang berbunyi : “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam, sesuai dengan bunyi pasal 2 ayat 1 Undang-undang No. 1 1974”. Ketentuan tersebut mempunyai arti bahwa suatu perkawinan mempunyai hubungan erat sekali dengan keagamaankerohanian, oleh 42 Abdul Muta’al M. Al-Jabry, Perkawinan Antar Agama Suatu Dilema, Surabaya: PT. Risalah Gusti, 1992, h. 40 43 Azis, Perkawinan yang Harmonis dan Bahaya Perkawinan dengan Wanita Asing, h. 16 karena itu setiap perkawinan yang dilakukan bertentangan dengan ketentuan hukum Islam, dengan sendirinya menurut hukum perkawinan belum sah dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan. Perpindahan agamamurtad menurut Kompilasi Hukum Islam merupakan suatu kejadian yang dapat menghilangkan keabsahan perkawinan, karena hal tersebut sangat bertentangan dengan ketentuan hukum Islam, yaitu adanya larangan perkawinan antara orang muslim dengan orang kafir. Ketentuan ini juga diperkuat dalam pasal 40 huruf c yang berbunyi : “Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu, di antaranya seorang wanita yang tidak beragama Islam”. Dan pasal 44 yang berbunyi : “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”. Dilihat dari ketentuan bunyi pasal-pasal di atas dapat ditarik istimbath hukum bahwa, setiap perkawinan yang dilakukan bertentangan dengan hukum Islam adalah tidak sah. Begitu pula, apabila dihubungkan dengan masalah kemurtadan yang dilakukan oleh suamiisteri dalam perkawinan, hal tersebut dapat menyebabkan putusfasakhnya ikatan perkawinan mereka. Akan tetapi Kompilasi Hukum Islam tidak mengatur bentuk- bentuk dan tata cara perceraian yang dikarenakan perpindahan agamamurtad dalam perkawinan. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 113 hanya menggolongkan secara umum mengenai putusnya perkawinan kepada 3 tiga golongkan, yaitu : 1 Kematian 2 Perceraian 3 Atas putusan Pengadilan Dan pasal 115 Kompilasi Hukum Islam perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Menurut penulis kata “dapat” dalam kalimat di atas mengandung arti bahwa perceraian itu dapat terjadi karena alasan-alasan tertentu, padahal seharusnya pasal tersebut tidak perlu menggunakan kata “dapat”, melainkan secara otomatis perceraian terjadi karena alasan-alasan tertentu. Adapun dalam Kompilasi Hukum Islam alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar melakukan perceraian diatur dalam pasal 116. Berdasarkan pasal 115 Kompilasi Hukum Islam, suatu perkawinan baru putus, apabila pengadilan telah memutuskannya melalui siding Pengadilan dengan disertai alasan-alasan yang diatur dalam pasal 116 Kompilasi Hukum Islam, kecuali putusnya perkawinan karena kematian, karena tanpa diputuska oleh Pengadilan, perkawinan itu telah putus dengan sendirinya akibat kematian tersebut. Sedangkan berdasarkan pasal 116 huruf h Kompilasi Hukum Islam, bahwa perpindahan agamamurtad yang dilakukan oleh suami atau isteri dalam suatu perkawinan dapat dijadikan salah saut alasan untuk memfasakhkan perkawinan dengan mengajukan permohonan cerai ke Pengadilan Agam, maka Hakim berhak untuk mefasidkan perkawinan dengan berdasarkan peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga. Akan tetapi, apabila peralihan agama dalam suatu perkawinan, tetapi dalam hubungan perkawinan mereka tidak menimbulkan perselisihan dan pertengkaran, dengan kata lain rumah tangga mereka tetap dalam keadaan rukun dan damai, dan mereka tetap mempertahankan perkawinannya, maka para ulama sepakat bahwa perkawinan mereka tetap tidak sah, dikarenakan dalam pandangan Islam hubungan yang dilakukan oleh orang muslim dan orang kafir adalah tidak halal dan hukumnya haram. Keharaman perkawinan perempuan muslimah dengan laki-laki bukan Islam ini berdasarkan pertimbangan kemudharatan. Hal ini dikarenakan setelah perkawinan wanita tersebut terikat kepada suaminya, di bawah kekuasaannya. 44

b. Terhadap Status Anak