Akibat hukum dari perceraian dengan alasan suami murtad : Analisa Putusan No.1154/PDT.G/2007/PA.JS

(1)

AKIBAT HUKUM DARI PERCERAIAN DENGAN

ALASAN SUAMI MURTAD

(Analisa Putusan No. 1154/ PDT. G/ 2007/ PA. JS)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I)

Oleh : LILIS SURYANI NIM : (104044201470)

Di bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. H. Abd. Wahab Abd Muhaimin,Lc. MA Afwan Faizin, S. Ag, M.A,

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM JURUSAN AKHWAL AS-SYAHSIYYAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

ﺮ ا

ﺮ ا

ﷲا

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripisi ini. Shalawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, pembawa syari’ah-Nya yang universal bagi semua umat manusia setiap waktu dan tempat sampai akhir zaman.

Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis temukan, namun syukur Alhamdulillah berkat rahmat dan inayah-Nya, kesungguhan, serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsung, segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya, sehingga pada akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan.

Oleh sebab itu, sudah sepantasnya pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M., selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A., dan Bapak Kamarusdiana, S.Ag., M. Hum, selaku Ketua Prodi dan Sekertaris Prodi al-Akhwalus Syakhsiyyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


(3)

3. Bapak H. Abd. Wahab Abd Muhaimin, Lc. MA dan Bapak Afwan Faizin, S.Ag, M.A, selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran selama membimbing penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah memudahkan setiap langkahnya. Amin.

4. Segenap Bapak dan Ibu dosen serta staf pengajar pada lingkungan Prodi al-Akhwalus Syakhsiyyah fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku kuliah.

5. Segenap jajaran staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum dan Perpustakaan Utama yang telah banyak membantu dalam pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan penulis dalam menyusun skripsi.

6. Bapak Drs. A. Chairi, M. Hum, selaku Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan seluruh jajarannya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis dalam mencari data-data sebagai bahan rujukan skripsi.

7. Sejumput bakti ananda persembahkan kepada Ayahanda H. Abdul Rosyid dan Uminda tercinta Hj. Zubairoh, yang telah mencahayai hidupku serta senantiasa memberikan kasih sayang disertai do’a penuh rasa tulus dan ikhlas dalam setiap jejak langkahku. Semoga baktiku ini mampu menjelma menjadi do’a ‘terima kasih’ ku untukmu. Semoga Allah selalu menyayangi mereka berdua. Amin. 8. Selaksa do’a dan harapan penulis panjatkan untuk kakak-kakakku tercinta;


(4)

Muhammad Ghazali, Murfatmah, Murfatmi, yang senantiasa memberikan wejangan dan semangat pada penulis selama penulis mengerjakan skripsi. Tidak lupa terima kasih pada mama Ika, mas Olid, mba Siswi, mas Sidin, mba Ah, mba Dina, mas Budi dan mas Taufan. Terimakasih atas do’a dan motivasinya. 9. Selaksa cinta penuh kasih penulis haturkan teruntuk Bambang Hermawan

beserta keluarga besar. Terima kasih atasa dukungan dan do’anya dan dan terima kasih juga telah memberikan penawar dahaga kalbu disaat penulis tengah gundah gulana.

10. Untuk keponakan-keponakanku tercinta; Ika Trisnawati, terima kasih atas dukungan, motivasi dan do’a yang senantiasa dipanjatkan untukku, dan terima kasih juga pada Iin, Aya, Amin, Mahda, teruslah semangat dalam belajar untuk menggapai impian kalian.

11. Setangkup do’a dan asa kupersembahkan untuk sahabat sekaligus saudariku; Yayah, Ika, Hajah, Neng Hanna, Ade, Ida, Febri, Rizal, kuucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga atas suntikan motivasi yang tiada henti, serta bantuannya baik moril maupun materil. Semoga Allah ‘Azza Wa Jalla yang akan memabalas budi baik kalian. Amin

12. Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada teman-teman diskusi konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 2004, yang telah melangkah bersama penulis dalam petualangan asah kecerdasan dan kearifan, terutama pada sahabat-sahabat karib; Eni, Riana, Rida, Eva, Diah, Iis, Rizka, Riani,


(5)

Tita, Puji, Zarkazi, Mara, Tofik, Ma’min, Barry, Yanto, serta kawan-kawan lainnya yang penulis tidak dapat sebutkan satu persatu. Mudah-mudahan jalinan persahabatan kita tidak akan luntur di lekang waktu dan semoga persahabatan ini bisa terjalin sampai kapan pun dan dimanapun kita berada.

Semoga amal baik mereka di balas oleh Allah SWT dengan balasan yang berlipat ganda. Jazakumullah Khairan Kastira. Sungguh hanya Allah SWT yang dapat membalas kebaikan mereka dengan kebaikan yang berlipat ganda.

Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran, senantiasa penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi ini.

Jakarta:

H Ula Jumadil 19

M 2008 Juni 23


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 8

C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian ... 9

D. Metode Penelitian ... 10

E. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN A. Pengertian Perceraian dan Dasar Hukumnya ... 14

B. Sebab-sebab Perceraian... 18

C. Macam-macam Perceraian ... 23

BAB III : TINJAUAN UMUM TENTANG MURTAD MENURUT HUKUM ISLAM A. Pengertian Murtad ... 32


(7)

C. Macam-macam Murtad ... 37

BAB IV : AKIBAT HUKUM DARI PERCERAIAN DENGAN ALASAN SUAMI MURTAD A. Akibat Hukum Dari Perceraian Dengan Alasan Suami Murtad ... 39

1. Menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 ... 39

2. Menurut Kompilasi Hukum Islam ... 51

B. Tinjauan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam Memutuskan Perceraian Dengan Alasan Suami Murtad Dengan Perkara No. 1154/Pdt.G/ 2007/PA.JS ... 65

C. Analisa Putusan... 76

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 80

B. Saran... 82

DAFTAR PUSTAKA... 83


(8)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Pedoman wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan. 2. Hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan. 3. Surat mohon kesediaan pembimbing skripsi

4. Surat mohon data dan wawancara

5. Surat keterangan telah melakukan penelitian dan wawancara di Pengadilan Agama Jakarta Selatan


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam berisi aturan-aturan tentang setiap segi kehidupan manusia, termasuk didalamnya segi pergaulan antar jenis yang secara ilmiah memerlukan terpenuhinya kebutuhan lahir dan batin. Dalam syurah al-Dzaariyat 49 Allah menyatakan :

..

Artinya: “Dan segala sesuatu yang kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah”.1

Tuhan telah menciptakan secara berpasang-pasangan segala hal yang ada di dunia ini, dan menjadikan perkawinan sebagai sunnatullah bagi mahluk- Nya. Dengan demikian, tingkat kebutuhan lahir dan batin manusia tidak menghalangi pergaulan antara pria dan wanita disebabkan sudah adanya suatu ikatan perkawinan.

1

Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta, Departemen Agama Republik Indonesia, 1990).


(10)

Perkawinan menurut hukum Islam merupakan suatu perjanjian suci antara seorang perempuan dan seorang laki-laki untuk membentuk keluarga yang bahagia. Perjanjian ini mengandung pengertian adanya kemauan bebas antara kedua belah yang saling berjanji berdasarkan prinsip suka sama suka, sehingga diharapkan perkawinan tersebut dapat berlangsung sampai akhir hayat. Meskipun mengandung pengertian adanya kemauan bebas, perkawinan harus tetap memperhatikan aturan-aturan hukum yang telah ditetapkan dan berlaku secara sah, karena perkawinan disamping sebagai ibadah ritual juga merupakan suatu perbuatan hukum.

Untuk mengatur perkawinan sebagai perbuatan hukum, maka Negara menetapkan peraturan yang akan menjadi dasar atau acuan bagi masyarakat yang akan melaksanakan perkawinan.

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 merupakan pedoman bagi pemeluk agama Islam yang berisi tentang tata cara perkawinan. Pada pasal 1 Undang-undang tersebut menyatakan bahwa ; “Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam perkawinan adalah akad yang sangat kuat atau mustaqon gholidzan untuk


(11)

mentaati perintah Allah dan mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.2

Prinsip dari keluarga sakinah tersebut diatas secara Qur’ani antara lain diatur dalam surat Al-Rumm ayat 21:

Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadika-nNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mau berpikir”. (Q. S. al-Rum/ 30:21).

Sedangkan pada pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyebutkan tentang keabsahan perkawinan yang berbunyi : “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.

Berdasarkan bunyi dari pasal tersebut di atas telah jelas bahwa ikatan lahir batin yang dilakukan antara seorang pria dengan seorang wanita, bertujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal yang dilakukan berdasarkan ketentuan hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang bersangkutan.

2

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Departemen Agama Republik Indonesia, 2004.


(12)

Sesuai dengan penjelasan pasal tersebut, kita dapat mengartikan adanya prinsip kebebasan beragama bagi setiap warga Negara. Hal ini sejalan dengan pasal 29 ayat 2 Undang-undang 1945 yang menjamin tentang kebebasan dalam memeluk agama dan kepercayaan masing-masing yang mana hal tersebut dilihat dari keabsahan perkawinan, apabila dilakukan menurut aturan hukum masing-masing.

Beradasar ketentuan di atas, yang mengartikan prinsip kebebasan beragama bagi setiap warga Negara, maka dapat juga diartikan secara tegas makna yang tersirat di dalamnya yang mengandung arti kebebasan untuk pindah agama, sejauh tidak ada paksaan atau bujukan agar seseorang mau melakukan pindah agama.

Perbuatan pindah agama (riddah) menurut syara’ adalah keluar dari agama Islam, baik menjadi kafir atau tidak beragama sama sekali. Dalam ikatan perkawinan, murtadnya salah satu pihak baik atas kemauan sendiri maupun karena bujukan dari orang lain akan dapat mengakibatkan putusnya ikatan perkawinan dengan sendirinya, yang mana hal tersebut didasarkan atas pertimbangan keselamatan agama dari laki-laki/perempuan yang beragama Islam, dan dikhawatirkan anak-anaknya akan mengikuti agama bapaknya/ibunya yang bukan Islam.

Adapun hal-hal yang mendorong penulis memilih judul ini adalah berdasarkan prinsip Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh Sunnah jilid II, sebagai berikut :


(13)

ﺮﺧ ﺎ

ﺎ ﻬ

ﻄ ا

ﺔﺟوﺰ ا

وا

جوﺰ ا

ﺪ را

اذا

ﺎ ﻬ

ﺔ ﺮ

ﺔ ﺟﻮ

ﺎ ﻬ

ﺪﺧاو

يا

ةدر

ن

Artinya: “Apabila suami isteri murtad, maka putuslah hubungan perkawinan keduanya, karena riddahnya salah seorang dari suami-isteri itu adalah hal yang mewajibkan pisahnya mereka”3

Dan juga berdasarkan firman Allah SWT dalam al-Qur’an yang berbunyi :

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah skepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada

3


(14)

(suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar, dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya, dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (Q. S. al-Mumtahanah: 10)

Dari ayat diatas kita dapat menyimpulkan bahwa hukum Islam melarang adanya ikatan perkawinan antara orang Islam dan orang kafir, yang mana murtadnya salah satu pihak dapat menjadikan putusnya perkawinan.

Hal ini juga dipertegas dalam surat al-Baqarah ayat 221 yang menjelaskan tentang larangan berpegang pada tali (perkawinan) dengan orang kafir dan orang musyrik sebelum mereka beriman, dengan didasarkan atas pertimbangan kemadharatan dan dikhawatirkan akan terbawa kepada agama suaminya.

Akan tetapi, jika kita lihat dalam kehidupan bermasyarakat masih banyak kita temui maslah-maslah perpindahan agama, yang mana satu sama lain tetap mempertahankan agama dan keyakinannya masing-masing tanpa mengindahkan larangan-larangan tersebut. Misalnya sebelumnya dia telah memeluk agam Islam kemudian pindah agama selain Islam. Ada beberapa alasan atau sebab seseorang untuk pindah agama, yaitu:

1. Karena mengikuti kehendak atau bujuk rayu dari suami atau isteri.


(15)

3. Karena tertarik dengan ajaran agama lain.

4. Yang tadinya non Islam, karena belum kuat imannya memeluk agama Islam, sehingga mudah kembali keagama semula yang dia anut.

5. Karena belum mengetahui atau mengerti akibat dari perbuatannya, bahwa murtadnya itu akan berpengaruh dalam kehidupan rumah tangganya.

Perpindahan agama dalam suatu perkawinan juga ada hubungannya dengan masalah warisan, di mana perbedaan agama itu dapat menghalangi seseorang untuk mendapatkan warisan dan tidak berhak untuk diwarisi, sebagaimana sabda nabi Muhammad SAW:

ص

ا

ا

ﺪ ﺰ

ﺔ ﺎ ا

.

لﺎ

م

:

ا

ثﺮ

ا

ﺮ ﺎﻜ ا

ثﺮ

و

ﺮ ﺎﻜ ا

)

(

Artinya: “Dari Usamah bin Yazid, katanya: bahwa Rasulullah saw bersabda:”Tidak mewarisi orang muslim terhadap orang kafir, begitu pula sebaliknya tidak mewarisi orang kafir terhadap orang Islam”.

(HR. Muttafaq Alaih). 4

Dalam Islam, perkawinan tidak diikat dalam ikatan yang mati dan tidak pula mempermudah terjadinya perceraian. Perceraian boleh dilakukan jika benar-benar dalam keadaan darurat atau terpaksa. Perceraian dibenarkan dan diperbolehkan apabila hal tersebut lebih baik daripada tetap dalam ikatan perkawinan tetapi tidak tercapai kebahagiaan dan selalu berada dalam penderitaan. Agama Islam pun membolehkan suami istri bercerai, tentunya

4

Imam Bukhari dan Muslim, Sahih Muslim, (terj.) Mahmud Matraji, (Beiru: Daar al_Fikr, 1993), vol. 2, h. 273


(16)

dengan alasan-alasan tertentu, kendati perceraian itu (sangat) dibenci oleh Allah SWT. 5

Dalam penyelesaian keluarga (hubungan suami istri) apabila sudah tidak ada jalan lain, tidak ada kata sepakat antara kedua belah pihak untuk menyatu lagi membangun keluarga, bahkan kalau diteruskan mungkin merusak hubungan keluarga, maka perceraian merupakan alternative terakhir, dimana suami istri harus berpisah. Pihak yang menentukan sah atau tidaknya talak dalam suatu peraturan hukum adalah Pengadilan Agama.6

Masalah murtadnya salah satu pasangan suami atau isteri dalam suatu perkawinan merupakan salah satu alasan yang dapat diajukan untuk bercerai. Perceraian karena pindah agama (murtad) di dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tidak diatur secara jelas. Dalam Undang-undang tersebut ada beberapa hal yang dapat dijadikan alasan perceraian, diatur dalam pasal 38. Dan untuk alasan perceraian karena salah satu pihak pindah agama (murtad) diatur dalam pasal 116 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam yang apabila terjadi peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga oleh salah satu pihak antara suami isteri.

Dari masalah perceraian tentunya akan membawa akibat-akibat hukum bagi para pihak beserta anak hasil dari perkawinan tersebut, belum lagi nantinya

5

Ahmad Shiddiq, Hukum Talak Dalam Ajaran Islam (Surabaya: Pustaka Pelajar 2001), cet. Ke-I, h. 54-55

6

Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fiqih, UU No I Tahun 1974 sampai KHI (Jakarta: Prenada Media, 2004), cet. Ke- 2, h. 233-234


(17)

juga akan menyangkut mengenai harta yang mereka peroleh selama masa perkawinan. Berangkat dari hal tersebut, maka penulis memilih judul skripsi ini dengan “Akibat Hukum Dari Perceraian Dengan Alasan Suami Murtad (Analisis Putusan No. 1154/ Pdt. G/ 2007/ PA. JS)”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Agar pokok permasalahannya dalam memahami skripsi ini tidak terlalu meluas dan tetap pada jalurnya, penulis membatasi ruang lingkup pembahasan ini hanya berkisar pada perceraian yang dilatarbelakangi adanya perpindahan agama (riddah) yang dilakukan oleh suami.

Dari permasalahan tersebut penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah akibat hukum apabila terjadi perceraian dengan alasan suami murtad ditinjau Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 maupun Kompilasi Hukum Islam?

2. Bagaimana putusan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan terhadap perkara perceraian dengan alasan suami murtad?

3. Atas pertimbangan apa saja Pengadilan Agama dalam memutuskan perkara perceraian dengan alasan suami murtad?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui akibat hukum dari perceraian dengan alasan suami murtad menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.


(18)

2. Untuk mengetahui hasil putusan hakim Pengadilan Agama dalam memutuskan perkara perceraian dengan alasan suami murtad.

3. Untuk mengetahui pertimbangan apa saja yang dilakukan Pengadilan Agama dalam memutuskan perkara perceraian dengan alasan suami murtad.

Adapun keguaan dari penelitian ini adalah:

1. Bagi akademisi; untuk menambah kajian keilmuan dalam bidang hukum perkawinan ditinjau dari perspektif agama dan Undang-undang Perkawinan. 2. Bagi elit pengambil kebijakan; untuk mengembangkan pemikiran dan

kepastian hukum bagi pejabat di Pengadilan Agama mengenai peraturan-peraturan perkawinan yang berada di Indonesia.

3. Bagi masyarakat pada umumnya; untuk memberikan wawasan keilmuan dalam bidang hukum perkawinan beserta peraturan-peraturannya yang berlaku di Indonesia.

D. Metode Penelitian

Dalam menyusun penulisan skripsi ini, penulis akan menggunakan metode:

1. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yaitu dengan melakukan analisa isi, menganalisa dengan cara menguraikan dan mendeskirpsikan isi dari putusan yang penulis dapatkan tersebut kemudian menghubungkannya dengan masalah yang diajukan sehingga ditemukan


(19)

kesimpulan objektif, logis, konsisten dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dikehendaki dalam penulisan skripsi ini.

2. Jenis Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data skunder, yaitu;

a. Data Primer

1) Di dapatkan dari Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan nomor putusan 1154/ Pdt. G/ 2007/PA. JS.

2) Wawancara terhadap hakim.

Kemudian data tersebut di analisis dengan cara menguraikan dan menghubungkan dengan masalah yang di kaji.

b. Data Skunder

Data skunder adalah data yang diperoleh dengan jalan mengadakan studi kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang di ajukan. Dokumen yang dimaksud adalah; Al- Qur’an, Al- Hadist, buku-buku karangan ilmiah, Undang-undang, Kompilasi Hukum Islam (KHI), Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1875, serta buku dan peraturan lainnya yang berkaitan dengan masalah yang di ajukan.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penulisan ini dilakukan dengan cara sebagai berikut:


(20)

a. Menganalisa terhadap putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan nomor 1154/ Pdt. G/ 2007/ PA. JS

b. Interview atau wawancara yaitu mengumpulkan data yang dilakukan penulis dengna jalan mengadakan dialog langsung dengan responden yaitu yang telah di pilih sebelumnya yaitu Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

4. Teknik Analisa Data

Setelah proses pengumpulan data dikumpulkan melalui beberapa teknik, maka data yang sudah ada akan diolah dan dianalisis supaya mendapatkan suatu hasil akhir yang bermanfaat bagi penelitian ini. Pengolaan data dilakukan dengan mengadakan studi dengan teori kenyataan yang ada di tempat penelitian. Sedangkan teknik penulisan mengikuti pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta 2007.

E. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini untuk mempermudah dalam memahami skripsi ini, maka penulis membagi isi skripsi ini dari lima bab. Adapun sistematikanya adalah sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan

Merupakan pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah yang akan dibahas, pembatasan dan perumusan masalah. tujuan dan


(21)

kegunaan penelitian, metode penelitian serta sistematika penulisan atau isi dari ringkasan bab demi bab dalam penulisan skripsi ini.

Bab II Tinjauan Umum Tentang Perceraian

Dalam bab ini dijelaskan mengenai perceraian dan dasar hukumnya, sebab-sebab perceraian, serta macam-macam perceraian.

Bab III Tinjauan Umum Tentang Murtad Menurut Hukum Islam

Dalam bab ini diuraikan mengenai pengertian dari murtad, syarat-syarat murtad, macam-macam murtad.

Bab IV Akibat Hukum Dari Perceraian Dengan Alasan Suami Murtad

Dalam bab ini dijelaskan juga mengenai akibat hukum dari perceraian dengan alasan suami murtad menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan menurut Kompilasi Hukum Islam, diuraikan juga mengenai tinjauan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam memutuskan perkara perceraian dengan alasan suami murtad, yang terakhir adalah mengenai analisa kasus putusan perceraian tersebut dengan nomor perkara 1154/ Pdt. G/ 2007/ PA. JS.

Bab V Penutup

Dalam bab ini penulis mengemukakan kesimpulan dari akibat hukum dari perceraian dengan alasan suami pindah agama (murtad), dan saran-saran. Juga, dikemukakan bahan-bahan yang dipergunakan dalam penulisan skripsi yaitu library research ditulis dalam daftar


(22)

pustaka, serta lampiran-lampiran data dan dari hasil wawancara yang dilakukan penulis di lapangan.


(23)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN

A. Pengertian Perceraian dan Dasar Hukumnya

Perceraian dalam istilah fiqih disebut “talak” atau “furqah”. “Talak” berarti “membuka ikatan”, “membatalkan perjanjian”. “Furqah” berarti “bercerai”, lawan dari “berkumpul”. Kemudian kedua perkataan ini dijadikan istilah oleh ahli-ahli fiqih yang berarti perceraian antara suami istri.2 Ta’rif thalaq menurut bahasa Arab mempunyai arti melepaskan ikatan. Yang dimaksud disini adalah melepaskan ikatan perkawinan.3

Talak menurut bahasa adalah membuka ikatan, sedangkan menurut syara’ adalah melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri tali pernikahan suami istri.4 Talak menurut istilah adalah memutuskan tali perkawinan yang sah dari pihak suami dengan kata-kata yang khusus, atau dengan apa yang dapat mengganti kata-kata tersebut.5

Penulis tidak menjumpai pengertian yang jelas tentang perceraian dalam hukum positif yang mengatur tentang perkawinan. Dalam Undang-undang

2

Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), cet. Ke-2, h. 156

3

H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Jakarta: Attahiriya, 1976), cet. Ke-6, h. 376

4

Djaman Nur, Fiqh Munakahat, (Semarang: Dina Utama, 1993), Cet. Ke-1, h. 134

5


(24)

Nomor 1 Tahun 1974 pasal 38 hanya menyebutkan sebab-sebab putusnya perkawinan yaitu:

1. karena kematian 2. karena perceraian

3. karena putusan pengadilan

Akan tetapi, perlu kiranya penulis mengemukakan pendapat para sarjana sebagai pegangan tentang pengertian perceraian. Subekti merumuskan bahwa perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu. Sedangkan Happy Marpaung berpendapat, perceraian adalah perbuatan pembubaran perkawinan ketika para pihak masih hidup dengan alasan yang dapat dibenarkan dan ditetapkan dengan putusan pengadilan.6

Dasar Hukum Perceraian

Dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari antara suami isteri haruslah selaras agar terciptanya kehidupan yang damai dan tenteram sesuai dengan apa yang diinginkan yaitu terbentuknya kelurga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Namun tidak sedikit halangan yang dihadapi oleh suami isteri tersebut, bahkan hal yang terburukpun dapat terjadi dalam rumah tangga bila tidak ada kata sepakat lagi yaitu terjadinya perceraian sebagai jalan terakhir untuk menyelamatkan kedua belah pihak.

6


(25)

Mengenai dasar hukum perceraian penulis akan mencantumkan ayat-ayat al-Qur’an serta hadist yang menjadi landasan hukum perceraian, antara lain : 1. Surat al-Baqarah ayat 230 yang berbunyi :

Artinya: “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) Mengetahui”.

2. Surat al-Baqarah ayat 229 yang berbunyi :


(26)

Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang Telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim”.

3. Surat at-Thalaq ayat 1 yang berbunyi :

Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan Isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah


(27)

itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya dia Telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru”.

Selain ayat-ayat al-Qur’an diatas, adapula hadist yang berkenaan dengan dasar hukum perceraian.

Hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah, yang berbunyi:

ا

ا

ﷲا

و

لﺎ

:

ا

ا

ل

ا

ﷲا

ﱠﺰ

و

ا

ﱠﻄ

ق

) .

داﻮ ا

اور

آﺎ ا

دوا

و

(

Artinya: “Dari Ibnu Umar r. a berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Diantara barang-barang yang halal yang dibenci oleh Allah adalah talak”.

(Diriwayatkan oleh abu Daud, Ibnu Majah, dan disahkan oleh Hakim dan Abu Hatim menguatkan kemursalannya).

B. Sebab-sebab Terjadinya Perceraian

Suatu perceraian dapat terjadi karena sebab-sebab tertentu. Di dalam Kompilasi Hukum Islam alasan-alasan perceraian disebutkan pada pasal 116 yang terdapat delapan macam alasan untuk perceraian. Dalam hal ini penulis mencoba menjelaskan menurut kemampuan yang ada, yaitu:

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;


(28)

Zina adalah salah satu perbuatan yang dapat dijadikan alasan perceraian. Suatu perbuatan zina yang dituduhkan kepada seseorang dapat dibuktikan dengan saksi-saksi yang kesaksiannya benar-benar menyaksikan sendiri peristiwa zina yang dilakukan oleh orang yang dituduh berada dalam keadaan tertangkap basah. Para saksi harus melihat langsung seorang laki-laki dan perempuan sedang melakukan hubungna kelamin. Tuduhan perbuatan zina tidak bisa didasarkan atas suatu hasil konklusi. Karena sulitnya cara pembukitan ini, maka banyak dalam perkara perceraian, penggugatnya jarang yang berani secara tegas mendasarkan dalilnya atas alasan zina. Karenanya orang lebih sering mempergunakan istilah “serong, selingkuh, ataupun menyeleweng” dan dari perbuatan ini akan timbulah perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus.

Alasan lain yang dapat digunakan oleh kedua belah pihak untuk mengajukan perceraian adalah pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya. Jika hal tersebut (mabuk, madat dan judi) dilakukan terus menerus maka akan timbul dampak negatif terhadap keutuhan rumah tangga dan kehidupan ekonomi keluarga akan terancam.

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;

Dicantumkannya jangka waktu 2 tahun pada rumusan diatas adalah untuk mendapatkan kepastian hukum, karena permasalahan ini erat kaitannya


(29)

dengan pihak yang meninggalkan. Perceraian dengan alasan ini adalah untuk menjaga dan melindungi pihak yang ditinggalkan, sedangkan mengenai kata ‘berturut-turut’, apabila tidak disebutkan dengan jelas ada kemungkinan kepergiannya terputus-putus asal kepergianya itu jumlahnya 2 tahun maka bisa dijadikan alasan untuk memohon perceraian.

Persyaratan paling penting dalam hal ini adalah bila memang ada i’tikad ingin meninggalkan tanpa suatu alasan yang sah dan tanpa izin orang yang ditinggalkannya itu. Namun, bila meniggalkannya itu demi kepentingan yang berkaitan dengan kelangsungan hidup mereka pada masa yang akan datang, maka hal seperti itu tidak dapat dijadikan sebagai alasan memohon perceraian.

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 disebutkan “Gugatan perceraian karena salah seorang dari suami-isteri mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat sebagai dimaksud dalam Pasal 19 huruf c maka untuk mendapat putusan perceraian sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum tetap.7

7

Abdul Gani Abdullah, Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Peradilan Agama, (Jakarta: Intermasa, 1991), h. 326


(30)

Pasal tersebut diatas menunjukan bahwa salinan putusan pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum langsung dianggap mempunyai kekuatan pembuktian yang menentukan/ mempunyai kekuatan pembuktian yang memaksa.

Pihak penggugat tidak dapat melumpuhkan alat tersebut dengan alat bukti lawan. Hakim sendiripun terikat secara mutlak atas alat bukti tersebut, dengan syarat:

a. Hukuman yang dijatuhkan paling rendah lima tahun penjara. b. Putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kraht)

c. Adanya keterangan dari pengadilan yang bersangkutan yang menjelaskan bahwa putusan pidana tersebut telah benar-benar mempunyai kekuatan hukum tetap. Putusan dijatuhkan setelah perkawinan berlangsung antara suami istri.8

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyayaan berat yang membahayakan pihak lain

Jika suami melakukan kekejaman atau penganiyayaan berat terhadap isterinya, maka isteri berhak mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan. Alasan kejam yang dimaksudakan bukan hanya menurut ukuran isteri yang bersangkutan melainkan menurut perasaan umum yang tentunya

8

M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1993), h. 260


(31)

tidak berlawanan dengan pemukulan secara edukatif yang dibolehkan agama dalam batas kewajaran.

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagi suami atau isteri

Alasan cacat badan atau menderita suatu penyakit tidak memperoleh penjelasan yang lengkap di dalam Undang-undang Perkawinan, keseluruhannya diserahkan pada kebijaksanaan Hakim. Hakimlah yang menentukan secara pasti terhadap semua keadaan apakah bisa dijadikan alasan untuk bercerai sebagaimana yang dimaksud dalam pasal ini. Bila cacat badan atau penyakit itu menurut Hakim menyebabkan seseorang tidak dapat menjalankan kewajibannya, maka hal tersebut dapat menjadi alasan untuk memohon perceraian.

6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengakaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Perselisihan dan pertengkaran secara terus menerus yang terjadi dalam dalam suatu keluarga akan sangat merugikan, baik bagi kedua pasangan maupun bagi kehidupan anak-anaknya. Disebutkan lebih lanjut dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 134 bahwa; “Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 116 huruf f, dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan Agama mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu


(32)

dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami isteri tersebut.

7. Suami melanggar ta’lik talak

Apabila suami telah terbukti melakukan pelanggaran atas perjanjian ta’lik talak atau tidak menepati salah satu dari isi sighat ta’lik talak yang telah ia ucapkan dahulu, kemudian isteri merasa di rugikan, maka hal tersebut menimbulkan peluang bagi isteri untuk mengajukan gugatan dengan menempatkan perjanjian itu sebagai alasan perceraian.

8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.

Orang yang murtad yaitu orang yang keluar dari agama Islam baik memeluk agama Yahudi, Nasrani atau yang lain atau sama sekali tidak beragama, maka haram bagi diri isterinya yang masih beragama Islam.9

Dengan demikian maka apabila seorang suami atau isteri murtad, maka dengan sendirinya perkawinannya menjadi batal, artinya jatuhlah perceraian antara suami isteri tersebut dengan disebabkan kemurtadan. Agama Islam menetapkan batalnya perkawinan karena murtad dimaksudkan untuk melindungi agama suami/isteri sehingga tidak terjerumus pada keyakinan hidup yang sesat, dengan demikian pula dalam suatu pernikahan bila suami atau isteri pindah agama

9

M. Thlaib, 15 Penyebab Perceraian dan Penanggulangannya, (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 1997), cet. Ke-1, h. 179


(33)

(murtad) jelas sekali akan membawa dampak dalam kehidupan perkawinan, karena agama dan keimanan merupakan salah satu dasar dari pembentukan rumah tangga yang sakinah dan diridhai Allah.

C. Macam-macam Perceraian

Menurut hukum Islam putusnya hubungan perkawinan (perceraian) dapat terjadi karena talak, khulu, syiqaq, fasakh, ta’lik talak, dzihar, ila’, li’an,

tafwid dan riddah. Berikut akan penulis kemukakan secara ringkas

macam-macam perceraian tersebut yaitu :

1. Talak

Menurut bahasa Arab, talak ialah ‘melepaskan’ atau ‘meniggalkan’, seperti melepaskan sesuatu dari ikatannya. Menurut istilah syara’ talak ialah melepaskan ikatan perkawinan dengan mengucapkan lafal talak atau yang searti dengannya. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 117 menjelaskan talak adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131.

Adapun macam-macam talak adalah :

Talak ditinjau boleh tidaknya suami rujuk kembali pada isterinya setelah isteri di talak;


(34)

a. Talak raji’, adalah talak kesatu atau kedua dimana suami berhak ruju’ selama istri dalam masa iddah. (Pasal 118 KHI)

b. Talak Ba’in, talak ba’in ada dua macam :

1) Talak bain syughra, adalah talak yang tidak boleh dirujuk tetapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah. (Pasal 119 KHI)

2) Talak ba’in kubra, adalah talak yang menghilangkan hak suami untuk menikah kembali kepada isterinya, kecuali kalau bekas isterinya itu telah menikah lagi dengan orang lain dan telah berkumpul sebagai suami isteri secara nyata dan sah.(Pasal 120 KHI)

Talak ditinjau dari waktu menjatuhkannya;

a. Talak sunni, adalah talak yang diperbolehkan, yaitu talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu sucinya tersebut. (Pasal 121 KHI)

b. Talak Bid’i, adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan kepada isteri dalam keadaan haid atau isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut. (Pasal 122 KHI)


(35)

Talak khulu’ adalah suatu perceraian perkawinan dengan cara memberikan sejumlah uang dari pihak isteri kepada suami yang disebut “talak tebus”.10

Dasar kebolehan talak khulu’ terdapat dalam surat al- Baqarah ayat 229 :

Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang Telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah

10

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta : UIP, 1974), cet. Ke-2, h. 115


(36)

kamu melanggarnya. barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim”.

Khulu’ dapat dijatuhkan sewaktu-waktu baik isteri dalam keadaan suci ataupun tidak, hal ini disebabkan khulu’ terjadi atas kehendak isteri.

3. Syiqaq

‘Syiqaq’ berarti ‘perselisihan’ menurut istilah fiqih berarti perselisihan suami isteri yang diselesaikan oleh dua orang hakam, yaitu seorang hakam dari pihak suami dan seorang dari pihak hakam dari pihak isteri.11 Tetapi apabila keadaan sangat terpaksa dan hakam sudah sekuat tenaga berusaha untuk mendamaiakan suami isteri namun tidak berhasil maka hakam boleh mengambil keputusan menceraiakan suami isteri tersebut.

Adapun pengangkatan hakam apabila terjadi syiqaq, berdasarkan firman Allah swt :

Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik

11


(37)

kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.

4. Fasakh

Fasakh berarti ‘mencabut’ atau ‘menghapus’ maksudnya adalah perceraian yang disebabkan oleh timbulnya hal-hal yang dianggap berat oleh suami atau isteri atau keduanya sehingga mereka tidak sanggup untuk melaksanakan kehidupan suami isteri dalam mencapai tujuannya.12 Jadi fasakh berarti diputuskannya hubungan perkawinan (atas permintaan salah satu pihak) oleh hakim agama karena salah satu pihak menemui cela pada pihak lain atau merasa tertipu atas hal-hal yang belum diketahui sebelum berlangsungnya perkawinan.13

Perceraian dalam bentuk fasakh ini termasuk perceraian dengan proses Peradilan. Hakimlah yang memberi keputusan tentang kelangsungan perkawinan atau terjadimya perceraian, karena itu pihak penggugat dalam perkara fasakh ini haruslah mempunyai alat-alat bukti yang lengkap, yang dapat menimbulkan keyakinan bagi hakim yang mengadilinya.

5. Ta’lik Talak

Arti ta’lik talak ialah ‘menggantungkan’ dan jika dihubungkan dengan kata-kata talak menjadi “ta’lik talak” yang berarti suatu talak yang digantungkan jatuhnya kepada suatu hal yang memang mungkin terjadi, yang

12

Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, h. 212

13


(38)

telah disebutkan lebih dahulu dalam suatu perjanjian atau telah diperjanjikan lebih dahulu.14

Maksud diadakan ta’lik talak adalah suatu usaha dan upaya untuk melindungi isteri dari tindakan sewenang-wenang suaminya, dengan adanya sistem ta’lik talak maka nasib isteri dan kedudukannya dapat diperbaiki jika suami menyia-nyiakannya, sehingga isteri dapat mengadukan kepada hakim agar perkawinannya diputus. Dan hakim dapat mengabulkan permohonannya sesudah terbukti kebenaran pengaduannya tersebut.

Ketentuan diperbolehkannya ta’lik talak ini tercantum dalam firman Allah surat An-Nisa/4: 128 :

Artinya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak Mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

14


(39)

6. Zihar, Ila’ dan Li’an

Tiga macam perbuatan hukum zihar, ila’ dan li’an adalah perbuatan yang berupa kata atau sumpah yang tidak secara langsung berisi ungkapan yang menyatakan putusnya ikatan perkawinan tetapi oleh hukum dinyatakan berdampak memutuskannya. ‘Zihar’ merupakan kebiasaan orang jahiliyah yang tidak lagi memfungsikan isterinya sebagai isteri walaupun masih tetap diikat, seperti pernyataan : “kamu seperti punggung ibuku sendiri” sambil memulai sikap tidak bersedia lagi menggaulinya. Sedangkan ‘ila’ juga merupakan kebiasaan orang jahiliyah yaitu pihak laki-laki bersumpah mengenai hubungannya sebagai suami terhadap isterinya sendiri bahwa ia tidak akan menggaulinya lagi.15

Adapun li’an ialah saling menyatakan bahwa bersedia dilaknat Allah setelah mengucapkan persaksian empat kali oleh diri sendiri yang dikuatkan dengan sumpah yang dilakukan oleh suami dan isteri karena salah satu pihak bersikeras menuduh pihak yang lain melakukan perbuatan zina, atau suami tidak mengakui bahwa anak yang dikandung atau dilahirkan oleh isterinya sebagai anaknya dan pihak yang lain bersikeras menolak tuduhan

15

Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995), h. 143


(40)

tersebut, sedangkan masing-masing tidak mempunyai alat bukti yang dapat diajukan kepada hakim.16

Sebagaimana terdapat dalam firman Allah swt :

Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar”. (Annur/24: 6)

7. Tafwidh

Tafwidh talak artinya menyerahkan talak.17 Yaitu seorang suami memberikan hak kepada isterinya, yaitu berupa hak talak. Syarat-syaratnya ditentukan oleh keduanya secara sukarela, jadi bukan hak talak yang bersifat mutlak. Apabila syarat yang telah ditentukan secara sukarela tersebut terjadi, maka isterinya mempunyai hak untuk menjatuhkan talak dan terjadilah talak.18 Sebagaimana ulama berpendapat tidak sah mentafwidhkan talak,

16

Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, h. 203-204

17

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Study Perbandingan dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-negara Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 281

18

Jamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981), h. 56-57


(41)

karena talak sudah ditetapkan berada ditangan suami.19 Firman Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 28 :

Artinya: “Hai nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu: "Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, Maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut'ah dan Aku ceraikan kamu dengan cara yang baik”.

8. Murtad (riddah)

Murtad atau riddah ialah keluar dari agama Islam, baik pindah pada agama lain atau tidak beragama. Di Indonesia putusnya perkawinan karena murtadnya salah seorang dari suami isteri termasuk fasid atau batal demi hukum, dan pemutusannya dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama. Pengadilan Agama hanya dapat menerima riddahnya seseorang, jika orang itu menyatakan sendiri dengan tegas di depan sidang Pengadilan Agama, oleh karena itu riddahnya seseorang yang dinyatakan bukan di depan sidang Pengadilan Agama dianggap tidak sah.20

Kesimpulan

19

Daly, Hukum Perkawinan Islam, h. 282

20


(42)

Perceraian merupakan sesuatu yang halal/ boleh dilakukan jika dalam bahtera rumah tangga sudah tidak dapat lagi diselamatkan lagi oleh kedua belah pihak karena tidak adanya persamaan tujuan. Mengenai sebab-sebab perceraian terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 116, Undang-undang No. 1/ 1974 pasal 38, dan Peraturan Pemerintah No. 9/ 1975 pasal 19, adapun macam dari perceraian itu ada 4 yaitu talak, khulu, fasakh dan zihar, ila’, li’an.


(43)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG MURTAD

MENURUT HUKUM ISLAM

A. Pengertian Murtad

1. Segi Bahasa

Riddah menurut bahasa artinya “kembali (kepada jahiliyah)”. Riddah merupakan perbuatan kufur yang sangat keji dan menghapus semua amal jika dilakukan terus menerus sampai mati.21 Kata riddah merupakan isim masdar dari kata irridad yang secara harfiyah berarti “kembali”, “dikembalikan”, “berpaling”, “dipalingkan”.22 Yakni, lair dari sesuatu menuju sesuatu yang lain, arti tersebut antara lain terdapat dalam firman Allah,

.

..

Artinya: “…dan janganlah kamu lari kebelakang (karena takut kepada musuh), Maka kamu menjadi orang-orang yang merugi”.

Murtad dalam arti kembali-dikembalikan terdapat dalam surat al-An’am ayat 28 ;

21

Zainuddin bin Abdul Aziz al- Malibaba al Fannani, Terjemahan Fat- Hul Mu’in, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), cet. 1, h. 548

22

Soleh A. Mahdi, Hukum Bagi Orang Murtad dan Kafir, (Jakarta: PT. Arista Brahmatysa, 1994), cet-2, h. 9


(44)

Artinya: “Tetapi (sebenarnya) Telah nyata bagi mereka kejahatan yang mereka dahulu selalu menyembunyikannya. sekiranya mereka dikembalikan ke dunia, tentulah mereka kembali kepada apa yang mereka Telah dilarang mengerjakannya. dan Sesungguhnya mereka itu adalah pendusta belaka”.

Sedangkan murtad yang berarti paling-berpaling terdapat dalam surat Muhammad ayat 25 ;

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan Telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka.”.

Sayyid Sabiq dalm fiqh sunnahnya mengartikan riddah adalah kembali atau mundur dijalan dimana ia datang.23

Menurut Wahbah Al- Zuhaili, riddah adalah kembali dari sesuatu kepada yang lain.24

2. Segi Istilah

23

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah II, (Beirut: Dar Al-Fiqr, 1983), cet. IV, h. 38

24

Wahbah Al- Zuhaili, Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, (T.tp: T.p, T. t), Juz. IV, h. 183


(45)

Di dalam Ensiklopedia Islam di Indonesia, riddah adalah makna asal dari kembali (ke tempat atau jalan semula), namun kemudian istilah ini dalam penggunannya lebih banyak dikhususkan untuk pengertian kembali atau keluarnya seseorang dari agama Islam kepada kekufuran atau pindah kepada agama selain Islam. Dari pengertian riddah ini dapat dikemukakan tentang pengertian murtad, yaitu orang Islam yang keluar dari agama (Islam) yang dianutnya kemudian pindah (memeluk) agama lain atau sama sekali tidak beragama.25

Menurut hukum Islam, orang yang keluar dari agama Islam (murtad), maka saat ia bercita-cita dan telah dihukumi murtad, yaitu kafir dan pada saat itulah gugurlah segala amal ibadah yang telah di kerjakannya. Akan tetapi, bila ia bertobat kembali, maka tidaklah hilang amalan yang telah berlalu itu. Dia tidak wajib mengulangi kembali ibadahnya sebelum ia murtad itu.26

B. Syarat-syarat Murtad

Seseorang dianggap murtad jika ia telah mukallaf dan menyatakan kemurtadannya secara terangan-terangan atau dengan kata-kata yang menjadikannya murtad atau dengan perbuatan yang mengandung unsure-unsur kemurtadannya. Adapun seseorang yang dinytakan murtad dengan persyaratan sebagai berikut:

25

Harun Nasution (Ketua Tim), Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 696

26

Ibnu Mas’ud dan Zainal Abdillah S, Fiqh Mazhab Syafi’i, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), cet. 1, h. 529


(46)

1. Berakal

Tidak sah kemurtadan orang gila dan anak kecil yang belum berakal karena akan menjadi syarat kecakapan dalam masalah aqidah (keyakinan) dan masalah lainnya.

2. Baligh (Dewasa)

Karenanya tidak sah murtadnya anak kecil yang telah mencapai mumayiz menurut ulam Syafi’iyah.27

Adapun pernyataan murtad dari anak kecil mumayiz (berakal) di perselisihkan oleh para fuqaha.

Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Muhammad yang di kutip dalam buku ‘Ala’ Ad-din Al- Kasani, baligh (dewasa) bukan merupakan syarat untuk sahnya murtad. Dengan demikian, murtadnya anak kecil yang sudah berakal (mumayiz) hukumnya sah.

Sedangkan menurut Abu Yusuf murid Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa anak mumayiz apabila menyatakan Islam maka hukumnya sah, dengan demikian pula sebaiknya apabila ia menyatakan murtad, hukumnya juga sah. Hal ini karena iman dan kafir kedua-duanya merupakan perbuatan nyata yang keluar dair hati sebagai salah satu anggota badan.

27

Muhammad Amin Suma, dkk, Pidana Hukum Islam di Indonesia, Peluang, Prospek dan Tantangan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), Cet. Ke-1, h. 64


(47)

Pengakuan dari anak kecil yang sudah berakal (mumayiz) menunjukan adanya hal tersebut (iman dan kufur).

Menurut fuqaha Syafi’iyah yang dikutip dalam buku Jalal Ad- Din Abu Bakar As- Suyuthi berpendapat murtadnya anak kecil dan islamnya hukumnya tidak sah. Pendapat ini juga merupakan pendapat Imam Zufar dari pengikut mazhab Hanafi, Zhahiriyah, dan Syi’ah Zaidiyah. Mereka beralasan dengna hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Hakim dari Aisyah bahwa Rasulullah SAW bersabda;

و

ﻰﱠ

ﺋﺎﱠ ا

ث ﺛ

ا

ر

ﺮ ﻜ

ﻰﱠ

ﱢ ﱠ ا

و

أﺮ

ﻰﱠ

ﻰ ا

) .

اور

ﺪ ا

,

دواد

ﻰ ا

,

ءﺎ ا

,

ﺔﺟﺎ

ا

,

آﺎ او

ﺔﺸﺋﺎ

(

Artinya: “Pena itu diangkat (beban itu dibebaskan) dari tiga kelompok orang; orang tidur sampai bangun, orang gila sampai berakal (sembuh), serta anak kecil sampai dewasa”.

Meskipun demikian, kelompok Syafi’iyah telah mengakui keislaman anak kecil, karena ia mengikuti kedua orang tuanya atau salah satunya yang masuk Islam.

3. Kehendak Sendiri

Karena tidak sah murtdanya orang yang dipaksa, dengna catatan harinya bersiteguh dalam agamanya. Umpamanya jiwanya terancam kalau


(48)

tidak melakukannya, tidaklah ia dihukumi kafir atau murtad selama hatinya tetap seperti yang dikehendaki Islam.28

Sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah dalam surat al-Nahl 106.

Artinya: “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (Dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (Dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar”.

C. Macam-macam Murtad

1. Murtad karena ucapan

Seperti contohnya ucapan mencela Allah ta’ala atau Rasul-Nya, menjelek-jelekkan malaikat atau salah seorang rasul. Atau mengaku mengetahui ilmu gaib, mengaku sebagai Nabi, membenarkan orang yang mengaku Nabi. Atau berdoa kepada selain Allah, beristighotsah (meminta dihilangkan kesusahan yang sedang menimpa, pen) kepada selain Allah dalam

28


(49)

urusan yang hanya dikuasai Allah atau meminta perlindungan kepada selain Allah dalam urusan semacam itu.

2. Murtad karena perbuatan

Seperti contohnya melakukan sujud kepada patung, pohon, batu atau kuburan dan menyembelih hewan untuk diperembahkan kepadanya. Atau melempar mushaf di tempat-tempat yang kotor, melakukan prkatek sihir, mempelajari sihir atau mengajarkannya. Atau memutuskan hukum dengan bukan hukum Allah dan meyakini kebolehannya.

3. Murtad karena keyakinan

Seperti contohnya meyakini Allah memiliki sekutu, meyakini khamr, zina dan riba sebagai sesuatu yang halal. Atau meyakini bahwa sholat itu tidak diwajibkan dan sebagainya. Atau meyakini keharaman sesuatu yang jelas disepakati kehalalannya. Atau meyakini kehalalan sesuatu yang telah disepakati keharamannya.

4. Murtad karena keraguan

Seperti meragukan sesuatu yang sudah jelas perkaranya di dalam agama, seperti meragukan diharamkannya syirik, khamr dan zina. Atau meragukan kebenaran risalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau para Nabi yang lain. Atau meragukan kebenaran Nabi tersebut, atau meragukan ajaran Islam. Atau meragukan kecocokan Islam untuk diterapkan pada zaman sekarang ini.


(50)

BAB IV

AKIBAT HUKUM DARI PERCERAIAN

DENGAN ALASAN SUAMI MURTAD

A. Akibat Hukum Dari Perceraian Dengan Alasan Suami Murtad 1. Akibat Hukum Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

a. Terhadap Status Perkawinan

Ikatan perkawinan yang kekal dan abadi sepanjang masa merupakan harapan dan cita-cita bagi setiap pasangan suami isteri, keabadian tersebut diwujudkan dalam bentuk keluarga yang harmonis, damai dan sejahtera.

Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa, makana Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menganut prinsip untuk mempersukar perceraian itu ditetapkan dengan menegaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan siding Pengadilan dengan disertai alasan-alasan tertentu sebagaimana yang telah diterapkan oleh Undang-undang Perkawinan tersebut.

Suatu perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayannya itu, disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perundang-undangan yang


(51)

berlaku. Demikianlah bunyi pasal 2 ayat 1 dan 2 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.

Dari bunyi pasal tersebut kita dapat menarik kesimpulan bahwa sahnya suatu perkawinan semata-mata didasarkan pada ketentuan hukum agama dari yang bersangkutan, Jadi, apabila ada perkawinan yang menyimpang dari norma-norma agama dipandang sebagai sesuatu yang menyalahi hukum agama. Selain dilakukan menurut hukum agama, perkawinan itujuga harus dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah. Perkawinan yang demikian itulah yang dianggap sah, baik oleh hukum agama maupun oleh hukum Negara.

Di atas telah dijelaskan bahwa suatu perkawinana adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Ketentuan tersebut mempunyai arti bahwa suatu perkawinan menjadi fasakh (batal) apabila ada suatu kejadian, yaitu kejadian yang mana menurut hukum agamanya dan kepercayaannya dapat menghilangkan keabsahan perkawinan tersebut.

Menurut pandangan para ahli hukum fiqh Islam, bahwa apabila dalam suatu perkawinan salah satu pihak dari suami atau isteri berpindah agama/murtad, yaitu keluar dari agama Islam kepada agama selain Islam, maka perkawinannya menjadi fasakh (batal) dan keduanya harus segera dipisahkan.29

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta : UIP, 1974), cet. Ke-2, h. 119


(52)

Jadi, perpindahan agama/ murtadnya suami merupakan suatu kejadian yang dapat mengakibatkan batal/ putusnya ikatan perkawinan demi hukum, yaitu hukum Islam.

Suatu perkawinan dapat menjadi fasakh karena disebabkan oleh tiga hal, yaitu :

1) Apabila salah seorang dari suami-isteri murtad dair Islam dan tidak mau kembali samasekali, maka akadnya fasakh (batal) disebabkan adanya kemurtadan yang dilakukan.

2) Apabila suami yang tadinya kafir masuk Islam, tetapi isteri tetap dalam kekafirannya, maka akadnya fasakh (batal).

3) Perkawinan yang dilakukan dibawah ancaman yang melanggar hukum atau pada waktu perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami/isteri.30

Akan tetapi Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur bentuk-bentuk dan tata cara perceraian yang dikarenakan perpindahan agama/ murtad dalam suatu perkawinan. Dalam Undang-undang Perkawinan pasal 38 hanya menggolongkan secara umum mengenai putusnya perkawinan kepada 3 golongan, yaitu :

1) karena kematian 2) karena perceraian

3) karena putusan dari Pengadilan

30

Sayyid Sabiq, Terjemahan Fiqh Sunnah, (Bandung: PT al- Ma’arif, 1996), Jilid VII, cet. Ke-2, h. 125


(53)

Dan pada pasal 39 ayat 1 dan 2 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, berbunyi ;

(1) Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak

(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suani isteri itu tidak dapat hidup rukun sebagai suami-isteri.

Adapun alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan perceraian diatur dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Menurut penulis, kata “dapat” dalam pasal tersebut mengandung arti bahwa perceraian itu dapat terjadi karena alasan-alasan tertentu.

Perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 116.

Berdasarkan pasal 38 dan 39 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 , suatu perkawinna baru pitus apabila Pengadilan telah memutuskan melalui siding Pengadilan dengan disertai alasan-alasan yang diatur dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, kecuali putusnya perkawina karena kematian, karena tnapa diputuskan oleh Pengadilan perkawinan itu telah putus dengan sendirinya akibat adanya kematian tersebut.


(54)

Jadi apabila salah seorang dari suami-isteri keluar dari agama Islam (murtad) dan kemurtadannya iu belum atau tidak diajukan ke Pengadilan, dan Pengadilan belum memutuskannya, maka perkawinan mereka masih dianggap sah dan berlaku. Berbeda halnya menurut hukum agama, maka perkawinan mereka tetap dianggap tidak sah.

Jadi berdasarkan pasal 38 dan 39 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, bahwa perpindahan agama/murtad dalam suatu perkawinan, maka hakim tidak dapat memfasinnya begitu saja. Yang menjadi arahan hakim dalam menyelesaikan perkara murtad, riddahnya itu adalah bukan karena murtadnya itu sendiri akan tetapi didasarkan pada pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang telah disebutkan di atas mengenai alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan perceraian, maka hakim dapat memutuskannya dengan didasarkan pada adanya perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus antara suami-iateri yang disebabkan karena perpindahan agama tersebut.31

Dalam hal ini penulis berpendapat, apabila dalam rumah tangga mereka tidak ada pertengkaran ataupun perselisihan yang disebabkan karena perpindahan agama yang terjadi oleh salah satu pihak, maka perkawinan tersebut tetap fasakh dan harus segera diputuskan.

31

H. M. Djamil Latif, Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), cet. Ke-1, h. 75


(55)

b. Terhadap Status Anak

Seorang anak dikatakan sah atau tidak, tergantung kepada sah atau tidaknya suatu perkawinan yang menyebabkan lahirnya anak itu, dan tergantung juga kepada sah atau tidaknya perkawinan tersebut.

Dalam hal ini dapat diartikan bahwa perkawinanlah yang akan menentukan status seorang anak sah atau tidak. Jika suatu perkawinan itu sah, baik menurut hukum agama maupun Negara, maka anak yang akan dilahirkan mempunyai status anak sah. Akan tetapi, apabila perkawinan dari kedua orang tuanya itu tidak sah, maka anak yang akan dilahirkannya sudah pasti mempunyai status anak yang tidak sah.

Masalah kedudukan anak ini diatur dalam Undang-undang Perkawinan No. 1/ 1974, pasal 42 yang berbunyi : “Anak yang sah, adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”.

Pasal 43 ayat 1 Undang-undang Perkawinan No. 1/ 1974 : (1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan

perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Pasal 44 ayat 1 dan 2 Undang-undang Perkawinan No. 1/ 1974: (1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan

isterinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat dari pada perzinaan tersebut.

(2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.


(56)

Berdasarkan pasal 42 Undang-undang Perkawinan No. 1/ 1974, bahwa anak dikatakan sah apabila ia lahir dari perkawinan yang sah. Apabila perkawinan (rumah tangga) yang di dalamnya telah terjadi kemurtadan pada suami menurut pasal 39 ayat 1 dan 2 Undang-undang Perkawinan No. 1/ 1974, bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan hakim Pengadilan, begitu juga dengan kemurtadan yang terjadi pada suami dan belum diajukan ke Pengadilan, maka perkawinan (rumah tangga) tersebut tetap dianggap sah dan berlaku karena pengadilan belum memutuskannya.

Karena perkawinan itu masih dianggap sah menurut Undang-undang Perkawinan No. 1/ 1974, maka hubungan mereka juga tetap dianggap sah dan bukan sebagai perbuatan zina, begitu juga dengan anak-anak yang dilahirkan dair hasil perkawinan tersebut adalah sah hukumnya. Karena anak tersebut dianggap sah maka konsekwensinya adalah :

1. Anak tetap bernasab kepada bapak dan ibunya. 2. Anak mewarisi bapak dan ibunya.

3. Bila anak itu perempuan, maka bapak berhak menjadi wali dalam perkawinannya.

c. Terhadap Status Harta Suami/Isteri dan Harta Bersama

Setelah secara resmi hakim memutuskan perceraian diantara keduanya yang diakibatkan oleh adanya perpindahan agama/murtad yang


(57)

dapat menyebabkan perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus di antara keduanya, maka akibat putusnya perkawinan inidalam hal harta kekayaan diadakan pembagian, terutama terhadap kekayaan yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan yang lebih dikenal dengan harta bersama.

Menurut Undang-undang No. 1/ 1974 pasal 35 dinyatakan bahwa : “harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sedangkan harta bawaan dari masing-masing suami atau isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain”. Selanjutnya di dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan apabila perkawinan putus, maka harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing, yaitu hukum adapt dan hukum-hukum lainnya (penjelasan pasal 35).32

Dilihat dair bunyi pasal di atas, maka harta kekayaan dalam perkawinan terbagi atas 2 (dua) macam :

1) Harta bersama

Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Ini berarti terbentuknya harta bersama ialah sejak saat

32

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: PT. Alumni, 1993), h. 155


(58)

tanggal terjadinya perkawinan sampai ikatan perkawinan itu putus, mati), maupun karena perceraian (cerai hidup). 33

2) Harta pribadi

Harta yang diperoleh berupa warisan atau hibah oleh salah satu pihak yang dibawa masuk dalam perkawinan danterletak di luar harta bersama.34 Harta pribadi ini dapat dibagi menjadi 4 (empat) bagian, menurut pasal 35 ayat 2 yaitu :

a) Harta bawaan suami b) Harta bawaan isteri

c) Harta hibah/warisan suami d) Harta hibah/warisan isteri35

Dalam hal pembagian harta kekayaan, maka menurut ketentuan pasal 35 yang telah disebutkan diatas tadi dan dalam pasal 36 yang berbunyi :

(1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.

(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

33

M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta : Pustaka Kartini, 1997), Cet. ke-3, h. 299

34

Ibid., h. 300

35

J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, (Bandung: Citra Aditya Sakti, 1991), Cet. ke-1, h. 188


(59)

Mengenai harta warisan masing-masing suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Asas hukum yang diatur dalam ketentuan pasal 35 ayat 2 merupakan asas teori hukum yang diatur dalam syariat hukum Islam, dimana isteri tetap memegang kekayaan sebagai subyek hukum atas segala miliknya sendiri, mengusai hasil pencaharian yang diperolehnya dari jerih payah yang dilakukannya, berhak menerima hibah dan warisan selam perkawinannya berlangsung, dan dengan sendirinya menjadi hak dan berada di bawah pengawasannya sendiri. 36

Apabila pasal 35 ayat 2 dihubungkan dengan pasal 36 ayat 2, terdapat perbedaan antara harta bawaan dan pusaka warisan yang diperoleh salah satu pihak dan harta yang diperoleh karena hibah atau berdasar usaha sendiri pada pihak lain, yaitu :

(1) Mengenai harta bawaan dan harta warisan yang diperoleh dalam perkawinan; terhadap kedua harta inilah yang dimaksudkan oleh pasal 36 ayat 2, masing-masing berhak dan berkuasa penuh menurut hukum atas harta-harta tersebut.

(2) Akan tetapi mengenai hibah dan hadiah atau hasil jerih payah masing-masing termasuk pada kategori pasal 35 ayat 2, yaitu berada dibawah pengawasannya masing-masing, tetapi penguasaannya tidak mutlak sepenuhnya seperti berlaku terhadap harta bawaan dan warisan. Jadi

36


(60)

pengawasan ada ditangan pihak-pihak tapi bagaimana dan kemanfaatannya tidak sepenuhnya ditentukan oleh pemiliknya.

Dalam pembagian harta, semata-mata didasarkan kepada perceraian, seperti yang terdapat dalam pasal 37 bahwa : “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing”. Jadi apabila putus karena perceraian, maka harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan harus dibagi dua bersama suami dan isteri. Mengenai hukum pembagiannya, maka undang-undang memberi jalan : (1) Dilakukan berdasarkan hukum agama jika hukum agama itu

merupakan kesadaran hukum yang hidup dalam mengatur tata cara perceraian.

(2) Aturan pembagianya akan dilakukan menurut hukum adapt, jika hukum tersebut merupakan kesadaran hukum yang hidup dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan.

Berdasarkan pasal 37 mengenai pembagian harta bersama ini didasarkan atas adanya perceraian dan tidak memandang adanya perbedaan agama, yang disebabkan karena berpindah agama/murtadnya suami dalam suatu perkawinan. Jadi perbedaan agama bukanlah suatu penghalang dalam halpembagian harta. Asal saja diantara suami-isteri telah resmi bercerai dan atas dasar keputusan hakim dalam sidang pengadilan.


(61)

Harta bawaan suami yang diperoleh sewaktu masih dalam keadaan Islam yakni sebelum dia murtad/pindah agama, baik harta itu diperoleh sebagai hadiah atau warisan dari orang tuanya, maka berarti anak-anaknya dapat mewarisi harta bawaan bapaknya yang didapatkan sebelum bapaknya itu murtad. Lain halnya dengan harta yang diperoleh setelah bapaknya murtad, menurut pandangan hukum Islam maka anak-anaknya atua ahli warisnya yang lain tidak dapat menjadi ahli waris dari harta orang yang telah murtad/pindah agama itu.37 Jadi tidak dapat dilakukan pembagian warisan karena berbeda agama. Dasarnya adalah hadis Nabi saw yang berbunyi :

ص

ا

نا

ﺪ ﺰ

ﺔ ﺎ ا

.

لﺎ

م

:

ثﺮ

ا

ﺮ ﺎﻜ ا

ثﺮ

و

ﺮ ﺎﻜ ا

ا

)

(

Artinya: “Dari Usamah bin Yaazid katanya, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Tidak mewarisi orang muslim terhadap orang kafir, dan tidak mewarisi orang kafir terhadap orang muslim”.38

Dengan demikian, apabila suami-isteri yang murtad itu mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama untuk diadakan pembagian warisan terhadap harta mereka, maka Pengadilan Agama tidak berhak dalam hal ini, karena mereka berbeda agama. Masalah perbedaan

37

T. M. Hasbi ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris dalam Syariat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 62

38

Imam Muslim, Shahih Mulim, Vol. II, diterjemahkan oleh Mahmoud Matraji, (Beirut : Daar el-Fikr, 1993), h. 273


(62)

agama yang disebabkan karena perpindahan agama/murtad adalah menjadi penghalang dalam hal waris-mewaris.

2. Akibat Hukum Menurut Kompilasi Hukum Islam a. Terhadap Status Perkawinan

Salah satu dari tujuan perkawinan adalah membentuk dan membina keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Selain dari itu perkawinan juga diwujudkan untuk mencari ketenangan jiwa serta kebahagiaan dunia dan akhirat, yang mana kebahagiaan suatu keluarga sangat ditentukan oleh kesamaan pandangan hidup dan kesatuam aqidah antara suami-isteri. Perbedaan pandangan hidup atau kegoncangan keyakinan dalam suatu keluarga dapat membuat perselisihan dan pertengkaran yang akhirnya membuat keluarga itu berantakan atau kehilangan pandangan hidup.

Munculnya perubahan pandangan hidup ataupun perbedaan aqidah dalam suatu keluarga dapat mempengaruhi kerukunan dan keharmonisan dalam rumah tangga.

Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Sayyid Quthub : “Perkawinan adalah suatu ikatan yang paling dalam, paling kuat dan

paling kekal yang menghubungkan dua orang manusia. Ikatan itu merupakan peluang emas untuk mewujudkan pengertian di antara dua orang manusia. Oleh karena itu diperlukan adanya kesatuan hati dan keyakinan, dan supaya hati itu dapat dipersatukan, maka perlu kesatuan


(63)

aqidah dan segala hal yang berkaitan dengannya. Dan aqidah terhadap agama adalah sesuatu yang paling dalam menancap pada jiwa manusia”.39

Perpindahan agama/murtad dalam suatu perkawinan yang dilakukan oleh suami ataupun isteri adalah termasuk perbedaan hati dan aqidah yang dapat mempengaruhi langkah dan tujuan yang telah dibentuk dan dibina oleh keduanya. Hal tersebut merupakan perubahan kegoncangan keyakinan yang paling besar, dimana dalam pandangan Islam seseorang yang murtad adalah telah keluar dari cahaya Islam dan masuk ke dalam lembah kekafiran.

Ditinjau dari hukum Islam perpindahan agama/ murtad yang dilakukan suami, dapat menimbulkan putusnya/fasakhnya ikatan perkawinan itu dengan sendirinya, dan berkewajiban untuk berpisah dari isterinya, sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh Sunnah, sebagai berikut :

ﺎ ﻬ

ﻄ ا

ﺔﺟوﺰ ا

وا

جوﺰ ا

ﺪ را

اذا

ﺔ ﺮ

ﺔ ﺟﻮ

ﺎ ﻬ

ﺪ او

يا

ةدر

ن

ﺮﺧ ﺎ

ﺎ ﻬ

Artinya: “Apabila suami isteri murtad, maka putuslah hubungan perkawinan keduanya, karena riddahnya salah seorang dari suami isteri itu adalah hal yang mewajibkan pisahnya mereka.40

39

Abdul Azis, Perkawinan yang Harmonis dan Bahaya Perkawinan dengan Wanita Asing, (Jakarta: PT. Firdaus, 1993), h. 10

40


(64)

Hal tersebut mengandung arti bahwa kemurtadan salah seorang suami isteri dapat memfasakh ikatan perkawinan mereka. Dan apabila kemurtadan itu terjadi sebelum mereka bersetubuh, maka perkawinan mereka terputus pada saat itu juga, akan tetapi apabila kemurtadan itu terjadi sesudah mereka bersetubuh, maka status dari perkawinan mereka menjadi tertangguh (tawaqquf), artinya apabila yang murtad itu ingin kembali masuk Islam dalam masa iddah, maka perkawinannya tetap sah.

Pada masa tawaqquf itu, haram bagi keduanya untuk berkumpul sebagaimana layaknya suami siteri dalam hubungan perkawinan yang sah. Dan akibat riddahnya mereka menimbulkan akibat hukum yamh mewajibkan pisahnya mereka. Dan apabila salah satu dari suami-isteri yang murtad itu bertaubat dan kembali lagi ke dalam Islam, maka untuk mengadakan hubungan perkawinan seperti semula mereka haruslah memperbaharui lagi akad nikah dan mahar.41

Para ulama bersepakat atas batalnya (fasakh) perkawinan, apabila suami keluar (murtad) dari agama Islam dengan 2 (dua) alasan : 1) Firman Allah swt dalam Q. S Al-Mumtahanah :10, “Dan janganlah

kamu memegangi pertalian nikahmu denagn wanita-wanita kafir”. Dalam ayat yang sama dinyatakan; “janganlah kamu mengembalikan mereka (wanita-wanita yang telah beriman) kepada ornag-orang kafir

41

Sayyid Sabbiq, Tarjamah Fiqh Sunnah, (Bandung, PT. al-Ma’arif, 1993), cet. ke-8, jilid 9, h. 170


(65)

(suami mereka). Wanita-wanita itu tidak halal bagi suami-suami yang tidak beriman dan suami-suami yang tidak beriman itu tidak halal bagi mereka”.

2) Perbedaan agama antara suami istri, dimana salah saut di antara keduanya adalah agama yang batil, karena itu wajib difasakhkan ikatan perkawinan mereka.42

Inilah landasan hukum yang melarang terpautnya dua hati yang keyakinannya tidak sama, atau yang pada dasarnya tidak mungkin bertemu. Jika terjadi perkawinan antara seorang laki-laki muslim dengan wanita musyrik, maka perkawinan itu akan menjadi sebuah ikatan yang sangat rapuh. Kedua suami isteri itu tidak akan pernah menemukan kesepakatan dalam mencintai Allah.43

Dan jika ditinjau dari Kompilasi Hukum Islam, masalah mengenai perpindahan agama ini dilihat dari pasal 4 (empat) mengenai keabsahan perkawinan yang berbunyi : “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam, sesuai dengan bunyi pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1/ 1974”.

Ketentuan tersebut mempunyai arti bahwa suatu perkawinan mempunyai hubungan erat sekali dengan keagamaan/kerohanian, oleh

42

Abdul Muta’al M. Al-Jabry, Perkawinan Antar Agama Suatu Dilema, (Surabaya: PT. Risalah Gusti, 1992), h. 40

43

Azis, Perkawinan yang Harmonis dan Bahaya Perkawinan dengan Wanita Asing, h. 16


(66)

karena itu setiap perkawinan yang dilakukan bertentangan dengan ketentuan hukum Islam, dengan sendirinya menurut hukum perkawinan belum sah dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan.

Perpindahan agama/murtad menurut Kompilasi Hukum Islam merupakan suatu kejadian yang dapat menghilangkan keabsahan perkawinan, karena hal tersebut sangat bertentangan dengan ketentuan hukum Islam, yaitu adanya larangan perkawinan antara orang muslim dengan orang kafir. Ketentuan ini juga diperkuat dalam pasal 40 huruf c yang berbunyi : “Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu, di antaranya seorang wanita yang tidak beragama Islam”. Dan pasal 44 yang berbunyi : “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”.

Dilihat dari ketentuan bunyi pasal-pasal di atas dapat ditarik istimbath hukum bahwa, setiap perkawinan yang dilakukan bertentangan dengan hukum Islam adalah tidak sah. Begitu pula, apabila dihubungkan dengan masalah kemurtadan yang dilakukan oleh suami/isteri dalam perkawinan, hal tersebut dapat menyebabkan putus/fasakhnya ikatan perkawinan mereka.

Akan tetapi Kompilasi Hukum Islam tidak mengatur bentuk-bentuk dan tata cara perceraian yang dikarenakan perpindahan agama/murtad dalam perkawinan. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal


(67)

113 hanya menggolongkan secara umum mengenai putusnya perkawinan kepada 3 (tiga) golongkan, yaitu :

1) Kematian 2) Perceraian

3) Atas putusan Pengadilan

Dan pasal 115 Kompilasi Hukum Islam perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Menurut penulis kata “dapat” dalam kalimat di atas mengandung arti bahwa perceraian itu dapat terjadi karena alasan-alasan tertentu, padahal seharusnya pasal tersebut tidak perlu menggunakan kata “dapat”, melainkan secara otomatis perceraian terjadi karena alasan-alasan tertentu.

Adapun dalam Kompilasi Hukum Islam alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar melakukan perceraian diatur dalam pasal 116. Berdasarkan pasal 115 Kompilasi Hukum Islam, suatu perkawinan baru putus, apabila pengadilan telah memutuskannya melalui siding Pengadilan dengan disertai alasan-alasan yang diatur dalam pasal 116 Kompilasi Hukum Islam, kecuali putusnya perkawinan karena kematian, karena tanpa diputuska oleh Pengadilan, perkawinan itu telah putus dengan sendirinya akibat kematian tersebut.


(68)

Sedangkan berdasarkan pasal 116 huruf h Kompilasi Hukum Islam, bahwa perpindahan agama/murtad yang dilakukan oleh suami atau isteri dalam suatu perkawinan dapat dijadikan salah saut alasan untuk memfasakhkan perkawinan dengan mengajukan permohonan cerai ke Pengadilan Agam, maka Hakim berhak untuk mefasidkan perkawinan dengan berdasarkan peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.

Akan tetapi, apabila peralihan agama dalam suatu perkawinan, tetapi dalam hubungan perkawinan mereka tidak menimbulkan perselisihan dan pertengkaran, dengan kata lain rumah tangga mereka tetap dalam keadaan rukun dan damai, dan mereka tetap mempertahankan perkawinannya, maka para ulama sepakat bahwa perkawinan mereka tetap tidak sah, dikarenakan dalam pandangan Islam hubungan yang dilakukan oleh orang muslim dan orang kafir adalah tidak halal dan hukumnya haram. Keharaman perkawinan perempuan muslimah dengan laki-laki bukan Islam ini berdasarkan pertimbangan kemudharatan. Hal ini dikarenakan setelah perkawinan wanita tersebut terikat kepada suaminya, di bawah kekuasaannya.44

b. Terhadap Status Anak

Perpindahan agama/murtad akan dapat mempengaruhi keabsahan suatu perkawinan, demikian pula anak yang dilahirkannya akan

44

Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung : PT. Pustaka Setia, 2000), h. 132


(1)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Pedoman wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan. 2. Hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan. 3. Surat mohon kesediaan pembimbing skripsi

4. Surat mohon data dan wawancara

5. Surat keterangan telah melakukan penelitian dan wawancara di Pengadilan Agama Jakarta Selatan


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Al- Qur’anul Karim

al- Amili, Muh. Makki, ali Husain, Perceraian Salah Siapa?Bimbingan dalam Mengatasi Problematika Rumah Tangga, Jakarta: Lentera, 2001

Al- Jabry, Abdul, Muta’al, M., Perkawinan Antar Agama Suatu Dilema, Surabaya: Risalah Gusti, 1992

Abdullah, Abdul Ghani, Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Peradilan Agama, Jakarta: Intermasa, 1991

Abbas, S. Ziyad, Fiqh Wanita Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1991

A. Mahdi, Soleh, Hukum Bagi Orang Murtad dan Kafir. Jakarta: PT. Arista Brahmatysa, 1994

As-Shiddiqy, Hasby, TM., Fiqhul Mawaris, Jakarta: Bulan Bintang, 1973

Az-Zuhaili, Wahbah, al- Fiqhul Islam wa ‘Adillatuh, Damaskus: Darul Fikr, 1997 Aziz, Abdul, Dr., Perkawinan yang Harmonis dan Bahaya Perkawinan dengan

Wanita Asing, Jakarta: Firdaus, 1993

Departemen Agama RI: Direktorat Jenderal, Bimbingan Masyarakat, dan Penyelenggaraan Haji, al- Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: Toha Putera, 1989

---, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Thun 1975 serta Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Departeman Agama RI: Dirjen, Bimas dan Penyelenggaraan Haji, 2004

Daly, Peunoh, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1988

Fannani, Zainuddin bin Abdul Aziz al- Malibala al, Terjemahan Fat-Hul Mu’in, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994

Harahap, M. Yahya, Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agama, Jakarta: Pustaka Kartini, 1993


(3)

Hakim, Rahmat, H., Drs., Hukum Perkawinan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2000 Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Adat, Bandung: PT. Alumni, 1993 Kasani, ‘Ala’ Ad- Din al- Kitab Bada’i Ash- Shariai’, Dar al- Fikr: Beirut, 1996 Kuzari, Achmad, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995 Latief, Djamil, H. M., S. H., Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama di

Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1983, Cet. ke-1

Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Yayasan al- Hikmah, 2000

Marpaung, Happy, Masalah Perceraian, Bandung: Tonis, 1983 Matraji, Mahmoud, Shahih Muslim, Beirut: Daar- al- Fikr, 1993

Mas’ud, Ibnu, Drs., H. dan S. Abidin, Zainal, Drs. H., Fiqh Mazhab Syafi’i, Bandung: Pustaka Setia, 2000

Muhammad, Abu Bakar, Terjemah Subussalam, Surabaya: al- Ikhlas, 1995

Mukhtar, Kamal, Drs., Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: BUlan Bintang, 1974

Nasution, Harun, Prof., Dr., (Ketua Tim), Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992

Nur, Djaman, Fiqh Munakahat, Semarang: Dina Utama, 1993

Nuruddin, Amir dan Tarigan, Akmal Azhari, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fiqh, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sampai Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Prenada Media, 2004

Rosjid, Sulaiman, H., Fiqh Islam, Jakarta: Attahiriya, 1976 Sabbiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Beirut: Dar al- Fikr, Jilid III, 1993 ---, Fiqh Sunnah 8, Bandung: al- Ma’arif, 1996

Satrio, J, Hukum Harta Perkawinan, Bandung: Citra Aditya Sakti, 1991 Shiddieq, Ahmad, Hukum Thalaq dalam Islam, Surabaya: Putra Pelajar, 2001


(4)

Sulaiman, Muh. Abduh, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Wawancara Pribadi, Jakarta,

Suma, Muhammad Amin, Prof., Dr., MA., SH., dkk, Pidana Hukum Islam di Indonesia Peluang, Prospek dan Tantangan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001

Thalib, Sayuti, SH., Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UI. Press, 1981

Thalib, M., 15 Penyebab Perceraian dan Penanggulangannya, Bandung: Irsyad Baitus Salam, 1997


(5)

PEDOMAN WAWANCARA

1. Selama Bapak bertugas di PA Jaksel, apa Bapak pernah menangani perkara perceraian karena alasan murtad?

2. Menurut Bapak, apa pengertian murtad itu? Apakah asalnya memang pernah menganut agama, lalu kembali ke agama semula setelah menikah, ataukah benar-benar ia muslim/ muslimah lalu ia beralih agama?

3. Apakah menurut bapak murtadnya seseorang dalam perkawinan menyebabkan putusnya perkawinan mereka seketika itu juga?

4. Dalam KHI pasal116 huruf (f) disebutkan murtad menjadi salah satu alasan untuk bercerai jika menyebabkan ketidak rukunan dalam rumah tangga, bagaimana pendapat Bapak jika murtadnya salah satu pihak dari mereka itu tidak mempengaruhi kerukunan rumah tangga mereka?

5. Pertimbangan apa saja yang Majelis Hakim ambil dalam menyelesaikan perceraian dengan alasan suami murtad?

6. Menurut Bapak apa saja akibat hukum dari perceraian tersebut? Karena di dalam UU No. 1/ 1974 maupun KHI tidak menjelaskan akibat hukum dari perceraian dengan alasan suami murtad?


(6)