Tauhid dan Tujuan Sistem Sosial

yang harus menjamin kemakmuran semua warga negara. Untuk tujuan ini, dana dapat dikumpulkan dari kekayaan negara, sumber pendapatan umum, dan pajak. 26 Jadi, persamaan hak atas kekayaan dipadukan dengan jaminan sosial. Seseorang bebas mengupayakan kekayaan selama tidak mengganggu dan menutup kesempatan orang lain untuk mendapatkan hak yang sama. Terhadap orang-orang yang kurang beruntung, Islam memberikan kompensasi agar haknya tetap terjaga sehingga bisa mengupayakan dan menikmati kekayaan. Jaminan itu menggambarkan tidak adanya kepemilikan eksklusif atas kekayaan karena segala sesuatu hanya milik Allah semata. Islam tidak mengenal persaingan yang mengarah kepada eksploitasi atau merugikan orang lain. Persaingan hanya dibolehkan untuk tujuan mencapai ridha Allah semata.

D. Tauhid dan Tujuan Sistem Sosial

Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya, tujuan sistem sosial adalah tercapainya kehidupan yang sejahtera, adil, makmur, dan bahagia. Untuk tujuan ini, tauhid memunyai peranan signifikan sebagai landasan hidup yang mengarahkan prilaku manusia. Keyakinan tauhid membentuk pandangan dunia seseorang sehingga setiap tindakannya mencerminkan nilai-nilai keyakinan ini. Bagi Muhammad Baqîr al-Shadr, tauhid adalah jendela untuk melihat dunia. Nilai-nilai tauhid harus mewarnai seluruh ranah kehidupan sehingga eksistensi Islam dapat berdiri tegak dan kokoh. 26 Ibid, 157. Menurutnya, Allah tidak menginginkan seorang Muslim hanya menunjukkan ketundukan pribadi kepada-Nya. Tetapi lebih dari itu, ia menginginkan orang Muslim menjadi satu faktor berdirinya eksistensi Islam yang memiliki karakter penyerahan dan ketundukan terhadap Sang Pencipta. Kemudian, Umat Islam dituntut untuk bersatu di bawah eksistensi itu. Tauhid menjadi kaidah utama yang paling pokok dan esensial dari eksistensi Islam untuk mewujudkan tujuan dari sistem sosial. Dia menyatakan: Kaidah utama adalah sesuatu yang pokok dan esensial dari setiap masyarakat yang menginginkan dari keberadaannya suatu komitmen dan kekekalan serta bertujuan untuk mencapai kesejahteraan, kebahagiaan, dan kemuliaan. Karena kaidah utama adalah penggerak yang bersumber dari hati dan akan mengembangkan masyarakat menuju kehidupan. Kaidah inilah yang menjaga kesatuan masyarakat dan kesolidannya. Ia menjadi titik tolak dari setiap perbuatan. Ia merupakan unsur yang menempati sentral penjagaan dari penyimpangan dan kemunduran masyarakat. 27 Dalam pandangan Muhammad Baqîr al-Shadr, eksistensi Islam yang berdiri di atas keimanan dan keyakinan kepada Allah, penyerahan dan ketundukan kepada-Nya serta penyerahan kepemimpinan praktis di tangan-Nya adalah eksistensi satu-satunya yang dapat melaksanakan peranan kemanusiaan, menjamin kebahagiaan, kemuliaan, dan kesejahteraan sosial. Hal ini disebabkan dalam eksistensi Islam tidak ada nilai-nilai yang bertentangan dengan fitrah dan naluri manusia. Islam adalah agama kemanusiaan yang mampu mengakui dan mengafirmasi fitrah manusia. Islam tidak mengubah fitrah tersebut dan tidak mengingkarinya. Islam sangat memuliakan kemanusiaan dalam segenap dimensinya. 28 27 Muhammad Baqîr al-Shadr, Syahadat Kedua: Ketika Keimanan saja Tak Cukup, h. 123-124. 28 Ibid, h. 76. Islam juga merupakan agama yang tidak menentang kecenderungan naluri manusia. Sebaliknya, ia menyediakan ruang untuk mengekspresikannya. Sikap Islam terhadap naluri sangatlah positif karena ia merupakan kekuatan hewani yang tanpanya suatu aktivitas atau gerakan akan musnah. Naluri mendorong dan menyempurnakan gerakan menjadi syarat internal dari prilaku manusia. 29 Namun demikian, Islam juga menekankan pentingnya memenuhi kebutuhan spiritual dalam diri manusia. Spiritualitas pasti cenderung kepada kebahagiaan dan ketenangan sehingga manusia tidak merasa miskin di tengah keberlimpahan materi. Dengan spiritualitas, manusia memiliki nilai dan tujuan dalam hidupnya serta mampu memberi makna pada kekayaan yang dimilikinya. Dalam eksistensi Islam, terpancar prinsip-prinsip kebebasan, keadilan dan persamaan yang menjadi landasan etis prilaku manusia dalam kehidupan sosial. Demikian pula dengan struktur dan institusi sosial. Setiap keputusan dan kebijakan yang dilahirkan baik dalam bidang hukum, ekonomi, politik, dan sebagainya berlandaskan pada prinsip-prinsip itu. Sistem sosial Islam eksistensi Islam mengatur masyarakat secara adil sehingga tercipta stabilitas dan integritas serta tatanan kehidupan yang harmonis, makmur, dan sejahtera. Di sini peran negara sangat besar sekali dalam mengupayakan cita-cita sistem sosial. Negara bukan sekedar penjaga malam yang hanya melindungi kebebasan individu sebagaimana dalam liberalisme-kapitalisme. Negara juga bukanlah monster menakutkan yang mengawasi dan melumat kebebasan individu seperti dalam sosialisme-komunisme. 29 Ibid, h. 80. Sistem sosial Islam tidak menentang kebebasan individu tetapi juga tidak menghapus kepemilikan pribadi. Sistem sosial Islam meletakkan kebebasan itu serta hal-hal lainnya dalam bingkai tauhid. Karena itu, sistem sosial Islam disebut Muhammad Baqîr al-Shadr sebagai sistem langit yang akan mewujudkan cita-cita kehidupan manusia. Islam bukanlah undang-undang positif yang terbatas bidangnya dalam zaman dan tempat, juga bukan buatan manusia yang memiliki wawasan dan tujuan yang terbatas. Namun, Islam adalah sistem langit yang diwahyukan dari sisi Allah, pencipta manusia dan dunia dengan segala hal yang membawa manfaat bagi manusia … Manusia tidak akan mampu memerbaiki kehidupan kecuali dengan Islam, dengan sistem dan undang- undangnya. 30 Menurutnya, tidak ada nilai-nilai yang lebih tinggi yang sesuai dengan seluruh aspek kehidupan manusia serta menjamin kebahagiaan dan stabilitasnya selain eksistensi Islam. Dalam eksistensi itu terdapat nilai-nilai luhur yang mengarahkan manusia pada cita-cita hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Tercapainya tujuan kehidupan inilah yang diupayakan dari sistem sosial Islam. Bila eksistensi Islam berhasil tegak dalam kehidupan umat, maka cita-cita sistem sosial akan terwujud.

E. Catatan Kritis