sosialisasi sarana-sarana produksi harus dilakukan sehingga setiap orang memunyai akses yang sama terhadap sumber kekayaan dan berperan serta dalam
keputusan kolektif di sekitar penyebaran aset-aset produktif. Sarana-sarana produksi dikerjakan oleh kolektifitas manusia sehingga menghasilkan kekayaan
yang melimpah. Ketika ini terwujud, prinsip distribusi yang adil menurut Marx adalah “Dari setiap orang sesuai dengan kemampuannya, bagi setiap orang sesuai
dengan kebutuhannya”. Inilah rumusan prinsip keadilan yang amat terkenal dalam sosialisme.
31
Meski rumusan tersebut berkaitan dengan prinsip keadilan, tetapi sebagaimana dikatakan sebelumnya, sosialisme lebih mengutamakan cita-cita
masyarakat komunis. Setelah cita-cita itu tercapai, baru keadilan dapat diwujudkan. Di luar itu, keadilan dalam perspektif komunisme tidak terlalu
penting. Konflik di dalam masyarakat terjadi bukan karena tidak adanya keadilan sebagaimana dalam liberalisme, tetapi lebih dari itu, karena kepemilikan sarana-
sarana produksi oleh individu yang melahirkan kelas-kelas sosial.
3. Persoalan dalam Liberalisme dan Sosialisme
Penekanan liberalisme pada hak individu atas kehidupan, kebebasan, dan harta milik menimbulkan beberapa konsekuensi yang tak dapat dielakkan
terutama dalam masalah sosial dan ekonomi. Hak tersebut bersifat ekslusif dan otonom dalam diri individu. Di antara konsekuensi itu yang paling mencolok
adalah munculnya ekonomi kapitalisme. Bahkan antara liberalisme dengan
31
Bur Rasuanto, Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas, h. 15- 16.
kapitalisme tak dapat dipisahkan satu satu sama lain.
32
Akar kapitalisme dapat ditemukan dalam pandangan Bernard de Mandeville dan Adam Smith pada abad
ke-18 yang mendukung masyarakat pasar yang bercirikan pembagian kerja secara rasional dan terperinci, penghormatan hak milik pribadi, dan pengutamaan
kepentingan pribadi.
33
Menurut Smith, kesejahteraan masyarakat akan terjamin dalam jangka panjang apabila individu dibiarkan untuk mengejar kepentingan dan keuntungan
pribadinya. Hal ini dikarenakan adanya tangan yang tidak kelihatan invisible hand
di mana individu secara tidak sadar akan menyumbangkan yang terbaik buat masyarakat dengan memenuhi kebutuhan orang lain demi kepentingannya
sendiri.
34
Maka hukum pasar haruslah didasarkan pada mekanisme ilmiah Newton sehingga membawa implikasi kebijakan ekonomi laissez fair yakni, pembatasan
seminimal mungkin kontrol pemerintah atas pasar. Akan tetapi, kebebasan akan hak milik pribadi yang melahirkan kompetisi
di pasar mulai bermasalah ketika sarana-sarana produksi dikuasai oleh para pemilik modal. Mereka memiliki kekuatan lebih dengan cara memekerjakan para
buruh sehingga menghasilkan produk yang berlipat ganda. Sementara, kaum buruh proletar hanya mendapatkan upah minimum dari hasil kerja mereka,
karena para pemilik modal borjuis mengejar keuntungan maksimum. Keadaan ini digambarkan Marx sebagai bentuk eksploitasi di mana kaum proletar terasing
dari diri dan hasil kerjanya. Kelompok borjuis mendapat nilai lebih surplus
32
Calton Clymer Rodee dkk, Pengantar Ilmu Politik, terj. Zulkifly Hamid, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006, h. 134.
33
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, h. 101-103.
34
Doyle Paul Johnson, Sosiologi Klasik dan Modern, h. 25-26.
dengan menambahkan jam kerja buruh sehingga memeroleh keuntungan, tetapi kerugian bagi buruh karena tenaganya melebihi upah yang dikeluarkan. Selain
kerugian jam kerja, kaum buruh juga tidak dapat menikmati hasilnya meski itu merupakan buah dari jerih payah dan kecakapan kerjanya.
Lain dari itu, kompetisi yang bebas ternyata mendorong kapitalis untuk mendominasi pasar sehingga terjadi sentralisasi modal yang menyebabkan
terjadinya ketimpangan. Pemilik modal makin leluasa melebarkan sayapnya, sementara kaum proletar terjerat dan tersungkur dalam kemiskinan. Di sini
berlaku ungkapan seperti didendangkan H. Rhoma Irama “Yang kaya makin kaya,
yang miskin makin miskin ”. Akibatnya, kesenjangan sosial semakin melebar dan
kemudian disusul dengan instabilitas dan disentegrasi sosial yang akan mengubur kesejahteraan. Tidak hanya itu, kepemilikan diri yang merupakan kebebasan
fundamental dalam diri manusia hancur seketika karena kaum proletar terasing dari dirinya sendiri. Mereka kehilangan kesempatan untuk mendapatkan hak sama
atas kekayaan akibat dominasi dan hegemoni kaum borjuis. Dengan demikian, menurut Muhammad Baqîr al-Shadr, kebebasan yang diusung dalam liberalisme
dengan menerapkan sistem ekonomi kapitalisme hanyalah khayalan belaka. Dia mengatakan bahwa:
Dalam banyak hal, para pekerja pabrik hanya memeroleh upah sedikit yang tidak lebih dari kebutuhan dasarnya yang minimal. Mengejar
keuntungan sebesar-besarnya adalah sistem ini. Ia membagi manusia menjadi dua kelompok, yaitu manusia yang sangat kaya dan bersuka ria di
atas kemewahan besar, dan kelompok yang hidup dalam kemelaratan yang paling sengsara
… Kebebasan ini hanyalah khayal belaka di tengah kehadiran kebebasan pribadi dan kebebasan ekonomi.
35
35
Muhammad Baqîr al-Shadr, Keunggulan Ekonomi Islam, h. 70.
Menurutnya, kebebasan dalam liberalisme-kapitalisme hanya menarik dari kulit luarnya saja tetapi sebenarnya tidaklah benar-benar bebas.
36
Kebebasan yang diberikan sepenuhnya kepada individu justru mengekang kebebasan orang lain.
Persamaan hak individu atas kebebasan dan kekayaan justru menutup kesempatan orang lain untuk mendapatkan hak yang sama. Bahkan kebebasan itu hilang sama
sekali karena individu yang miskin dan tertindas dan ditentukan hidupnya oleh kaum borjuis.
Sementara itu, sosialisme yang berupaya mewujudkan masyarakat komunis dengan cara menghapus hak properti dihadapkan pada berbagai
persoalan mendasar yang cukup pelik dan kompleks. Meskipun berhasil, dalam klaim mereka, menelusuri sebab-sebab terjadinya konflik antar individu dalam
masyarakat, tetapi mereka gagal dalam mencapai cita-citanya. Alih-alih mengatasi konflik tersebut, komunisme berubah menjadi raksasa totaliter yang melumat dan
menghancurkan kemanusiaan. Runtuhnya negara federasi Uni Soviet pada tahun 1991 menjadi ujian empiris tak terbantahkan mengenai kesalahan tesis yang
dibangun dalam menangkap hukum-hukum sosial. Kesalahan tesis itu secara general ditunjukkan oleh ketiadaan korespondensi antara pernyataan pemikiran
dengan kenyataan. Cita-cita komunisme hanyalah utopia yang melintasi dunia imajiner para
pejuang kelas karena setiap upaya mewujudkannya selalu bertentangan dengan kodrat alamiah mereka. Sudah sejak dulu, ketika hasrat alamiah manusia
mengenal kenikmatan, dorongan untuk memiliki sesuatu itu muncul. Apalagi
36
Ibid, h. 129.
dalam masyarakat yang memunyai pandangan hidup dan meyakini falsafat hidup materialisme. Maka setiap upaya untuk menghapuskannya akan mendapat
perlawanan dalam diri manusia sendiri. Muhammad Baqîr al-Shadr memandang bahwa:
Pemecahan yang diajukan oleh komunisme menyebabkan terlalu banyak kompilasi. Komunisme hendak merebut kemerdekaan individu dan
mengganti kepemilikan pribadi dengan pemilikan kolektif, akan tetapi pada umumnya, perubahan yang besar ini terbukti bertentangan dengan
tabiat manusia. Karena orang materialis selalu berpandangan materialistis dan memandang kepentingannya dari sudut pribadi yang terbatas.
37
Pemecahan yang diajukan dalam sosialisme-komunisme menurut
Muhammad Baqîr al-Shadr mengalami banyak kompilasi. Komunisme hendak merebut kemerdekaan individu dengan cara mengganti kepemilikan pribadi
dengan kepemilikan kolektif. Padahal, kemerdekaan pribadi dan kemerdekaan ekonomi merupakan fondasi dari semua kebebasan.
38
Jelas ini bertentangan dengan tabiat manusia sehingga wajar apabila kekuasaan Lenin menggunakan
cara-cara otoriter dalam rangka menghantam perlawanan itu. Oleh sebab itu, persamaan ideal beserta falsafat hidup yang dibangun dalam sosialisme tak dapat
dipertahankan meski tetap menancapkan pengaruh konseptual di luar ideologi bersangkutan.
37
Ibid, h. 81.
38
Ibid, h. 81-82.
BAB IV PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM SOSIAL IDEAL