sistem sosial. Sebagai gantinya, dia mengajukan konsep ekonomi Islam dengan mengurai prinsip-prinsip yang harus menjadi landasan dalam ekonomi. Kajiannya
sangat mendalam dan komprehensif, khususnya dalam buku Iqtishâduna, sehingga mendapatkan nilai kesarjanaan yang cukup tinggi. Berbeda dari ekonomi
s yari„ah yang hanya menekankan pada praktik atau transaksi tanpa ribâ bunga,
ekonomi Islam perspektif Muhammad Baqîr al-Shadr berlandaskan pada nilai- nilai keadilan yang membawahi seluruh aspek ekonomi. Pemikirannya dapat
menjadi alternatif baru di tengah runtuhnya komunisme dan gagalnya kapitalisme. Karena sumbangannya yang begitu besar dan sangat berarti dalam ekonomi, dia
kemudian lebih dikenal sebagai ekonom Islam.
C. Perkembangan dan Pengaruh Pemikiran
Muhammad Baqîr al-Shadr merupakan seorang intelektual Muslim brilian dan progresif yang memunyai kesadaran sejarah pada zamannya. Dia menekuni
dan menguasai ilmu-ilmu Islam serta menulis dalam berbagai bidang keilmuan. Walaupun demikian, bukan berarti Muhammad Baqîr al-Shadr tidak memunyai
konsentrasi khusus berkenaan dengan spesialisasi pemikiran. Lebih tepat jika dipahami bahwa semua masalah yang dijabarkan berkaitan dengan bidang-bidang
itu mengacu pada suatu proyek pemikiran keislaman dalam rangka menciptakan sistem sosial yang ideal.
Tujuan itu dirasakan sangat penting karena konteks historis pasca Perang Dunia II diwarnai oleh ketegangan ideologis mengenai persoalan kehidupan
sosial, ekonomi dan politik antara sosialisme-komunisme dan kapitalisme-
liberalisme. Pengaruh ketegangan itu menjangkiti pemerintah dan masyarakat Irak sehingga terjadi penyimpangan dalam bentuk orientasi ateisme. Kejadian tersebut
muncul setelah revolusi 14 Juli 1958 dalam rangka menentang pemerintahan monarki yang dipimpin oleh jenderal Abdul Karim Kassem dan berhasil
mengubah sistem pemerintahan dari monarki menjadi republik. Kondisi inilah yang menggerakkan Muhammad Baqîr al-Shadr untuk menemukan sistem sosial
yang didasarkan atas keyakinan Islam. Dengan sendirinya, tujuan itu menuntut dia untuk menggali dan
mengembangkan lebih
jauh khazanah
pemikiran keislaman
serta menghadapkannya pada beberapa pemikiran dalam konteks kekinian. Dalam
pengertian ini, maka wajar apabila karyanya bertebaran dalam berbagai bidang keilmuan. Semuanya dilakukan untuk mencari dasar pijakan dalam rangka
membangun konsep ideal tentang sistem sosial tanpa tercerabut dari akar keyakinannya. Apalagi sistem sosial serta upaya mencapai tujuannya,
membutuhkan konsep dan prinsip-prinsip yang menyeluruh yang mampu membawahi seluruh aspek kehidupan sosial, politik maupun ekonomi.
Pencarian dasar pijakan itu dilakukan Muhammad Baqîr al-Shadr secara ekstensif dengan argumen-argumen yang bisa dipertanggungjawabkan secara
rasional. Dia menyadari betul bahwa landasan dari setiap pemikiran harus benar- benar kokoh sehingga bangunan pemikiran yang dihasilkan tidak rapuh di depan
pengujian kebenaran. Oleh karena itu, dia masuk ke dalam ranah falsafat untuk membuktikan kebenaran pandangan dunia Islam. Selanjutnya, dari pandangan
dunia, dia membangun pemikirannya tentang sistem sosial Islam yang dikonfrontasikan dengan sistem sosial lain.
Pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr memberikan pengaruh signifikan khususnya bagi dinamika kehidupan sosial masyarakat Irak dan pemikiran Islam
pada umumnya. Hal ini disebabkan, di samping pemikirannya dibangun di atas landasan yang kokoh berhadapan dengan ideologi pemikiran Barat, ia juga
mengupayakan pemikirannya agar menjadi praksis dalam suatu perjuangan ideologis melalui kajian dan gerakan kelompok akademis dan partai politik.
Gerakan ini berkonfrontasi langsung terhadap partai penguasa di mana tidak jarang sikap serta kebijakannya ditentang oleh Muhammad Baqîr al-Shadr. Dalam
pemikiran Islam, pengaruhnya paling mencolok dapat dilihat dalam pemikiran ekonomi lewat karyanya Iqtishâdunâ.
Secara ringkas sepak terjang Muhammad Baqîr al-Shadr memiliki dua pengaruh, baik bagi negerinya maupun dunia internasional, dalam mana kedua
elemen tersebut terkait dengan eksistensi Syî„ah sebagai aliran agama ia anut. Pertama,
bagi dinamika kehidupan sosial masyarakat Irak, Muhammad Baqîr al- Shadr menjadi ikon perlawanan terhadap rezim yang lalim dan menindas umat
Islam Syî „ah yang merupakan penduduk mayoritas Islam Irak, yaitu 57 persen
dari 25 juta penduduk Irak.
14
Umat Islam Syî „ah di Irak dicurigai gerak-geriknya
sebagai kelompok yang dianggap membahayakan kekuasaan Sunnî dari partai Ba‟ats, Saddam Hussein. Bahkan pihak penguasa waktu itu melakukan,
meminjam istilah Chibli Mallat, Sunnisasi serta B a‟atsisasi terhadap masyarakat
14
M. Reza Sihbudi, Menyandera Timur Tengah, Jakarta: Hikmah, 2007, h. 87.
Irak sehingga menimbulkan ketegangan akibat pertentangan massif dari kelompok Syî„ah.
Sunnisasi dan B a‟atsisasi panggung politik Irak menjadi sebab utama
penentangan kaum Syî„ah terhadap rezim Saddam sehingga muncul dua
or ganisasi Syî„ah yaitu partai Da‘wah al-Islâmiyyah dan Al-Mujâhidîn. Kedua
organisasi itu sama-sama mengakui kepemimpinan imam Syî„ah Irak, Muhammad
Baqîr al-Shadr . Maka wajar apabila ia disebut oleh Hanna Batatu sebagai “the
most learned of Iraq ’s Ayatullah” sosok paling terpelajar dari komunitas
Ayatullah Irak karena ia memang seorang alim yang sangat kharismatik baik dilihat dari segi peranan politik maupun karya-karyanya. Dalam hal ini ia dapat
disejajarkan dengan Imam Khomeini di Iran atau Imam Mûsâ al-Shadr di Libanon.
15
Di bawah kepemimpinannya, kelompok Syî„ah mulai diperhitungkan
sebagai sebuah kekuatan politik yang sangat potensial. Pada tahun 1974 dan 1977, ketika prosesi memeringati hari
‘Asyûrâ hari untuk mengenang kesyahidan Imam Husayn
, kaum Syî„ah Irak melakukan demonstrasi mengutuk pemuka partai Ba‟ats. Dan ketika Revolusi Republik Islam
Iran berhasil meruntuhkan dinasti Pahlevi, pada Juni 1979 Muhammad Baqîr al- Shadr merencanakan memimpin long march dari Najaf ke Teheran untuk
memberi selamat kepada Imam Khomei ni. Namun rezim Ba‟ats yang tidak
menghendaki rencana itu segera menangkap Muhammad Baqîr al-Shadr sehingga menimbulkan kerusuhan anti Saddam dari kalangan
Syî„ah selama hampir satu
15
Ibid, h. 89
tahun. Kerusuhan itu memuncak pada dieksekusinya Muhammad Baqîr al-Shadr dan saudara perempuannya Bint al-Hudâ.
16
Sepeninggal Muhammad Baqîr al-Shadr, aksi represif rezim Saddam menjadi hari-hari tersulit bagi kelompok
Syî„ah Irak. Akan tetapi kondisi itu tidak membuat kobaran semangat mereka padam. Hanya saja mereka kehilangan ikon
pemersatu yang ditandai dengan berdirinya berbagai organisasi Syî„ah seperti
Organisasi Aksi Islam, Dewan Ulama untuk Revolusi Islam Irak, Tentara Revolusioner untuk Pembebasan Irak, Kelompok Ulama Pejuang Irak, dan Biro
Revolusi Islam Irak. Namun, organisasi itu tidak bertahan lama kecuali Organisasi Aksi Islam Munazhzhamât al-
‘Amal al-Islâm. Hal ini disebabkan tidak adanya pengakuan dari Imam Khomeini dan belum terpecahkannya masalah
kepemimpinan pasca wafatnya Muhammad Baqîr al-Shadr. Sementara organisasi lama,
Da‘wah al-Islâmiyyah dan Al-Mujâhidîn, dianggap tidak representatif lagi. Keadaan tersebut memb
uat prihatin para aktivis Syî„ah di Iran sehingga pada 17 November 1982, mereka sepakat membentuk Dewan Tertinggi Revolusi
Islam Irak atau The Supreme Assembly of the Islamic Revolution in Iraq SAIRI di bawah kepemimpinan Sayyid Muhammad Baqîr al-Hakîm. Sejak saat itu, atas
restu Khomeini, dia diakui sebagai pemimpin Syî„ah Irak. Namun, al-Hakîm
belum bisa disejajarkan dengan Muhammad Baqîr al-Shadr karena karyanya tidak ada yang mampu menandingi Iqtishâdunâ, Falsafatunâ atau karya lainnya. Ia
justru berada di bawah bayang-bayang kebesaran ayahnya, Ayatullah al- „Uzmâ
16
Ibid, h. 90-91.
Muhsin al-Hakîm. Selain itu, selama menjabat sebagai pemimpin, ia belum mampu menyatukan kelompok Syî„ah sampai ia meninggal dunia.
17
Setelah itu, SAIRI dipimpin oleh saudaranya yaitu „Abdul „Azîz al-Hakîm. Akan tetapi, ia dinilai kurang kharismatik terutama setelah ia menempuh jalan
kompromi dengan penguasa pendudukan Amerika di Irak. Maka saat itulah pamor dinasti al-Shadr mulai naik kembali. Melalui tokoh muda Ayatullah Muhammad
Shadîq al-Shadr, ia menjadi ikon baru bagi perlawanan Syî„ah Irak terhadap rezim
Saddam Hussein dan pasukan pendudukan Amerika pasca Saddam Hussein. Dalam salah satu khutbah Jum
„at di kota suci Najaf tahun 1998, ia bersuara lantang dengan mengatakan “Katakan tidak untuk Amerika, Israel dan tidak untuk
imperialisme ”. Ayatullah Muhammad Shadîq al-Shadr bersama Imam Mûsâ al-
Shadr dan Ayatullah Husayn Fadhlullah dari Libanon serta Imam Khomeini pada tahun 1970-an sering bertemu di Najaf. Mereka memunyai pandangan
keharusan kepemimpinan politik ulama atau yang disebut dengan wilâyah al- faqîh
. Dia mengajak para ulama untuk masuk dalam perjuangan politik dan bagi
yang menolaknya sama dengan mendukung kezaliman rezim Saddam. Namun lantaran semakin lantang melawan penguasa, Ayatullah Muhammad Shadîq al-
Shadr akhirnya dibunuh pada 18 Februari 1999 di kota Najaf. Kemudian Ayatullah Muqtadhâ al-Shadr, anak Muhammad Shadîq al-Shadr dan cucu
Muhammad Baqîr al-Shadr, menggantikan posisi ayahnya dan meneruskan perlawanan terhadap rezim Saddam Hussein. Tetapi waktu itu, namanya belum
17
Ibid, h. 92.
diperhitungkan di panggung politik nasional Irak. Baru ketika terjadi invasi Amerika ke Irak namanya mulai populer dan melambung tinggi. Hal ini terbukti
pada 7 April tahun 2003, dua hari sebelum Irak jatuh ke tangan AS, para pengikut setianya merebut kawasan Saddam di Baghdad dan segera mengganti namanya
menjadi kota Shadr.
18
Selain itu, pada Agustus tahun 2003, Ayatullah Muqtadhâ al-Shadr mendeklarasikan pembentukan tentara Mahdî yang diperkirakan memiliki 10.000
pasukan berani syahid. Pasukan ini mulai melancarkan perlawanan sengit terhadap pasukan penjajah AS di sejumlah kota penting seperti Kûfah, Karbal
â‟, Najaf, al-Kut, dan kota Shadr. Kemudian pada tahun 2004, Ayatullah Muqtadhâ
al-Shadr dan pasukannya bertempur habis-habisan melawan pasukan AS di sejumlah kota di Irak terutama di Najaf.
19
Meski dari segi persenjataan jauh lebih sedikit dan kuno dibandingkan dengan milik AS, pasukan Mahdî tetap berani
syahid karena doktrin yang telah tertancap rapat dalam keimanan mereka sebagaimana telah dikobarkan sebelumnya oleh Muhammad Baqîr al-Shadr.
Kedua, pengaruh Muhammad Baqîr al-Shadr bagi pemikiran Islam dalam
bidang ekonomi. Hal ini nampak dalam bukunya Iqtishâdunâ yang membahas tentang masalah ekonomi. Melalui buku itu, Muhammad Baqîr al-Shadr
membedah ilmu ekonomi berikut pelbagai madzhab ekonomi, serta mengeritik ekonomi konvensional beserta madzhab ekonomi yang berkembang seperti
kapitalisme dan sosialisme.
18
Ibid, h. 94.
19
Ibid, h. 94-96.
Menurutnya, ada dua perbedaan penting antara ilmu ekonomi dan madzhab atau doktrin ekonomi. Ilmu ekonomi merupakan ilmu yang berhubungan
dengan penjelasan terperinci perihal kehidupan ekonomi, peristiwa-peristiwa, gejala atau fenomena lahiriahnya serta hubungan antara peristiwa atau gejala
tersebut dengan sebab-sebab dan faktor umum yang memengaruhinya. Jadi ilmu ekonomi mengaji efek-efek peristiwa yang ada di masyarakat seperti ilmuwan
fisika mengaji hukum-hukum tentang panas dan efek-efeknya. Sedangkan madzhab ekonomi adalah cara yang dipilih dan diakui oleh masyarakat dalam
memecahkan problem praktis ekonomi yang dihadapinya. Madzhab ekonomi memerkenalkan dan mengembangkan suatu sistem pengaturan kehidupan
ekonomi yang didasarkan pada konsepsi keadilan.
20
Melalui perbedaan ini, Muhammad Baqîr al-Shadr menyimpulkan bahwa ekonomi Islam merupakan madzhab dan bukanlah ilmu pengetahuan karena ia
adalah cara yang ditawarkan Islam dalam mengejar kehidupan ekonomi. Ekonomi Islam bukanlah suatu ilmu yang mengandung tafsiran terhadap peristiwa-peristiwa
yang terjadi dalam kehidupan ekonomi dan terhadap hukum-hukum yang berlaku di dalamnya. Islam tidak menjelaskan ilmu ekonomi melainkan suatu penjelasan
tentang pengaturan kehidupan ekonomi seperti distribusi, kepemilikan, produksi, jaminan sosial, keseimbangan sosial dan semacamnya.
Oleh sebab itu, Muhammad Baqîr al-Shadr menggunakan istilah Iqtishâdunâ
untuk menyebut ekonomi Islam. Iqtishâd bukan sekedar alih bahasa istilah ekonomi ke dalam bahasa Arab. Arti asal kata itu adalah seimbang atau
20
Muhammad Baqîr al-Shadr, Keunggulan Ekonomi Islam: Mengkaji Sistem Ekonomi Barat dengan Kerangka Pemikiran Sistem Ekonomi Islam
, terj. M. Hashem, Jakarta: Pustaka Zahra, 2002, h. 135-137.
pertengahan. Istilah ekonomi sebagaimana pengertian ilmu ekonomi konvensional ditolaknya karena berbeda dari Islam. Perbedaan paling mencolok adalah terletak
pada pandangan bahwa dalam ekonomi konvensional, masalah ekonomi muncul karena keinginan manusia yang tak terbatas sementara sumber daya alam yang
tersedia sangat terbatas. Hal ini berbeda dari Islam yang menyatakan bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatu dalam ukuran yang setepat-tepatnya.
Konsekuensi pandangan tersebut dalam pemikiran ekonomi Islam melahirkan apa yang disebut dengan madzhab ekonomi Baqîr al-Shadr. Menurut
Adiwarman A. Karim, terdapat tiga madzhab ekonomi Islam kontemporer yaitu madzhab ekonomi Baqîr al-Shadr, madzhab mainstream, dan madzhab alternatif
kritis. Para pendukung Madzhab Baqîr al-Shadr antara lain Abbas Mirakhor, Baqîr al-Hasan, Qadîm al-Shadr, Iraj Taotounchian, dan Hedayati.
Madzhab mainstream kurang lebih sama dengan ekonomi konvensional yang memandang bahwa titik pusat persoalan ekonomi adalah terletak pada
kelangkaan sumber daya alam. Tetapi untuk memerkuat argumentasi, mereka juga menggunakan dalil al-
Qur‟ân. Pendukung madzhab ini di antaranya adalah Umer Chapra, MA Mannan, dan Najatullah Siddiqi.
Sedangkan madzhab alternatif kritis adalah kalangan yang mengeritik kedua madzhab tersebut. Mereka mengeritik madzhab Baqîr al-Shadr karena
berusaha menemukan sesuatu yang baru padahal sebenarnya sudah ditemukan oleh orang lain, sehingga merasa seakan-akan telah menghancurkan teori lama
dengan menggantinya dengan perspektif yang baru. Adapun madzhab mainstream mereka katakan sekedar jiplakan saja dari ekonomi konvensional dan hanya
menghilangkan unsur riba dan memasukkan unsur zakat dan niat. Madzhab ini juga mengeritik ekonomi sosialisme dan kapitalisme. Mereka yakin bahwa Islam
itu benar, tetapi ekonomi Islam yang merupakan tafsiran manusia terhadap al- Qur‟ân dan al-Sunnah harus selalu diuji kebenarannya. Pelopor madzhab ini salah
satunya adalah Timur Koran, Jomo, dan Muhammad Arif.
21
21
http:www.sescipb.co.ccindex.php?option=com , Artikel diakses pada tanggal 17 April
2010.
BAB III SISTEM SOSIAL DAN PERMASALAHANNYA