menunjukkan dengan tegas bahwa tujuan sejati dari kehidupan umat Islam tidak lain adalah Allah dengan cara mencapai Ridha-Nya. Umat Islam tidak dibenarkan
menjadikan yang lain sebagai tujuan hidupnya.
2. Tuhan sebagai Pusat Realitas
Keyakinan tauhid di atas menjadi pijakan dasar bagi umat Islam dalam memandang realitas alam semesta. Meski bersifat material dan fisik, bukan berarti
itu merupakan satu-satunya realitas. Justru realitas yang paling hakiki adalah realitas Tuhan, karena realitas alam semesta tidak mungkin ada jika tidak
menggantungkan diri pada Tuhan. Dengan demikian, keberadaan alam semesta harus dilihat dan dimaknai
dalam satu kesatuan dengan realitas Tuhan. Kesatuan ini besifat eksistensial dan esensial. Kesatuan eksistensial berarti bahwa alam semesta merupakan realitas
yang tak dapat dipisahkan dari Tuhan, sehingga keberadaannya memanifestasikan keberadaan Tuhan. Seluruh benda di alam semesta menandakan adanya kesatuan
sebab yang niscaya dengan Esensi-Nya yang sekaligus menjadi akhir dari mata rantai sebab.
6
Sekalipun ada perbedaan, maka perbedaan alam semesta dan Tuhan, profan dan absolut, menurut Muhammad Baqîr al-Shadr hal itu justru untuk kian
meneguhkan Tuhan sebagai satu-satu-Nya realitas, dan bukan malah mengunggulkan realitas Alam di atas Tuhan. Perbedaan tersebut dimaksudkan
supaya manusia tahu “Eksistensi paling Sejati” di alam semesta ini.
6
Muhammad Baqîr al-Shadr, Falsafatunâ, h. 229.
Kesatuan esensial merupakan akibat dari kesatuan eksistensial yang harus dijadikan pandangan oleh umat Islam dalam memandang kehidupan dan alam
secara umum. Walaupun manusia hidup di dunia materi bukan berarti ia cenderung materialistis dan hanya mencurahkan hidupnya pada hal-hal materi.
Kecenderungan ini jelas bertentangan dengan keimanan Islam sendiri. Sebaliknya, umat Islam harus menjadikan Tuhan sebagai telos tujuan dalam segala sendi
kehidupanya. Segala sesuatu berasal dari Allah dan akan menuju kepada-Nya sebagai terminal akhir serta tujuan yang paling hakiki. Oleh sebab itu, di tengah
kehidupan yang dilingkupi oleh kondisi dan reaksi material, umat Islam selayaknya berpandangan spiritual tanpa mengingkari arti keberadaan materi di
alam. Hal ini dijelaskan Muhammad Baqîr al-Shadr bahwa: Spiritualitas di sini tidak berarti mengingkari makna-makna materi di alam
atau hanya semata-mata membatasi ruang lingkup keberadaan hanya pada rohani semata sebagaimana banyak penulis Barat menafsirkan pandangan
spiritual dengan cara demikian. Islam mengakui hakikat rohani dan jasmani, namun ia mengikat semua hakikat tersebut dengan Penyebab
Pertama Sabab al-Musytarak yang lebih dalam yaitu Allah. Jadi, pada hakikatnya pandangan spiritual merupakan pengetahuan akan hubungan
kehidupan dan alam dengan Allah serta pancaran dari kekuasaan-Nya dan ketentuan-Nya. Dengan makna yang demikian maka kita dapat
menganggap alam secara umum sebagai sesuatu yang bersifat spiritual.
7
Menganggap realitas alam semesta bersifat spiritual, sebagaimana dinyatakan di atas, bukan berarti mengingkari realitas materi. Tetapi hal ini
berkaitan erat dengan pemahaman manusia terhadap Tuhan terhubung dengan keberadaan diri maupun alam. Pemahaman itu kemudian memengaruhi seseorang
dalam menentukan sikap terhadap alam dan kehidupan. Dari pemahaman itu manusia menetapkan orientasi umum yang menjadi landasan dan tujuan dalam
7
Muhammad Baqîr al-Shadr, Syahadat Kedua, h. 43.
setiap tindakannya, yaitu Allah. Inilah karakter pandangan dunia Islam yang Menurut Muhammad Baqîr al-Shadr berbeda dari pandangan dunia Barat
khususnya falsafat materialisme. Dalam pandangan mereka, satu-satunya realitas adalah realitas material sedangkan metafisika hanyalah takhayul belaka.
B. Tauhid dan Kebebasan