Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu karakteristik pengetahuan dalam Islam adalah meyakini bahwa Tuhan merupakan Realitas Pertama yang menjadi sumber realitas, baik material maupun imaterial atau fisik dan non-fisik, yang keberadaan-Nya tidak bergantung kepada hal eksternal apapun di luar diri-Nya wâjib al-wujûd. Ia niscaya dalam Zat dan Esensi-Nya. Sementara, realitas lain tidak dapat eksis tanpa menggantungkan diri pada Tuhan sehingga keberadaannya tidak niscaya melainkan hanyalah mungkin mumkin al-wujûd. 1 Oleh sebab itu, ontologi dalam Islam mengambil bentuk metafisika 2 di mana Tuhan menjadi Sebab Final atau Sebab Pertama Prima Causa segala sesuatu. Bagian pertama dari kesaksian iman Islam lâ ilâha illâ Allâh Tiada Tuhan Selain Allah menjadi prinsip dasar bahwa Tuhan satu dan niscaya dalam esensi- Nya, dalam nama-nama dan sifat-Nya, dan dalam perbuatan-Nya. Dengan demikian, konsekuensi dari kesaksian tauhid ini adalah mengakui semua realitas tidak ada, dan hanya ada karena Realitas Tuhan. Semua penyelidikan pengetahuan dalam Islam harus berada dalam bingkai ini sebab semua realitas ketika memanifestasikan diri tidak bisa mengingkari asal-usul metafisiknya, yaitu 1 Murtadhâ Muthahharî, Pengantar Ilmu-ilmu Islam, terj. Ibrahim Husain al-Habsyi dkk, Jakarta: Pustaka Zahra, 2003, h. 351-377. 2 Dalam falsafat, penyelidikan tentang Tuhan disebut metafisika khusus yang dibedakan dari metafisika umum yang membahas mengenai “ada” pada umumnya ontologi. Lihat Louis Leahy, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, Yogyakarta: Kanisius, 1993, h. 18. 1 Tuhan. 3 Hal ini ditegaskan al- Qur‟ân dalam QS. 21: 22 bahwa “Seandainya pada keduanya di langit dan di bumi ada tuhan-tuhan selain Allah, tentu keduanya telah binasa. Maha Suci Allah yang memiliki Arasy dari apa yang mereka sifatkan . Karena itu, kesaksian tauhid menjadi pernyataan pengetahuan pertama tentang realitas. Walaupun demikian, bukan berarti pengetahuan dalam Islam mengesampingkan sama sekali prosedur ilmiah dalam ilmu pengetahuan. Penyelidikan ilmiah dengan metode eksperimentasi dan observasi dengan menggunakan penalaran induktif sudah dikenal sebelum Roger Bacon memerkenalkan metode eksperimentasi ke dunia sains Eropa. Para ilmuwan Muslim semisal al-Râzî, Ibn Sînâ, al-Bîrûnî, Ibn Haytsâm, al-Zahrawî, dan lain sebagainya dikenal dengan kekuatan observasi dan eksperimentasinya dalam kajian ilmu alam termasuk kedokteran. 4 Hal ini disebabkan karena realitas material juga harus dikuasai dan dipahami oleh umat Islam selain realitas metafisik. Tetapi umat Islam tidak mengandalkan penyelidikan itu pada penyelidikan ilmiah saja. Al- Qur‟ân, sebagai sumber pengetahuan, menghimbau kepada umat Islam untuk mengamati tanda-tanda Tuhan yang termanifestasi di alam semesta, jiwa- jiwa manusia, dan ruang-ruang lain yang tidak terdeteksi secara empiris. Ini mengandung arti bahwa model penyelidikan berbeda-beda satu sama lain, yakni tajrîbî eksperimen untuk objek fisik, burhânî demonstratif atau rasional untuk 3 Osman Bakar, Tauhid Sains: Esai-esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam, terj. Yuliani Liputo, Bandung: Pustaka Hidayah, 1994, h. 12. 4 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu dalam Perspektif Filsafat Islam, Tangerang: UIN Jakarta, 2003, h. 12-13. matematika dan objek metafisik, dan ‘irfânî intuitif. 5 Kenyataan ini sekaligus berbeda dari epistemologi Barat modern, khususnya materialisme, yang menganggap objek material sebagai satu-satunya realitas objektif yang absah dalam penyelidikan pengetahuan seraya menafikan objek metafisik. Tidak hanya itu, materialisme bahkan menganggap pemikiran metafisika sebagai takhayul belaka serta tidak memunyai landasan dasar yang kokoh. Di Barat, semangat ilmiah dengan penolakan terhadap berbagai bentuk tradisi dan dogma mengejawantah dalam aliran positivisme pada abad 19 yang diwakili oleh Saint-Simon dan Auguste Comte dalam bidang ilmu sosial. Positivisme menunjuk pada pendekatan terhadap pengetahuan empiris disertai penolakan atas wahyu sebagai sumber pengetahuan. Dalam menyelidiki objek sosial, Comte menerapkan metode penelitian empiris yang meliputi pengamatan, eksperimen, dan komparasi. Hasil penyelidikan empiris Comte tentang dinamika kemajuan sosial dikenal sebagai hukum tiga tahap yang menyatakan bahwa masyarakat berkembang dari tahap teologis, metafisik, dan terakhir positivis. 6 Positivisme menjadi tahap terakhir perkembangan manusia di mana akal manusia tidak lagi memercayai takhayul, pengertian absolut, asal dan tujuan alam semesta melainkan pada data empiris dan hasil ilmu pengetahuan. 5 Pendekatan ‘irfânî digunakan untuk seluruh objek pengetahuan. Akan tetapi, secara ontologis, kaum ‘irfân berbeda dari para failasuf dalam memandang realitas beserta pendekatannya. Failasuf menganggap bahwa Tuhan maupun benda sama-sama objektif absah dijadikan objek penyelidikan pengetahuan dengan perbedaan bahwa jika Tuhan adalah wâjib al- wujûd dan ada dengan sendiri-Nya maka benda-benda selain Tuhan hanyalah ada karena sesuatu yang lain atau akibat dari wâjib al-wujûd. Sementara kaum ‘irfân menganggap bahwa tidak ada tempat bagi sesuatu selain Tuhan yang ada di sisi-Nya meski ia adalah akibat dari Tuhan. Jika alat failasuf adalah akal, logika, dan deduksi maka alat seorang ‘ârif sebutan subjek ‘irfân adalah hati, usaha hati, penyucian dan disiplin diri serta dinamisme batin. Lihat, Murtadhâ Muthahharî, Pengantar Ilmu-ilmu Islam , h.377-378. 6 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid I, terj. M.Z. Lawang, Jakarta: Gramedia, 1994, h. 82-86. Kenyataan di atas menunjukkan bahwa mayoritas pergulatan pemikiran Barat pasca Renaisans bermuara pada matinya metafisika sebagai objek dan bahan penyelidikan. Serangan paling telak ditunjukkan oleh kalangan materialisme dalam bidang falsafat yang menganggap realitas material sebagai satu-satunya realitas objektif. Bahkan, sebagaimana materialisme dialektik dalam Marxisme, akal atau pikiran manusia dianggap bagian dari materi. 7 Dalam artian bahwa pikiran merupakan bagian dari alam atau produk alam dan ekspresi tertinggi tentangnya. Ini disebabkan manusia adalah produk alam, maka pikiran juga bagian dan produk alam. Karena itu, akal tidak dapat merefleksikan pengetahuan apapun di luar objek material seperti objek metafisik. Dalam falsafatnya, Marxisme menerapkan metode dialektika terhadap objek material termasuk manusia materialisme dialektis yang diklaim sebagai pendekatan objektif dalam menemukan hukum-hukum perkembangan alam, manusia, dan objek material lainnya. Dengan bersandar pada bangunan epistemologisnya, Marxisme berhasil melahirkan sistem ekonomi politik sosialisme-komunisme. Pandangan materialis ini menjalar ke aspek-aspek lain, seperti ke bidang sosial, ekonomi, dan politik, tidak terkecuali materialisme Karl Marx. Untuk bidang sosio-ekonomi, materialisme Karl Marx menjadi konsep sosialisme- komunisme. Konsep ini berdiri dalam rangka penentangannya terhadap liberalisme yang di dalamnya bercokol sistem ekonomi kapitalisme. Sistem terakhir bisa dilacak secara konseptual dari pemikiran Bernard de Mandeville dan Adam Smith pada abad ke- 18. Keduanya adalah pendukung „masyarakat pasar‟ 7 Frederick Engels, Anti-Duhring: Revolusi Herr Eugen Duhring Dalam Ilmu Pengetahuan , terj. Oey Hay Djoen, Bandung: Hasta Mitra Ultimus, 2005, h. 51. yang bercirikan pembagian kerja secara rasional dan terperinci, penghormatan hak milik pribadi, dan pengutamaan kepentingan pribadi. 8 Menurut Smith, kesejahteraan masyarakat akan terjamin dalam jangka panjang apabila individu dibiarkan untuk mengejar kepentingan dan keuntungan pribadinya. Hal ini dikarenakan adanya tangan yang tidak kelihatan invisible hand di mana individu secara tidak sadar akan menyumbangkan yang terbaik buat masyarakat dengan memenuhi kebutuhan orang lain demi kepentingannya sendiri. 9 Sebuah hukum pasar yang didasarkan pada mekanisme ilmiah Newton membawa implikasi kebijakan ekonomi laissez fair yakni, pembatasan seminimal mungkin kontrol pemerintah atas pasar. Baik sosialisme komunisme maupun liberalisme merupakan manifestasi dari semangat zaman pasca Renaisans hingga Pencerahan yang dalam kerangka epistemologisnya menolak keabsahan metafisika sebagai objek penyelidikan ilmiah. Peradaban Barat modern disandarkan pada semangat ilmiah, empiris, positivis, dan rasional. Tak dapat dipungkiri semangat ilmiah tersebut pada dasarnya adalah sumbangan Islam. Peradaban Islam yang pada Abad Pertengahan mencapai puncak keemasan juga karena sains. Akan tetapi, sistem kepercayaan Islam tidak semata mengandalkan sains tetapi juga metafisika sebagaimana tertera dalam kitab suci al- Qur‟ân dan telah diterangkan di muka tentang penyelidikan digunakan Islam. Maka keliru bila kemunduran Islam dikarenakan metafisika. Justru terbukti pada suatu masa bahwa puncak keemasan peradaban Islam telah muncul dan berkembang maju di bawah nilai ajaran metafisika Islam. 8 F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, h.101-103. 9 Doyle Paul Johnson, Sosiologi Klasik dan Modern, h. 25-26. Sejak lahir masa Renaisans di Italia pada abad ke-14 dengan semangat penghargaan kembali kepada kebudayaan pra-Kristiani Yunani dan Romawi yang membuka pandangan mereka tentang manusia, lahirlah humanisme dengan homo universale manusia universal sebagai cita-citanya. Humanisme menempatkan manusia ke dalam pusat dunia. Pandangan ini mereformasi total faham realitas teosentris abad pertengahan menjadi antroposentris dengan memusatkan manusia sebagai subjek yang berhadapan dengan ciptaan lain. 10 Dengan kata lain, ciri khas masa Renaisans adalah ditemukannya subjektivitas yang bertolak dari perubahan perspektif manusia yang fundamental. Kemudian, sebagai tanggapan terhadap humanisme yang sangat ekstrovert dan dinilai sekular, muncullah penentangan dan penolakan dari para pangeran dan kelas penguasa di kota-kota kaya seperti Firense, Genova, Vanesia dan juga terlebih pemimpin rohani Gereja Katolik, para uskup, dan Paus Roma. Akibatnya, hal ini malah melahirkan gerakan reformasi Kristen Protestan yang diprakarsai Martin Luther melawan pimpinan Gereja dan para penguasa dunia yang berkroni dengan Gereja, dengan memaklumatkan kebebasan orang Kristen. Di satu sisi, Luther menentang keduniawian dan antroposentrisme Renaisans yang bersifat Eropa Selatan dan sekularistik, mendikotomikan urusan dunia dan agama. Namun pada sisi lain, sebenarnya ia justru memantapkan antroposentrisme itu dengan menekankan kebebasan dan kesadaran hati religius sebagai ukuran dan dasar kepercayaan seseorang. Dalam pandangannya, manusia tidak dapat dipaksa untuk memercayai sesuatu. Hal ini terungkap dalam tuntutan 10 Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius, 1992, h. 61. bahwa setiap orang Kristiani berhak untuk membaca Kitab Suci, memahami serta menafsirkannya sendiri, dan bukan lagi menjadi hak para pemimpin Gereja semata. 11 Ini adalah sebuah kebebasan untuk tidak memercayai sesuatu yang bertentangan dengan suara hati. Kebebasan yang mendorong subjektivitas sekular ke subjektivisme religius. Pandangan sekularistik masyarakat Eropa menyebabkan tersisihnya peran agama di wilayah publik dan sepenuhnya menjadi urusan pribadi privat belaka. Bahkan, sejarah „sakit‟ terjadi ketika muncul pertentangan antara ilmu pengetahuan objektif dan doktrin Gereja di mana para ilmuwan positivis mendapat inkuisisi seperti Galileo Galilei akibat penemuannya bertentangan dengan otoritas Gereja, akhirnya membuat masyarakat tidak memercayai doktrin agama. Hingga pada taraf tertentu, peradaban Barat dengan humanisme sekularnya menggilas kepercayaan teosentris seraya meyakini berpijarnya peradaban baru yang didasarkan pada rasionalitas dan semangat ilmiah. Peradaban tersebut mencapai puncaknya pada abad 18 dengan lahirnya sebuah gerakan zaman yang memengaruhi kehidupan ilmu pengetahuan, sosial, politik, dan budaya yang disebut zaman pencerahan atau Jerman: Aufklärung, Inggris: Enlighment. Dalam sebuah majalah Berlinische Monasschrift, Desember 1784, Immanuel Kant menulis artikel dengan judul “Beantwortung der Frage: Was ist Aufklärung? Menjawab Pertanyaan: Apa itu Pencerahan? Tulisan itu secara tegas menegaskan ciri dari masyarakat pencerahan sebagai keluarnya anak dari kategori bawah umur ke kedewasaan. Kategori bawah umur berarti ketika 11 Ibid, h. 62. seseorang tidak bisa atau tidak berani menggunakan akal budinya secara mandiri dan masih perlu bimbingan orang lain. Pencerahan ditandai oleh penggunaan akal budi seluas-luasnya dengan semboyan sapere aude beranilah berpikir sendiri. 12 Dirayakannya akal budi sekaligus menandai keterpisahan manusia modern dari pandangan tradisional yang diliputi oleh kungkungan tradisi dan dogma. Sebagai gantinya, individu menjadi subjek otonom yang dewasa yang tidak bergantung lagi pada nilai dan norma apapun selain atas akal budinya. Selain itu, Immanuel Kant dalam bukunya Kritik der reinen Vernunft Kritik atas Rasio Murni berhasil melakukan penyelidikan transendental atas asas-asas a priori dalam rasio yang berkaitan dengan objek dunia luar yang disebut syarat-syarat kemungkinan bagi pengetahuan. Dalam penyelidikannya, Kant menetapkan putusan sintetis apriori sebagai pengetahuan yang bersifat ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan. Rumusan epistemologis Kant disebut revolusi Kopernikan karena pengetahuan sebelumnya mengandaikan bahwa subjek mengarahkan diri pada objek, padahal seharusnya, dengan forma apriori yang melekat pada subjek, objek mengarahkan diri pada subjek. Akibatnya, metafisika akan tercampakkan karena berada pada wilayah nomena atau das ding an sich ada pada dirinya sendiri sedangkan pengetahuan manusia hanya mampu menangkap wilayah fenomena penampakan indrawi saja. 13 Dalam sejarah pemerintahan Islam, Nabi Muhammad telah berhasil membangun suatu tatanan negara baru di Madînah sebagai penentangan pada 12 A. Setyo Wibowo, “Menjadi Dewasa dan Resikonya: Pencerahan di Mata Kant dan Nietzsche” dalam makalah diskusi LSAF, Jakarta, 24 Septempber, 2007, h. 1-2. 13 F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia, 2004, h. 133-145. tatanan kaum Quraysy yang tidak beradab. Islam membentuk suatu komunitas yang berkuasa di Madînah dengan membina pemerintahan yang lebih berkembang di mana kaum Muslim dan non-Muslim digolongkan atas dasar kehidupan sosial yang umum. 14 Karena dasar dibangun Rasulullah inilah, terutama dasar metafisika, Islam menguasai dunia hingga delapan abad. Baru pada akhir abad 16, pemerintahan dalam Islam mengalami kemunduran. Demikian pula pemikiran Islam dan ilmu pengetahuan mulai ditinggalkan oleh orang Muslim. Maka tidak mengherankan apabila para pemikir modern dalam Islam seperti Jamâluddîn al-Afghânî dan sebagainya, mendiagnosis kemunduran Islam untuk kemudian melakukan analisis konstruktif dalam upaya membangun kembali peradaban yang telah rapuh bahkan hancur. Banyak tantangan mengemuka di tengah melakukan upaya itu, terutama konteks zaman di mana para pemikir pembaharu dihadapkan pada arus modernisasi yang menuntut pertemuan global dengan peradaban dan ideologi Barat. Akibatnya, mereka „dipaksa‟ menjawab tantangan tersebut tanpa tercerabut dari akar ideologisnya dengan cara menilainya dari perspektif Islam. Dalam bingkai inilah Muhammad Baqîr al-Shadr melakukan analisis spesifik terhadap sistem sosial yang berlandaskan nilai-nilai Islam menjadi sistem yang ideal. Menurutnya, persoalan paling mendesak untuk segera diselesaikan adalah persoalan sistem sosial yang di dalamnya terdapat suprastruktur nilai yang bisa membawa kesejahteraan bagi umat Islam dan manusia pada umumnya. Hal 14 Marshall Hodgson, The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia, jil. I , terj. Mulyadhi Kartanegara, Jakarta: Paramadina, 2002, h. 256. ini disebabkan sistem sosial yang ada yang disandarkan pada pandangan dunia worldview Barat gagal mewujudkan kesejahteraan. Berbeda dari Barat, pandangan dunia Islam yang didasarkan pada tauhid diyakini Muhammad Baqîr al-Shadr mampu menciptakan sistem sosial yang membawa kesejahteraan. Tauhid di sini dalam pengertian keyakinan dan kesaksian bahwa “tidak ada Tuhan selain Allah”. Pernyataan ini mengandung makna paling agung dan kaya dalam seluruh khazanah Islam. Semua keragaman, kebudayaan dan pengetahuan serta kebajikan dan peradaban dalam Islam diringkas dalam kalimat pendek lâ ilâha illâ Allâh. 15 Karena itu, tauhid bagi Muhammad Baqîr al-Shadr adalah dasar pandangan hidup yang melihat segala sesuatu sebagai suatu keseluruhan yang memanifestasikan keesaan Allah. Tidak ada dualitas dan kontradiksi dalam jagad raya ini seperti manusia dan alam, ruh dan badan, kapitalis dan proletar apalagi meletakkannya dalam jalinan hirarkis antara superior dan inferior. Semuanya memunyai posisi sama dan setara di dalam sebuah sistem total yang terwujud dari keesaan Allah. Hanya Allah yang patut disembah, tempat segala sesuatu bergantung dan berserah diri. Selain Allah tidak layak dipertuhankan karena keberadaannya tidak mandiri. Oleh sebab itu, Islam tidak mengenal penyerahan kepada bentuk dan corak apapun selain kepada-Nya. 16 Penyerahan dan ketundukan terhadap berhala, belenggu sosial, rezim yang korup, dan sebagainya dikatakan syirk menyekutukan Allah. 15 Ismâ„îl Râjî al-Fârûqî, Tauhid, terj. Rahmani Astuti, Bandung: Pustaka, 1988, h. 9. 16 Muhammad Baqîr al-Shadr, Problem Masa Kini dan Problem Sosial, terj. M. Hashem, Bandung: Pustaka, h. 128. Dengan demikian, di dalam keyakinan tauhid terkandung spirit pembebasan yang akan mengangkat martabat manusia. Pembebasan dari berbagai macam perbudakan, tirani, hegemoni, kemiskinan, dan sebagainya sehingga tercipta kehidupan sosial yang merdeka, adil, dan sejahtera. Sebuah tatanan kehidupan yang selama ini menjadi tujuan dari sistem sosial.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah