Tauhid dan Keadilan PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM SOSIAL IDEAL

C. Tauhid dan Keadilan

Konsekuensi lain dari pandangan Tauhid di atas adalah adanya dorongan atau keharusan berbuat keadilan dalam diri manusia dalam berhubungan dengan sesama. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, manusia sebagai mahluk Allah memunyai kewajiban untuk menjalankan perintah-Nya seperti diajarkan risâlah Nabi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah dan kembalinya manusia kepada-Nya di akhirat. Kehidupan akhirat menjadi tempat ditegakkannya keadilan oleh Hakim Maha Adil yang akan mengakhiri segala konflik dan persoalan di dunia. Oleh karena itu, manusia harus berbuat adil di dunia karena setiap perilaku dan tindakannya akan dimintai pertanggungjawaban dan akan diberikan ganjaran atau balasan. Inilah jaminan keadilan, kebaikan, dan kebenaran dalam Islam. Banyak definisi tentang keadilan seperti yang telah dikemukakan oleh para pemikir dalam kajian falsafat moral. Bahkan diskursus mutakhir falsafat politik bermuara pada masalah ini sesuai dengan kecenderungan dasar pemikir bersangkutan. Namun setiap definisi tentang keadilan selalu terjebak pada persoalan yang sama, yaitu pembatasan atau penyempitan keadilan itu sendiri. Sementara, keadilan merupakan wilayah yang sangat luas, kompleks bahkan tersembunyi --karena berkenaan dengan nilai-- sehingga nyaris tak dapat didefinisikan. Pada posisi ini, menentukan atau menunjuk ketidakadilan relatif lebih mudah daripada mendefinisikan keadilan. Oleh sebab itu, kebanyakan para pemikir lebih berkonsentrasi pada prinsip-prinsip yang menentukan terwujudnya keadilan ketimbang mendefinisikannya. Dalam al- Qur‟ân, tidak ada definisi yang komprehensif mengenai keadilan kecuali hanya disebutkan kata adil ‘adl saja. Hal ini menuntut penelusuran lebih jauh untuk mengetahui keadilan dan penerapannya dalam konteks kehidupan bermasyarakat. Menurut Muhammad Baqîr al-Shadr, intuisi dan pikiran dapat mengetahui nilai-nilai umum yang akan memerintah setiap tindakan seseorang. Melalui itu, perilaku benar dan salah, baik dan buruk dapat ditemukan, demikian pula dengan keadilan. Ia menyatakan: Ini nilai-nilai umum yang diperoleh dari intuisi dan pikiran adalah nilai- nilai yang menegaskan bahwa keadilan adalah kebenaran dan kebaikan, dan perbuatan salah ketidakadilan adalah batil dan jahat. Kami juga percaya bahwa barang siapa yang berurusan secara adil dengan orang lain layak dihormati dan dipuji dan barang siapa yang berbuat kesalahan dan pengkhianatan layak mendapat sebaliknya. 21 Menurutnya, intuisi dan pikiran sangat penting dalam mengarahkan perilaku manusia dengan benar. Selama manusia mengikutinya maka selama itu pula perilakunya akan benar, kecuali ada rintangan seperti ketidaktahuan atau sengaja melanggar nilai itu demi keuntungan pribadi. Selama tidak ada rintangan itu, ketika manusia dihadapkan pada pilihan antara kebenaran dan kesalahan, kebaikan dan keburukan, maka intuisi dan pikiran dia akan memilih kebenaran dan kebaikan. 22 Dengan kata lain, seseorang akan berbuat adil bila tidak ada motif pribadi yang membuatnya melanggar nilai-nilai keadilan itu. Namun, meski secara intuitif seseorang memunyai kecenderungan untuk berbuat adil serta mampu merasakan dan menilai perilaku mana yang adil dan tidak, untuk mewujudkan keadilan bukanlah perkara mudah. Di sinilah 21 Muhammad Baqîr al-Shadr, The Revieler, the Messanger, the Message, h. 98. 22 Ibid, h. 99. dibutuhkan prinsip yang menjadi syarat bagi keadilan, yaitu prinsip persamaan. Prinsip ini harus menjadi landasan dalam kehidupan sosial baik dalam bidang politik, ekonomi, dan sebagainya. Tanpa persamaan, tidak mungkin keadilan akan terwujud, karena dalam keadilan terkandung nilai-nilai persamaan. Nilai ini menyatakan bahwa setiap orang adalah sama dalam hak dan kewajibannya. Menurut Muhammad Baqîr al-Shadr, Islam sangat menjunjung tinggi persamaan. Islam tidak mengenal adanya diskriminasi dalam memandang dan memerlakukan umatnya. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari pandangan tauhid di mana di hadapan Allah semuanya adalah sama, yaitu sebagai hamba Allah. 23 Tidak ada individu, kelompok, atau bangsa yang lebih tinggi derajat dan kelasnya sehingga dapat mengeksploitasi, menjajah, dan menundukkan yang lain. Bahkan Islam mengutuk tindakan tersebut serta menegaskan bahwa kepatuhan terhadap perbuatan itu adalah syirk. Di hadapan Allah, sistem kelas seperti proletar dan borjuis, budak dan bangsawan, rakyat dan pemimpin, dan sebagainya adalah sama. Dengan demikian, semua orang memiliki hak yang sama yaitu hak untuk hidup, hak atas kebebasan, dan hak atas kekayaan. Hak untuk hidup berarti setiap orang berhak untuk menjalankan kehidupan. Tak ada seorang pun yang dibolehkan mengganggu, menentukan atau bahkan merenggut kehidupan orang lain kecuali Allah. Sebagaimana dijelaskan di atas, Allah adalah Pencipta yang memunyai hak penuh atas ciptaan-Nya sedangkan manusia tidak memiliki hak apa-apa kecuali kewajiban terhadap Pencipta. Oleh karena itu, seseorang berhak menjalankan kehidupan sesuai 23 Muhammad Baqîr al-Shadr, Keunggulan Ekonomi Islam, h. 114. dengan yang telah dikehendaki dan diperintahkan oleh Allah. Inilah yang membedakan Islam dari liberalisme yang berpandangan bahwa seseorang berhak menjalankan kehidupan sesuai dengan yang diinginkan. Hak dalam liberalisme adalah hak eksklusif di mana manusia secara otonom memiliki dan menguasai hidupnya. Sedangkan dalam Islam, tidak ada hak penuh atau eksklusif yang dimiliki oleh seseorang karena pemilik dan penguasa absolut atas segala sesuatu hanyalah Allah. Demikian pula dengan hak atas kebebasan. Setiap orang memiliki hak atas kebebasan selama kebebasan itu tidak bertentangan dengan keyakinan tauhid. Selama seseorang beroperasi dalam bingkai ini, maka tidak ada seorang pun yang diperkenankan mengekang kebebasan orang lain. Sementara hak kebebasan atas kekayaan menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk memiliki sesuatu berkaitan dengan harta kekayaan, sebab sudah menjadi kodrat manusia untuk cenderung memiliki sesuatu atas hasil kerja dan usahanya. Namun kepemilikan di sini, sebagaimana hak lainnya, tidak bersifat eksklusif dan absolut. Dari hak-hak tersebut, keadilan harus ditegakkan dengan cara tidak membeda-bedakan hak orang yang satu dengan yang lainnya sehingga tidak ada yang merasa dizhalimi. Setiap orang dijaga dan dilindungi haknya dan setiap orang berkewajiban menjaga dan menghormati hak orang lain. Walaupun demikian, dalam praktiknya, prinsip persamaan ini tidak serta merta terwujud tanpa persoalan. Persoalan paling mencolok terjadi dalam hak atas kekayaan dalam bidang ekonomi. Tidak mungkin menerapkan prinsip persamaan bagi seseorang yang tidak beruntung secara alamiah seperti cacat sejak lahir yang membuatnya tidak mampu memaksimalkan haknya. Demikian juga tidak mungkin menerapkan prinsip itu bagi orang-orang yang lahir dalam keadaan miskin dengan membiarkannya terlantar begitu saja. Maka dari itu, menurut Muhammad Baqîr al-Shadr, hak dan kebebasan ekonomi harus dibarengi dengan keamanan ekonomi. 24 Keamanan ekonomi masuk dalam masalah jaminan sosial yang dijelaskan Muhammad Baqîr al-Shadr dalam perbedaannya dari sosialisme atau Marxisme. Pertama , jaminan dalam Islam adalah salah satu hak manusia yang diperoleh dari dan diwajibkan oleh Allah. Karena itu, tidak ada perbedaan menurut keadaan atau kedudukan warga negara. Sementara jaminan sosial menurut Marxisme lebih menyerupai hak mesin daripada hak manusia. Apabila mesin produksi telah mencapai titik tertentu maka jaminan sosial menjadi syarat esensial untuk pertumbuhannya dan peningkatan produksinya. Bila kekuatan-kekuatan produksi belum mencapai ini maka ide tentang jaminan sosial tidak berarti apa-apa. Kedua, konsep jaminan sosial erat kaitannya dengan persaudaraan dalam Islam. Menurutnya, persaudaraan dalam Islam merupakan suatu kerangka yang melaksanakan peranan jaminan sosial dalam masyarakat. Islam menggambarkan bahwa Muslim yang satu adalah saudara bagi Muslim lainnya. Dia tidak boleh menyakiti saudaranya, merampas haknya, dan tidak menolak memberikan pertolongan kepadanya. Persaudaraan Islam mengimbau agar umat Islam saling bekerja sama dan saling membantu orang-orang yang kurang beruntung. Sementara, Marxisme memandang jaminan sosial hanya dapat dicapai melalui 24 Ibid, h. 129. perjuangan kelas dengan cara menghasut kebencian dan memertentangkan kelas, yaitu proletar dan borjuis. Ketika perjuangan itu berhasil dengan terwujudnya masyarakat komunis, baru jaminan sosial dapat diterapkan. 25 Ketiga, jaminan sosial, sebagai hak asasi manusia, tidak memberikan perbedaan antara kelompok atau kelas tertentu dari yang lainnya. Ia bahkan menekankan pada orang-orang yang sama sekali tidak mampu untuk mengambil bagian dalam hal produksi. Orang-orang itu dijamin dalam naungan masyarakat Islam. Dalam hal ini, negara harus memberikan sarana untuk mencapai nafkah bagi mereka. Sementara itu, Marxisme tidak menyinggung masalah jaminan itu bagi orang-orang yang tidak mampu yang hidup di luar perjuangan kelas. Bahkan, dalam konsep keadilannya, Marxisme tidak mendistribusikan sarana dan hasil produksi bagi orang-orang yang tidak mampu. Keempat, jaminan sosial dalam Islam merupakan tanggung jawab individu dan negara. Sementara dalam Marxisme, jaminan sosial hanya menjadi tanggung jawab negara saja. Oleh karena itu, Islam meletakkan dua prinsip yaitu prinsip kerja sama dan prinsip jaminan sosial. Prinsip kerja sama berarti bahwa setiap orang Muslim bertanggung jawab untuk memberikan nafkah kepada orang lain sesuai dengan kemampuannya. Kaum Muslim harus menerapkan prinsip ini bahkan dalam keadaan tidak ada negara sekalipun yang melaksanakan perintah legislatif itu. Sedangkan prinsip jaminan sosial menjadi tanggung jawab negara 25 Muhammad Baqîr al-Shadr, Manusia dan Problema Masa Kini, h. 155-156. yang harus menjamin kemakmuran semua warga negara. Untuk tujuan ini, dana dapat dikumpulkan dari kekayaan negara, sumber pendapatan umum, dan pajak. 26 Jadi, persamaan hak atas kekayaan dipadukan dengan jaminan sosial. Seseorang bebas mengupayakan kekayaan selama tidak mengganggu dan menutup kesempatan orang lain untuk mendapatkan hak yang sama. Terhadap orang-orang yang kurang beruntung, Islam memberikan kompensasi agar haknya tetap terjaga sehingga bisa mengupayakan dan menikmati kekayaan. Jaminan itu menggambarkan tidak adanya kepemilikan eksklusif atas kekayaan karena segala sesuatu hanya milik Allah semata. Islam tidak mengenal persaingan yang mengarah kepada eksploitasi atau merugikan orang lain. Persaingan hanya dibolehkan untuk tujuan mencapai ridha Allah semata.

D. Tauhid dan Tujuan Sistem Sosial