Tauhid Tesis Muhammad Baqîr al-Shadr

kepercayaan. Keragu-raguan berarti tidak adanya suatu putusan dalam proses berpikir sehingga tidak akan menghasilkan apapun kecuali keraguan itu sendiri. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa setiap tindakan didasarkan pada nilai- nilai dan nilai itu dilahirkan dari kepercayaan. Nilai-nilai yang dilahirkan dari kepercayaan tersebut ketika diinternalisasi pada gilirannya akan membentuk pandangan dunia worldview umat Islam. Segala hal yang berkaitan dengan kehidupan umat Islam meliputi tindakan, asal- usul beserta tujuan hidup dan sebagainya dipengaruhi oleh pandangan dunianya. Karena itu, setiap tindakan orang Islam yang bertentangan dengan pandangan dunianya berarti melanggar atau bahkan mengingkari kepercayaannya. Bagaimanapun, orang Islam harus mengikuti nilai-nilai kepercayaannya selama menyejarah di belantara kehidupan ini.

1. Tauhid

Pandangan dunia Islam didasarkan atas tauhid yang meyakini keberadaan Tuhan dan mengesakan-Nya. Tauhid berasal dari bahasa Arab yang merupakan bentuk ketiga dari asal kata wahhada yuwahhidu tawhîdan yang berarti pengesaan atau penunggalan. Dalam hal ini tauhid berarti meyakini bahwa Tuhan itu Esa dan tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Tuhan. Kepercayaan ini menjadi syarat utama dan paling utama seseorang disebut Muslim. Tuhan diyakini sebagai kebenaran mutlak yang menjadi asal-usul keberadaan segala sesuatu. Sebab itu, hanya Tuhan yang patut disembah karena keberadaan-Nya mandiri dan menjadi tempat bergantung keberadaan yang lain. Kepercayaan ini diekspresikan dalam kalimat tauhid lâ ilâh illâ Allâh Tiada tuhan Selain Allah. Mengatakan bahwa Tuhan ada dan keberadaan-Nya mandiri bukan tanpa alasan. Di sini Muhammad Baqîr al-Shadr memberikan penjelasan rasional dengan argumen kausalitas. Dalam kausalitas berlaku hukum bahwa setiap sesuatu merupakan akibat dari sebab sebelumnya, dan setiap sesuatu membutuhkan sebab agar menjadi ada. Akan tetapi menurutnya, jika di alam semesta berlaku hukum kausalitas, mustahil sebab itu tidak terhingga. Gerak mundur sebab itu akan berhenti pada Sebab Pertama prima causa yang niscaya. Sedangkan Sebab Pertama itu tidak tunduk pada hukum kausalitas. Hal ini dikarenakan keberadaan Sebab Pertama pada esensinya niscaya, mandiri, dan tidak membutuhkan sebab. Tuhan tidak membutuhkan sebab karena Ia adalah Sebab Pertama. Sebab sebagai sebab tidak menuntut sebab sebelumnya tetapi ia menuntut akibat. Baru dari Sebab Pertama kemudian muncul matarantai sebab di mana hukum kausalitas berlaku umum bagi alam semesta. 2 Dengan demikian, hanya Allah yang pantas dipertuhankan karena keberadaan-Nya sebagai Sebab Pertama menjadi sebab keberadaan yang lain. Keberadaan Allah tidak bergantung kepada hal eksternal apapun di luar diri-Nya wâjib al-wujûd . Ia niscaya dalam Zat dan Esensi-Nya. Sementara, realitas lain tidak dapat eksis tanpa menggantungkan diri pada Tuhan sehingga keberadaannya hanyalah mungkin mumkin al-wujûd. Yang lain membutuhkan Allah agar menjadi eksis. Kebutuhan itu menggambarkan hubungan eksistensial yang tak 2 Muhammad Baqîr al-Shadr, Falsafatunâ, terj. M. Nur Mufid bin Ali, Bandung: Mizan, 1991, h. 226-228. dapat dipisahkan antara keberadaan yang lain dengan Allah, antara akibat dengan sebabnya. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa segala sesuatu menuju pada-Nya karena ikatan eksistensial di mana tanpa Tuhan sesuatu itu tidak mungkin eksis. Inilah tujuan hakiki paling fundamental yang mengatasi segala tujuan dari setiap keberadaan. Dari keyakinan tauhid tersebut, terdapat dua hal yang bisa digarisbawahi. Pertama, karena Allah niscaya dan mandiri sementara keberadaan yang lain sepenuhnya bergantung kepada Allah, maka yang lain tidak memiliki kekuatan apa-apa kecuali kepasrahan dan ketundukan total kepada-Nya. Bagi Muhammad Baqîr al-Shadr, orang Islam harus mengakui ini serta mewujudkan eksistensi “Islam” pada seluruh ranah kehidupan. Dia merujuk pada ayat al-Qur‟ân surat al- Baqarah 208 yang berbunyi: “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah dalam Islam secara sempurna dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya ia adalah musuh yang nyata”. Menurutnya, kata “Islam” atau “al-silm” pada ayat di atas memunyai banyak kemungkinan pengertian. Ia bisa diartikan perdamaian al-salâm yang merupakan lawan atau antonim dari kata perang al-harb. Al-salâm juga berarti al-islâm sebagai akidah, yaitu keimanan kepada Allah. Selain itu, al-salâm bisa berarti al-istislâm, yaitu penyerahan secara mutlak kepada Allah dan ketundukan sempurna dalam segala urusan kehidupan. Tetapi bagi Muhammad Baqîr al- Shadr, di antara berbagai pengertian tersebut, yang paling benar adalah yang terakhir. 3 Sebab secara bahasa, al-silm tidak berarti al-salâm karena ia bisa juga 3 Muhammad Baqîr al-Shadr, Syahadat Kedua, h. 121. berarti al-istislâm yaitu penyerahan, ridha, dan penerimaan. Lagi pula Islam memiliki hukum yang berbeda-be da berkenaan dengan hukum syari„at sesuai dengan kondisi dan posisi umat Islam ketika atau di tengah jihad. Kadang damai dibolehkan tetapi kadang dilarang seperti ayat “Janganlah kamu lemah dan meminta damai padahal kamulah yang di atas” QS. Muhammad: 35. Dia melanjutkan, pengertian al-silm dengan al-islâm sebagai keimanan kepada Allah juga bermasalah. Seandainya kata itu berarti keimanan kepada Allah, maka tidak mungkin ditujukan kepada orang-orang yang beriman secara khusus, sebab apa perlunya mengajak orang-orang Mukmin masuk dalam Islam? Dengan demikian, bagi Muhammad Baqîr al-Shadr, ayat itu menunjukkan makna yang lebih luas di mana al-silm bermakna eksistensi yang istimewa di mana orang-orang Islam dituntut untuk masuk ke dalamnya. Eksistensi itu bukan sifat psikologis pribadi individu semata yang terpisah dari orang-orang Muslim yang lain. Eksistensi itu bersifat kolektif yang menjadi tanda bagi suatu kehidupan sosial di mana mereka menyerahkan seluruh kehidupan mereka kepada Allah serta tunduk dan patuh kepada perintah-Nya. Tafsiran ini sebagaimana dinyatakan oleh Muhammad Baqîr al-Shadr bahwa: Ayat tersebut menyeru pada pendirian suatu eksistensi yang konkrit, yang memiliki karakter penyerahan dan ketundukan terhadap Sang Pencipta, dan menyerahkan kepemimpinan praktis kepada-Nya serta memberikan kekuasaan-kekuasaan di mana masyarakat berdiri di atas fondasinya. Di tangan-Nyalah eksistensi ini, yang dapat diungkapkan dengan ungkapan yang hakiki dan jelas yaitu, eksistensi Islam di mana Nabi Muhammad diutus untuk mendirikannya dan mengajak manusia dalam kehidupan di bawah naungannya. 4 4 Ibid, h. 122-123. Kedua, karena manusia memunyai ikatan dan hubungan eksistensial dengan Allah, maka Allah harus menjadi tujuan dari kehidupan manusia. Tidak ada tujuan lain yang lebih hakiki daripada tujuan ini, sebab tanpa Allah manusia tidak akan mungkin ada. Keberadaan manusia tidak niscaya dengan sendirinya dan karena itu keberadaannya dikatakan mungkin, bukan wajib. Sebagai akibat dari ciptaan Allah, manusia tidak memunyai hak apa-apa terhadap-Nya kecuali kewajiban, yaitu kewajiban mengikuti segala perintah dan kehendak-Nya seperti yang telah diturunkan kepada para nabi. Sedangkan Allah memunyai hak penuh atau absolut atas ciptaan-Nya, memilikinya, dan memerlakukannya. Umat Islam wajib mengikuti perintah Allah sebagaimana disampaikan oleh Nabi Muhammad dalam bentuk risâlah, yaitu pesan Islam dalam kitab suci. Menurut Muhammad Baqîr al-Shadr, yang pertama dan terpenting dari pesan Islam itu adalah pembentukan hubungan antara manusia dengan Tuhan. Hubungan itu bersifat penghambaan yang menekankan akan keesaan Allah dalam kalimat syahadat lâ ilâh illâ Allâh sehingga menghapus segala bentuk penuhanan lain. Selain itu, pesan terpenting lain hubungannya dengan Allah adalah penekanan akan kembalinya ma‘âd manusia kepada-Nya di kehidupan akhirat. Di sini manusia akan diminta pertanggungjawabannya selama menyejarah di muka bumi dan menjadi tempat ditegakkan keadilan yang sebenarnya. 5 Oleh sebab itu, semua tindakan umat Islam harus sesuai dengan yang diperintahkan dan dikehendaki oleh Allah karena setiap tindakannya akan dimintai pertanggungjawaban dan diberi ganjaran dan hukuman di akhirat. Hal ini 5 Muhammad Baqîr al-Shadr, The Revieler, the Messanger, the Message, terj. Mahmoed M Ayoub, Tehran: Word Organization for Islamic Services, 1986, h. 137-138. menunjukkan dengan tegas bahwa tujuan sejati dari kehidupan umat Islam tidak lain adalah Allah dengan cara mencapai Ridha-Nya. Umat Islam tidak dibenarkan menjadikan yang lain sebagai tujuan hidupnya.

2. Tuhan sebagai Pusat Realitas