Mediterania, Eropa hingga Amerika Serikat. Terbukti pada tahun 1981, Hanna Batatu, dalam sebuah artikel di Middle East Journal, Washington, menunjukkan
betapa pentingnya Baqîr al-Shadr bagi gerakan bawah tanah Islam di Irak. Sebuah peranan yang juga tak bisa diabaikan bagi kebangkitan berbagai gerakan politik
Islam di dunia.
B. Karya Tulis
Sebagai seorang intelektual, Muhammad Baqîr al-Shadr sangat produktif membuat karya tulis, baik yang berbentuk buku maupun artikel. Mayoritas
karyanya ditulis dengan menggunakan bahasa Arab. Kurang lebih dua puluh tujuh buku telah ditulisnya beberapa diterjemahkan ke bahasa lain seperti bahasa
inggris dan bahasa Indonesia dan tiga puluh satu artikel dipublikasikan di berbagai majalah khususnya al-
Adwa’ al-Islâmiyyah. Sebagian artikel itu, diterbitkan secara berkesinambungan sesuai dengan tema dan judul tulisan
sehingga dibentuk dan diterbitkan menjadi buku. Karyanya berkonsentrasi pada ilmu dan masalah-masalah keislaman yang cukup kompleks sehingga
pemikirannya menyebar dalam berbagai bidang seperti sosial, politik, ekonomi, sejarah, teologi, falsafat, fiqh dan sebagainya.
Hal itu menunjukkan keluasan cakrawala pengetahuan dan keragaman penguasaannya atas berbagai disiplin ilmu serta mencerminkan reputasi
intelektual yang tinggi. Ciri khas tulisannya sarat dengan nuansa kritik terhadap berbagai pemikiran Barat seraya memberikan tanggapan dengan bersandar secara
otentik pada prinsip atau konsep Islam. Tulisan-tulisannya mengandung makna
teologis dan falsafi, bukan retorika terkesan apologetik dengan tendensi ideologis yang dipaksakan.
Karya falsafat yang secara khusus mengeritik bangunan falsafat Barat tertuang dalam Falsafatunâ: Dirâsah al-Mawdhû
‘iyyah fî al-Mu‘tarak al-Shirâ’ al-Fikrî al-Qâ
’im bayna al-Mukhtalaf al-Thayarât al-Falsafiyyah wa al-Falsafah al-Islâmiyyah wa al-Mâddiyah al-Diyaliktikiyyah al-Marksiyyah.
Dalam buku ini, Muhammad Baqîr al-Shadr menyajikan kritik epistemologis terhadap
pandangan dunia Barat yang mengakhiri matinya metafisika khususnya materialisme dialektis dalam Marxisme. Selanjutnya dia menjelaskan bagaimana
Islam mengajukan konsep mendasar tentang dunia beserta metode berfikirnya. Di sini terlihat konfrontasi pemikiran yang sangat kentara antara Islam dan Barat
dengan argumen falsafi cukup mendalam dan menyeluruh. Buku itu terdiri dari dua bagian pembahasan. Yang pertama adalah tentang
epistemologi di mana Muhammad Baqîr al-Shadr membedakan dua bentuk pengetahuan: konsepsi dan tashdîqî penilaian kebenaran pengetahuan atau
aksiologi ilmu. Dalam bahasan ini ia mengeritik epistemologi dalam masing- masing tradisi atau aliran falsafat Barat. Yang kedua tentang metafisika dan
konsep falsafat tentang dunia. Di sini dia mencoba mematahkan kerangka berpikir falsafat yang mengganggap metafisika sebagai takhayul dan kata-kata kosong
dengan prinsip prima causa sebab pertama sebagai sesuatu yang menyebabkan adanya sesuatu yang lain. Menurutnya bahwa jika di alam semesta berlaku hukum
kausalitas, maka mustahil sebab itu tidak berhingga. Gerak mundur sebab itu akan berhenti pada Sebab Pertama yang niscaya. Sedangkan Sebab Pertama itu tidak
tunduk pada hukum kausalitas yang menyatakan bahwa setiap sesuatu merupakan akibat dari sebab sebelumnya. Ini dikarenakan keberadaan Sebab Pertama pada
esensinya niscaya, mandiri, dan tidak membutuhkan sebab. Baru dari Sebab Pertama kemudian muncul matarantai sebab yang berlaku umum bagi alam
semesta. Selain karya itu, Muhammad Baqîr al-Shadr juga menulis masalah
keimanan Islam dalam buku Mujâz fî al-Ushûl al-Dîn: al-Mursil, al-Rasûl, al- Risâlah.
11
Dalam buku ini dia mengeksplorasi tiga hal penting dalam iman Islam yaitu Allah, Rasul, dan Islam beserta pesan-pesan yang terkandung di dalamnya.
Khususnya keimanan kepada Allah, dia mengajukan argumen falsafi dan akademik dalam rangka membuktikan akan keberadaan-Nya serta sifat-sifat-Nya
seperti keadilan. Demikian pula hal sama ia lakukan ketika membahas tentang Nabi Muhammad sebagai rasul penutup yang membawa pesan bagi seluruh umat
manusia. Bagian terakhir buku itu menjelaskan tentang pesan Islam sebagaimana
tertera dalam al- Qur‟ân yang diyakini memunyai keistimewaan dan karakteristik
tersendiri dibanding pesan-pesan surgawi lainnya. Salah satu karakteristik itu adalah terjaganya al-
Qur‟ân dari perubahan-perubahan baik dalam bentuk huruf maupun dalam bentuk keimanan sebagaimana telah terpatri dalam jiwa religius
seorang Muslim. Al- Qur‟ân juga mengandung pesan yang mencakup seluruh
aspek kehidupan yang membawahi dikotomi antara kehidupan material dan spiritual, dan sebagainya. Melalui karya ini, Muhammad Baqîr al-Shadr
11
Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Mahmoud M. Ayoub menjadi The Revealer, the Messenger, the Message
, Tehran: Word Organization for Islamic Services, 1986.
menunjukkan bahwa keimanan dalam Islam memunyai landasan kebenaran yang kokoh di mana pembuktiannya bisa dilakukan secara rasional dan ilmiah.
Setelah menghadirkan bukti-bukti rasional dan akademik, Muhammad Baqîr al-Shadr berusaha membangkitkan kesadaran umat Islam akan kebenaran
keimanan tersebut beserta implikasinya bagi kehidupan dalam buku Risâlatunâ Misi Kami.
12
Upaya ini dilakukan karena menurutnya keimanan bukan sekedar taqlid saja melainkan suatu pemahaman dan pengakuan akan kebenarannya
sehingga memengaruhi kesadaran dan tindakan seseorang. Dia meyakini bahwa seorang Muslim yang menyadari kebenaran iman Islam akan membawa kemajuan
bagi kehidupan, membawa rahmat bagi seluruh alam sebagaimana tugas dan tanggung jawab khalifah yang diberikan Allah kepada manusia. Muslim yang
sadar akan keimanannya tidak akan tinggal diam ketika melihat kenyataan yang bertentangan dengan tugas sejatinya, tidak pernah takut pada segala macam
penindasan dan ketidakadilan yang merugikan kehidupan. Untuk menuju kesadaran dan kebangkitan Islam itu, ada tiga syarat yang
harus dimiliki oleh umat, yaitu adanya ajaran yang benar, adanya pemahaman terhadap ajaran tersebut, dan terakhir, sebagai konsekuensi dari keduanya, adanya
keimanan. Tiga syarat ini tak boleh diabaikan karena bagaimana pun juga kesadaran tidak lahir dari ruang yang kosong. Kesadaran muncul dari keimanan
seseorang yang memahami akan kebenaran ajarannya yang kemudian dijadikan landasan dalam setiap tindakan. Tanpa itu, seseorang akan tercabik-cabik oleh
12
Dalam edisi Indonesia diterjemahkan dengan judul berbeda dari aslinya yaitu Syahadat Kedua: Ketika Keimanan saja Tak Cukup
. Menurut hemat penulis, judul ini lebih ditekankan pada konten buku yang mengaitkan keimanan dan implikasinya bagi kebangkitan Umat.
ketidakpastian keadaan sehingga langkahnya goyah dan gontai bahkan sama sekali stagnan alias mati suri.
Sedangkan karya yang berkaitan dengan kehidupan sosial umat di zaman modern, salah satunya termuat dalam bukunya Al-Insân al-
Mu‘ashshir wa al- Musykilah al-
Ijtimâ‘iyyah Manusia Masa Kini dan Problema Sosial. Ini merupakan salah satu karya yang diterbitkan dalam bentuk seri aliran pemikiran
Islam. Dalam karya ini, Muhammad Baqîr al-Shadr berbicara tentang persoalan kehidupan sosial modern dan solusinya yang dibenturkan dengan solusi yang
ditawarkan oleh pemikiran Barat khususnya sosialisme-komunisme dan kapitalisme-liberalisme. Buku ini berpijak di atas landasan konseptual
sebagaimana terdapat dalam Falsafatunâ yang memberikan kritik epistemologis terhadap pemikiran Barat. Hanya saja cakupannya lebih luas dan lebih menyentuh
pada persoalan praksis kehidupan, baik sosial maupun ekonomi. Menurut pandangannya, masalah yang paling mendesak untuk segera
diselesaikan adalah masalah sistem sosial. Melalui sistem sosial, tujuan kehidupan individu dan masyarakat diupayakan bersama sehingga bisa mencapai hasil yang
lebih baik dan maksimal. Karena itu, pencarian terhadap sistem yang sesuai dengan tujuan manusia serta mampu mewujudkannya sangat diperlukan. Sejarah
telah menunjukkan bahwa dalam setiap zaman manusia selalu bergulat dalam sebuah sistem untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Penerapan sistem itu
menjadi eksperimen tersendiri bagi kehidupan selanjutnya untuk membangun dan menerapkan sistem baru yang dipandang lebih baik. Dalam konteks modern,
sistem itu mengejawantah dalam sosialisme-komunisme dan kapitalisme- liberalisme.
Dalam masing-masing sistem itu terdapat tujuan dan nilai-nilai yang dipercayai dan menjadi pandangan hidup way of life masyarakat. Di samping itu,
terdapat pula seperangkat cara untuk mencapai tujuan tersebut sehingga membentuk organisme padu antara elemen-elemen yang ada di dalamnya. Dan
sejauh ini, menurut penilaian Muhammad Baqîr al-Shadr, sistem-sistem itu gagal mewujudkan tujuan dari kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun
sebagai makhluk sosial. Dia mengeritik sistem sosial yang selama ini saling bertikai dalam kehidupan modern dan kemudian menawarkan sistem sosial yang
disandarkan atas Islam sebagai satu-satunya sistem yang ideal. Disebut ideal karena sistem itu diyakini mampu mencapai tujuan sebagaimana yang diinginkan
bersama dalam kehidupan. Karya lain berkenaan dengan masalah sosial khususnya tentang kehidupan
politik umat Islam adalah Manâbi’ al-Qudrah fî al-Dawlah al-Islâmiyyah
Sumber-sumber Kekuasaan dalam Pemerintahan Islam. Dalam karya ini Muhammad Baqîr al-Shadr menjelaskan tentang sumber kekuasaan di bawah
sistem keyakinan Islam, bentuk pemerintahan, peran fungsi serta tujuan yang akan dicapai. Menurutnya, sumber pemerintahan Islam berasal dari Allah yang
memberikan tanggung jawab ke-khalîfah-an kepada manusia dan mendeklarasikan Allah sebagai tujuan atau terminal akhir kafilah kemanusiaan. Sedangkan tugas
dan peran pemerintahan itu adalah mengakhiri segala bentuk eksploitasi dalam
masyarakat dan membebaskan mereka dari ketertindasan baik ekonomi, politik, dan intelektual.
Akan tetapi, walaupun sumber pemerintahan berasal dari Allah bukan berarti secara gampangan seorang penguasa dapat menggunakannya sebagai
sentimen untuk melegitimasi kekuasaannya. Ini disebabkan tugas pemerintahan khalîfah
tidak hanya diberikan kepada satu orang saja melainkan kepada seluruh manusia. Dengan demikian, dalam politik seorang penguasa tidak dapat
mengklaim kekuasaannya bersumber atau ditentukan langsung oleh Allah tetapi harus mendapatkan legitimasi dari semua orang di dalamnya. Setiap orang
memiliki tanggung jawab untuk mengurusi dunia dan kehidupan sehingga dia memunyai hak untuk menentukan pemimpin pemerintahan. Berangkat dari
pemikiran ini, Muhammad Baqîr al-Shadr menuntut diadakannya pemilu serta menyerukan agar masyarakat menggunakan haknya dengan memberikan suara
untuk memilih dewan perwakilan mereka. Konsep pemerintahannya adalah wilâyah al-ummah
yang terdiri dari khalîfah pemerintahan eksekutif dan legislatif dan syahâdah kesaksian atau pengawasan yang dilakukan oleh ulama
atau walî al-faqîh. Selain politik, karya Muhammad Baqîr al-Shadr menyangkut kehidupan
sosial juga berkaitan dengan masalah ekonomi. Pemikirannya tentang ekonomi termuat dalam buku Al-Madrasah al-Islâmiyyah
13
Sekolah Islam dan Iqtishâdunâ
Ekonomi Kami. Dalam karya ini, dia mengeritik sistem ekonomi kapitalisme dan sosialisme yang dinilai gagal mengupayakan tercapainya tujuan
13
Dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan judul Islam and Schools of Economics.
sistem sosial. Sebagai gantinya, dia mengajukan konsep ekonomi Islam dengan mengurai prinsip-prinsip yang harus menjadi landasan dalam ekonomi. Kajiannya
sangat mendalam dan komprehensif, khususnya dalam buku Iqtishâduna, sehingga mendapatkan nilai kesarjanaan yang cukup tinggi. Berbeda dari ekonomi
s yari„ah yang hanya menekankan pada praktik atau transaksi tanpa ribâ bunga,
ekonomi Islam perspektif Muhammad Baqîr al-Shadr berlandaskan pada nilai- nilai keadilan yang membawahi seluruh aspek ekonomi. Pemikirannya dapat
menjadi alternatif baru di tengah runtuhnya komunisme dan gagalnya kapitalisme. Karena sumbangannya yang begitu besar dan sangat berarti dalam ekonomi, dia
kemudian lebih dikenal sebagai ekonom Islam.
C. Perkembangan dan Pengaruh Pemikiran