Riwayat Hidup dan Latar Belakang Sosial

BAB II BIOGRAFI MUHAMMAD BAQÎR AL-SHADR

A. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Sosial

Muhammad Baqîr al-Shadr al-Sayyid Haydar b. Ism â„îl adalah seorang ulama, sarjana, failasuf, dan salah satu tokoh politik revolusioner Irak. Dia lahir di Kazmain, Baghdad, pada 25 Zhû al- Qâ„dah 1353 H.1 Maret 1935 M. dari keluarga religius dan termasyhur. Ayahnya, Haydar al-Shadr, sangat dihormati dan merupakan alim Syî„ah peringkat tinggi. Garis keturunannya kembali ke Nabi Muh ammad melalui imam Syî„ah yang ketujuh yaitu Mûsâ Kazhîm. Beberapa tokoh kenamaan juga lahir dari keluarganya seperti Sayyid Shadr al-Dîn al-Shadr, seorang marja‘ 1 di Qum, Iran; Muhammad al-Shadr, salah seorang pemimpin religius yang memainkan peran penting dalam revolusi Irak melawan Inggris dan mendirikan Haras al-Istiqlâl Pengawal Kemerdekaan; dan Mûsâ al-Shadr, seorang pemimpin Syî„ah di Lebanon. 2 Pada usia empat tahun, Muhammad Baqîr al-Shadr kehilangan ayahnya dan kemudian diasuh oleh ibu dan kakak laki-lakinya, Ismâ „îl, yang juga seorang mujtahid 3 kenamaan di Irak. Pada usia sepuluh tahun, dia mulai berceramah tentang sejarah Islam dan beberapa aspek lain tentang kultur Islam. Dia sudah mampu menangkap wacana teologis tanpa bantuan seorang guru pun. Ketika berusia sebelas tahun, dia mengambil studi logika dan menulis buku yang 1 Ulama yang dijadikan otoritas rujukan tertinggi dalam madzhab Syî„ah. 2 Biografi Muhammad Baqîr al-Shadr ditulis dalam bukunya Falsafatunâ, terj. M. Nur Mufid bin Ali, Bandung: Mizan, 1991, h. 11. 3 Orang alim yang telah mencapai tingkat tertinggi di kalangan teolog Muslim. 14 mengeritik para failasuf. Pada usia tiga belas tahun, kakaknya mengajarkan Ushûl ‘Ilm al-Fiqh Asas-asas Ilmu tentang Prinsip-prinsip Hukum Islam. Pada usia enam belas tahun, ia pergi ke Najaf untuk menempuh pendidikan yang lebih baik dalam berbagai cabang ilmu Islam di Universitas Najaf al-Asyraf, Irak. Sekitar empat tahun kemudian, dia menulis sebuah eksiklopedia tentang Ushûl Ghâyah al-Fikr fî al-Ushûl Pemikiran Puncak dalam ushûl. Karya ini hanya berhasil diterbitkan satu volume. Ketika usia dua puluh tahun, dia mulai mengajar bahts al-kharîj tahap akhir ushul dan fiqh. Dan, pada usia tiga puluh tahun, Muhammad Baqîr al-Shadr telah menjadi mujtahid. 4 Dunia karirnya tidak begitu gemilang kecuali sebagai pengajar, penceramah, dan penulis. Karena tulisannya banyak bersinggungan dengan masalah ekonomi, terutama Iqtishâdunâ yang banyak mengeritik Marxisme dan kapitalisme dengan mengajukan prinsip ekonomi Islam, ia kemudian sering dimintai konsultasi oleh berbagai organisasi Islam, seperti Bank Pembangunan Islam. Ia juga ditugaskan oleh pemerintah Kuwait untuk menilai bagaimana kekayaan minyak negara dikelola sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Selain itu, ia juga diminta untuk membangun dan meletakkan dasar-dasar bagi pembentukan bank-bank Islam modern. Sebagai seorang pemikir kontemporer terkemuka, Muhammad Baqîr al- Shadr melambungkan kebangkitan intelektual yang berlangsung di Najaf antara tahun 1950-1980. Tulisannya sarat dengan makna dan muatan teologis-falsafatis yang kerap menyerang konsepsi falsafat Barat seraya mengajukan konsep Islam 4 Ibid, h. 12. dalam membedakan antara kebenaran dan kesalahan. 5 Hal ini dapat dimaklumi karena kondisi Irak pasca terjadinya revolusi 1958, dalam rangka menentang pemerintahan monarki, berada dalam ketidakpastian yang dihantui oleh merebaknya berbagai pemikiran dengan tendensi ateisme. Pemikiran itu dianggap telah berusaha memengaruhi akal, emosi, dan naluri sehingga akan terjadi kehampaan pada Islam dan kaum Muslim. Kondisi itu pula yang menggugah beberapa ulama di Najaf al-Asyraf untuk menerbitkan majalah al- Adwa’ al- Islâmiyyah di mana Muhammad Baqîr al-Shadr menjadi pimpinan dan tokoh yang paling menonjol. Kehadirannya diharapkan menjadi juru bicara Islam dalam menghadapi pelbagai penyimpangan pemikiran dan gerakan. 6 Hawzah 7 ilmiah di Najaf al-Asyraf sadar bahwa keadaan itu memerlukan alat-alat baru di tengah pergulatan mengisi kekosongan pemikiran dalam rangka restrukturisasi dan reformulasi sistem yang lebih baik. Muhammad Baqîr al-Shadr merupakan tokoh paling produktif menuangkan tulisannya di majalah tersebut sebagai suatu bentuk perjuangan pemikiran dan gerakan ideologis. Namun, dia tidak dapat melanjutkan aktivitas menulisnya di al- Adwa’ lantaran ada tekanan dari sentral kekuatan di hawzah ilmiah. Alasannya karena mereka khawatir akan adanya dampak negatif yang akan menimpa masa depannya di mana dia diharapkan menjadi pemangku jabatan sebagai pusat rujukan keagamaan al- marja‘iyyah al-islâmiyyah. Alasan itu tak 5 Karya yang secara khusus dan sistematis mengeritik bangunan konseptual falsafat Barat bisa dilihat dalam Falsafatunâ. 6 Sayyid Muhammad H usayn Fadhlullah “Kata Pengantar” dalam Muhammad Baqîr al- Shadr, Syahadat Kedua: Ketika Keimanan saja Tak Cukup, terj. Muhammad Abdul Qadir Al-Caff, Jakarta: Pustaka Zahra, 2003, h. 15-16. 7 Hawzah dalam pengertian bahasa berarti wilayah. Dalam konteks ini berarti wilayah yang dijadikan pusat pendidikan agama Islam. berlebihan karena Muhammad Baqîr al-Shadr secara progresif seringkali menganjurkan suatu gerakan Islam yang mengorganisasikan sebuah partai sentral yang dapat bekerja dengan berbagai unit dalam naungan bangsa Islam untuk perubahan sosial yang diinginkan. Sebagai akibatnya, dia kemudian mendirikan partai Da‘wah al-Islâmiyyah Partai Dakwah Islam seraya menegaskan bahwa politik adalah bagian dari Islam. Dia menyerukan kepada kaum Muslim supaya mengenali kekayaan khazanah Islam dan melepaskan diri dari pengaruh eksternal apapun, khususnya kapitalisme dan Marxisme. 8 Melalui gerakannya, dia menyerukan kaum Muslim agar bangun dari tidur panjang dan menyadari bahwa imperialis sedang berupaya membunuh ideologi Islam dengan menyebarkan ideologi mereka. Kaum Muslim harus bersatu dalam melawan pengaruh dan intervensi itu, baik dalam sistem sosial, ekonomi, dan politik. Di samping itu, ajaran dan gerakan politik Muhammad Baqîr al-Shadr secara langsung berhadapan dengan rezim Ba‟ats yang ditentangnya sebagai rezim diktator yang melanggar hak asasi manusia dan Islam. 9 Akibatnya, pada tahun 8 Muhammad Baqîr al-Shadr, Falsafatunâ, h. 12. 9 Bagi Muhammad Baqîr al-Shadr, Islam menolak monarki, pemerintahan diktator, dan aristokrasi. Dia mengusulkan pemerintahan yang dikenal dengan wilâyah al-ummah yang terdiri dari khulafâ’ al-insân manusia sebagai ahli waris atau wali Allah dan syahâdah al-anbiyâ’ kesaksian para Nabi. Menurutnya, sepanjang sejarah manusia terdapat dua garis peran dan fungsi pemerintahan yang saling berkaitan, yang pertama khalîfah sebagai wali yang mewarisi bumi Allah, dan yang kedua syâhid atau saksi. Khalîfah adalah hak dan kewajiban yang diberikan oleh Allah kepada setiap orang untuk mengurusi persoalan dunia dan karena itu, dalam konteks negara, diidentifikasi sebagai hak rakyat di mana legitimasi pemerintahan berasal dari rakyat bukan ulama. Sementara syâhid adalah orang yang berperan sebagai saksi atau melakukan pengawasan atas pemerintahan di mana tanggung jawabnya diberikan kepada para nabi, imam sebagai pewaris nabi, dan terakhir marja‘iyyah. Fungsi ke-khalîfah-an pemerintahan dan syahâdah pengawasan pada zaman para nabi menyatu dalam diri mereka. Tetapi karena tidak ada nabi lagi pasca Nabi Muhammad maka fungsi khalîfah diberikan kepada umat sedangkan syahâdah kepada para ulama marja ‘. Karena itu, konsep politik Muhammad Baqîr al-Shadr mengandung prinsip-prinsip demokrasi dengan menganjurkan agar setiap orang menggunakan haknya untuk memilih pemimpin eksekutif, entah disebut presiden atau perdana menteri setelah pencalonannya diakui oleh walî al-faqîh, dan secara langsung dan bebas memilih dewan legislatif yang mewakili 1977 dia ditahan dan dipindahkan dari Najaf ke Baghdad tetapi berhasil dibebaskan karena popularitasnya. Dua tahun kemudian, dia ditahan lagi di Najaf pada tahun 1979. Kondisi ini membuat saudara perempuannya, Bint al-Hudâ, yang juga seorang sarjana teologi Islam, gusar dan mengorganisir suatu gerakan yang menentang penahanan atas seorang marja‘. Protes juga dilakukan oleh gerakan lain di dalam dan di luar Irak sehingga dia berhasil dibebaskan meski tetap dikenai tahanan rumah selama delapan bulan. Namun, keadaan itu tidak menyurutkan langkah Muhammad Baqîr al- Shadr untuk tetap berjuang dalam bingkai gerakan ideologis yang diyakininya. Bahkan, ketegangan antara partai Ba‟ats dan dia semakin menjadi kentara. Hal ini dapat dilihat dari fatwanya yang mengharamkan seorang Muslim bergabung dengan partai Ba‟ats dan dukungannya terhadap revolusi Islam. Akibatnya, pada 5 April 1980, dia ditahan lagi bersama dengan adiknya dan dipindahkan ke Baghdad. Keduanya dipenjarakan dan dieksekusi mati tiga hari kemudian oleh rezim Saddam Hussein. Diduga bahwa Muhammad Baqîr al-Shadr dibunuh dengan cara dipaku tepat di kepalanya. 10 Jasad mereka dibawa dan dimakamkan di Najaf. Selain mereka, ribuan pelajar di Hawzah diusir ke luar Irak, sebagian dipenjara, dan para ulama dihukum gantung tanpa proses pengadilan. Tragedi pengeksekusian itu membuat reputasi Muhammad Baqîr al-Shadr semakin diakui di berbagai kalangan masyarakat. Namanya melintas jauh ke ummah . Lihat di www. http:en.wikipedia.orgwikiMohammad_Baqir_al-Sadr, diakses tanggal 10 Maret 2009. Penjelasan lebih spesifik dan rinci mengenai prinsip dan landasan pemerintahan Islam bisa dilihat dalam buku Muhammad Baqîr al-Shadr, Sistem Politik Islam: Sebuah Pengantar, terj. Arif Mulyadi, Jakarta: Lentera, 2001, h. 101-113. 10 www. http:en.wikipedia.orgwikiMohammad_Baqir_al-Sadr. Artikel diakses pada tanggal 20 April 2010. Mediterania, Eropa hingga Amerika Serikat. Terbukti pada tahun 1981, Hanna Batatu, dalam sebuah artikel di Middle East Journal, Washington, menunjukkan betapa pentingnya Baqîr al-Shadr bagi gerakan bawah tanah Islam di Irak. Sebuah peranan yang juga tak bisa diabaikan bagi kebangkitan berbagai gerakan politik Islam di dunia.

B. Karya Tulis