Gerakan Mahasiswa 1981-1990 Metode Gerakan Mahasiswa 1981-1990 di Jakarta

3.2 Gerakan Mahasiswa 1981-1990

Pascagerakan mahasiswa 1974 dan 1978, bisa dikatakan periode 1980-an merupakan masa stagnasi gerakan mahasiswa. Bahkan boleh dikatakan tidak ada momentum berarti yang berhasil tercipta pada masa ini. Gerakan mahasiswa pun seakan-akan melupakan hakiki mengapa gerakan mahasiswa itu lahir. Menurut Hariman Siregar ada dua hal mendasar dalam hal ini. Pertama, adanya kondisi subyektif. Kondisi ini lahir sebagai buah pemikiran intelektualitas mahasiswa. Yaitu kecakapan mahasiswa dalam soal menganalisa lingkungannya. Dalam pemikiran ini mahasiswa menggambarkan keadaan masyarakat yang ideal. Seperti terpenuhinya hak-hak dasar mereka dalam soal pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan. Kedua, kondisi obyektif. Yaitu kondisi sebenarnya di lapangan lingkungan. Pada dua pemikiran ini terdapat disparitas antara alam pemikiran ideal mahasiswa dengan keadaan sebenarnya di lapangan. Jika yang pertama mendambakan kesejahteraan, maka yang kedua malah menggambarkan penindasan kemiskinan. 37 37 Hariman Siregar, Gerakan Mahasiswa: Pilar ke-5 Demokrasi, Jakarta: TePlok Press, 2002, hal., 1-3. juga lihat Adi Surya Culla, Op., Cit., hal., 20 Kerangka berpikir inilah yang menjadi alasan utama Universitas Sumatera Utara lahirnya gerakan mahasiswa, baik sebelum kemerderkaan maupun setelah kemerdekaan. Memang harus diakui, banyak faktor yang menyebabkan gerakan mahasiswa melemah pada periode ini. Misalnya, pemberlakukan NKKBKK seperti yang telah disinggung sebelumnya. Namun yang menjadi pertanyaan, benarkah gerakan mahasiswa periode 1981-1990 tidak berbuat apa-apa bagi sebuah proses perubahan sosial? Pertanyaan utama inilah yang akan penulis kaji, terkhususnya gerakan mahasiswa di Jakarta. Gerakan mahasiswa Jakarta pada periode 1981-1990 umumya tidak jauh berbeda kondisi dan situasinya dengan daerah lainnya di Indonesia. Satu hal yang pasti, mereka sedang mengalami masa-masa stagnasi pergerakan. Stagnasi dalam arti mahasiswa tidak berhasil menciptakan momentum atau peristiwa seperti yang terjadi di tahun 1966 atau 1974. Di mana ada penetrasi atau kontrol sosial yang mengkerucut pada sebuah gerakan mahasiswa yang masif. Melemahnya kontrol mahasiswa ini agaknya bertentangan dengan pemikiran Denny J.A. Dirinya menyebutkan, jika mahasiswa tidak lagi terlalu ketat dalam mengontrol pemerintahnya, maka bisa disebut negara itu berasal dari golongan negara maju. Atau negara dengan tingkat kehidupan demokrasi yang Universitas Sumatera Utara sudah mapan. 38 Justru, seharusnya mahasiswa lebih memainkan peranan penting dalam konteks perubahan yang lebih baik. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa negara- negara berkembang pada umumnya memiliki tingkat demokrasi yang masih lemah. Dengan begitu, jika tidak ada pengawasan yang efektif terhadap para pengambil kebijakan penguasa, maka ditakutkan akan terjadi penyelewengan atau pelanggaran dalam penyelenggaraan politik, ekonomi dan sosial-budaya. Kondisi ini tentunya bertolak belakang dengan Indonesia, yang masih dikategorikan sebagai negara berkembang. Dengan kata lain terjadi anomali dalam hal ini. Namun meskipun demikian, gerakan mahasiswa tidaklah benar-benar mati total. Masih ada sekelompok anak muda yang tetap concern pada perubahan sosial. Hanya saja masalahnya, gerakan ini tidaklah sporadik seperti gerakan sebelumnya, tapi hanya pada tataran lokal saja. Dan isu yang diangkat juga sifatnya spesifik. Seperti gerakan mahasiswa di Jakarta. Orientasi gerakan mahasiswa di Jakarta tidak jauh berbeda dengan orientasi gerakan di daerah lain. Setidaknya terdapat tiga orientasi di sini. 38 Kemapanan demokrasi ini ditandai dengan sistem check and balance yang ketat antara lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ditambah lagi adanya kontrol sosial yang efektif dari pers dan lembaga sosial lainnya, LSM, misalnya. Denny J.A. Op., Cit., hal., 3-4 Universitas Sumatera Utara Pertama, orientasi untuk menggugat depolitisasi kampus. Kedua, orientasi advokasi bantuan hukum terhadap berbagai isu-isu lokal. Ketiga, orientasi yang masih mengaitkan isu-isu nasional seperti kenaikan tarif listrik dan protes legalisasi judi. 39 Dari ketiga kondisi di atas, konsentrasi gerakan mahasiswa terlihat memfokuskan diri terhadap perjuangan untuk mengikis depolitisasi kampus. Depolitisasi kampus di sini artinya adalah strategi dari policy maker untuk mengeliminasi infrastruktur politik kampus. Di mana dalam prakteknya termanifestasikan dalam lima kebijakan. 1. Pembekuan Dewan Mahasiswa Dema sebagai pusat aktifitas politik mahasiswa. Sehingga berdampak kepada polarisasi kegiatan politik di kampus. Dampaknya adalah kegiatan politik mahasiswa beralih dari kegiatan universitas ke tiap-tiap fakultas. Lebih jauh, setiap fakultas ini hanya bisa mengadakan kegiatan ekstrakurikuler jika sesuai dengan asal disiplin ilmu fakultasnya. 2. Masuknya Pembantu Rektor PR dan Pembantu Dekan PD bidang kemahasiswaan ke dalam struktur organisasi mahasiswa. Meskipun 39 Ibid., Op., Cit., hal., 18-19 Universitas Sumatera Utara ditujukan sebatas pengayom atau pembina, kehadiran mereka lebih berfungsi sebagai penyeleksi setiap kegiatan atau aktifitas yang ingin dikerjakan oleh mahasiswa di kampus. 3. Pembredelan surat kabar kampus. 4. Pengambilalihan kegiatan inisiasi mahasiswa baru Ospek. Hal ini berdampak kepada terputusnya mata rantai penyebaran “virus” ideologi atau pendidikan politik dari pihak senioren kepada mahasiswa baru. 5. Adanya pemberlakuan sanksi akademis yang ketat bagi mahasiswa yang dianggap melawan kebijakan kampus. Ini bisa dilakukan baik melalui skorsing maupun pemberlakuan droup out DO. 40 Dengan kata lain, kebijakan-kebijakan represif birokrat kampus ini adalah tindak lanjut dari pemberlakukan konsep NKKBKK sebelumnya. Di satu sisi, fenomena gerakan mahasiswa dalam hal isu yang diangkat telah mengalami pergesaran. Yaitu, tidak lagi mengusung isu nasional, namun sudah beralih ke isu- isu lokal. 40 Denny J. A., Deregulasi Kampus, dalam harian Kompas tanggal 3 Mei 1988 Universitas Sumatera Utara

3.3 Metode Gerakan Mahasiswa 1981-1990 di Jakarta