Sistematika Penulisan Kerangka Berpikir

remaja serta dapat membantu masyarakat dalam peningkatan program pencegahan dan penghentian merokok dengan informasi tersebut. b Bagi remaja, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan dan pengetahuan mengenai kepribadiannya serta sebagai acuan agar remaja dapat mempertimbangkan kembali sebelum mengambil keputusan untuk merokok. c Diharapkan penelitian ini juga dapat menjawab keingintahuan masyarakat mengenai hubungan antara kepribadian dengan perilaku merokok khususnya mengenai remaja Indonesia.

1.4. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dalam penyusunan skripsi sebagai berikut : Bab 1 : Pendahuluan Berisi latar belakang masalah, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Bab 2 : Kajian Pustaka Di dalam bab ini akan dibahas sejumlah teori yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti secara sistematis, kerangka berpikir, dan hipotesis. Bab 3 : Metode Penelitian Bab ini meliputi pendekatan dan tipe penelitian yang digunakan, definisi konseptual dan operasional variabel, populasi dan sampel, teknik pengambilan sampel, pengumpulan data, uji instrumen, teknik analisis data dan prosedur penelitian. Bab 4 : Analisis Hasil Penelitian Dalam bab ini, peneliti akan membahas mengenai gambaran subjek penelitian, deskripsi data dan hasil uji hipotesis. Bab 5 : Kesimpulan, Diskusi, dan Saran Pada bab ini, peneliti akan merangkum keseluruhan isi penelitian dan menyimpulkan hasil penelitian. Dalam bab ini juga akan dimuat diskusi dan saran. Daftar Pustaka Lampiran-lampiran BAB 2 KAJIAN PUSTAKA

2.1. Perilaku Merokok

2.1.1. Definisi Perilaku Merokok

Walgito 2002 mendefinisikan perilaku atau aktivitas-aktivitas individu dalam pengertian luas, yaitu perilaku yang nampak overt behavior dan perilaku yang tidak menampak inner behavior demikian pula aktivitas-aktivitas tersebut disamping motorik juga termasuk aktivitas emosional dan kognitif. Sebagaimana diketahui perilaku atau aktivitas yang ada pada individu atau organisme itu tidak timbul dengan sendirinya, tetapi sebagai akibat dari stimulus yang diterima oleh organisme yang bersangkutan, baik stimulus eksternal maupun stimulus internal. Namun, sebagian besar dari perilaku organisme itu merupakan respons terhadap stimulus eksternal Walgito, 2002. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa perilaku dalam penelitian ini adalah reaksi individu yang diwujudkan dengan tindakan atau aktivitas terhadap suatu rangsangan tertentu. Dalam hal ini rangsangan tersebut adalah rokok. Rokok adalah hasil olahan tembakau yang terbungkus, yang mengandung nikotin dan tar dan atau tanpa bahan tambahan Sitepoe, 2000. Biasanya rokok berbentuk silinder yang panjangnya antara 70 hingga 120 mm dengan diameter sekitar 10 mm yang berisi daun-daun tembakau yang telah dicacah. Rokok digunakan dengan cara membakar agar asapnya dapat dihirup lewat mulut pada ujung lain. Menurut Sitepoe 2000 merokok adalah membakar tembakau yang kemudian dihisap asapnya, baik dengan menggunakan rokok maupun pipa. Asap yang dihisap melalui mulut disebut mainstream smoke, sedangkan asap rokok yang terbentuk pada ujung rokok yang terbakar serta asap rokok yang dihembuskan ke udara oleh perokok disebut sidestream smoke. Sidestream smoke atau asap sidestream mengakibatkan seseorang menjadi perokok pasif. Selain itu, Sari dkk 2003 juga memberikan definisi yang serupa, mereka menyebutkan bahwa perilaku merokok adalah aktivitas menghisap atau menghirup asap rokok dengan menggunakan pipa atau rokok. Jadi, perilaku merokok adalah aktivitas membakar tembakau dan dibiarkan membara agar asapnya dapat dihirup lewat mulut, baik dengan menggunakan rokok maupun pipa.

2.1.2. Dampak Perilaku Merokok

Menurut Wijaya 2011 dampak buruk rokok terhadap kesehatan pertama kali ditemukan pada tahun 1951, sejak itu banyak penelitian yang membuktikannya. Dampak rokok terhadap kesehatan sering disebut sebagai „silent killer‟ karena timbul secara perlahan dan dalam tempo yang relatif lama, tidak langsung dan tidak nampak secara nyata. Kebiasaan merokok merupakan salah satu faktor resiko bagi banyak penyakit tidak menular yang berbahaya. Merokok juga dapat mengurangi separuh usia hidup penggunanya dan 50 dari kematian tersebut terjadi pada usia 30-69 tahun. Sedangkan Odgen dalam Nasution, 2007 membagi dampak perilaku merokok menjadi dua, yaitu ; 1. Dampak positif Merokok menimbulkan dampak positif yang sangat sedikit bagi kesehatan. Para perokok tersebut menyatakan bahwa merokok dapat menghasilkan mood positif dan dapat membantu individu menghadapai keadaan-keadaan yang sulit. Smet dalam Nasution, 2007 menyebutkan keuntungan dari merokok terutama bagi perokok yaitu dapat mengurangi ketegangan, meningkatkan konsentrasi dan rasanya menyenangkan. 2. Dampak negatif Merokok dapat menimbulkan berbagai dampak negatif yang sangat berpengaruh bagi kesehatan. Merokok bukanlah penyebab suatu penyakit, tetapi dapat memicu suatu jenis penyakit yang dapat mengakibatkan kematian. Menurut Sitepoe 2001, berbagai jenis penyakit yang dapat dipicu karena merokok, antara lain : penyakit kardiolovaskular, neoplasma kanker, saluran pernafasan, peningkatan tekanan darah, penurunan vertilitas kesuburan, sakit mag, gangguan pembuluh darah, ambliyopia penglihatan kabur, kulit mejnjadi kering, pucat dan keriput, serta polusi udara dalam ruangan sehingga terjadi iritasi mata, hidung dan tenggorokkan. Selain itu, Komalasari Helmi 2000 juga mengatakan bahwa perilaku merokok dilihat dari berbagai sudut pandang sangat merugikan, baik untuk dirinya sendiri maupun orang disekelilingnya. Dilihat dari sisi individu yang bersangkutan, ada beberapa riset yang mendukung pernyataan tersebut. Dilihat dari sisi kesehatan, pengaruh bahan-bahan kimia yang dikandung rokok seperti nikotin, CO Karbonmonoksida dan tar akan memacu kerja dari susunan syaraf pusat dan susunan syaraf simpatis sehingga mengakibatkan tekanan darah meningkat dan detak jantung bertambah cepat, menstimulasi kanker dan berbagai penyakit lain seperti penyempitan pembuluh darah, tekanan darah tinggi, jantung, paru-paru dan bronchitis kronis. Bagi ibu hamil, rokok dapat menyebabkan kelahiran premature, berat badan bayi rendah, mortalitas prenatal, kemungkinan lahir dalam keadaan cacat dan mengalami gangguan dalam perkembangan. Sedangkan jika dilihat dari sisi orang disekelilingnya, merokok menimbulkan dampak negatif bagi perokok pasif. Resiko yang ditanggung perokok pasif lebih berbahaya daripada perokok aktif karena daya tahan terhadap zat-zat yang berbahaya sangat rendah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perilaku merokok lebih banyak menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan diri perokok sendiri maupun bagi orang di sekeliling perokok tersebut.

2.1.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Merokok

Finaliasari 2003 mengatakan bahwa zat yang terkandung dalam rokok itu sangat berbahaya bagi kesehatan tubuh manusia, namun pada kenyataannya banyak individu yang memilih menjadi perokok. Beberapa faktor yang menjadi penyebab perilaku merokok dikalangan remaja menurut Mu‟tadin 2002 adalah sebagai berikut: 1. Pengaruh Orang Tua Salah satu temuan tentang remaja perokok adalah bahwa anak-anak muda yang berasal dari rumah tangga yang tidak bahagia, dimana orang tua tidak begitu memperhatikan anak-anaknya dan memberikan hukuman fisik yang keras lebih mudah untuk menjadi perokok dibanding anak-anak muda yang berasal dari lingkungan rumah tangga yang bahagia. Perilaku merokok juga lebih banyak didapati pada mereka yang tinggal dengan satu orang tua single parent. Remaja akan lebih cepat berperilaku sebagai perokok bila ibu mereka merokok daripada ayah yang merokok, hal ini lebih terlihat pada remaja putri. 2. Pengaruh Teman Berbagai fakta mengungkapkan bahwa semakin banyak remaja merokok maka semakin besar kemungkinan teman-temannya adalah perokok juga dan demikian sebaliknya. Bachri dalam Mu‟tadin, 2002 mengungkapkan bahwa di antara remaja perokok terdapat 87 yang mempunyai sekurang- kurangnya satu atau lebih sahabat yang perokok. 3. Faktor Kepribadian Faktor kepribadian yang membuat individu mencoba untuk merokok adalah karena rasa ingin tahu atau ingin melepaskan diri dari rasa sakit fisik atau jiwa, dan membebaskan diri dari kebosanan. Namun, satu sifat kepribadian yang bersifat prediktif pada pengguna obat-obatan termasuk rokok ialah konformitas sosial. Orang yang memiliki skor tinggi pada berbagai tes konformitas sosial lebih mudah menjadi perokok dibandingkan dengan mereka yang memiliki skor yang rendah. 4. Pengaruh Iklan Menurut Juniarti dalam Mu‟tadin, 2002 melihat iklan di media massa dan elektronik yang menampilkan gambaran bahwa perokok adalah lambang kejantanan atau glamour, membuat remaja seringkali terpicu untuk mengikuti perilaku seperti yang ada dalam iklan tersebut. Sedangkan menurut Maman 2009 beberapa faktor yang berperan dalam perilaku merokok pada remaja, antara lain : 1. Faktor Individu Perilaku merokok pada remaja juga dapat timbul karena pengaruh emosi yang menyebabkan seorang individu mencari relaksasi. Saat ini para remaja menghadapi berbagai tuntutan, harapan, resiko-resiko, dan godaan- godaan yang nampaknya lebih banyak dan kompleks daripada yang dihadapi para remaja generasi sebelumnya. Semua ini sangat berpotensi menyebabkan remaja merasa tertekan dan stress. Remaja yang mengalami stress ini sangat mungkin mengembangkan perilaku merokok sebagai suatu cara untuk mengatasi stress yang mereka hadapi karena kurangnya perkembangan keterampilan menghadapi masalah secara kompeten dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab. Individu dengan dimensi kepribadian tertentu juga dapat menyebabkan mereka lebih sering mengalami distres pribadi sehingga lebih mungkin untuk berperilaku merokok. Seperti, dimensi kepribadian neuroticism kecenderungan umum untuk mengalami perasaan negatif dan stress yang ternyata berhubungan dengan tingginya prevalensi perilaku merokok. 2. Faktor Lingkungan Bandura dalam teori social learning berasumsi bahwa perilaku dan sistem nilai seorang remaja terbentuk oleh sekumpulan interaksi yang kompleks antara hubungan-hubungan sosial interpersonal. Menurut Jessor dalam Maman, 2009 perilaku bermasalah pada remaja, termasuk merokok, merupakan hasil interaksi antara variabel interpersonal seperti kepribadian, sikap, dan perilaku, dengan sistem lingkungan, termasuk lingkungan keluarga dan teman sebaya. 3. Faktor Demografis Beberapa faktor demografis yang berhubungan dengan perilaku merokok adalah usia, jenis kelamin, ras dan etnis, serta tingkat sosial ekonomi. Status sosial ekonomi yang terdiri dari tingkat pekerjaan, pendidikan dan penghasilan juga mempunyai hubungan yang cukup signifikan dengan perilaku merokok. Dalam sebuah penelitian di Finlandia Timur, ditemukan bahwa status sosial ekonomi khususnya tingkat pendidikan mempunyai keterhubungan yang kuat dengan perilaku merokok. Seperti hasil penelitian Rachiotis dkk 2008 dalam penelitian lain menemukan bahwa usia yang semakin tua, jenis kelamin pria dan tingkat pendidikan orang tua yang semakin rendah berhubungan secara signifikan dengan perilaku merokok saat ini. Selain itu, Hansen dalam Nasution, 2007 juga mengungkapkan beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku merokok, diantaranya yaitu : 1. Faktor Lingkungan Sosial Lingkungan sosial berpengaruh terhadap sikap, kepercayaan, dan perhatian individu pada perokok. Seseorang akan berperilaku dengan cara memperhatikan lingkungan sosialnya, seperti teman sebaya, orang tua, saudara-saudara dan media. 2. Faktor Demografis Faktor ini meliputi umur dan jenis kelamin. Orang yang merokok pada usia dewasa semakin banyak, akan tetapi pengaruh jenis kelamin sudah tidak terlalu berperan karena sekarang ini baik laki-laki maupun perempuan sudah merokok. 3. Faktor Sosio-Kultural Kebiasaan budaya, kelas sosial, tingkat pendidikan, penghasilan, dan gengsi pekerjaan akan mempengaruhi perilaku individu. Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi perilaku merokok remaja, faktor-faktor tersebut antara lain : faktor kepribadian, faktor lingkungan seperti pengaruh orang tua, teman, dan iklan, usia, jenis kelamin, kelas sosial, tingkat pendidikan dan lain-lain.

2.1.4. Tahapan Perilaku Merokok

Menurut Leventhal dan Clearly dalam Deasy Kartasamita, 2007 terdapat beberapa tahapan seseorang menjadi perokok tetap. Pertama, tahap persiapan., yaitu sebelum seseorang mencoba rokok, melibatkan perkembangan perilaku, intensi tentang merokok, dan bayangan tentang seperti apa rokok itu. Kedua, tahap inisiasi initiation. Reaksi tubuh saat seseorang mencoba rokok pertama kali berupa batuk dan berkeringat. Namun demikian, hal ini sebagian besar diabaikan dan semakin mendorong perilaku adaptasi terhadap rokok. Ketiga, tahap menjadi perokok. Tahap ini melibatkan suatu proses concept formation, yaitu seseorang belajar kapan dan bagaimana merokok serta memasukkan aturan perokok ke dalam konsep dirinya. Terakhir, perokok tetap. Tahap ini terjadi saat faktor psikologi dan mekanisme biologis bergabung, dan semakin mendorong perilaku merokok. Selain itu, Komalasari Helmi 2000 juga menyebutkan bahwa terdapat 4 tahap dalam perilaku merokok sehingga menjadi perokok, yaitu : 1. Tahap Preparatory. Seseorang mendapatkan gambaran yang menyenangkan mengenai merokok dengan cara mendengar, melihat atau dari hasil bacaan. Hal-hal ini menimbulkan minat untuk merokok. 2. Tahap Initiation. Tahap perintisan merokok yaitu tahap apakah seseorang akan meneruskan ataukah tidak terhadap perilaku merokok. 3. Tahap becoming a smoker. Apabila seseorang telah mengkonsumsi rokok sebanyak 4 batang per hari maka mempunyai kecenderungan menjadi perokok. 4. Tahap maintenance of smoking. Pada tahap ini merokok sudah menjadi salah satu bagian dari cara pengaturan diri self-regulating. Merokok dilakukan untuk memperoleh efek fisiologis yang menyenangkan. Sedangkan menurut Wang dalam Finaliasari, 2003 individu yang menjadi perokok tidak begitu saja menjadi terbiasa untuk merokok. Mereka mengalami beberapa tahap hingga mereka menjadi perokok aktif. Pada awalnya mereka berada pada tahap preparation dimana mereka belum pernah mencoba untuk merokok. Meningkat ke tahap initiation, mereka mencoba menghisap rokoknya yang pertama. Pada tahap eksperimentation, mereka terus menerus mencoba untuk merokok hingga mereka berada pada tahap habituation, dimana mereka menjadi perokok aktif. Pada akhirnya mereka akan mencapai tahap maintenance yaitu tahap perokok menjadi kecanduan merokok. Tahap akhir ini tampaknya menjadi tahap yang paling membahayakan bagi para perokok karena bila mencapai tahap ini, besar risiko baginya untuk terkena penyakit akibat rokok. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wang dalam Finalisari, 2003 menemukan bahwa dari 1420 responden yang tidak merokok terdapat sekitar 361 responden yang menjadi experimental smokers dan sekitar 111 responden yang menjadi regular smoker dalam jangka waktu 3 tahun. Akan tetapi, pada kenyataannya setiap individu bisa menjadi perokok aktif dalam waktu yang berbeda-beda.

2.1.5. Tipe Perilaku Merokok

Menurut Tomkins dalam Mu‟tadin, 2002, ada empat tipe perilaku merokok berdasarkan Management of affect theory, yaitu : 1 Tipe perokok yang dipengaruhi oleh perasaan positif positive affect smokers, dengan merokok seseorang merasakan penambahan rasa yang positif. Green dalam Mu,tadin, 2002 menambahkan ada tiga sub tipe ini, antara lain : a. Pleasure relaxation, perilaku merokok hanya untuk menambah atau meningkatkan kenikmatan yang sudah didapat, misalnya merokok setelah minum kopi atau makan. b. Simulation to pick them up, perilaku merokok hanya dilakukan sekedarnya untuk menyenangkan perasaan. c. Pleasure of handling the cigarette, kenikmatan yang diperoleh dengan memegang rokok dan biasanya sangat spesifik pada perokok pipa. Perokok pipa akan menghabiskan waktu untuk mengisi pipa dengan tembakau sedangkan untuk menghisapnya hanya dibutuhkan waktu beberapa menit saja, atau perokok lebih senang berlama-lama untuk memainkan rokoknya dengan jari-jarinya sebelum ia nyalakan dengan api. 2 Perilaku merokok yang dipengaruhi oleh perasaan negatif negative affect smokers. Banyak orang yang menggunakan rokok untuk mengurangi perasaan negatif, misalnya ketika individu tersebut merasa marah, cemas atau gelisah, mereka cenderung menganggap rokok sebagai penyelamat. Mereka menggunakan rokok ketika perasaan tidak enak terjadi, sehingga mereka dapat terhindar dari perasaan yang lebih tidak enak 3 Perilaku merokok yang adiktif addictive smokers. Oleh Green dalam Mu‟tadin, 2002 disebut sebagai psychological addiction. Mereka yang sudah adiksi, akan menambah dosis rokok yang digunakan setiap saat setelah efek dari rokok yang dihisapnya berkurang. Mereka umumnya akan pergi keluar rumah untuk membeli rokok, walau tengah malam sekalipun, karena khawatir rokok tidak tersedia saat ia menginginkannya. 4 Perilaku merokok yang sudah menjadi kebiasaan pure habits smokers. Mereka menggunakan rokok sama sekali bukan karena untuk mengendalikan perasaan mereka, tetapi karena benar-benar sudah menjadi kebiasaan yang rutin. Dapat dikatakan pada orang-orang tipe ini, merokok sudah merupakan suatu perilaku yang bersifat otomatis, seringkali tanpa dipikirkan dan tanpa disadari.

2.1.6. Keterkaitan antara Perilaku Merokok dan Kepribadian

Salah satu faktor yang berhubungan dengan terjadinya perilaku merokok adalah kepribadian. Diperkirakan, individu yang merokok kebanyakan adalah individu dengan kepribadian yang cenderung risk taking behavior. Hal ini karena perilaku merokok merupakan salah satu risk taking behavior dengan menggunakan zat-zat tertentu substance risk taking behavior. Merokok dengan zat yang terkandung di dalamnya jelas dapat membahayakan kesehatan tubuh dari pemakainya Finaliasari, 2003. Dari beberapa penelitian yang telah ada, ditemukan adanya hubungan antara personality traits dengan perilaku merokok. Seperti yang dikemukakan oleh Booth-Kewley Vickers dalam Finaliasari, 2003 bahwa setidaknya ada satu dimensi dari kepribadian yang berkaitan dengan perilaku substance risk taking yang muncul dalam perilaku merokok. Dari penelitian mereka, hasilya adalah beberapa aspek dari kepribadian salah satunya extraversion berhubungan dengan substance risk taking behavior perilaku merokok.

2.2. Kepribadian

2.2.1. Definisi Kepribadian

Kata kepribadian berasal dari kata personality bahasa inggris yang berasal dari kata persona bahasa latin yang berarti kedok atau topeng. Yaitu tutup muka yang sering dipakai oleh pemain-pemain panggung untuk menggambarkan perilaku, watak atau pribadi seseorang. Hal itu dilakukan oleh karena terdapat ciri- ciri khas yang hanya dimiliki oleh seseorang tersebut baik dalam arti kepribadian yang yang baik, ataupun yang kurang baik Sujanto dkk, 2008. Kepribadian merupakan bagian yang khas dari setiap individu. Hal ini yang membedakan antara satu individu dengan individu lainnya. Definisi kepribadian menurut Allport dalam Suryabrata, 2008 adalah organisasi dinamis dalam individu sebagai sistem psikofisis yang menentukan caranya yang khas dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Allport dalam Sujanto dkk, 2008 juga mengatakan bahwa kepribadian terletak di belakang perbuatan-perbuatan khusus dan di dalam individu. Dari apa yang telah dikemukakan, maka dapat dikatakan bahwa kepribadian adalah sesuatu yang khas dan unik jadi setiap orang pasti memiliki kepribadian yang berbeda dan kepribadian adalah sesuatu yang mempunyai fungsi atau arti adaptasi dan menentukan. Kemudian, Cattel dalam Engler, 2009 memberi definisi mengenai kepribadian dengan sangat umum yaitu kepribadian adalah suatu prediksi mengenai apa yang akan dilakukan oleh seseorang dalam berbagai situasi yang terjadi padanya. Jadi persoalan mengenai kepribadian adalah persoalan mengenai segala aktivitas individu, baik yang tampak maupun tidak tampak Suryabrata, 2008. Sedangkan menurut Pervin dkk 2005 kepribadian mewakili karakteristik individu yang terdiri dari pola-pola pikiran, perasaan dan perilaku yang konsisten. Definisi tersebut memiliki arti agar kita fokus pada banyak aspek yang berbeda pada setiap orang. Namun, hal tersebut juga menganjurkan kita untuk konsisten pada pola tingkah laku dan kualitas dalam diri orang tersebut yang diukur secara teratur. Maka dapat disimpulkan bahwa kepribadian adalah ciri atau karakter yang ada pada individu secara konsisten baik itu tampak ataupun tidak tampak yang membedakannya antara satu orang dengan orang lainnya. Definisi kepribadian yang digunakan dalam penelitian ini adalah definisi kepribadian yang dikemukakan oleh Allport Suryabrata, 2008 dalam, yaitu organisasi dinamis dalam individu sebagai system psikofisis yang menentukan caranya yang khas dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan.

2.2.2. Faktor-faktor yang membentuk Kepribadian

Menurut Alfin 2010 secara umum, perkembangan kepribadian dipengaruhi oleh lima faktor, yaitu : a. Warisan Biologis Heredity Warisan biologis mempengaruhi kehidupan manusia dan setiap manusia mempunyai warisan biologis yang unik, berbeda dari orang lain. Artinya tidak ada seorang pun di dunia ini yang mempunyai karakteristik fisik yang sama persis dengan orang lain, bahkan anak kembar sekalipun. Warisan biologis yang terpenting terletak pada perbedaan intelegensi dan kematangan biologis. Keadaan ini membawa pengaruh pada kepribadian seseorang. b. Warisan Lingkungan Alam Natural Environment Perbedaan iklim, topografi, dan sumber daya alam menyebabkan manusia harus menyesuaikan diri terhadap alam. Melalui penyesuaian diri itu, dengan sendirinya pola perilaku masyarakat dan kebudayaannyapun dipengaruhi oleh alam. Misalnya orang yang hidup di pinggir pantai dengan mata pencaharian sebagai nelayan mempunyai kepribadian yang berbeda dengan orang yang tinggal di daerah pertanian. Mereka memiliki nada bicara yang lebih keras daripada orang-orang yang tinggal di daerah pertanian, karena harus menyamai dengan debur suara ombak. Hal itu terbawa dalam kehidupan sehari-hari dan telah menjadi kepribadiannya. c. Warisan Sosial Social Heritage atau Kebudayaan Kita tahu bahwa antara manusia, alam, dan kebudayaan mempunyai hubungan yang sangat erat dan saling memengaruhi. Manusia berusaha untuk mengubah alam agar sesuai dengan kebudayaannya guna memenuhi kebutuhan hidup. Misalnya manusia membuka hutan untuk dijadikan lahan pertanian. Sementara itu kebudayaan memberikan andil yang besar dalam memberikan warna kepribadian anggota masyarakatnya. d. Pengalaman Kelompok Manusia Group Experiences Kehidupan manusia dipengaruhi oleh kelompoknya. Kelompok manusia, sadar atau tidak telah memengaruhi anggota-anggotanya, dan para anggotanya menyesuaikan diri terhadap kelompoknya. Setiap kelompok mewariskan pengalaman khas yang tidak diberikan oleh kelompok lain kepada anggotanya, sehingga timbullah kepribadian khas anggota masyarakat tersebut. e. Pengalaman Unik Unique Experience Setiap orang mempunyai kepribadian yang berbeda dengan orang lain, walaupun orang itu berasal dari keluarga yang sama, dibesarkan dalam kebudayaan yang sama, serta mempunyai lingkungan fisik yang sama pula. Mengapa demikian? Walaupun mereka pernah mendapatkan pengalaman yang serupa dalam beberapa hal, namun berbeda dalam beberapa hal lainnya. Mengingat pengalaman setiap orang adalah unik dan tidak ada pengalaman siapapun yang secara sempurna menyamainya. Mengenai pengalaman-pengalaman yang ikut membentuk kepribadian, kita dapat membedakannya dalam dua golongan Setiawan, 2011 : 1. Pengalaman yang umum, yaitu yang dialami oleh tiap-tiap individu dalam kebudayaan tertentu. Pengalaman ini erat hubungannya dengan fungsi dan peranan seseorang dalam masyarakat. Meskipun demikian, kepribadian seseorang tidak dapat sepenuhnya diramalkan atau dikenali hanya berdasarkan pengetahuan tentang struktur kebudayaan dimana orang itu hidup. Hal ini dikarenakan : a. Pengaruh kebudayaan terhadap seseorang tidaklah sama karena medianya orang tua, saudara, media massa dan lain-lain tidaklah sama pula pada setiap orang. b. Tiap individu mempunyai pengalaman-pengalaman yang khusus, yang terjadi pada dirinya sendiri. 2. Pengalaman yang khusus, yaitu yang khusus dialami individu sendiri. Pengalaman ini tidak bergantung pada status dan peran orang yang bersangkutan dalam masyarakat. Pengalaman-pengalaman yang umum maupun yang khusus di atas memberi pengaruh yang berbeda-beda pada tiap individu-individu itu pun merencanakan pengalaman-pengalaman tersebut secara berbeda-beda pula sampai akhirnya ia membentuk dalam dirinya suatu stuktur kepribadian yang tetap permanen. Proses integrasi pengalaman-pengalaman ke dalam kepribadian yang makin lama makin dewasa, disebut proses pembentukan identitas diri

2.2.3. Perkembangan Kepribadian

Menurut Allport dalam Suryabrata, 2007 individu itu dari lahir mengalami perubahan-perubahan yang penting. Perkembangan kepribadian yang terjadi menurutnya adalah : a. Kanak-kanak Allport memandang neonatus itu semata-mata sebagai makhluk yang dilengkapi dengan keturunan-keturunan, dorongan-dorongannafsu-nafsu dan refleks-refleks. Jadi belum memiliki bermacam-macam sifat yang kemudian dimilikinya. Dengan kata lain belum memiliki kepribadian. Pada waktu lahir ini anak telah mempunyai potensi-potensi baik fisik maupun tempramen, yang aktualisasinya tergantung kepada perkembangan dan kematangan. Dalam masa ini anak itu merupakan makhluk yang punya tegangan-tegangan dan perasaan nyaman tak nyaman. Jadi pada masa ini keterangan yang biologis yang bersandar pada pentingnya hadiah atau hukum efek atau prinsip kesenangan adalah sangat cocok. Berarti dengan didorong oleh kebutuhan untuk mengurangi ketidaknyamanan sampai minimal dan mencari kenyamanan sampai maksimal anak itu berkembang. Pertumbuhan itu bagi Allport merupakan proses diferensiasi dan integrasi yang berlangsung terus menerus. Allport menyimpulkan, bahwa setidak-tidaknya pada bagian kedua tahun pertama anak telah menunjukkan dengan pasti sifat-sifat yang khas Suryabrata, 2007. b. Orang dewasa Pada orang dewasa faktor-faktor yang menentukan tingkah laku adalah sifat-sifat traits yang terorganisasikan dengan selaras. Sifat-sifat ini timbul dalam berbagai cara dari perlengkapan-perlengkapan yang dimiliki neonatus. Bagaimana jalan perkembangan ini yang sebenarnya bagi Allport tidaklah penting; yang penting ialah yang ada kini. Sampai batas- batas tertentu berfungsinya sifat-sifat itu disadari dan rasional. Biasanya individu yang normal mengerti atau menyadari apa yang dikerjakannya dan mengapa itu dikerjakannya, untuk memahami manusia dewasa tidak dapat dilakukan tanpa mengerti tujuan-tujuan serta aspirasi-aspirasinya. Motif-motif itu terutama tidak berasal dari masa lampau tetapi bersandar pada masa depan. Pada umumnya orang dapat lebih tahu apa yang akan hendak dikerjakan seseorang, kalau dia tahu rencana-rencana yang disadarinya daripada ingatan-ingatan yang tertentu Suryabrata, 2007.

2.2.4. Teori-teori Kepribadian

Terdapat empat teori kepribadian utama yang satu sama lain berbeda Setiawan, 2011 antara lain : 1. Teori Kepribadian Psikoanalisis Dalam mencoba memahami sistem kepribadian manusia, Freud membangun model kepribadian yang saling berhubungan dan menimbulkan ketegangan satu sama lain. Konflik dasar dari tiga sistem kepribadian tersebut menciptakan energi psikis individu. Energi dasar ini menjadi kebutuhan instink individu yang menuntut pemuasan. Tiga sistem tersebut adalah : id, ego, dan superego. Id bekerja menggunakan prinsip kesenangan, mencari pemuasan segera impuls biologis; ego mematuhi prinsip realita, menunda pemuasan sampai bisa dicapai dengan cara yang diterima masyarakat, dan superego hati nurani;suara hati memiliki standar moral pada individu. Jadi jelaslah bahwa dalam teori psikoanalisis Freud, ego harus menghadapi konflik antara id yang berisi naluri seksual dan agresif yang selalu minta disalurkan dan super ego yang berisi larangan yang menghambat naluri- naluri itu . Selanjutnya ego masih harus mempertimbangkan realitas di dunia luar sebelum menampilkan perilaku tertentu. 2. Teori-Teori Sifat Trait Theories Teori sifat ini dikenal sebagai teori-teori tipe type theories yang menekankan aspek kepribadian yang bersifat relatif stabil atau menetap. Tepatnya, teori-teori ini menyatakan bahwa manusia memiliki sifat atau sifat-sifat tertentu, yakni pola kecenderungan untuk bertingkah laku dengan cara tertentu. Sifat-sifat yang stabil ini menyebabkan manusia bertingkah laku relatif tetap dari situasi ke situasi. 3. Teori Kepribadian Behaviorisme Menurut Skinner, individu adalah organisme yang memperoleh perbendaharaan tingkah lakunya melalui belajar. Dia bukanlah agen penyebab tingkah laku, melainkan tempat kedudukan atau suatu poin yang faktor-faktor lingkungan dan bawaan yang khas secara bersama-sama menghasilkan akibat tingkah laku yang khas pula pada individu tersebut. Bagi Skinner, studi mengenai kepribadian itu ditujukan pada penemuan pola yang khas dari kaitan antara tingkah laku organisme dan berbagai konsekuensi yang diperkuatnya. 4. Teori Psikologi Kognitif Pandangan teori kognitif menyatakan bahwa organisasi kepribadian manusia tidak lain adalah elemen-elemen kesadaran yang satu sama lain saling terkait dalam lapangan kesadaran kognisi. Dalam teori ini, unsur psikis dan fisik tidak dipisahkan lagi, karena keduanya termasuk dalam kognisi manusia. Bahkan, dengan teori ini dimungkinkan juga faktor- faktor diluar diri dimasukkan diwakili dalam lapangan psikologis atau lapangan kesadaran seseorang.

2.2.5. Pendekatan Trait dalam Kepribadian

Ada beberapa pendekatan yang dikemukakan oleh para ahli untuk memahami kepribadian. Salah satu pendekatan yang digunakan adalah teori trait. Teori trait merupakan sebuah model untuk mengidentifikasi trait-trait dasar yang diperlukan untuk menggambarkan suatu kepribadian Mastuti, 2005. Fieldman dalam Mastuti, 2005 mendefinisikan trait sebagai suatu dimensi yang menetap dari karakteristik kepribadian, hal tersebut yang membedakan individu dengan individu yang lain. Allport dalam Engler, 2009 mengatakan trait adalah struktur yang jujur dan dapat dipercaya dalam diri individu yang mempengaruhi tingkah laku, trait bukanlah label sederhana yang kita gunakan untuk menjelaskan atau mengklasifikasikan tingkah laku dan mendefinisikan trait sebagai kecenderungan menentukan atau predisposisi untuk merespon situasi yang terjadi dalam berbagai cara. Trait bersifat konsisten dan abadi, trait dihitung untuk konsistensinya dalam tingkah laku manusia. Trait, sama seperti kepribadian pada dasarnya tidak dapat di observasi. Pada saat ini, peneliti kepribadian hanya dapat mengukur trait secara empiris. Kemudian menurut Cattel dalam Suryabrata, 2008, trait adalah suatu “struktur mental”, suatu kesimpulan yang diambil dari tingkah laku yang dapat diamati, untuk menunjukkan keajegan dan ketetapan dalam tingkah laku itu. Menurut Feist Feist 2009 kepribadian personality adalah sebuah pola dari sifat yang relative menetap dan karakteristik unik, dimana memberikan konsistensi dan individualitas pada perilaku seseorang. Sedangkan sifat trait menunjukan perbedaan individual dalam berperilaku, perilaku yang konsistensi sepanjang waktu, dan stabilitas perilaku dalam berbagai situasi.Tingkat trait kepribadian dasar berubah dari masa remaja akhir hingga masa dewasa. McCrae dan Costa dalam Feist Feist, 2009 yakin bahwa selama periode dari usia 18 sampai 30 tahun, orang sedang berada dalam proses mengadopsi konfigurasi trait yang stabil, konfigurasi yang tetap stabil setelah usia 30 tahun. Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa trait merupakan suatu hal yang membedakan individu yang satu dengan individu yang lain dalam berperilaku, yang relatif menetap dan konsisten serta memiliki keunikan yang khas.

2.2.6. Kepribadian Big Five

Dimulai pada tahun 1960 dan semakin meningkat pada tahun 1980, 1990, dan 2000. Tokoh pelopornya adalah Allport dan Cattell dalam Friedman Schustack, 2008. Kepribadian big five adalah suatu pendekatan yang digunakan dalam psikologi untuk melihat kepribadian manusia melalui trait yang tersusun dalam lima buah dimensi kepribadian yang telah dibentuk dengan menggunakan analisis faktor. Lima dimensi trait kepribadian tersebut adalah neuoriticism, extraversion, agreeableness, openness dan conscientiousness Friedman Schustack, 2008. Big five merupakan model hirearki dari sturktur trait kepribadian. McCrae dan Costa dalam Feist Feist, 2009 mendefinisikan trait kepribadian sebagai dimensi dari perbedaan individual yang cenderung menunjukkan pola pikiran, perasaan, dan perbuatan yang konsisten. Ketika mendeskripsikan individu dengan trait “baik” ini berarti bahwa individu tersebut cenderung berbuat baik setiap waktu dan pada setiap situasi. Definisi yang luas ini menyatakan bahwa traits dapat dibagi menjadi tiga fungsi utama: traits dapat digunakan untuk meringkas, memprediksi dan menjelaskan tingkah laku seseorang, sehingga salah satu alasan terkenalnya konsep traits adalah bahwa traits menyediakan jalan yang ekonomis untuk meringkas bagaimana seseorang dapat berbeda dengan yang lainnya. Traits memperkenankan seseorang untuk membuat prediksi mengenai perilaku seseorang selanjutnya. Penelitian yang lebih baru dan meta-analisis penelitian sebelumnya, menunjukkan bahwa perubahan terjadi di lima karakter pada berbagai titik dalam rentang kehidupan. Penelitian menunjukkan bukti untuk efek pendewasaan, rata- rata tingkat agreebleness dan conscientiousness biasanya meningkat dengan waktu, sedangkan extraversion, neuroticism dan openess cenderung menurun. Disamping efek kelompok ini, terdapat perbedaan-perbedaan individual: demostrate unik orang yang berbeda pola-pola perubahan pada semua tahap kehidupan Pervin dkk, 2005.

2.2.7. Dimensi Kepribadian Big Five

Dimensi-dimensi dari kepribadian Big Five Costa McCrae dalam Feist Feist, 2009 adalah sebagai berikut : 1. Extraversion E Extraversion juga sering disebut dengan surgency. Individu dengan skor tinggi pada dimensi extraversion E cenderung penuh dengan kasih sayang, periang, banyak bicara, suka berkumpul, dan menyukai kesenangan. Selain itu, individu tersebut akan mengingat seluruh interaksi sosial, berinteraksi dengan lebih banyak orang jika dibandingkan dengan individu yang memiliki skor E rendah. Dimensi extraversion dicirikan dengan kecenderungan yang positif seperti memiliki antusiasme tinggi, mudah bergaul, energik, tertarik dengan banyak hal, mempunyai emosi positif, ambisius, workaholic serta ramah terhadap orang lain. Extraversion juga memiliki motivasi yang tinggi dalam bergaul, menjalin hubungan dengan sesama serta dominan dalam lingkungannya. Sebaliknya, individu dengan tingkat extraversion rendah lebih menyukai berdiam diri, tenang, pasif, dan kurang mampu mengungkapkan perasaannya. 2. Agreeableness A Dimensi agreeableness membedakan antara individu yang berhati lembut dengan yang tidak mengenal belas kasihan. Individu dengan skor yang lebih mengarah pada dimensi ini memiliki kecenderungan untuk memiliki kepercayaan yang penuh, dermawan, suka mengalah, penerima, dan baik hati. Dimensi A ini juga disebut dengan social adaptibility atau likability, yaitu mencirikan seseorang yang ramah, memiliki kepribadian yang selalu mengalah dan menghindari konflik. Sedangkan pada individu dengan tingkat agreeableness yang rendah, suka mencurigai, kikir, tidak ramah, mudah tersinggung, cenderung untuk lebih agresif dan mengkritik orang lain serta kurang kooperatif. 3. Conscientiousness C Conscientiouness digambarkan dengan individu yang patuh, terkontrol, teratur, ambisius, berfokus pada pencapaian, dan disiplin diri. Dimensi conscientiouness ini dapat juga disebut dengan dependability, impulse control dan will to achive. Secara umum, individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi ini adalah pekerja keras, cermat, tepat waktu, dan tekun. Sebaliknya, pada individu yang berskor rendah dalam dimensi ini cenderung tidak teratur, lalai, pemalas, dan tidak memiliki tujuan serta mudah menyerah ketika menemui kesulitan dalam tugas-tugasnya. 4. Neuroticism N Individu dengan skor tinggi pada dimensi neuroticism, memiliki kecenderungan untuk mengalami kecemasan, temperamental, mengasihani diri sendiri, sadar diri, emosional, dan rentan terhadap gangguan stress. Seseorang yang memiliki tingkat neuroticism yang rendah akan lebih gembira dan puas terhadap hidup jika dibandingkan dengan yang memiliki tingkat neuroticism tinggi, sedangkan individu dengan skor yang rendah pada N, biasanya tenang, bertemperamental datar, puas akan diri sendiri, dan tidak emosional. 5. Openness O Dimensi openness membedakan antara individu yang memilih variasi dibandingkan dengan individu yang menutup diri serta individu yang mendapatkan kenyamanan dalam hubungan mereka dengan hal-hal dan orang-orang yang mereka kenal. Individu yang terus menerus mencari perbedaan dan pengalaman yang bervariasi akan memiliki skor tinggi pada dimensi O. Openness mengacu pada bagaimana individu tersebut bersedia untuk melakukan penyesuaian terhadap suatu situasi dan ide yang baru. Individu tersebut memiliki ciri mudah bertoleransi, memiliki kapasitas dalam menyerap informasi, fokus dan mampu untuk waspada pada berbagai perasaan, pemikiran dan impulsivitas. Individu dengan tingkat openness yang rendah digambarkan sebagai pribadi yang berpikiran sempit, konservatif dan tidak menyukai adanya perubahan. Tabel 2.1 Dimensi Big Five dalam Pervin dkk 2005 Skor Tinggi Skala Dimensi Skor Rendah Mudah khawatir, gugup, emosional, merasa tidak aman, tidak mampu, mudah panik Neuroticism Tenang, rileks, tidak emosional, memiliki daya tahan terhadap stress, merasa aman, puas atas diri sendiri Suka bergaul, aktif, banyak bicara, orientasi pada orang lain, optimis, terbuka terhadap perasaannya, penuh kasih sayang Extraversion Suka menyendiri, sederhana, tidak berlebihan dalam kesenangan, menjauhkan diri, orientasi pada tugsa, pemalu, serius Memiliki rasa ingin tahu yang besar, minat yang luas, kreatif dan modern Openness Sederhana, minat yang menetap, tidak artistik, tidak analitis, rendah hati dan menjaga tradisi Bersifat lembut, baik hati, mudah percaya, penolong, pemaaf, penurut, jujur Agreebleness Suka mengejek, tidak sopan, curiga, kasar, tidak kooperatif, pendendam, cepat marah, suka memerintah dan manipulatif Orang yang suka mengatur, dapat diandalkan, pekerja keras, disiplin, rapi, ambisius dan tekun Conscientiousness Tidak memiliki tujuan, tidak bisa diandalkan, lalai, pemalas, tidak perhatian, ceroboh, memiliki kemauan yang lemah

2.2.8. Pengukuran Kepribadian Big Five

Ada berbagai alat ukur yang dikembangkan untuk mengukur kepribadian big five, diantaranya NEO-PI-R, CPI, 16 PF, Big Five factor Maker dan lain-lain Mastuti, 2005. Sedangkan menurut Pervin dkk 2005, terdapat dua instrumen untuk mengukur kepribadian big five , diantaranya ialah: 1. NEO-PI-R yang di kembangkan oleh Costa dan.McCrae 1992. 2. International Personality Item Pool NEO IPIP-NEO yang dibuat oleh Lewis Goldberg pada tahun 1992. Skala ini dibuat berdasarkan teori Big Five yang digunakan oleh Costa dan McCrae dalam membuat NEO PI-R. Skala ini terdiri dari 50 transparent bipolar adjective dan 100 unipolar adjective markers. Dari dua alat ukur yang dipaparkan di atas, peneliti akan menggunakan International Personality Item Pool NEO IPIP-NEO. Hal ini dikarenakan sesuai dengan teori yang peneliti gunakan pada penelitian ini dan IPIP-NEO juga sudah banyak digunakan dan teruji pada penelitian-penelitian terdahulu, serta aitem- aitem dalam IPIP telah dibandingkan dengan berbagai inventori kepribadian yang sudah baku dan mempunyai reliabilitas yang cukup baik.

2.3. Kerangka Berpikir

Perilaku merokok banyak dilakukan pada usia remaja. Masa remaja adalah masa peralihan dari usia kanak-kanak ke usia dewasa. Remaja sering berusaha memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa. Oleh karena itu, remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, yaitu merokok Hurlock, 1980. Perilaku merokok pada remaja umumnya dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah faktor kepribadian. Individu yang merokok kebanyakan adalah individu dengan kepribadian yang cenderung risk taking behavior dan lebih memungkinkan merupakan individu extrovert. Kepribadian risk taking behavior merupakan sifat yang unik dari individu dan relatif menetap pada diri individu. Menurut Adler, risk taking behavior adalah perilaku yang dilakukan individu dimana individu tersebut sudah mengetahui risiko yang akan dihadapi akibat perilakunya tetapi tetap melakukan perilaku tersebut. Para perokok yang mengetahui dan sadar bahwa rokok berbahaya bagi kesehatannya namun tetap mempertahankan perilaku merokoknya, maka perilaku mereka ini dapat digolongkan dalam risk taking behavior yang menggunakan zat-zat tertentu atau substance risk taking behavior Finaliasari, 2003. Sebuah laporan tentang kepribadian adiktif oleh The National Academy of Sciences menyimpulkan bahwa tidak ada kesatuan kepribadian tunggal yang unik yang menjadi kondisi yang diperlukan dan mencukupi untuk penggunaan zat, termasuk merokok. Dengan kata lain, sulit untuk mengatakan ada kepribadian adiktif secara khusus. Pada umumnya para ahli melihat kecenderungan ini berdasarkan hasil-hasil evaluasi psikologis, inventori-inventori maupun observasi Deasy Kartasasmita, 2007. Penelitian ini akan menggunakan pendekatan trait dalam kepribadian untuk melihat hubungan antara dimensi kepribadian big five dengan perilaku merokok pada remaja akhir. Kepribadian big five dapat diartikan sebagai pendekatan yang digunakan dalam psikologi untuk melihat kepribadian manusia melalui trait yang tersusun dalam lima buah dimensi kepribadian yang telah dibentuk dengan menggunakan analisis faktor. Lima dimensi kepribadian tersebut adalah neuoriticism, extraversion, agreeableness, openness dan conscientiousness. Dari kelima dimensi tersebut, akan diteliti dimensi manakah yang berhubungan baik secara positif atau negatif dengan perilaku merokok pada remaja akhir. Melalui kepribadian big five dari Costa dan McCrae, didapatkan suatu gambaran umum skor penyalahgunaan zat, termasuk merokok. Dimensi kepribadian neuroticism diperkirakan akan memiliki hubungan secara positif dengan perilaku merokok. Hal ini dikarenakan orang yang menunjukkan skor yang tinggi pada dimensi ini akan lebih emosional dan cenderung tidak stabil sehingga individu tersebut cenderung mungkin untuk merokok. Dimensi kepribadian extraversion diasumsikan akan memiliki hubungan secara positif dengan perilaku merokok. Hal ini dikarenakan orang dengan skor extraversion yang tinggi memiliki kecenderungan socially outgoing dan senang berkumpul dengan teman-temannya saat merokok. Dapat dilihat juga dalam fenomena perilaku kolektif dari perilaku merokoknya yaitu apabila dalam kelompok tersebut satu orang merokok maka yang lain akan merokok pula sehingga diperkirakan kecenderungan perilaku merokoknya juga tinggi. Pada remaja, sifat kerpibadian extrovert juga berkaitan dengan konformitas sosial yang merupakan sifat prediktif pengguna obat-obatan termasuk rokok. Untuk dimensi openness diasumsikan akan memiliki hubungan yang positif dengan perilaku merokok. Openness yang dimaksud dalah faktor kepribadian yang mengarah pada originalitas, kreativitas, independensi, dan senang tantangan. Orang yang memiliki skor yang tinggi pada dimensi ini cenderung merokok karena senang mencari sensasi dan berani mengambil resiko tanpa perhitungan yang matang. Sehingga diperkirakan perilaku merokoknya akan tinggi. Untuk agreeableness diasumsikan akan memiliki hubungan secara negatif dengan perilaku merokok. Hal ini dikarenakan orang dengan skor agreeableness yang rendah cenderung argumentatif, tidak kooperatif atau tidak simpatik sehingga diperkirakan akan lebih mungkin terlibat dalam perilaku merokok. Sedangkan untuk dimensi conscientiousness diasumsikan akan memiliki hubungan yang negatif dengan perilaku merokok. Conscientiousness yang dimaksud adalah kepribadian yang pekerja keras. Orang yang memiliki skor yang rendah pada dimensi ini, cenderungan kurang pertimbangan yang cermat mengenai konsekuensi dari perilaku mereka dan juga kurang memiliki ketekunan, sehingga diperkirakan perilaku merokoknya akan tinggi. Usia diasumsikan memiliki pengaruh secara negatif, yang berarti orang dengan usia yang lebih tinggi akan memiliki kecenderungan perilaku merokok yang rendah. Ini dikarenakan semakin matangnya usia, maka kemampuan dirinya untuk mengontrol diri akan menjadi lebih besar, dan lebih bisa menilai perilaku mana yang dapat membahayakan kesehatan dirinya dan mana yang tidak. Untuk tingkat pendidikan, dalam sebuah penelitian di Finlandia Timur dalam Maman, 2009 ditemukan bahwa status sosial ekonomi khususnya tingkat pendidikan mempunyai keterhubungan yang kuat dengan perilaku merokok. Sedangkan jenis kelamin diasumsikan memiliki hubungan dengan perilaku merokok. Telah banyak penelitian yang menyebutkan bahwa laki-laki lebih banyak merokok dibandingkan dengan perempuan. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Pritchard dan Torres 2005 mengenai karakteristik kepribadian sebagai prediktor perilaku kesehatan berisiko didapatkan hasil bahwa partisipasi yang lebih tinggi dalam perilaku merokok hanya terjadi pada laki-laki. Hal tersebut jika dihubungkan dengan agreeableness adalah karena laki-laki kurang menyenangkan dari pada perempuan, sehingga laki-laki harus terlibat dalam perilaku merokok lebih banyak daripada perempuan. Sebelumnya telah dilakukan penelitian yang serupa oleh Deasy dan Kartasamita 2003 mengenai hubungan antara kepribadian big five dan perilaku merokok dengan menggunakan sampel dewasa muda. Pada penelitian ini, peneliti mencoba meneliti hal yang sama dengan penelitian sebelumnya yaitu mengenai hubungan antara dimensi kepribadian big five dengan perilaku merokok, hanya saja penelitian ini menggunakan sampel remaja akhir yang berusia antara 17 sampai 21 tahun, dengan pertimbangan bahwa pada umumnya remaja sudah mulai merokok pada usia ini. Selain itu, pada masa remaja akhir, kepribadian yang terbentuk pada diri remaja tersebut juga sudah semakin stabil dari pada saat remaja awal dimana terjadi perubahan besar dalam peran dari anak-anak menuju dewasa. Dalam penelitian ini peneliti juga menambahkan variabel demografis seperti tingkat pendidikan, usia dan jenis kelamin yang diasumsi memiliki hubungan dengan perilaku merokok pada remaja akhir. Gambar 2.2 Bagan Kerangka Berpikir Dimensi Agreebleness Keramahan Dimensi Neuroticism Dimensi C onscientiousness Kesadaran Usia Jenis Kelamin Dimensi Openess Keterbukaan Dimensi Extraversion Tingkat Pendidikan Perilaku Merokok Remaja Akhir

2.4. Hipotesis