Pengaruh Modernisasi Pertanian terhadap Produksi Padi di DIY

83 Tabel 14 Produksi Padi Sawah Per KotamadyaKabupaten di DIY Tahun 1968-1984 dalam ton Tahun KotamadyaKabupaten Yogyakarta Sleman Bantul Kulon Progo Gunungkidul 1968 5.306,50 174.086,53 110.073,54 46.973,00 9.006,00 1969 6.464,00 155.866,00 111.872,00 43.900,00 9.848,00 1970 8.235,40 179.563,12 115.935,50 46.726,00 10.460,20 1971 8.781,80 209.041,72 141.030,50 55.314,87 16.805,90 1972 7.437,50 215.101,48 136.870,60 57.003,73 12.005,27 1973 9.508,89 282.020,83 154.895,05 66.270,26 14.542,45 1974 7.310,00 267.854,00 143.603,00 58.818,00 26.839,00 1975 7.412,00 255.743,00 133.292,00 72.189,00 25.147,00 1976 6.625,43 204.607,00 119.975,16 69.601,19 20.507,66 1977 7.705,44 213.778,66 125.851,21 69.748,97 13.153,52 1978 8.840,89 228.549,90 172.733,82 70.024,23 12.538,71 1979 4.972,27 219.146,57 109.687,85 54.106,24 7.357,83 1980 6.085,24 221.292,53 131.943,22 70.036,75 25.601,13 1981 5.391,70 290.713,89 123.201,69 92.930,39 21.284,32 1982 5.517,27 291.126,26 138.357,71 83.213,00 24.457,18 1983 5.537,00 295.972,00 147.308,00 91.368,00 21.527,00 1984 5.507,00 307.719,00 149.705,00 99.854,00 28.098,00 Sumber: Statistik Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1970- 1972, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Angka Tahun 1978 Bagian I, dan Yogyakarta Dalam Trend Statistik 1982-1986, hlm. 74. Tabel di atas merupakan hasil produksi padi sawah yang ada di kotamadya dan kabupaten di DIY pada masa-masa penerapan modernisasi pertanian. Produksi padi sawah di setiap kotamadya dan kabupaten juga mengalami peningkatan berkat adanya penerapan modernisasi pertanian. Produksi padi sawah terbesar terdapat di Kabupaten Sleman, sedangkan produksi padi sawah terkecil terdapat di Kotamadya Yogyakarta. Hal itu dipengaruhi oleh jumlah areal persawahan yang ada di daerah tersebut. Produksi padi sawah di masing-masing kotamadyakabupaten di DIY mengalami fluktuasi. Produksi padi sawah di Kotamadya Yogyakarta pada tahun 84 1968-1984 berkisar 4.000-9.000 ton lebih. Produksi padi sawah di Kotamadya Yogyakarta mengalami peningkatan pada tahun 1968-1971, lebih tepatnya pada masa awal diterapkannya modernisasi pertanian. Penurunan produksi padi di Kotamadya Yogyakarta terjadi pada tahun 1972, namun pada tahun 1973 mengalami peningkatan kembali. Produksi padi sawah kembali mengalami penurunan pada tahun 1974-1976, namun pada tahun 1977-1978 mengalami peningkatan kembali. Penurunan produksi padi sawah terjadi pada tahun berikutnya yaitu tahun 1979, 1981, dan 1984. Produksi padi sawah di Kabupaten Sleman pada tahun 1968-1984 berkisar 100.000-300.000 ton lebih. Produksi padi sawah di Kabupaten Sleman mengalami peningkatan pada tahun 1969-1973, namun mengalami penurunan pada tahun 1974-1976. Produksi padi sawah kembali mengalami peningkatan pada tahun 1977-1978, namun kembali mengalami penurunan pada tahun 1979. Produksi padi sawah mengalami peningkatan kembali pada tahun 1980-1984. Produksi padi sawah di Kabupaten Bantul pada tahun 1968-1984 berkisar 100.000-140.000 ton lebih. Produksi padi sawah di Kabupaten Bantul mengalami peningkatan pada tahun 1968-1971, namun mengalami penurunan pada tahun 1972. Produksi padi sawah kembali mengalami peningkatan pada tahun 1973, namun kembali mengalami penurunan pada tahun 1974-1976. Produksi pada sawah mengalami peningkatan kembali pada tahun 1977-1978, namun mengalami penurunan kembali pada tahun 1979. Produksi pada sawah kembali mengalami peningkatan pada tahun 1980-1984. 85 Produksi padi sawah di Kabupaten Kulon Progo pada tahun 1968-1984 berkisar 40.000-90.000 ton lebih. Produksi padi sawah di Kabupaten Kulon Progo mengalami peningkatan pada tahun 1969-1973, namun mengalami penurunan pada tahun 1974. Produksi padi sawah kembali mengalami peningkatan pada tahun 1975, namun kembali mengalami penurunan pada 1976. Produksi padi sawah mengalami peningkatan kembali pada tahun 1977-1978, namun mengalami penurunan kembali pada tahun 1980. Produksi padi sawah pada tahun 1981 mengalami peningkatan, namun mengalami penurunan pada 1982, kemudian terjadi peningkatan produksi sawah pada tahun 1983-1984. Produksi padi sawah di Kabupaten Gunungkidul pada tahun 1968-1984 berkisar 7.000-20.000 ton lebih. Produksi padi sawah di Kabupaten Gunungkidul mengalami peningkatan pada tahun 1968-1971, namun mengalami penurunan pada tahun 1972. Produksi padi sawah kembali mengalami peningkatan pada tahun 1973-1974, namun kembali mengalami penurunan pada tahun 1975-1979. Produksi padi sawah mengalami peningkatan kembali pada tahun 1980, namun mengalami penurunan kembali pada tahun 1981. Produksi padi sawah kembali mengalami peningkatan pada tahun 1982, namun mengalami penurunan kembali pada 1983. Produksi padi sawah kembali mengalami peningkatan pada tahun 1984. Produksi padi sawah di masing-masing kotamadyakabupaten di DIY mengalami hasil yang maksimal pada tahun 1984. Produksi padi sawah pada tahun 1984 lebih besar daripada tahun-tahun sebelumnya, artinya sebelum tahun 1984 produksi padi sawah tidak pernah mengalami peningkatan yang sangat 86 tinggi. Produksi padi sawah pada tahun 1984 yang sangat tinggi membuktikan bahwa DIY mampu melakukan swasembada beras. Tabel 15 Produksi Padi Gogo Per KotamadyaKabupaten di DIY Tahun 1968-1984 dalam ton Tahun KotamadyaKabupaten Yogyakarta Sleman Bantul Kulon Progo Gunungkidul 1968 - 144,60 563,40 269,60 27.182,12 1969 - 291,00 607,00 155,00 23.407,00 1970 - 622,20 494,00 6.660,00 39.588,90 1971 - 250,12 552,90 124,40 28.004,80 1972 - 293,10 399,40 48,00 30.812,20 1973 - 332,80 343,18 38,69 40.246,78 1974 - 223,00 300,00 34,00 55.607,00 1975 - 117,00 236,00 69,00 71.184,00 1976 - - 566,35 - 65.317,20 1977 - - 140,40 2,07 65.828,79 1978 - 24,01 430,65 51,27 68.140,28 1979 - 16,68 - 51,09 9.571,12 1980 - - 440,75 22,21 66.191,08 1981 - - 870,16 50,98 121.971,83 1982 - - 497,08 76,03 87.650,34 1983 - - 1.165,00 117,00 105.820,00 1984 - 1.087,00 633,00 537,00 126.925,00 Sumber: Statistik Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1970- 1972, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Angka Tahun 1978 Bagian I, dan Yogyakarta Dalam Trend Statistik 1982-1986, hlm. 75. Tabel di atas merupakan hasil produksi padi gogo yang ada di kotamadya dan kabupaten di DIY pada masa-masa penerapan modernisasi pertanian. Produksi padi gogo di setiap kotamadya dan kabupaten juga mengalami peningkatan berkat adanya penerapan modernisasi pertanian. Produksi padi gogo terbesar terdapat di Kabupaten Gunungkidul, sedangkan Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Kulon Progo memproduksi padi gogo lebih sedikit dari Kabupaten Gunungkidul. Kotamadya Yogyakarta sama sekali tidak 87 memproduksi padi gogo. Hal itu dipengaruhi oleh kemampuan tanah yang ada di kotamadya dan kabupaten di DIY berbeda-beda. Kabupaten Gunungkidul merupakan penghasil padi gogo terbesar di DIY karena tanahnya bersifat gersang atau kering. Kabupaten Sleman tidak menghasilkan padi gogo pada tahun 1976, 1977, 1980, 1981, 1982, dan 1983. Kabupaten Bantul tidak menghasilkan padi gogo pada tahun 1979. Kabupaten Kulon Progo tidak menghasilkan padi gogo pada tahun 1976, sementara Kabupaten Gunungkidul mampu menghasilkan padi gogo secara baik pada tahun 1968-1984. Tabel 16 Produksi Rata-rata Padi Sawah dan Padi Gogo di DIY Tahun 1968-1984 dalam kuintal Tahun Padi Sawah Padi Gogo 1968 40,78 8,16 1969 39,68 6,62 1970 41,90 10,80 1971 45,08 7,43 1972 45,98 7,79 1973 52,04 10,54 1974 48,26 13,96 1975 45,44 16,35 1976 46,78 15,63 1977 49,42 18,53 1978 50,18 15,35 1979 49,82 7,80 1980 59,96 29,30 1981 61,04 36,81 1982 57,75 34,42 1983 59,46 39,84 1984 56,68 30,40 Sumber: Statistik Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1972, hlm. 73, Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1973 Bagian II, hlm. 107, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Angka 1981 Bagian I, hlm. 184, dan Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Trend Statistik 1979-1983, hlm. 68. 88 Tabel diatas merupakan hasil produksi rata-rata padi sawah dan padi gogo di DIY. Penerapan modernisasi pertanian di DIY tidak hanya meningkatkan produksi padi sawah dan padi gogo secara keseluruhan, namun juga meningkatkan produksi rata-rata padi sawah dan padi gogo. Produksi rata-rata padi sawah per hektar sebelum adanya penerapan modernisasi pertanian di DIY lebih tepatnya sebelum tahun 1968 selalu berada di bawah 30 kuintal, namun setelah adanya penerapan modernisasi pertanian produksi rata-rata padi sawah meningkat atau lebih tepatnya berada di atas 30 kuintal. 59 Produksi rata-rata padi sawah dari tahun 1968-1984 paling rendah terjadi pada tahun 1969 yaitu sebesar 40,78 kuintal per hektar, sedangkan rata-rata produksi padi gogo paling rendah juga terjadi pada tahun 1969 yaitu sebesar 6,62 kuintal per hektar. Produksi rata-rata tersebut lebih kecil dibandingkan dengan produksi rata-rata setelah 1969. 60 Hal itu disebabkan oleh produksi padi yang rendah karena belum beradaptasinya bibit padi unggul dengan tanah yang ada sehingga tidak dapat tumbuh secara sempurna. Produksi rata-rata padi sawah per hektar tertinggi terjadi pada tahun 1980 yaitu sebesar 59,96 kuintal per hektar, sedangkan produksi rata-rata padi gogo per hektar tertinggi terjadi pada tahun 1983 yaitu sebesar 39,84 kuintal per hektar. 61 59 Biro Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta, Statistik Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1972 , Yogyakarta: Biro Statistik, 1973, hlm. 107. 60 Ibid . 61 Pusat Data Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Trend Statistik 1979-1983 , Yogyakarta: Pusat Data Propinsi DIY, 1984, hlm. 68. 89 BAB IV PENGARUH KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI PADI TERHADAP SOSIAL EKONOMI PETANI DI DIY

A. Pengaruh dalam Bidang Sosial

Penerapan modernisasi pertanian merupakan salah satu bagian dari program Revolusi Hijau di Indonesia telah memberikan pengaruh yang besar terhadap kehidupan masyarakat baik dalam bidang sosial maupun bidang ekonomi. Modernisasi pertanian tidak hanya memberikan pengaruh yang positif, tetapi juga memberikan pengaruh yang negatif kepada masyarakat terutama masyarakat pedesaan. Pengaruh positif yang diberikan dari adanya penerapan modernisasi pertanian adalah pengaruh terhadap produksi pertanian berupa meningkatnya produksi padi dalam waktu yang relatif singkat. Pengaruh negatif yang diberikan dari adanya penerapan modernisasi pertanian adalah munculnya masalah mengenai kerusakan lingkungan, masalah hak asasi petani, dan melemahnya fungsi institusi lokal. 1 Masalah mengenai kerusakan lingkungan pada umumnya terjadi di pedesaan. Para petani selama masa pelaksanaan modernisasi pertanian selalu didera oleh kebijakan peningkatan produktivitas pertanian melalui pupuk dan obat-obatan kimiawi yang bukan hanya menciptakan ketergantungan, melainkan juga merusak lahan pertanian. Lahan pertanian merupakan bagian dari ekosistem sehingga masalah kerusakan pertanian telah menciptakan degradasi dan 1 Sunyoto Usman, Esai-esai Sosiologi: Perubahan Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015, hlm. 263-264. 90 pencemaran lingkungan. 2 Pengaruh negatif dari adanya modernisasi pertanian selain masalah kerusakan lingkungan adalah masalah mengenai hak asasi petani. Petani telah berkorban untuk biaya produksi pertanian yang tidak murah. Petani merasa tereksploitasi karena harga gabah yang murah dan dikontrol pemerintah. Hak asasi petani terinjak-terinjak karena tidak adanya santunan yang memadai atas pengorbanannya selama ini. 3 Masalah melemahnya fungsi institusi lokal merupakan pengaruh dalam bidang sosial akibat pembangunan pertanian. Institusi-institusi lokal yang ada menjadi tidak berfungsi karena petani diwajibkan terhimpun dalam kelompok tani yang dibentuk dan dikontrol oleh pemerintah. Penerapan modernisasi pertanian di DIY belum sepenuhnya tepat, terutama di wilayah Kabupaten Gunungkidul yang sifat tanahnya kering dan gersang. 4 Petani di Kabupaten Gunungkidul yang mayoritas menanam jagung dan ketela merasa dipaksa untuk menanam padi. Penanaman padi yang gencar dilakukan pada pelaksanaan modernisasi pertanian tidak sepenuhnya merugikan masyarakat di Kabupaten Gunungkidul, namun juga memberikan keuntungan. Keuntungan tersebut terlihat pada perubahan gaya hidup masyakarat yang semula hanya mengkonsumsi ketela menjadi nasi. Perubahan sosial merupakan pengaruh dari adanya penerapan modernisasi pertanian di bidang sosial masyarakat. Perubahan sosial yang terjadi 2 Pencemaran lingkungan yang terjadi antara lain pencemaran terhadap air sawah serta terganggunya kehidupan flora dan fauna. 3 Ibid ., hlm. 264. 4 P.J. Suwarna, Gunungkidul-Teknologi dan Lingkungan, Yogyakarta: Yayasan B.P. Basis, 1979, hlm. 16. 91 di masyarakat pedesaan antara lain munculnya diferensiasi agraria dan kesenjangan sosial di kalangan petani. 5 Diferensiasi agraria merupakan suatu pergeseran kelompok-kelompok sosial sebagai akibat masuknya unsur baru di sektor pertanian. Hal ini disebabkan oleh adanya program Revolusi Hijau yang tidak sepenuhnya memberikan keuntungan kepada seluruh masyarakat pedesaan, artinya hanya beberapa rumah tangga petani yang mendapatkan keuntungan dari adanya program ini. Petani yang mendapatkan keuntungan dari program Revolusi Hijau berhasil menjadi petani kaya, sedangkan petani yang tidak mendapatkan keuntungan dari program ini tidak berhasil menjadi petani kaya. Petani kaya yang telah diuntungkan dari adanya program Revolusi Hijau bukanlah petani yang independen atau tidak mandiri, artinya petani masih bergantung pada subsidi negara perlindungan ekonomi negara. 6 Petani tersebut memanfaatkan subsidi negara untuk mengkonsentrasikan sejumlah tanah bahkan seluruh lahan pertaniannya dengan menggunakan teknologi modern untuk proses produksinya. Hal tersebut memicu petani menjadi kapitalis-kapitalis pertanian yang mempekerjakan petani miskin dan buruh tani untuk mengolah lahan pertaniannya yang cukup luas. 7 Petani miskin dan buruh tani yang dipekerjakan oleh petani kaya tidak dapat berbuat banyak selain hanya menerima keadaan. Diferensiasi agraria yang merupakan dampak dari adanya program Revolusi Hijau telah menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial pada masyarakat 5 Khudori, Ironi Negeri Beras, Yogyakarta: Insist Press, 2008, hlm. 206. 6 Ibid . 7 Ibid . 92 pedesaan di Indonesia. Partisipasi petani dalam mengikuti program Revolusi Hijau mutlak diperlukan, namun hal ini hanya berlaku bagi petani kaya yang dapat dikatakan mampu secara perekonomian memiliki cukup modal. Petani miskin yang tidak mampu secara perekonomian tidak memiliki cukup modal, tidak dapat mengikuti program Revolusi Hijau karena merasa tidak mampu membayar kredit yang disediakan melalui paket Bimas. Hal tersebut memperlihatkan bahwa kesenjangan sosial terjadi di masyarakat pedesaan yaitu terdapat “jurang pemisah” antara petani kaya dan petani miskin yang kehidupannya sangat bertolak belakang. Perbedaan yang terjadi antara petani kaya dan petani miskin secara tersirat menjelaskan bahwa masyarakat pedesaan tidak bisa terlepas dari stratifikasi masyarakatnya sistem pelapisan masyarakat. Sistem pelapisan masyarakat pedesaan biasanya digolongkan berdasarkan pada kepemilikan tanah. 8 Sistem pelapisan masyarakat terutama masyarakat pedesaan agraris terdiri dari empat golongan, yaitu golongan kuli kenceng, golongan kuli kendho, golongan kuli tumpang , dan golongan tumpang slasar. 9 Golongan kuli kenceng adalah golongan masyarakat desa yang memiliki rumah, tanah, pekarangan, dan sawah. Kuli kenceng disebut juga wong baku, kuli ngarep , kuli kuwat, kuli gogol, dan kuli sikep. Golongan kuli kenceng memiliki hak dan kewajiban penuh atas segala kegiatan desa dan pemerintahan yang ada di 8 Djoko Suryo, dkk, Gaya Hidup Masyarakat Jawa di Pedesaan: Pola Kehidupan Sosial , Ekonomi, dan Budaya, Jakarta: Depdikbud, 1985, hlm. 20. 9 Ibid .