Penerapan Modernisasi Pertanian di DIY

71 tanam hingga musim panen. Inmas Biasa pelaksanaannya sama seperti Bimas Biasa, namun petani tidak mendapat kredit dari pemerintah. Inmas Baru pelaksanaannya sama seperti Bimas Baru, namun petani tidak mendapat kredit dari pemerintah. Pemerintah kemudian melaksanakan Bimas Gotong Royong pada tahun 1968-1970. Istilah “Gotong Royong” diambil dari sistem yang dipakai dalam pelaksanaan program ini adalah bentuk kerja sama antara pemerintah dan swasta nasional dan asing. 30 Kerja sama yang dilakukan dengan pengusaha-pengusaha swasta asing antara lain, CIBA, COOPA, HOECHT, dan MITSUBISHI. 31 Pemerintah dalam melaksanakan Bimas menargetkan areal sawah sekitar 52.500 hektar pada tahun 1968 dan 23.000 hektar pada tahun 1969. 32 yang terdiri dari Bimas Nasional, Bimas Baru, Inmas Nasional, dan Inmas Baru. Tabel 11 Target dan Realisasi Bimas Padi Musim Penghujan di DIY Tahun 1968 dalam hektar Jenis Bimas Target Realisasi Bimas Nasional 7.500 8.484 Bimas Baru 10.000 2.730 Inmas Nasional 30.000 22.802 Inmas Baru 5.000 2.669 Jumlah 52.500 36.685 Sumber: Statistik Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Jogjakarta Tahun 1969, hlm. 86. 30 Mubyarto, Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Jakarta: Sinar Harapan, 1983, hlm. 36. 31 Pemerintah memandang perlu mengadakan kerja sama dengan pengusaha-pengusaha swasta asing karena kekurangan dana baik berupa kredit, sarana produksi seperti pupuk dan obat-obatan hama dan penyakit. 32 Program Bimas tahun 1968 dilaksanakan saat musim penghujan, sedangkan program Bimas tahun 1969 dilaksanakan saat musim kemarau. Pemerintah menargetkan program Bimas yang terdiri dari Bimas Nasional, Bimas Baru, Inmas Nasional, dan Inmas Baru. 72 Tabel diatas merupakan target dan realisasi pelaksanaan program Bimbingan Massal Bimas padi di DIY pada musim penghujan tahun 1968. Realisasi Bimas Nasional mampu melebihi dari jumlah yang ditargetkan yaitu sebesar 12,9, namun untuk Bimas Baru realisasinya hanya 27,3. Inmas Nasional realisasinya sebesar 76,3, sedangkan untuk Inmas Baru realisasinya sebesar 53,4. Target seluruh Bimas pada masa itu sejumlah 52.500 hektar, namun yang dapat terealisasi hanya sebesar 36.685 hektar atau 69,9. Tabel 12 Target dan Realisasi Bimas Padi Musim Kemarau di DIY Tahun 1969 dalam hektar Jenis Bimas Target Realisasi Nasional 11.250 3.344 Baru 3.750 2.064 Inmas Nasional 7.000 12.715 Inmas Baru 1.000 2.282 Jumlah 23.000 20.405 Sumber: Statistik Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1970, hlm. 86. Tabel diatas merupakan target dan realisasi pelaksanaan program Bimbingan Massal Bimas padi di DIY pada musim kemarau tahun 1969. Bimas Nasional realisasinya hanya sebesar 2,9, namun untuk Bimas Baru realisasinya sebesar 55,2. Inmas Nasional realisasinya mampu melebihi dari jumlah yang ditargetkan yaitu 81,9, sama halnya dengan Inmas Baru realisasinya juga mampu melebihi dari jumlah yang ditargetkan yaitu sebesar 134. Target seluruh Bimas pada masa itu sejumlah 23.300 hektar, dan mampu terealisasi sebesar 20.504 hektar atau 89,2. 73 Pemerintah dalam usahanya melaksanakan modernisasi pertanian menerapkan Panca Usaha Tani yang terdiri dari penggunaan bibit unggul, pemupukan, pengairan, pemberantasan hama, dan teknik bercocok tanam. 1. Penggunaan Bibit Unggul Program Bimas yang bertujuan untuk meningkatkan produksi padi dalam waktu yang relatif cepat membutuhkan penggunaan bibit padi unggul agar produktivitas padi semakin baik. Padi yang ditanam di DIY sebelum adanya bibit padi unggul adalah padi Jawa, Rojolele, Ketan, dan sebagainya. 33 Bibit padi unggul yang diperkenalkan di Indonesia adalah padi Peta Baru PB yaitu PB 5 dan PB 8. 34 Petani di DIY pada umumnya menanam jenis padi Pelita, P.B., Bengawan , Cempa, C4, Serang, dan Slamet, sedangkan jenis padi yang ditanam di tegalan adalah padi Gaga, Cempa, Lombok, Mayangan, Molog, Langap, dan lain- lain. Padi varietas unggul yang ditanam adalah padi PB5, IR36, Sentani, Cisedani, Kruing , Holing dan Numpangkarya. 35 Jenis padi unggul tersebut lebih produktif dari padi lokal karena panennya lebih awal dan hasilnya lebih tinggi. Pemerintah memperkenalkan jenis padi PB 20, 26, 28, 30 pada tahun 1974, jenis padi PB 34 diperkenalkan pada tahun 1976, dan jenis padi PB 36, PB 38, Cilacum diperkenalkan pada tahun 1978. Pemerintah kemudian 33 Isni Herawati dan Sumintarsih, Peralatan Produksi Tradisional dan Perkembangannya di Daerah Istimewa Yogyakarta , Jakarta: Depdikbud, 1989, hlm. 68. 34 Mubyarto, op.cit., hlm. 37. 35 Depdikbud, Adat Istiadat Daerah Istimewa Yogyakarta, Jakarta: Depdikbud, 1977, hlm. 46. 74 memperkenalkan jenis padi Cisade, Cimande, Agung, dan PB 42 pada tahun 1980. 36 2. Pemupukan Pemupukan merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi produktivitas tanaman. Pupuk dapat diibaratkan sebagai makanan bagi tanaman sehingga tanaman dapat hidup subur terutama pada lahan pertanian yang gersang. Penggunaan pupuk secara massal melalui program Bimas telah bertambah dari areal intensifikasi 1,1991 juta hektar pada 1970 menjadi 5,925 juta hektar pada 1981. Jenis pupuk di DIY secara umum terdiri dari pupuk kandang, pupuk hijau dan pupuk pabrik pupuk kimia. 37 Pupuk kandang dan pupuk hijau pembuatannya dilakukan oleh petani dengan bahan dan cara pembuatan yang masih sederhana, sedangkan pupuk pabrik pupuk kimia pembuatannya dilakukan oleh pabrik dengan bahan yang mayoritas adalah bahan kimia dan cara pembuatannya lebih terstruktur dengan menggunakan mesin. Pupuk yang diperkenalkan dalam program modernisasi pertanian adalah pupuk pabrik pupuk kimia. Pupuk yang digunakan di DIY pada tahun 1979-1983 antara lain pupuk urea, TSP, DAP, dan ZA. 38 36 Wawancara dengan Bapak Adi di Kecamatan Depok pada tanggal 10 Oktober 2015. 37 Ibid ., hlm. 45. 38 Biro Statistik DIY, Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1973 Bagian II , Yogyakarta: Biro Statistik, 1974, hlm. 27. 75 3. Pengairan Program modernisasi pertanian yang dilaksanakan juga merujuk pada pembangunan sarana irigasi. Pembangunan sarana irigasi dilakukan dengan perbaikan secara menyeluruh terhadap sistem irigasi yang ada, penyelesaian proyek irigasi yang sudah dimulai, serta penilaian survei, perencanaan dan permulaan pelaksanaan proyek irigasi yang baru. 39 Pengairan teknis adalah salah satu sistem pengairan yang dibangun setelah program Revolusi Hijau. Pengairan teknis berarti sawah memperoleh pengairan dengan sistem irigasi teknis. 40 Sistem irigasi teknis merupakan jaringan irigasi yang didalamnya terdapat pemisah antara saluran pemberi dan saluran pembuang, agar penyediaan dan pembagian air dapat sepenuhnya diatur dan diukur dengan mudah. Sistem irigasi teknis terdiri dari saluran induk berupa dam sekunder, tersier, dan distribusi yang secara keseluruhan dibangun dan dipelihara oleh Dinas Pengairan atau Pemerintah. 41 Sistem tersebut apabila mengalami kerusakan pada saluran-saluran pengairannya biasanya menjadi tanggung jawab bagian pembinaan pengairan, akan tetapi apabila membutuhkan swadaya masyarakat maka biaya ditanggung bersama oleh pengguna air. Perubahan dari sistem tadah hujan ke sistem irigasi memberi banyak keuntungan bagi petani. Sistem irigasi memberikan pengaruh yang baik terhadap 39 Widjojo Nitisastro, Pengalaman Pembangunan Indonesia: Kumpulan Tulisan dan Uraian Widjojo Nitisastro , Jakarta: Kompas, 2010, hlm. 169. 40 Biro Statistik DIY, op.cit., hlm. 62. 41 Ibid ., hlm. 63. 76 frekuensi penanaman padi di sawah dan hasil produksi padi. Keduanya semakin meningkat sejak adanya sistem irigasi. Sistem irigasi juga mengurangi resiko adanya bahaya paceklik. 42 4. Pemberantasan Hama Hama merupakan jenis hewan yang keberadaannya mengganggu lahan pertanian karena dianggap merusak tanaman. Hama tanaman harus dengan cepat diberantas karena jika dibiarkan terlalu lama, akan menghambat produktivitas tanaman. Peningkatan penggunaan obat-obatan sangat diperlukan karena pada kenyataannya varietas padi unggul lebih peka terhadap hama dan penyakit dibandingkan varietas padi biasa. 43 Jenis hama yang biasanya merusak tanaman padi antara lain tikus sawah R.r. Brevicaudutus, tikus huma R.r. Concolor Ephipium ulat penggerek Scirpophaga Innotata dan Schunobius Bipunctifer, kupu-kupu Nymphula Depunctalis , wereng cokelat Nilapervata Lugens, wereng hijau Nephotetix Apicalis , walang sangit Leptocorixa Acuta, lembing hijau Nezara Viridula, dan ganjur Pachydiplosis Oryzae. 44 Pemberantasan hama padi jenis tikus sawah dan wereng cokelat membutuhkan obat-obatan khusus, sedangkan jenis hama padi lainnya hanya membutuhkan insektisida biasa. Obat-obatan yang dibutuhkan untuk memberantas hama tikus sawah antara lain CS 2 , cyanodust, fosfor, warfarin, dan zinkoksida, 42 Ibid . 43 A. G. Kartasapoetra, Hama Tanaman Pangan dan Perkebunan, Jakarta: Bumi Aksara, 1987, hlm. 17. 44 A. G. Kartasapoetra, op.cit., hlm. 19. 77 sedangkan untuk memberantas wereng cokelat antara lain agrotihion, sumithion, karphos , DDVP, nogos, sevin, diazinon, 45 furadan , dan basudin. 46 Pemerintah dalam rangka kerja samanya dengan pengusaha-pengusaha swasta asing juga memperkenalkan teknologi terbaru yang dinilai efisien yaitu berupa alat-alat pemberantas hama yang disemprotkan melalui udara dengan bantuan pesawat dan penggunaan light-trap. 47 Departemen Pertanian dalam hal pengaturan penggunaan obat-obatan pemberantas hama telah aktif mengumumkannya melalui media komunikasi seperti radio, televisi, surat kabar serta melalui Petugas Penyuluhan Lapangan PPL 48 . Pemberantasan hama tanaman padi di DIY dilakukan dengan penyemprotan tekanan rendah dan tinggi serta sistem emposan. Obat-obatan tanaman yang digunakan di DIY pada tahun 1979-1983 antara lain diphosin, z- phospide , insektisida, rodentisida, dan fungisida. 49 5. Teknik Bercocok Tanam Teknik pengolahan sawah sejalan dengan usaha pembangunan di sektor pertanian secara tidak langsung maupun langsung maka beralih dari teknik pengolahan sawah secara tradisional ke sistem modern. Teknik pengolahan sawah 45 Jenis obatan-obatan ini merupakan jenis insektisida cair yang digunakan untuk pembasmian wereng cokelat. 46 Jenis obatan-obatan ini merupakan jenis insektisida butiran yang digunakan untuk pembasmian wereng cokelat. 47 Mubyarto, op.cit., hlm. 37. 48 A. G. Kartasapoetra, op.cit., hlm. 18. 49 Biro Statistik DIY, op.cit., hlm. 27. 78 yang lama diganti dengan teknik pengolahan sawah yang baru. Teknik baru tersebut menurut petani adalah penggunaan alat-alat baru dalam mengolah sawah. Pengolahan sawah dibantu dengan teknologi mekanis seperti penggunaan mesin pengolah tanah, alat-alat panen, dan alat-alat pengolah hasil pertanian. 50 Penggunaan alat-alat pertanian modern di DIY pada tahun 1973 meliputi alat pengolahan tanah, pengolahan padi, dan penggilingan padi. Pengolahan tanah terdiri dari alat-alat seperti traktor roda dua atau traktor tangan hand tractor dan traktor roda empat traktor besar. Pengolahan padi terdiri dari alat-alat seperti perontok padi, pengering padi, dan penyosohan padi. Penggilingan padi terdiri dari alat-alat seperti huller, rice milling, dan penggilingan besar. 51 Penggunaan alat-alat pertanian modern pada dasarnya bertujuan untuk mempermudah pengolahan lahan pertanian, namun tidak sepenuhnya mendapat respon yang baik dari petani. Petani di Desa Wijimulyo, Kulon Progo menuturkan bahwa penggunaan traktor untuk pengolahan sawah memberikan hasil yang kurang baik terhadap tanahnya. Tanah sawah yang diolah menggunakan traktor hasilnya kurang baik, kurang dalam, dan kurang gembur. 52 Pengolahan tanah menggunakan traktor jelas lebih efektif namun tidak efisien, sebab tanah masih harus digaru. Pengolahan tanah menggunakan traktor menyebabkan pemborosan 50 Isni Herawati dan Sumintarsih, op.cit., hlm. 61. 51 Biro Statistik DIY, op.cit., hlm. 104. 52 Wawancara dengan Bapak Sariyanto di Kecamatan Nanggulan pada 10 Oktober 2015. 79 karena petani harus membayar biaya sewa traktor sebesar Rp50.000,- untuk tanah seluas 1 hektar. 53 Petani beranggapan bahwa pengolahan tanah dengan menggunakan hewan ternak kerbau biayanya lebih murah. Pengolahan tanah dengan menggunakan kerbau hanya memerlukan biaya sekitar Rp40.000,- untuk biaya meluku yang dilakukan sekitar 10 kali. Biaya untuk satu kali meluku adalah Rp4.000,- dan dikerjakan dari pukul 06.00 pagi sampai 12.00 siang. 54 Penerapan modernisasi pertanian di DIY juga diupayakan untuk memberantas kemiskinan di masyarakat, seperti yang terjadi di Desa Sriharjo, Kabupaten Bantul, DIY. Program Bimas di Desa Sriharjo mengalami kemajuan yang pesat. Luas areal sawah yang sudah diterapkan program Bimas sekitar 145 ha, sedangkan luas areal sawah secara keseluruhan sekitar 195 hektar. 55 Program Bimas terbukti dapat meningkatkan produksi padi di desa tersebut. Produksi padi sebelum adanya program Bimas hanya sekitar 60 kuintal per hektar, sedangkan setelah adanya program Bimas mengalami kenaikan hingga 80-90 kuintal per hektar. Program Bimas juga membuat petani di Desa Sriharjo lebih tergugah untuk menggunakan pupuk terhadap sawahnya. Program Bimas telah menciptakan sarana penggilingan padi bagi petani sebanyak 3 unit, padahal sebelum adanya 53 Wawancara dengan Bapak Sugito di Kecamatan Nanggulan pada 10 Oktober 2015. 54 Wawancara dengan Bapak Sariyanto di Kecamatan Nanggulan pada 10 Oktober 2015. 55 Masri Singarimbun dan D.H. Penny, Penduduk dan Kemiskinan: Kasus Sriharjo di Pedesaan Jawa , Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1976, hlm. 180. 80 program tersebut Desa Sriharjo tidak memiliki sarana penggilingan padi. Pengadaan penggilingan padi tersebut membuat petani merasa terbantu dan memberikan keuntungan karena ongkosnya lebih murah, lebih efektif, dan beras yang dihasilkan lebih bersih. Program Bimas di Desa Sriharjo tidak hanya memberikan keuntungan bagi petani saja, namun juga masyarakat yang berprofesi selain petani.

C. Pengaruh Modernisasi Pertanian terhadap Produksi Padi di DIY

Program Revolusi Hijau yang diterapkan pemerintah sejak tahun 1968 telah memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap perkembangan pertanian di Indonesia. Pengaruh tersebut antara lain menyangkut hasil produksi pertanian dan sistem produksi pertanian Revolusi Hijau telah mampu meningkatkan hasil produksi pertanian yang tidak pernah terbayangkan pada masa sebelumnya. Indonesia dengan citra negara pengimpor beras, akhirnya mampu melaksanakan swasembada beras pada tahun 1984. 56 Penurunan jumlah impor beras yang terjadi sejak tahun 1982 ternyata juga diimbangi dengan kenaikan produksi beras sejak diadakannya program Revolusi Hijau. Produksi beras di Indonesia pada tahun 1959 hanya sebesar 8,3 juta ton, pada tahun 1969 sebesar 12,2 juta ton, dan puncaknya pada tahun 1984 sebesar 25,8 juta ton. 57 Produktivitas padi pada masa sebelum Revolusi Hijau atau selama 12 tahun dapat dikatakan tidak mengalami peningkatan yang signifikan, 56 Khairuddin, Pembangunan Masyarakat: Tinjauan Aspek Sosiologi, Ekonomi , dan Perencanaan, Yogyakarta: Liberty, 1992, hlm. 146. 57 Achmad Saubari, Presiden Soeharto dan Pembangunan Pertanian, Jakarta: PT Citra Media Persada, 1992, hlm. 84. 81 sementara setelah adanya program Revolusi Hijau produktivitas padi meningkat sebesar empat kali lipat. 58 Peningkatan produksi padi yang terjadi di Indonesia juga berpengaruh terhadap provinsi yang ada, salah satunya adalah DIY. Modernisasi pertanian yang diterapkan sejak dilaksanakannya Bimbingan Massal Bimas telah meningkatkan produksi padi dan rata-rata produksi padi per hektar di masing- masing kotamadyakabupaten di DIY. Produksi padi di DIY mengalami peningkatan setelah adanya program Bimas. Produksi padi sawah setelah adanya program Bimas selalu di atas 200.000 ton setiap tahunnya, namun produksi padi gogo hanya mengalami sedikit peningkatan yang tidak terlalu signifikan. Tabel 13 Produksi Padi Sawah dan Padi Gogo di DIY Tahun 1968-1984 dalam ton Tahun Padi Sawah Padi Gogo 1968 345.445,57 28.159,72 1969 327.949,50 24.160,00 1970 360.920,37 40.771,70 1971 430.973,99 28.932,22 1972 428.418,58 31.552,07 1973 527.237,48 40.961,45 1974 504.424,00 56.164,00 1975 493.783,00 71.606,00 1976 421.316.44 65.883,55 1977 420.237,08 65.971,26 1978 492.687,55 68.646,21 1979 395.450,76 10.079,64 1980 454.958,86 67.083,45 1981 533.521,99 122.892,97 1982 542.671,42 88.223,45 1983 516.667,00 107.102,00 1984 590.883,00 129.182,00 Sumber: Statistik Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1972 Bagian II, hlm. 61, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Angka Tahun 1978 Bagian I, hlm. 237, dan Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Angka Tahun 1983 Bagian II, hlm. 9 dan Yogyakarta Dalam Trend Statistik 1982-1986, hlm. 36. 58 Ibid . 82 Tabel di atas merupakan produksi padi sawah dan padi gogo di DIY pada tahun masa penerapan modernisasi pertanian khususnya tahun 1968-1978. Produksi padi sawah di DIY pada tahun 1968-1978 berkisar 300.000-500.000 ton lebih, sedangkan untuk padi gogo berkisar 20.000-60.000 ton lebih. Produksi padi sawah dan padi gogo selama 10 tahun tersebut masih terjadi fluktuasi. Produksi padi sawah dan padi gogo masih mengalami peningkatan dan penurunan produksi. Produksi padi sawah dan padi gogo terendah terjadi pada tahun 1969. Produksi padi sawah dan padi gogo yang rendah disebabkan karena belum beradaptasinya jenis padi yang ditanam pada masa penerapan modernisasi pertanian. Produksi padi sawah tertinggi terjadi pada tahun 1973, sedangkan produksi padi gogo tertinggi terjadi pada tahun 1978. Produksi padi sawah berkisar 300.000-500.000 ton lebih, sedangkan produksi padi gogo berkisar 10.000-100.000 ton lebih. Produksi padi sawah dan padi gogo selama pada tahun-tahun tersebut mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Produksi padi sawah pada tahun 1979-1982 mengalami peningkatan, namun pada tahun 1983 mengalami penurunan yang tajam. Produksi padi sawah mengalami peningkatan terbesar terjadi pada tahun 1984. Produksi padi gogo terendah terjadi pada tahun 1979. Produksi padi gogo pada tahun 1979-1981 mengalami peningkatan, dan mengalami penurunan pada tahun 1982. Produksi padi gogo mengalami peningkatan kembali pada tahun 1983-1984. Produksi padi gogo tertinggi juga terjadi pada tahun 1984. Hal tersebut membuktikan bahwa DIY mengalami swasembada beras pada tahun 1984, seperti yang dialami oleh Indonesia. 83 Tabel 14 Produksi Padi Sawah Per KotamadyaKabupaten di DIY Tahun 1968-1984 dalam ton Tahun KotamadyaKabupaten Yogyakarta Sleman Bantul Kulon Progo Gunungkidul 1968 5.306,50 174.086,53 110.073,54 46.973,00 9.006,00 1969 6.464,00 155.866,00 111.872,00 43.900,00 9.848,00 1970 8.235,40 179.563,12 115.935,50 46.726,00 10.460,20 1971 8.781,80 209.041,72 141.030,50 55.314,87 16.805,90 1972 7.437,50 215.101,48 136.870,60 57.003,73 12.005,27 1973 9.508,89 282.020,83 154.895,05 66.270,26 14.542,45 1974 7.310,00 267.854,00 143.603,00 58.818,00 26.839,00 1975 7.412,00 255.743,00 133.292,00 72.189,00 25.147,00 1976 6.625,43 204.607,00 119.975,16 69.601,19 20.507,66 1977 7.705,44 213.778,66 125.851,21 69.748,97 13.153,52 1978 8.840,89 228.549,90 172.733,82 70.024,23 12.538,71 1979 4.972,27 219.146,57 109.687,85 54.106,24 7.357,83 1980 6.085,24 221.292,53 131.943,22 70.036,75 25.601,13 1981 5.391,70 290.713,89 123.201,69 92.930,39 21.284,32 1982 5.517,27 291.126,26 138.357,71 83.213,00 24.457,18 1983 5.537,00 295.972,00 147.308,00 91.368,00 21.527,00 1984 5.507,00 307.719,00 149.705,00 99.854,00 28.098,00 Sumber: Statistik Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1970- 1972, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Angka Tahun 1978 Bagian I, dan Yogyakarta Dalam Trend Statistik 1982-1986, hlm. 74. Tabel di atas merupakan hasil produksi padi sawah yang ada di kotamadya dan kabupaten di DIY pada masa-masa penerapan modernisasi pertanian. Produksi padi sawah di setiap kotamadya dan kabupaten juga mengalami peningkatan berkat adanya penerapan modernisasi pertanian. Produksi padi sawah terbesar terdapat di Kabupaten Sleman, sedangkan produksi padi sawah terkecil terdapat di Kotamadya Yogyakarta. Hal itu dipengaruhi oleh jumlah areal persawahan yang ada di daerah tersebut. Produksi padi sawah di masing-masing kotamadyakabupaten di DIY mengalami fluktuasi. Produksi padi sawah di Kotamadya Yogyakarta pada tahun