Kebijakan Revolusi Hijau di Indonesia

61 Perluasan jaringan pertanian dan pengembangan kelembagaan petani juga dilakukan untuk mendukung kegiatan tersebut. Pembangunan pertanian yang menjadi titik berat Repelita membuat Soeharto berinisiatif untuk meningkatkan produksi tanaman pangan khususnya padi, dan pada saat yang bersamaan di kalangan dunia pertaninan tengah muncul upaya yang disebut Revolusi Hijau untuk meningkatkan produksi padi. Revolusi Hijau dilatarbelakangi oleh kelangkaan beras di pasaran kota-kota besar sepanjang masa Orde Lama. Impor beras yang terutama ditujukan untuk kepentingan kota-kota besar telah meningkat dari sekitar 0,3 hingga mencapai 1 juta ton atau sekitar 10 konsumsi domestik sejak masa kemerdekaan sampai awal tahun 1960-an dan penurunan secara drastis hingga 0,2 juta ton pada akhir masa Orde Lama. 9 Hal tersebut juga merupakan andil bagi berkembangnya pergolakan politik di perkotaan. Pemerintah Orde Baru menyadari pentingnya ketersediaan bahan pangan khususnya beras dan perlu melakukan sebuah pembaharuan melalui program Revolusi Hijau. 10 Revolusi Hijau adalah suatu program untuk meningkatkan produksi pertanian khususnya produksi pangan secara cepat. Peningkatan ini diperoleh melalui penggunaan varietas unggul, penggunaan input modern yang tepat, dan cara bercocok tanam yang baik. Hal ini perlu dilakukan untuk meningkatkan produksi pangan secara cepat dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan yang 9 Tim Lapera, Prinsip-prinsip Reformasi Agraria: Jalan Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat , Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2001, hlm. 204. 10 Ibid ., hlm. 205. 62 sangat mendesak, terutama akibat pertambahan penduduk di negara-negara berkembang. 11 Revolusi Hijau secara sederhana dapat diartikan sebagai upaya yang sistematis untuk meningkatkan produksi padi secara besar-besaran melalui pemakaian bibit unggul, pupuk kimia, pestisida, irigasi, dan teknologi pasca panen. Revolusi Hijau mengubah dari sistem pertanian tradisional ke sistem pertanian modern yang berbasis teknologi. Revolusi Hijau dalam konteks ini adalah sebutan yang tidak resmi yang dipakai untuk menggambarkan perubahan fundamental dalam pemakaian teknologi budidaya pertanian yang dimulai pada 1950-1980 di banyak negara berkembang, terutama di Asia. Revolusi Hijau mendasarkan diri pada tiga pilar penting yaitu penyediaan air melalui sistem irigasi, pemakaian pupuk kimia dan pestisida untuk menjamin produksi, dan penggunaan varietas unggul sebagai bahan baku berkualitas. 12 Peningkatan hasil tanaman pangan dan kemungkinan penanaman padi tiga kali dalam setahun merupakan hasil yang diharapkan dari program ini sehingga tidak dapat dimungkinan tanpa adanya tiga pilar tersebut. Usaha-usaha pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri sebenarnya telah ada sejak awal kemerdekaan. Rencana Kesejahteraan Kasimo merupakan usaha pemerintah untuk berswasembada pangan yang diumumkan pada 1952. 11 Gunawan Wiradi, Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir, Yogyakarta: Insist, KPA, dan Pustaka Pelajar, 2000, hlm. 213. 12 David Jary dan Julia Jary, The Harper Collins Dictionary, New York: Harper Collins Publisher, Ltd., 1991, hlm. 200. 63 Program Rencana Kesejahteraan Kasimo mengadopsi sistem olie vlek tetesan minyak yang pernah dilaksanakan pada masa penjajahan Belanda. 13 Cara kerja program ini adalah memilih lokasi-lokasi strategis untuk dijadikan “demonstrasi plot” tentang cara-cara pertanian modern. Hal ini diharapkan agar teknik baru dalam bercocok tanam dapat ditiru oleh masyarakat sekitarnya. Program ini akhirnya mengalami kegagalan karena kurangnya dana dan tenaga ahli, serta kegagalan panen pada 1955. Pemerintah Orde Lama telah meluncurkan gagasan untuk swasembada pangan pada 1959. Gagasan tersebut terdiri dari tiga program yaitu, intensifikasi penanaman padi, penanaman padi pada lahan kering dengan mesin, dan penanaman padi pada area pasang surut, namun rencana ini tidak dapat berjalan lancar. 14 Program pertama dapat terwujud pada 1959 dengan mendirikan Padi Sentra, yang masing-masing mengkoordinasi program intensifikasi pada sekitar 1.000 ha lahan sawah. Target dari program ini adalah melakukan intensifikasi pertanian terhadap 1.500.00 ha sawah pada 1964. Intensifikasi dilakukan di setiap Padi Sentra dengan melakukan pelatihan dan penyaluran berbagai macam kredit untuk pupuk, obat-obatan, dan benih padi lokal yang baik yang akan dibayar ketika panen dalam bentuk gabah kering. Program tersebut akhirnya juga mengalami kegagalan karena beberapa faktor yaitu kurangnya tenaga ahli, penyalahgunaan kredit, kesalahan pengelolaan, 13 Moeljarto Tjokrowinoto, “The Human of Technological Diffusion: The Green Revolution in Eight Villages”, Disertasi, University of Pittsburgh, 1978, hlm. 86. 14 Ibid ., hlm. 87. 64 reaksi negatif dari para petani untuk mengumpulkan padi kering, dan kondisi politik yang tidak mendukung karena persoalan batas teritorial Irian Barat. Kenyataan historis pada rezim sebelumnya sangat disadari oleh pemerintah Orde Baru. Slogan pun telah berubah dari “politik sebagai panglima” menjadi “ekonomi sebagai panglima”. Meningkatkan kesejahteraan penduduk dengan tahapan- tahapan ekonomi dan stabilitas politik, konsolidasi, dan rehabilitasi menjadi simbol identitas politik dari pemerintahan Orde Baru. Beras dan sembilan kebutuhan pokok sembako lainnya menjadi “komoditas politik” yang harus dijual dengan dukungan dan legitimasi politik. Revolusi Hijau merupakan suatu istilah yang telah dikenal Indonesia sejak 1960-an. Revolusi Hijau khususnya di Jawa dirintis lebih dahulu oleh Institut Pertanian Bogor IPB dengan pelayanan penyuluhan pertanian pada tahun 1963-1964. 15 Bibit padi unggul dari IRRI Filipina telah dikirim ke Bogor pada tahun 1966. Penandatanganan kontrak dengan perusahaan kimia CIBA dilakukan pada tahun 1967 dengan mewujudkan kesatuan antara revolusi biologi berupa varietas bibit padi unggul dan revolusi kimiawi berupa pupuk buatan serta obat-obatan anti hama. Pemerintah Orde Baru mencanangkan program Bimbingan Massal Bimas yang diadopsi dari program Revolusi Hijau pada tahun 1968. 16 Program Revolusi Hijau mulai dilaksanakan di Indonesia mulai tahun 1970. 17 15 Francis Wahono, “Dinamika Ekonomi Sosial Desa Sesudah 25 Tahun Revolusi Hijau”, Prisma, No. 3XVII1974, hlm. 3. 16 Andreas Maryoto, op.cit., hlm. 137. 17 Loekman Soetrisno, Pertanian pada Abad ke-21, Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud, 1998, hlm. 13. 65 Program tersebut bertujuan untuk mewujudkan swasembada pangan khususnya beras. 18 Varietas padi unggul yang digunakan antara lain Bengawan, Sigadis, Synta , dan Dewi Tara yang mempunyai produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan bibit padi lokal. 19 Program Bimas yang dilaksanakan pemerintah menyediakan paket Bimas yang terdiri dari natura kredit pupuk buatan, obat-obatan, bibit unggul, dan biaya hidup petani cost of living 20 dan prasarana penunjang lainnya seperti rehabilitasi pembangunan irigasi. Revolusi Hijau pada kenyataannya telah mengubah sikap para petani khususnya petani sub sektor pangan yang awalnya “anti” terhadap teknologi menjadi “sigap” teknologi modern seperti pupuk kimia, obat-obatan pelindung tanaman, dan bibit padi unggul. Perubahan sikap petani sangat berpengaruh terhadap kenaikan produktivitas sub sektor pertanian pangan sehingga diharapkan Indonesia dapat mencapai swasembada pangan. Revolusi Hijau menurut Giffron 21 termasuk suatu penemuan varietas baru dan bibit tanaman baru, pengenalan modal dalam sistem-sistem pertanian, kebijakan sukarela dan pendanaan yang kuat untuk mendorong perubahan dan 18 Noer Fauzi, Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia , Yogyakarta: Insist dan Pustaka Pelajar, 1999, hlm. 164. 19 Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia, Pertumbuhan dan Pemerataan dalam Pembangunan Pertanian , Jakarta: Perhepi, 1983, hlm. 85. 20 Sediono M.P. Tjondronegoro, “Revolusi Hijau dan Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa”, Prisma, No. 2XIX1990, hlm. 5. 21 Francois Ruf dan Frederic Lancon, Dari Sistem Tebas dan Bakar ke Peremajaan Kembali : Revolusi Hijau di Dataran Tinggi Indonesia, Jakarta: Salemba Empat, 2005, hlm. 270. 66 inovasi baik pada pertanian maupun lingkungannya, dan pengakuan bahwa inovasi dapat berasal dari petani sendiri. Revolusi Hijau menurut Giffron harus memiliki kriteria yang merujuk ke empat perubahan utama yaitu: 22 transformasi menyeluruh suatu sistem pertanian, kebijakan-kebijakan sukarela pada infrastruktur, kebijakan sukarela tentang lingkungan keseluruhan sistem-sistem pertanian, dan konteks pertumbuhan populasi penduduk yang berkesinambungan. Perubahan utama berupa transformasi menyeluruh suatu sistem pertanian meliputi adopsi varietas baru dan bibit tanaman, meningkatkan kepadatan penebaran penanaman, dan mekanisasi. Kebijakan sukarela pada infrastruktur meliputi peningkatan luas area yang dapat diairi, pembangunan jaringan listrik yang dapat menurunkan biaya pemompaan air, serta pembangunan jalan dan transportasi yang memudahkan akses terhadap input produksi dan pemasaran. Perubahan utama mengenai kebijakan sukarela tentang lingkungan keseluruhan meliputi sistem-sistem pertanian, termasuk kondisi jaringan pemasaran yang tidak monopolistik, tetapi terdapat peraturan pemasaran dan harga, baik untuk petani maupun konsumen, khususnya fasilitas penyuluhan perkebunanpertanian, kebijakan harga, persediaan, kredit, dan subsidi input produksi untuk mengurangi resiko. Konteks pertumbuhan populasi penduduk yang berkesinambungan sehingga menjamin pasar untuk produsen kebutuhan pokok. Revolusi Hijau memperoleh dukungan besar dari sumber-sumber pembiayaan anggaran pembangunan sumber pembiayaan negara yaitu pinjaman 22 Ibid . 67 dan hibah internasional serta pendapatan dari minyak bumi. 23 Pendapatan dari minyak bumi merupakan hasil lonjakan harga minyak per barrel dari US 3 menjadi US 12 dalam tahun 1974, dan selanjutnya naik hingga US 36 di tahun 1982. Pembangunan pertanian mendapat dana 20 dari anggaran pembangunan yang dibuat berdasarkan penerimaan-penerimaan tersebut. Pembangunan pedesaan baik berupa sarana fisik maupun program pengadaan produksi beras yang luar bisa dapat didanai dari sumber tersebut. Revolusi Hijau dalam meningkatkan produksi beras tidak perlu diragukan lagi keberhasilannya. Varietas padi baru yang digunakan dalam program Revolusi Hijau telah dapat meningkatkan produksi beras pada tahun- tahun pelaksanaan program itu, walaupun tidak terlalu responsif terhadap pemupukan. Varietas unggul baru seperti PB-5 dan PB-8 IR-5 dan IR-8 yang dijuluki “miracle rice” diperkenalkan secara besar-besaran melalui program Bimas pada permulaan Pelita I. 24 Peningkatan produksi pangan terutama beras menjadi prioritas pembangunan pada masa Orde Baru. Perjuangan petani dengan mengadopsi Revolusi Hijau telah membuahkan prestasi besar, yakni bisa keluar dari predikat negara pengimpor beras terbesar dunia. Prestasi mengenai meningkatnya produksi pangan semakin lengkap dengan predikat swasembada beras yang mengantarkan Indonesia menerima penghargaan dari organisasi pangan dunia PBB yaitu FAO Food Association Organization pada 1984. Keberhasilan ini di samping secara akademik telah 23 Tim Lapera, op.cit., hlm. 205. 24 Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia, op.cit., hlm. 85. 68 menggugat kemapanan teori dualisme J. Boeke dan teori involusi pertanian Clifford Geertz juga telah membuka mata dunia karena Indonesia dalam waktu relatif singkat dapat meningkatkan produksi pangan secara signifikan, yaitu hanya dalam tempo 14 tahun 1970-1984 produksi padi bisa dinaikkan dari 1,8 ton per hektar menjadi 3,01 ton per hektar. 25

B. Penerapan Modernisasi Pertanian di DIY

Produksi pertanian dapat ditingkatkan melalui tiga cara yaitu mempertinggi produksi dengan memperluas tanah, mempertinggi produktivitas tanah, dan memperbanyak pemakaian tanah. Peningkatan produksi menurut Palacpac dapat diperoleh melalui dua cara yaitu memperluas lahan yang digunakan untuk budidaya tanaman yang bersangkutan dan mengintensifikasi pembudidayaan yaitu meningkatkan hasil panen per satuan luas lahan. 26 Revolusi Hijau merupakan transformasi dari sistem pertanian tradisional ke sistem pertanian modern. Transformasi ini dibangun di atas ketersediaan tiga faktor yaitu revolusi biologi berupa bibit padi varietas unggul high yield variety, revolusi kimiawi berupa macam-macam produk pupuk buatan serta obat-obatan anti hama. 27 Pemerintah dalam usahanya meningkatkan produksi padi di DIY melaksanakan program intensifikasi pertanian. Pelaksanaan program Revolusi 25 Khudori, Ironi Negeri Beras, Yogyakarta: Insist Press, 2008, hlm. 32. 26 Jurgen H. Hohnholz, Geografi Pedesaan: Masalah Pengembangan Pangan , Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986, 136. 27 Khudori, op.cit., hlm. 32. 69 Hijau di DIY yang telah dimulai pada tahun 1964 kemudian dilanjutkan kembali dalam pelaksanaan Bimas Nasional pada tahun 1970. Pemerintah meluncurkan program intensifikasi yang dikenal dengan nama Bimas Bimbingan Massal dan Inmas Intensifikasi Massal. Bimas adalah bimbingan yang diberikan kepada petani dengan menyediakan kredit produksi di dalamnya, sedangkan Inmas adalah program intensifikasi padi yang dilaksanakan atas dasar swadaya dengan metode Panca Usaha Tani , modal dan alat berasal dari perseorangan. Bimas dan Inmas bertujuan agar petani ikut serta secara aktif dalam meningkatkan produksi pangan terutama padi. Pengembangan sarana di tingkat desa seperti Petugas Penyuluhan Lapangan PPL, BRI-Unit Desa, Badan Usaha Unit Desa BUUD, Koperasi Unit Desa KUD, dan kios mulai dilakukan sejak adanya program Bimas. Mekanisme penerimaan receiving-mechanism dan mekanisme distribusi delivery mechanism teknologi baru di kalangan petani pada awal pelaksanaan program Bimas berjalan dengan sukses. Strategi yang dianut dalam peningkatan produksi pangan adalah peningkatan penggunaan input yang disubsidi, investasi yang besar di bidang prasarana pengairan, perhubungan, penelitian, dan pengukuhan dan adanya kebijaksanaan harga dasar. Mekanisme penerimaan receiving-mechanism dan mekanismen distribusi delivery mechanism untuk teknologi dan sarana produksi dikembangkan melalui kelompok tani. Pemerintah dalam pelaksanaan program Bimas lebih memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan produksi tanaman pangan. Faktor- faktor tersebut antara lain penggunaan teknologi baru, sarana produksi yang lebih 70 produktif, insentif yang diciptakan oleh pemerintah untuk meningkatkan produksi subsidi sarana produksi, harga dasar, dan lain-lain, serta faktor-faktor yang berada di luar jangkauan seperti bencana alam. 28 Inmas yang dilaksanakan di DIY terdiri dari beberapa jenis intensifikasi yaitu Intensifikasi Khusus, Intensifikasi Umum. Intensifikasi Khusus adalah jenis intensifikasi padi yang dilakukan pada sawah irigasi yang pengairannya setahun penuh. 29 Panca Usaha dalam Intensifikasi Khusus dilakukan secara bersama-sama melalui kelompok dalam suatu lahan seluas 5-25 hektar. Intensifikasi Umum adalah jenis intensifikasi padi yang dilakukan selain pada sawah irigasi yang pengairannya setahun penuh. Panca Usaha dalam Intensifikasi Umum dilakukan tidak secara bersama-sama tidak melalui kelompok. Intensifikasi Khusus dan Intensifikasi Umum terdiri dari Bimas Biasa, Bimas Baru, Inmas Biasa, dan Inmas Baru. Bimas Biasa pelaksanaannya melalui Panca Usaha dan jenis padi yang ditanam bukan padi varietas unggul. Dosis pupuk yang digunakan dalam Bimas Biasa adalah 100 kg pupuk urea dan 35 kg TSP per hektar dari musim tanam sampai musim panen. Petani dalam usaha penanamannya mendapatkan kredit dari pemerintah. Bimas Baru pelaksanaannya melalui Panca Usaha dan jenis padi yang ditanam adalah padi varietas unggul baru. Dosis pupuk yang digunakan dalam Bimas Baru adalah 200 kg pupuk urea dan 50 kg TSP per hektar dari musim 28 Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia, op.cit., hlm. 85. 29 Pusat Data Propinsi DIY dan Kantor Statistik Propinsi DIY, Kondisi Sosial Ekonomi Petani KecilBuruh Tani di 4 Kabupaten DIY Tahun 1982 , Yogyakarta: t.p., 1983, hlm. 1. 71 tanam hingga musim panen. Inmas Biasa pelaksanaannya sama seperti Bimas Biasa, namun petani tidak mendapat kredit dari pemerintah. Inmas Baru pelaksanaannya sama seperti Bimas Baru, namun petani tidak mendapat kredit dari pemerintah. Pemerintah kemudian melaksanakan Bimas Gotong Royong pada tahun 1968-1970. Istilah “Gotong Royong” diambil dari sistem yang dipakai dalam pelaksanaan program ini adalah bentuk kerja sama antara pemerintah dan swasta nasional dan asing. 30 Kerja sama yang dilakukan dengan pengusaha-pengusaha swasta asing antara lain, CIBA, COOPA, HOECHT, dan MITSUBISHI. 31 Pemerintah dalam melaksanakan Bimas menargetkan areal sawah sekitar 52.500 hektar pada tahun 1968 dan 23.000 hektar pada tahun 1969. 32 yang terdiri dari Bimas Nasional, Bimas Baru, Inmas Nasional, dan Inmas Baru. Tabel 11 Target dan Realisasi Bimas Padi Musim Penghujan di DIY Tahun 1968 dalam hektar Jenis Bimas Target Realisasi Bimas Nasional 7.500 8.484 Bimas Baru 10.000 2.730 Inmas Nasional 30.000 22.802 Inmas Baru 5.000 2.669 Jumlah 52.500 36.685 Sumber: Statistik Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Jogjakarta Tahun 1969, hlm. 86. 30 Mubyarto, Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Jakarta: Sinar Harapan, 1983, hlm. 36. 31 Pemerintah memandang perlu mengadakan kerja sama dengan pengusaha-pengusaha swasta asing karena kekurangan dana baik berupa kredit, sarana produksi seperti pupuk dan obat-obatan hama dan penyakit. 32 Program Bimas tahun 1968 dilaksanakan saat musim penghujan, sedangkan program Bimas tahun 1969 dilaksanakan saat musim kemarau. Pemerintah menargetkan program Bimas yang terdiri dari Bimas Nasional, Bimas Baru, Inmas Nasional, dan Inmas Baru.