Keadaan Geografis Modernisasi Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Sosial Ekonomi Petani di DIY Tahun 1968-1984.

29 Progo memiliki luas wilayah 586,28 km 2 terdiri dari 12 kecamatan dan 88 kelurahan. Wilayah Kabupaten Kulon Progo berbatasan dengan Kabupaten Magelang di sebelah utara, Kabupaten Purworejo di sebelah barat, Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul di sebelah timur, dan Samudra Hindia di sebelah selatan lihat lampiran 6. Kabupaten Gunungkidul terletak pada 7 o 58’ LS dan 110 o 36’ BT. 12 Kabupaten Gunungkidul berada pada ketinggian 100-700 m di atas permukaan laut. Kabupaten Gunungkidul bagian utara zone utara berada pada ketinggian 200-700 m di atas permukaan laut. Kabupaten Gunungkidul bagian tengah zone tengah atau yang dikenal dengan Ledok Wonosari berada pada ketinggian 150- 300 m di atas permukaan laut. Kabupaten Gunungkidul bagian selatan zone selatan atau yang dikenal dengan Gunung Seribu merupakan daerah berbukit dan berbatu karang yang berada pada ketinggian 100-300 m di atas permukaan laut. 13 Wilayah Kabupaten Gunungkidul memiliki luas wilayah 1485,36 km 2 terdiri dari 13 kecamatan dan 144 kelurahan. Wilayah Kabupaten Gunungkidul berbatasan dengan Kabupaten Klaten dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah utara, Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman di sebelah barat, Kabupaten Wonogiri di sebelah timur, dan Samudra Hindia di sebelah selatan lihat lampiran 7. 12 Biro Hubungan Masyarakat, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta: Biro Hubungan Masyarakat, t.t, hlm. 1. 13 Sutrisno Kutoyo, op.cit., hlm. 37. 30 Iklim adalah suatu keadaan yang menggambarkan suasana mengenai udara dan cuaca di sebuah wilayah dalam kurun waktu tertentu. 14 Iklim meliputi temperatur, kecepatan angin, kelembaban udara, dan curah hujan. Temperatur harian di wilayah DIY berkisar 26,68 o C dengan rata-rata maksimum 30,48 o - 33,6 o C dan rata-rata minimum 21,1 o -23,0 o C. 15 Kecepatan angin sekitar 5-16 knot per jam 2,57-8,22 mdetik. Kelembaban udara di wilayah DIY berkisar antara 73-77 dengan maksimum 95-97 dan minimum 43-45. Curah hujan tahunan di wilayah DIY berdasarkan Peta Isohyet rata-rata berkisar dari 1500- 3500 mm. Hidrologi di wilayah DIY terdiri dari hidrologi sungai dan air tanah yang berfungsi sebagai irigasi pertanian dan keperluan sehari-hari penduduk. DIY dialiri oleh beberapa sungai besar yang melewati Kabupaten Sleman, Kabupaten Kulon Progo, dan Kabupaten Bantul serta langsung bermuara ke Lautan Indonesia. Sungai tersebut antara lain, Sungai Progo, Sungai Oyo dan Sungai Opak 16 yang tergolong sungai besar berdasarkan luas daerah pengalirannya. Sungai Progo dengan daerah pengaliran yang berasal dari Pegunungan Kulon Progo, Gunung Merapi, dan lainnya terletak di luar DIY memiliki luas daerah pengaliran sebesar 69.460 ha. Sungai Opak dengan daerah pengaliran Sungai Oyo yang berasal dari Pegunungan Selatan dan daerah pengaliran yang berasal dari 14 Desi Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Amalia, 2003, hlm. 177. 15 Kantor Pusat Data Propinsi DIY, op.cit, hlm. 16. 16 Kantor Pusat Data Propinsi DIY, op.cit, hlm. 27. 31 lereng selatan Gunung Merapi memiliki luas daerah pengaliran sebesar 50.830 ha, sementara Sungai Oyo memiliki luas daerah pengaliran sebesar 72.710 ha. Tanah dalam kaitannya dengan pertanian memiliki fungsi yang sangat penting karena tanah merupakan tempat tumbuhnya tanaman pertanian. Tingkat kesuburan tanah sangat mempengaruhi produktivitas tanaman pertanian. Jenis- jenis tanah yang ada di wilayah DIY pada umumnya adalah tanah yang subur sehingga sangat memungkinkan untuk dijadikan area persawahan. Jenis tanah yang terdapat di beberapa kabupaten di DIY memiliki sifat, kesuburan, dan kemampuan yang berbeda-beda. Jenis tanah yang ada di wilayah DIY antara lain, rendsina, mediteran, regosol, kambisol, aluvial, gleisol, latosol, dan gromusol. 17 Keadaan geografis di suatu daerah pada dasarnya merupakan faktor utama atas berlangsungnya kehidupan manusia, salah satunya adalah bidang pertanian. Pertanian di DIY sangat dipengaruhi oleh keadaan geografisnya seperti iklim, kelembaban udara, hidrologi, dan jenis tanah yang telah dijelaskan diatas. Pertanian di DIY telah dimulai sejak masa prasejarah ketika masyarakatnya masih bersifat primitif. Pertanian hanya dilakukan dengan cara yang sederhana yaitu dengan mencari dan mengumpulkan bahan makanan dari beberapa tempat. Perkembangan masyarakat yang semakin maju menyebabkan kemajuan pertanian. Pertanian mulai dilakukan dengan cara menanam padi sehingga masyarakat tidak perlu lagi mencari dan mengumpulkan bahan makan dari beberapa tempat. Penanaman padi di DIY telah dimulai pada masa Kerajaan 17 Ibid. , hlm. 40. 32 Mataram. 18 Denys Lombard menyebutkan kepemilikan sawah di Kerajaan Mataram tidak hanya dikuasai oleh raja, tetapi para bangsawan berhak mengelola lahan yang kemudian dikerjakan oleh rakyat biasa. 19 Kondisi produksi padi pernah dicatat oleh Residen Yogyakarta yaitu Matthias Waterloo pada tahun 1804. 20 Matthias Waterloo mengatakan bahwa produksi padi pada masa itu lebih baik daripada 20 tahun sebelumnya. Thomas Stamford Raffles seorang Gubernur Jenderal yang pernah berkuasa di Jawa pada tahun 1811-1816, juga mengatakan dalam sebuah tulisan bahwa sedikit sekali negeri yang rakyatnya dapat makan nasi dengan baik seperti di Jawa. Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa kondisi produksi padi di Yogyakarta pada masa itu dapat dikatakan baik. Padi adalah tanaman penting bagi Kesultanan Yogyakarta, karena tanaman tersebut merupakan komoditi ekspor utama, selain produk lainnya seperti tembakau, kain, dan batik. 21 Penanaman padi di DIY juga tidak terlepas dari inovasi Pemerintah Jepang khususnya di bidang pertanian rakyat. 22 Pemerintah Jepang mencoba 18 Andreas Maryoto, Jejak Pangan: Sejarah, Silang Budaya, dan Masa Depan , Jakarta: Kompas, 2009, hlm. 24. 19 Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya: Warisan Kerajaan- kerajaan Konsentris , Jakarta: Gramedia Pustaka, 2008, hlm. 45. 20 Ibid . 21 Ibid. 22 Pemerintah Belanda dan Jepang telah mencoba meningkatkan produksi pertanian. Usaha-usaha tersebut terpusat pada pengenalan teknik-teknik pertanian yang lebih baik, penggunaan pupuk kandang dan pupuk impor, serta pemilihan bibit-bibit yang lebih baik. 33 memperkenalkan sistem penanaman bergaris 23 sebagai teknik penanaman padi yang lebih baik. Pemerintah Jepang juga memperkenalkan pupuk kompos yang terbuat dari guguran daun, kotoran hewan, dan sampah-sampah yang dimasukkan ke dalam tanah, diairi, dan ditutup selama beberapa hari. Bibit padi yang diimpor dari Taiwan merupakan bibit padi unggul yang diperkenalkan oleh Pemerintah Jepang. Bibit tersebut dapat menghasilkan padi yang baik dan bisa dipanen sebanyak tiga kali dalam rentang waktu satu tahun, padahal dalam sistem tradisional padi hanya bisa dipanen sebanyak dua kali. 24 Pertanian di DIY termasuk pertanian yang telah maju sehingga sistem pertanian yang diterapkan adalah sistem pertanian menetap sedentary. Pertanian yang telah maju dilakukan secara teratur dan dicirikan oleh peralatan besi yang cukup seperti cangkul, bajak, dan traktor. 25 Sistem pertanian menetap berbeda dengan sistem pertanian berpindah shifting yang dilakukan oleh pertanian primitif. Sistem pertanian menetap hanya mengolah tanah pada satu tempat yang telah ditentukan dan dilakukan secara berkelanjutan. Pertanian di DIY termasuk dalam pertanian rakyat sehingga pola penggunaan tanahnya terdiri dari sawah, ladang atau tegalan, pekarangan, hutan, 23 Sistem penanaman bergaris dilakukan dengan membuat suatu jalur penanaman yang ditentukan dengan merentangkan tali pada kedua sisi sawah, kemudian bibit padi ditanam menurut jarak yang sudah ditentukan. Sistem tersebut membutuhkan sedikit bibit dan tenaga kerja daripada yang dipakai dalam sistem tradisional. 24 Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1982, hlm. 189. 25 Johara T. Jayadinata, Tata Guna Tanah Dalam Perencanaan Pedesaan, Perkotaan dan Wilayah , Bandung: Penerbit ITB, 1999, hlm. 70. 34 dan lain-lain. Sawah merupakan tanah yang diusahakan dan diberi pengairan untuk menanam padi. Sawah menurut jenis pengairannya terdiri dari sawah tadah hujan 26 dan sawah oncoran. 27 Sawah tadah hujan biasanya berada di daerah yang tidak memiliki pasokan air yang cukup untuk mengairi sawah, sehingga hanya dapat bergantung pada musim hujan. 28 Sawah tadah hujan di DIY banyak terdapat di Kabupaten Bantul, Kulon Progo, Kabupaten dan Gunungkidul. Sawah oncoran biasanya berada di daerah yang memiliki pasokan air yang cukup untuk mengairi sawah. Sawah oncoran di DIY banyak terdapat di Kabupaten Sleman. 29 Pengairan diurus oleh pamong desa yang ada di setiap kelurahan. Pamong desa yang bertugas mengurus pengairan biasanya disebut dengan ulu-ulu. Pengairan sawah di DIY terutama di daerah pedesaan juga diurus oleh pamong desa atau perabot desa. 30 Pengairan untuk sawah selain melalui sistem tadah hujan dan oncoran, dapat juga diperoleh melalui pengairan teknis. Pengairan teknis mulai diadakan di DIY sekitar tahun 1960-an. Pengairan teknis merupakan pengairan yang diperoleh dari sistem irigasi teknis, yaitu terdapat pemisahan antara saluran pemberi dan saluran pembuang dalam jaringan irigasinya agar 26 Sawah tadah hujan adalah sawah yang pengairannya berasal penampungan, penyebaran dan perluasan air hujan. 27 Sawah oncoran adalah sawah yang pengairannya berasal dari saluran irigasi seperti sungai dan selokan. 28 Johara T. Jayadinata, Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan Perkotaan dan Wilayah , Bandung: ITB, 1986, hlm. 71. 29 Depdikbud, Adat Istiadat Daerah Istimewa DIY, Jakarta: Depdikbud, 1976, hlm. 41. 30 Ibid ., hlm. 53. 35 penyediaan dan pembagian air dapat diatur dengan mudah. Jaringan irigasi teknis terdiri dari saluran induk yaitu saluran air sekunder dan saluran air tersier yang dibangun serta dipelihara oleh Dinas Pengairan atau Pemerintah. 31 Sawah sebagai lahan pertanian dilakukan dalam beberapa tahap pengerjaan, antara lain pengolahan sawah, penanaman, pemeliharaan tanaman, pengambilan hasil tanaman, dan pengolahan hasil tanaman. Pengolahan sawah merupakan tahap awal pengerjaan lahan persawahan. Pengolahan sawah dilakukan dengan cara mengolah tanah yaitu membalik lapisan tanah kemudian diberi pupuk agar tanah memiliki kualitas yang baik sehingga siap untuk ditanami. Penanaman dilakukan setelah tahap pengolahan sawah. Penanaman biasanya dilakukan dengan cara menanam bibit tanaman yang akan ditanam pada lapisan tanah yang telah diolah dan diberi pupuk. Penanaman memerlukan alat pertanian seperti kuali, dandang, tombong, gembor, besek, ember, dan gayung. Pemeliharaan tanaman dilakukan setelah tahap penanaman. Pemeliharaan biasanya dilakukan dengan cara memberi pupuk dan obat pada tanaman agar terhindar dari hama dan penyakit. Pemeliharaan tanaman memerlukan alat pertanian seperti hand sprayer 32 yang berfungsi sebagai alat penyemprot obat tanaman. Pengambilan hasil tanaman dilakukan setelah tahap pemeliharaan tanaman. Pengambilan hasil tanaman biasanya dilakukan dengan mengambil atau memetik tanaman yang sudah siap untuk dipanen. Pengambilan 31 Isni Herawati dan Sumintarsih, Peralatan Produksi Tradisional dan Perkembangannnya di Daerah Istimewa DIY , Jakarta: Depdikbud, 1989, hlm. 63. 32 Hand sprayer adalah alat penyemprot obat tanaman yang penggunaannya dilakukan dengan cara memompa secara berturut-turut. 36 hasil tanaman memerlukan alat pertanian seperti sabit, keronjot karung plastik, klehtek gerobak kecil, grobog, dan genthong. Pengolahan dilakukan setelah tahap pengambilan hasil tanaman. Pengambilan hasil tanaman memerlukan alat pertanian seperti blungkang pelepah daun kelapa, threser alat perontok padi modern, huller atau rice milling unit, lumpang, dan alu. Ladang merupakan bagian dari lahan pertanian yang ada di DIY. Ladang atau tegalan adalah tanah yang diusahakan untuk menanam tanaman selain tanaman pangan, misalnya tanaman palawija dan tanaman sampingan lainnya tanpa dialiri air. Geertz menyebutkan tiga ciri pokok perladangan yaitu perladangan pada tingkat umum dicapai dengan meniru hutan tropis, kualitas yang tinggi antara zat makanan yang tersimpan dalam bentuk hidup dan dalam tanah, serta ladang dan hutan mengikuti arsitektur umum yaitu berstuktur pelindung tertutup. 33 Gourou menyebutkan ciri-ciri ladang antara lain, diusahakan di tanah tropis yang gersang, teknik pertanian yang sederhana tanpa menggunakan alat kecuali kampak, kepadatan penduduk rendah, dan tingkat konsumsi rendah. Otto Soemarwoto seorang ahli ekologi mengatakan sistem perladangan ditandai dengan munculnya kerusakan hutan, erosi, banjir, dan kekeringan tanah. Zein mengatakan ladang sebagai suatu kegiatan ekonomi yang mempunyai akibat ekstern dan tidak tercermin di dalam harga produksi. 34 Ladang memiliki persamaan dengan pekarangan dan hutan. Persamaan antara ketiganya adalah 33 Handojo Adi Pranowo, Manusia dan Hutan: Proses Perubahan Ekologi di Lereng Gunung Merapi , DIY: Gadjah Mada University, 1985, hlm. 33. 34 Ibid ., hlm. 30. 37 tidak diberi pengairan secara khusus. Pola perladangan dilakukan dalam beberapa tahap pengerjaan, yaitu memilih tempat, menebas, menebang, membakar dan membersihkan, menanam, mendangir, menjaga dan mengetam. 35 Tahap memilih tempat, menebas, menebang, membakar dan membersihkan pada masa sekarang sudah tidak dilakukan lagi, mengingat sistem pertanian yang digunakan pada masa sekarang adalah sistem pertanian menetap sedentary, sehingga tahap yang dilakukan hanya menanam, mendangir, dan mengetam. Menanam dilakukan dengan cara membuat lubang di dalam tanah ±5 cm dengan menggunakan gejlig. 36 Tahap selanjutnya setelah menanam adalah mendangir. Mendangir dilakukan dengan membalik lapisan tanah dengan menggunakan pacul cangkul agar mempercepat proses pembusukan dari dedaunan dan juga mematikan rumput-rumput liar yang mengganggu pertumbuhan tanaman. 37 Tahap selanjutnya setelah mendangir adalah mengetam. Mengetam dilakukan dengan memetik hasil tanaman yang telah siap panen. Pekarangan merupakan tanah yang diusahakan untuk menanam tanaman selain padi. Pekarangan dapat juga disebut sebagai kebun kecil yang biasanya terdapat di sekitar rumah. Jenis tanaman yang ditanam di pekarangan adalah sayur-sayuran, buah-buahan, bumbu, atau tanaman lain yang diperlukan untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Pekarangan juga dapat ditanami tanaman umbi- 35 Handojo Adi Pranowo, op.cit., hlm. 35. 36 Gejlig adalah potongan kayu yang runcing di bagian ujungnya, memiliki diameter ± 7 cm dan digunakan untuk membuat lubang di dalam tanah. 37 Handojo Adi Pranowo, op.cit., hlm. 42. 38 umbian seperti berbagai jenis ubi dan singkong. 38 Hutan adalah tanah yang diusahakan untuk ditanami pohon-pohon tertentu. Hutan terdiri dari hutan lindung yang biasanya dilindungi dan dirawat oleh pemerintah melalui Dinas Kehutanan, sedangkan hutan liar merupakan hutan yang keberadaannya tidak dilindungi dan dirawat. Hutan dibuat untuk kegunaan tertentu yaitu mencegah bencana alam seperti banjir dan tanah longsor. Pola penggunaan tanah di DIY pada dasarnya memiliki kesamaan dengan pola penggunaan tanah di provinsi lain, namun yang membedakan adalah proporsi penggunaan dari setiap jenis lahan pertanian. Hal itu disebabkan oleh keadaan geografis yang berbeda di setiap kabupaten yang ada di DIY. Tabel 1 Pola Penggunaan Tanah di DIY dalam hektar Penggunaan Tanah KotamadyaKabupaten Yogyakarta Sleman Bantul Kulon Progo Gunungkidul Sawah 543 27.387 17.769 7.746 11.043,34 Tegalan 42 6.915 6.428 84.093 28.047,81 Pekarangan 1,447 16.110 18.092 24.493 10.797,19 Hutan - 1.545 918,4 13.378 1.021,10 Lain-lain 101.9 5.609 7.477,6 18.826 7.718,10 Sumber: Kotamadya Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupatn Kulon Progo, dan Kabupaten Gunungkidul, hlm. 1. Pola penggunaan tanah di DIY paling besar digunakan untuk tanah tegalan yaitu seluas 125.525,81 ha, kemudian untuk tanah pekarangan seluas 69.493,637 ha, tanah persawahan seluas 64.488,34 ha, tanah lain-lain seluas 39.732,6, dan tanah hutan seluas 16.892,5 ha. Kabupaten Sleman dengan tanah 38 Koentjaraningrat, Masyarakat Desa di Indonesia, Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1984, hlm. 3. 39 persawahan seluas 27.387 ha merupakan areal persawahan terluas di DIY 39 , disusul dengan Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten dan Kabupaten Kulon Progo, dan Kotamadya Yogyakarta yang memiliki areal persawahan terkecil dari kabupaten lainnya yaitu seluas 543 ha. Kabupaten Kulon Progo dengan tanah tegalan seluas 84.093 ha merupakan areal tegalan terluas di DIY, 40 disusul dengan Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, dan Kotamadya Yogyakarta yang memiliki luas tegalan terkecil dari kabupaten lainnya yaitu seluas 42 ha. Kabupaten Kulon Progo dengan tanah pekarangan seluas 24.493 ha merupakan areal pekarangan terluas di DIY, 41 disusul dengan Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, Kabupaten Gunungkidul, dan Kotamadya Yogyakarta yang memiliki areal pekarangan terkecil dari kabupaten lainnya yaitu seluas 42 ha. Kabupaten Kulon Progo dengan tanah hutan seluas 13.378 ha merupakan areal hutan terluas di DIY, 42 disusul Kabupaten Sleman, Kabupaten Gunungkidul, dan Kabupaten Bantul, sedangkan Kotamadya Yogyakarta tidak memiliki areal hutan. 39 Biro Hubungan Masyarakat, Kabupaten Sleman, Yogyakarta: Biro Hubungan Masyarakat, t.t, hlm. 1. 40 Biro Hubungan Masyarakat, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta: Biro Hubungan Masyarakat, t.t, hlm. 1. 41 Ibid . 42 Ibid . 40

B. Keadaan Penduduk

Penduduk merupakan jumlah orang yang bertempat tinggal di suatu wilayah pada waktu tertentu dan merupakan hasil proses-proses demografi yaitu fertilitas, mortalitas, dan migrasi. 43 Keadaan penduduk yang akan dibahas pada bagian ini adalah jumlah penduduk, pertumbuhan penduduk, dan persebaran penduduk. Penduduk DIY tersebar di wilayah Kotamadya Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunungkidul, dan Kabupaten Kulon Progo. 44 Tabel 2 Jumlah Penduduk DIY Menurut KotamadyaKabupaten Tahun 1961-1984 dalam jiwa Tahun KotamadyaKabupaten Yogyakarta Sleman Bantul Gunungkidul Kulon Progo 1961 341.421 526.597 496.155 565.436 353.372 1970 390.363 595.476 574.317 619.226 390.273 1980 386.065 662.354 638.743 685.945 401.043 1981 394.295 673.687 644.779 690.015 403.557 1982 398.277 684.236 651.131 693.374 405.931 1983 408.033 698.789 658.870 697.278 408.710 1984 411.405 708.658 664.511 704.204 407.937 Sumber: Statistik Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1970-1972, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Angka Tahun 1978 Bagian I, dan Yogyakarta Dalam Trend Statistik 1982-1986, hlm. 47. Pertambahan penduduk menurut sensus penduduk tahun 1961-1971 rata- rata sebesar 1,19 per tahun, dan sensus penduduk tahun 1971-1980 rata-rata 43 Said Rusli, Pengantar Ilmu Kependudukan, Jakarta: LP3ES, 1983, hlm. 35. 44 Kantor Pusat Data Propinsi DIY, op.cit., hlm. 62. 41 sebesar 1,1 per tahun. 45 Pertumbuhan penduduk di Kotamadya Yogyakarta lebih cepat dibanding ke empat kabupaten lainnya. Kotamadya Yogyakarta memiliki rata-rata pertumbuhan penduduk sebesar 1,5 per tahun sedangkan Kabupaten Sleman rata-rata 1,4 per tahun. Kabupaten Bantul pertumbuhan penduduknya rata-rata 1,3 per tahun, Kabupaten Gunungkidul rata-rata 1,2 per tahun, dan Kabupaten Kulon Progo merupakan kabupaten dengan pertumbuhan penduduk terendah yaitu rata-rata 0,7 per tahun. Pertumbuhan penduduk yang tinggi sangat mempengaruhi tingkat kepadatan penduduk di masing-masing kotamadya dan kabupaten. Kepadatan penduduk Kotamadya Yogyakarta lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunungkidul, dan Kabupaten Kulon Progo. Tabel 3 Persentase Pertumbuhan Penduduk DIY Menurut KotamadyaKabupaten dalam persen Tahun KotamadyaKabupaten Yogyakarta Sleman Bantul Gunungkidul Kulon Progo 1976 0,8 1,3 1,1 1,3 0,8 1977 1,2 1,5 1,3 1,1 0,8 1978 2,2 1,3 1,6 1,1 0,9 1979 1,0 2,0 1,6 1,7 0,8 1980 2,0 0,9 0,8 0,7 0,2 Sumber: Monografi Daerah Istimewa Yogyakarta, hlm. 55. Persebaran penduduk di DIY adalah sebagai berikut, Kotamadya Yogyakarta sebanyak 13,9, Kabupaten Sleman 23,8, Kabupaten Bantul sebanyak 23,0, Kabupaten Gunungkidul sebanyak 24,7, dan Kabupaten Kulon 45 Kantor Pusat Data Propinsi DIY, op.cit., hlm. 55. 42 Progo sebanyak 14,6. Perubahan yang sedikit terlihat adalah penyebaran penduduk di Kotamadya Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Kulon Progo. Kotamadya Yogyakarta penyebaran penduduknya dari 13,79 menjadi 13,94, Kabupaten Sleman dari 23,59 menjadi 23,81, sedangkan Kabupaten Kulon Progo mengalami penurunan dari 14,92 menjadi 14,56. Tabel 4 Persentase Penduduk DIY menurut KotamadyaKabupaten dalam persen Tahun KotamadyaKabupaten Yogyakarta Sleman Bantul Gunungkidul Kulonprogo 1976 13,79 23,59 22,93 24,77 14,92 1977 13,75 23,64 22,93 24,80 14,88 1978 13,75 23,71 22,94 24,77 14,83 1979 13,86 23,69 22,99 24,70 14,76 1980 13,79 23,81 23,00 24,74 14,56 1981 13,94 23,81 28,98 24,71 14,56 Sumber: Monografi Daerah Istimewa Yogyakarta, hlm. 62. Penduduk DIY secara umum menganut agama atau kepercayaan yang diakui oleh negara secara sah, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Penduduk di DIY sebagian besar bekerja di sektor pertanian, karena wilayah DIY merupakan daerah agraris. 46 Penduduk DIY yang bekerja di sektor pertanian sekitar 62,9. Sektor perekonomian lain yang juga memegang peranan penting dalam perekonomian masyarakat adalah sektor industri, perdagangan, dan jasa. Sektor pertanian sebagai sektor perekonomian utama mengalami penurunan di tahun 1976-1979, namun hal tersebut diimbangi dengan kenaikan di sektor lainnya yaitu, sektor industri naik 2,3, sektor perdagangan naik 2,5, dan sektor jasa naik 1,2. 46 Kantor Pusat Data Propinsi DIY, op.cit., hlm. 67. 43 Tabel 5 Persentase Penduduk Menurut Lapangan Pekerjaan di DIY dalam persen No. Lapangan pekerjaan Tahun 1976 1979 1. Pertanian 62,9 55,1 2. Industri 12,4 14,7 3. Perdagangan 10,3 12,8 4. Jasa 10,1 11,3 Sumber: Monografi Daerah Istimewa Yogyakarta, hlm. 67. Penduduk DIY yang bekerja di sektor pertanian mayoritas bermatapencaharian sebagai petani. Petani dalam memenuhi kebutuhan hidup sangat bergantung pada lahan pertanian, padahal tidak semua petani tergolong sebagai petani kaya yang dapat memenuhi semua kebutuhan hidup. Sajogyo membagi golongan petani di Jawa menurut kepemilikan tanahnya yaitu petani lapisan atas, petani sedang, dan petani lapisan bawah petani gurem. 47 Petani lapisan atas adalah petani yang memiliki tanah lebih dari 1 hektar. Petani sedang adalah petani yang memiliki tanah antara 0,5-1 hektar. Petani lapisan bawah petani gurem adalah petani yang memiliki tanah kurang dari 0,5 hektar. 48 Golongan petani di DIY terdiri dari petani kaya, petani kecil, petani gurem , dan buruh tani. 49 Petani kaya adalah petani yang memilihi lahan pertanian dengan luas lebih dari dua hektar, dan biasanya menyediakan tanahnya kepada orang lain. Petani kaya cenderung menggunakan modalnya untuk mempekerjakan 47 Khairuddin, Pembangunan Masyarakat: Tinjauan Aspek Sosiologi, Ekonomi , dan Perencanaan, Yogyakarta: Liberty, 1992, hlm. 143. 48 Ibid . 49 Djoko Suryo, Gaya Hidup Masyarakat Jawa di Pedesaan: Pola Kehidupan Sosial dan Ekonomi , Jakarta: Depdikbud, 1985, hlm. 22.