24
primer, sekunder, tersier
32
yaitu buku-buku, majalah-majalah, tulisan, karangan ilmiah, peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi, serta putusan-putusan
Pengadilan Niaga, serta sumber hukum lain yang berkaitan dengan materi penelitian. Data dalam penelitian ini diperoleh dengan cara studi dokumen yang
digunakan untuk memperoleh data sekunder, dengan membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi dan menganalisa data sekunder yang berkaitan dengan
penelitian. Studi dokumen atau dapat juga dikatakan sebagai studi literatur riset pustaka, apa yang menurut Soejono Soekanto dalam bukunya sebagai “..any
technique for making inferences by objectively and systematically identifying specifed characteristics of massages”.
33
4. Analisis Data
Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan menguraikan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan
dapat dirumuskan hipotesa kerja seperti yang disarankan data.
34
Analisis data menurut Patton adalah “sebuah proses mengatur urutan data mengorganisasikannya
ke dalam suatu pola, kategori dan kesatuan uraian dasar”.
35
Kegiatan analisis
data dalam
penelitian ini
dilakukan dengan
menginventarisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan persoalan yang
32
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek Jakarta: Sinar Grafika , 1996, hal. 14.
33
M. Hafidullah, Analisis Yuridis Terhadap Penerapan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Pada Karya Cipta Source
Code Piranti Lunak Komputer Yogyakarta:
Laporan Penelitian Lembaga Kajian Hukum Teknologi, 2005, hal. 4.
34
Lexy J. Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993, hal. 103.
35
Ibid, hal. 103.
Universitas Sumatera Utara
25
menjadi obyek kajian. Data yang terkumpul akan diidentifikasikan kemudian dilakukan penganalisisan secara kualitatif berupa pembahasan, antara berbagai data
sekunder yang terkait dengan berbagai peraturan perundang-undangan dan bahan hukum yang telah diinventarisir.
5. Penarikan Kesimpulan
Pada tahap akhir akan ditemukan hukum secara konkret, sehingga penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berpikir deduktif yakni
pengambilan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum kepada yang bersifat khusus.
Universitas Sumatera Utara
26
BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP MEREK DAGANG ASING DI
INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK
A. Konvensi-Konvensi Internasional 1.
Konvensi Paris
Secara keseluruhan konvensi Internasional di bidang merek dimulai pada tahun 1883 dengan ditanda-tanganinya The Paris Convention for the Protection of
Industrial Property selanjutnya disebut konvensi Paris yang merupakan salah satu
konvensi intelektual pertama dan terpenting. Awalnya konvensi ini ditandatangani oleh 11 negara peserta, kemudian bertambah hingga tahun 1976 berjumlah 82 negara,
dan Indonesia termasuk didalamnya. Dalam Konvensi Paris, terminologi HKI meliputi: paten, utility model, industrial design, trademarks, service marks, trade
names, indications of source or appellation of origin, dan repression of unfair
competition Pasal 1 Provision of the Paris Convention for the Protection of
Industrial Property 1967, mentioned in the TRIPs Agreement, WIPO, Geneva.
Salah satu tujuan Konvensi Paris adalah untuk mencapai unifikasi di bidang perundang-undangan merek sedapat mungkin, dengan harapan agar tercipta satu
macam hukum tentang merek atau cap dagang yang dapat mengatur soal-soal merek secara seragam di seluruh dunia. Ada 3 tiga hal penting yang diatur dalam Konvensi
Paris ini, yaitu national treatment, yang artinya bahwa setiap warga negara peserta
26
Universitas Sumatera Utara
27
Konvensi Paris bisa mengklaim negara peserta lainnya, agar ia diperlakukan sama dengan warga negaranya sendiri, dalam hal pemberian perlindungan merek, Priority
rights , yaitu hak-hak prioritas yang diberikan keapda setiap warga negara peserta
konvensi untuk mendaftarkan mereknya dalam jangka waktu 6 enam bulan terhitung sejak tanggal pendaftaran mereknya di negara peserta konvensi Paris, dan
registration yang merupakan harmonisasi secara global sehubungan dengan
pendaftaran merek bagi setiap peserta Konvensi Paris.
36
2. Perjanjian Madrid
Perjanjian Internasional lainnya mengenai merek adalah Perjanjian Madrid Madrid Agreement tahun 1891 yang direvisi di Stockholm pada tahun 1967. Pasal
1, 2, 3 Perjanjian Madrid ditentukan bahwa Perjanjian Madrid berhubungan dengan perjanjian hak merek dagang melalui pendaftaran merek dagang Internasional, yang
berdasarkan pendaftaran di negara asal. Pendaftaran Internasional tersebut memungkinkan diperolehnya perlindungan merek dagang di seluruh negara anggota
peserta Perjanjian Madrid melalui satu pendaftaran saja. Permohonan pendaftaran merek internasional harus berdasarkan pada satu
atau lebih pendaftaran pada Negara Protocol dimana Pemohon tinggal, berbisnis atau berkewarganegaraan. Permohonan tersebut harus diajukan melalui Kantor Merek
Negara tersebut. Kantor Merek akan memeriksa detail dari permohonan internasional tersebut termasuk kesamaannya dengan aplikasi atau pendaftaran pada Negara
36
Dwi Rezeki Sri Astarini, Penghapusan Merek Terdaftar, Bandung: PT. Alumni, 2009, hal. 62.
Universitas Sumatera Utara
28
tersebut selanjutnya mengirim ke WIPO International Bureau IB. IB tidak melakukan pemeriksaan substantif. IB hanya melakukan pemeriksaan formalitas
termasuk juga biaya, pengklasifikasian merek berdasarkan Nice Agreement. Apabila ada ketidaksesuaian maka IB akan memberitahukan Kantor Merek
Negara asal dan atau Pemohon, dan memberikan waktu untuk perbaikan. Apabila tidak ada ketidaksesuaian atau perbaikan sudah dilakukan maka IB akan mendaftar
merek tersebut pada International Register, memberitahukan Kantor Merek Negara asal dan
mengirim sertifikat pendaftaran pada pemegang.
IB juga akan
mempublikasikan pendaftaran pada Berita Resmi WIPO atas merek internasional dan mengirim detail ke Negara-negara tujuan. Masing-masing Negara tujuan akan
memeriksa International Registration berdasarkan Undang-Undang Mereknya masing-masing.
Apabila ada keberatan atau oposisi maka Negara tujuan akan memberi tahu IB yang akan menyampaikan kepada Pemegang Merek. Selanjutnya penyelesaian akan
diteruskan dengan melalui bantuan agen merek lokal. Berdasarkan Madrid Protocol, Kantor Merek harus mengeluarkan penolakan dalam jangka waktu 12 bulan dengan
pilihan perpanjangan 6 bulan. Apabila tidak ada penolakan dalam 12 atau 18 bulan maka merek harus mendapatkan perlindungan.
Biaya PendaftaranBiaya pendaftaran untuk lebih dari 3 kelas adalah US 497 untuk merek hitam putih dan US699 untuk
merek berwarna. Biaya tambahan untuk masing-masing Negara tujuan adalah US 55 kecuali Negara tujuan menentukan biaya sendiri yang tentunya tidak boleh melebihi
Universitas Sumatera Utara
29
biaya pendaftaran langsung ke Negara tersebut. Untuk kelas barang dan jasa yang didaftarkan lebih dari 3 maka masing-masing kelas lebihnya akan dikenakan US 55.
Tujuan yang hendak dicapai dari Perjanjian Madrid adalah mempermudah cara pendaftaran merek-merek
di berbagai negara dan juga menghindarkan pemberitahuan asal barang secara palsu. Indonesia sendiri sampai saat ini belum
masuk sebagai anggota Perjanjian Madrid. Tentunya dengan diratifikasinya Madrid Protocol maka pendaftaran merek
international akan lebih hemat. Hal ini menimbulkan harapan bahwa merek-merek nasional akan dapat mudah masuk ke pasar internasional. Namun harus disadari
walaupun biaya pendaftaran merek internasional menjadi lebih murah tetapi ‘merek’ merupakan biaya kecil apabila dilihat dari scope untuk orbit ke pasar internasional.
Masih ada besarnya biaya ekspor barang ke luar negeri yang harus dipikirkan, biaya pemasarantempat penjualan, biaya promosi, dll. Biaya-biaya lainnya ini tentunya
sangat besar untuk mempertahankan agar merek yang didaftarkan di Negara lain ini tetap tergolong merek yang digunakan.
Madrid Protocol memiliki prinsip ketergantungan pada pendaftaran di Negara asal. Untuk 5 lima tahun pertama mengikuti pada tanggal efektif dari pendaftaran
internasional, keberlakuan dan cakupan dar pendaftaran di Negara lain akan tergantung pada nasib dari permohonan atau pendaftaran di Negara asal. Misalnya
saja ada pembatasan, penolakan final atau abandonment di Negara asal, atau pembatalan, pencabutan pada Negara asal dalam jangka waktu 5 tahun, maka akan
memiliki efek yang sama pada pendaftaran internasional dan pada pendaftaran di
Universitas Sumatera Utara
30
Negara-negara anggota Madrid Protocol. Termasuk juga untuk abandonment, pembatalan atau semacamnya pada pendaftaran nasional yang terjadi sesudah masa 5
tahun dimana proses terjadi selama periode 5 tahun. Konsep ketergantungan ini sering menjadi central attack dimana muncul
peran dari pihak ketiga. Pendaftaran baru bebas dari kutukan ini apabila telah melewati masa 5 tahun. Namun diberikn kesempatan untuk melakukan transformasi
dimana diijinkan untuk mentransformasi pendaftaran internasional menjadi pengajuan permohonan individual yang harus diajukan dalam jangka waktu 3 bulan dari
pembatalan atas pendaftaran internasional. Tentunya dengan sistem ketergantungan ini maka akan merugikan pemilik merek apabila pendaftaran merek di Negara asal
mengalami hambatan karena berdampak pada Negara-negara lainnya. Dengan
diratifikasinya Madrid
Protocol maka
tentunya pasal
yang menyatakan bahwa semua pendaftaran HKI harus melalui Konsultan HKI akan
dikesampingkan. Maka pendaftaran melalui Madrid Protocol dapat dilakukan langsung ke Kantor Merek melalui IB. Tentunya Konsultan HKI akan kehilangan
pendapatan melalui pendaftaran secara significant mengingat Negara yang telah meratifikasi Madrid Protocol sudah cukup banyak yakni lebih dari 80 negara.
Termasuk juga hilangnya pemasukan dari service renewal. Apabila dikatakan bahwa Konsultan HKI akan mendapatkan kenaikan melalui proses litigasi belum tentu dapat
terbukti benar mengingat sejauh ini penolakan terhadap merek tidak terlalu banyak dibandingkan dengan aplikasi yang masuk sebagaimana digambarkan dalam data
Universitas Sumatera Utara
31
statistic 2001, 2002, 2003 dimana total penolakan adalah sebesar 10 dari permohonan pendaftaran merek yang masuk.
Kantor Merek tidak terlalu mengalami kerugian kecuali angka pendaftaran merek menjadi turun. Karena apabila aplikasi tetap jumlahnya, biaya juga tidak lebih
besar dibandingkan permohonan melalui nasional. Yang pasti pekerjaan kantor merek menjadi jauh lebih banyak karena harus langsung berkorespondensi dan
merespons secara lebih cepat kepada IB. Hal ini akan meyebabkan Kerugian bagi Pemerintah, karena dengan pendapatan yang berkurang pada Konsultan HKI akan
berdampak pada penerimaan pajak oleh pemerintah.
37
3. TRIPs- WTO