1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan perdagangan
global membuktikan
bahwa terjadinya
perdagangan Internasional secara cepat dan menyeluruh telah menjadi salah satu komponen yang sangat penting dalam menunjang pertumbuhan ekonomi suatu
bangsa. Arus globalisasi telah menjadikan kegiatan di sektor perdagangan semakin meningkat, bahkan telah menempatkan dunia sebagai pasar tunggal bersama.
Mobilisasi barang dan jasa yang berskala antar negara memerlukan standarisasi dan perlindungan, apalagi negara–negara menyadari perdagangan merupakan faktor yang
sangat penting dalam meningkatkan ekonomi negara. Dengan demikian sektor perdagangan harus diberi peran bilamana perekonomian negara ingin maju.
Dalam era perdagangan bebas, arus masuknya barang dari luar negeri ke wilayah pabean Indonesia tidak dapat dihindari. Oleh karena banyaknya barang yang
menggunakan merek dagang asing yang beredar di Indonesia maka merek dagang asing harus dapat diidentifikasi.
1
Pendaftaran dari sebuah merek yang digunakan untuk mengidentifikasi barang-barang dan jasa yang diproduksi atau didistribusi oleh
sebuah perusahaan tertentu dengan memberikan hak kepada perusahaan tersebut untuk mengunakan secara eksklusif merek dan perusahaan tersebut memiliki hak
1
Julius Rizaldi, Perlindungan Kemasan Produk Merek Terkenal Terhadap Persaingan Curang
, Bandung: PT. Alumni, 2009, hal.3.
1
Universitas Sumatera Utara
2
untuk mencegah penggunaan merek yang tidak sah. Membangun hubungan antara produk dan usaha menciptakan reputasi yang bernilai atau “nama baik” good will,
dan ini merupakan dasar dari kebanyakan perdagangan internasional.
2
Diberlakukannya perjanjian TRIPs Trade Related Aspects of Intellectual Property Right
pada tanggal 1 Januari 2000 memberikan harapan adanya perlindungan bagi berbagai produk intelektual dari upaya pelanggaran hak atas
produk yang dihasilkan baik oleh individu maupun suatu korporasi dalam bidang industri dan perdagangan dalam upaya menjaga pelanggaran hak atas keaslian karya
cipta yang menyangkut Hak Cipta, Hak-hak yang berkaitan dengan hak cipta, Merek, Paten,
Desain Industri, Perlindungan
Rahasia Dagang, Indikasi
Geografis, Perlindungan Variates Tanaman dan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. Undang-
undang tersebut dimaksudkan untuk memberikan rasa aman bagi kalangan industri dan perdagangan, namun hingga saat ini berbagai masalah di bidang Hak Kekayaan
Intelektual HKI masih saja terjadi. Ada dua alasan mengapa HKI perlu dilindungi oleh hukum. Pertama, alasan
non ekonomis dan kedua alasan ekonomis. Alasan yang bersifat non ekonomis menyatakan bahwa perlindungan hukum akan memacu mereka yang menghasilkan
karya-karya intelektual tersebut untuk terus melakukan kreativitas intelektual. Hal ini
2
Tim Lindsey, Eddy damian, dkk, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Bandung: Asian Law Group Pty Ltd dan PT. Alumni, 2002, hal. 132.
Universitas Sumatera Utara
3
akan meningkatkan “self actualization” pada diri manusia.
3
Bagi masyarakat hal ini akan berguna untuk meningkatkan perkembangan kehidupan mereka, sedangkan
alasan yang bersifat ekonomis adalah dengan melindungi mereka yang melahirkan karya intelektual tersebut, berarti yang melahirkan karya tersebut mendapatkan
keuntungan materiil dari karya-karyanya. Di lain pihak melindungi mereka dari adanya peniruan, pembajakan, penjiplakan maupun perbuatan curang lainnya yang
dilakukan oleh orang lain atas karya-karya mereka yang berhak. Hak atas Kekayaan Intelektual mencakup karya-karya yang dihasilkan oleh
manusia yang terdiri dari karya-karya di bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, sehingga dapat dibagi menjadi: Hak Cipta, Merek, Paten, Perlindungan Variates
Tanaman, Desain Industri, Rahasia Dagang dan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. Pengaturan di bidang Hak Kekayaan Intelektual dalam suatu peraturan perundang–
undangan telah distandarisasi dan berfungsi sebagai pranata yang mengatur dan mengarahkan perilaku masyarakat dalam melindungi dan mempertahankan karya
intelektualnya. Dengan rumusan lain peraturan perundang – undangan dibidang HKI berfungsi sebagai a tool of social engineering
4
yaitu sebagai alat pembaharuan dalam masyarakat, dalam istilah ini hukum diharapkan dapat berperan merubah nilai-nilai
sosial dalam masyarakat.
3
Insan Budi Maulana, Sukses Bisnis melalui Merek, Paten dan Hak Cipta, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997, hal. 23.
4
Retnowulan Sutanto, Perjanjian menurut Hukum Indonesia, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003, hal.35.
Universitas Sumatera Utara
4
Dunia industri dan perdagangan nasional menunjukkan berbagai gejala persaingan yang cukup berat, ditunjukkan oleh tingkat pemanfaatan kapasitas barang-
barang produk nasional yang rendah dan perebutan pasar yang tidak sehat, tidak simpatik, serta tidak mengindahkan nilai-nilai etis dalam perdagangan. Keadaan ini
sering kali bukan hanya merugikan para pedagang atau produsen, tetapi juga merugikan masyarakat luas khususnya konsumen. Merek sebagai salah satu wujud
karya intelektual memegang peranan yang amat penting di dalam mencegah terjadinya persaingan tidak sehat, begitu pentingnya peran suatu merek dapat dilihat
seperti yang ditegaskan Saidin bahwa: “Dengan merek, produk barang atau jasa sejenis dapat dibedakan asal muasalnya,
kualitasnya serta keterjaminan bahwa produk itu original. Kadangkala yang membuat harga suatu produk menjadi mahal bukan produknya, tetapi mereknya.
Merek adalah sesuatu yang ditempelkan atau dilekatkan pada satu produk, tetapi ia bukan produk itu sendiri. Seringkali setelah barang dibeli, mereknya tak dapat
dinikmati oleh si pembeli. Merek mungkin hanya menimbulkan kepuasan saja bagi pembeli. Benda materiilnya yang dapat dinikmati. Merek itu sendiri ternyata
hanya benda immateril yang tak dapat memberikan apapun secara fisik. Inilah yang membuktikan bahwa merek itu merupakan hak kekayaan immateril”.
5
Pengaturan Merek di Indonesia untuk pertama kali dapat dijumpai dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek
Perniagaan disebut pula Undang-Undang Merek 1961 dengan pertimbangan agar khalayak ramai dilindungi terhadap tiruan barang-barang yang memakai suatu merek
yang sudah dikenalnya sebagai merek barang-barang yang bermutu baik.
6
Seiring
5
Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, hal. 329-330.
6
C.S. T. Kansil, Hak Milik Intelektual Hak Milik Perindustrian dan Hak Cipta, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 145.
Universitas Sumatera Utara
5
berjalannya waktu, Pengaturan Merek di Indonesia telah mengalami perubahan. Oleh karena Perlindungan hukum bagi merek terkenal belum di atur di dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 1961, maka diperbaiki dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 jo Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2001 serta Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. M. 03-HC- 02.01 Tahun 1991 tentang Penolakan Permohonan Pendaftaran Merek Terkenal atau
Merek yang mirip Terkenal Milik Orang lain atau Badan lain. Merek adalah suatu tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf,
angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.
7
Dari pengertian tersebut secara umum diartikan bahwa merek adalah suatu tanda untuk
membedakan barang-barang yang dihasilkan atau diperdagangkan seseorang atau sekelompok orang atau badan hukum yang memiliki daya pembeda yang digunakan
dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa, sehingga tanda tersebut mampu memberi kesan pada saat seseorang melihat merek tersebut.
8
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 membedakan merek menjadi 3 tiga, yaitu merek dagang, merek jasa dan merek kolektif. Merek dagang adalah tanda yang
digunakan pada barang yang diperdagangkan untuk membedakan dengan barang- barang sejenis lainnya, merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang
diperdagangkan untuk membedakan dengan jasa sejenis lainnya, sedangkan Merek
7
Indonesia, Undang-Undang tentang Merek, UU Nomor 15 Tahun 2001, Pasal 1 butir1.
8
Suyud Margono, Longginus Hadi, Pembaharuan Perlindungan Hukum Merek, Jakarta: CV. Novindo Pustaka Mandiri, 2002, hal. 27.
Universitas Sumatera Utara
6
kolektif adalah merek yang digunakan pada barang dan atau jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara
bersama-sama untuk membedakan dengan barang danatau jasa sejenis lainnya Lihat Pasal 1 angka 2,3, dan 4 Undang-Undang No.15 tahun 2001.
Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 agar suatu merek memperoleh hak atas merek, maka pemilik merek harus mendaftarkan mereknya
tersebut pada kantor Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Dengan melakukan pendaftaran, pemilik merek akan memperoleh hak eksklusif atas
penggunaan merek tertentu atau untuk memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya selama jangka waktu tertentu serta mendapatkan perlindungan
hukum dari negara.
9
Suatu merek dapat diterima pendaftarannya jika memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Undang-undang. Berdasarkan pasal 5 Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2001 mengenai merek, yang tidak dapat didaftarkan bilamana mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
a. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan dan ketertiban umum;
b. tidak memiliki daya pembeda; c. telah menjadi milik umum atau;
d. merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimintakan pendaftaran.
9
Indirani Waudan, Tinjauan Yuridis Mengenai Peniruan Merek, Salatiga: FH-UKSW, 2006, 25.
Universitas Sumatera Utara
7
Selain itu suatu permintaan pendaftaran juga ditolak jika mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan merek yang sudah terkenal milik
orang lain yang sudah terdaftar terlebih dahulu untuk barang dan atau jasa yang sejenis maupun yang tidak sejenis pasal 6 ayat 1 dan 2. Sedangkan pengertian suatu
merek mempunyai persamaan pada pokoknya adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara merek yang satu dan merek yang lain, yang
dapat menimbulkan kesan adanya persamaan baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur-unsur ataupun persamaan
bunyi ucapan yang terdapat dalam merek-merek tersebut.
10
Ada dua sistem yang dikenal dalam pendaftaran merek, yaitu sistem deklaratif first to use dan sistem konstitutif first to file. Undang-undang merek Tahun 2001
menganut sistem pendaftaran konstitutif, sama dengan undang-undang sebelumnya, yaitu UU No. 19 Tahun 1992, dan UU No. 14 Tahun 1997. Hal ini merupakan
perubahan mendasar dalam Undang-undang merek di Indonesia yang semula menganut sistem deklaratif UU No. 21 Tahun 1961.
Dalam sistem deklaratif, titik berat diletakkan pada pemakai pertama first to use
. Siapa yang memakai pertama suatu merek, dialah yang dianggap berhak menurut hukum atas merek yang bersangkutan. Pendaftaran dipandang hanya
memberikan suatu prasangka menurut hukum, dugaan hukum bahwa orang pertama mendaftar adalah si pemakai pertama dengan konskuensi dia adalah pemilik merek
tersebut, sampai ada pembuktian sebaliknya. Dalam sistem pendaftaran deklaratif,
10
Indonesia, Undang-Undang tentang Merek, Op.cit, Penjelasan Pasal 6 ayat1 huruf a.
Universitas Sumatera Utara
8
pendaftaran merek bukan merupakan suatu keharusan, jadi tidak ada kewajiban untuk mendaftarakan merek. Pendaftaran hanya untuk pembuktian, bahwa pendaftar merek,
adalah pemakai pertama dari merek yang bersangkutan.
11
Menurut Saidin, dalam sistem deklaratif orang yang berhak atas merek bukanlah orang yang secara formal saja terdaftar mereknya, tetapi haruslah orang
yang sungguh-sungguh menggunakan atau memakai merek tersebut. Orang- orang yang sungguh-sungguh memakai dan menggunakan merek tersebut tidak
dapat dihentikan pemakaiannya oleh orang lain dengan begitu saja, meskipun orang yang disebut terakhir ini mendaftarkan mereknya. Dalam sistem deklaratif
orang yang tidak mendaftarkan mereknya pun tetap dilindungi. Sehingga kelemahan dari sistem deklaratif ini adalah, tidak adanya jaminan kepastian
hukum.
12
Pada sistem konstitutif hak atas merek diperoleh melalui pendaftaran, artinya hak eksklusif atas suatu merek diberikan karena adanya pendaftaran, sehingga dapat
dikatakan bahwa pendaftaran merek adalah hal mutlak, karena merek yang tidak di daftar, tidak akan mendapatkan perlindungan hukum. Dalam sistem pendaftaran
konstitutif, prinsip penerimaan merek adalah first to file
13
, artinya siapapun yang mendaftar lebih dahulu akan diterima pendaftaraannya dengan tidak mempersoalkan
apakah si pendaftar benar-benar menggunakan merek tersebut untuk kepentingan usahanya. Beberapa kemungkinan dapat terjadi setelah masuknya pendaftaran
pertama, misalnya muncul pendaftar lain yang sebenarnya berkepentingan langsung dengan merek tersebut, sebab pendaftar inilah yang secara riil menggunakan barang
11
Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata I, Himpunan Keputusan Merek Dagang
, Bandung: PT. Alumni, 1997, hal. 33.
12
Saidin, Op.cit, hal. 337-338.
13
Cita Citrawinda Priapantja, Perlindungan Merek Terkenal di Indonesia, Bogor: Biro Oktroi Rooseno, 2000, hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
9
tersebut. Hal-hal seperti ini lah yang menjadi permasalahan utama dalam sistem pendaftaran konstitutif.
Bentrokan antara keadilan dan kepastian hukum terjadi pada sistem konstitutif pendaftaran merek. Dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum, ada hak-
hak perseorangan yang tidak terpenuhi. Penggunaan merek milik orang lain banyak dilakukan orang atau badan hukum, mereka menggunakan merek tersebut tanpa ijin
pemiliknya, hal ini tentu akan merugikan pemilik merek yang terdaftar. Biasanya merek yang digunakan secara melawan hukum ini adalah merek dagang asing.
Menurut Penjelasan Umum Undang-undang Merek, perlindungan terhadap merek dagang asing didasarkan pertimbangan bahwa peniruan merek dagang asing atau
terkenal milik orang lain pada dasarnya dilandasi itikad tidak baik, karena mencari ketenaran merek orang lain, sehingga seharusnya merek tersebut tidak mendapatkan
perlindungan hukum, sehingga untuk ini, permintaan pendaftaran merek terkenal milik orang lain harus ditolak atau dibatalkan.
Asas umum yang berlaku dalam rangka perlindungan HKI pada hakikatnya adalah asas teritorial. Namun, dengan adanya Perjanjian TRIPS, berkembang satu
rezim hukum
internasional tentang
HKI meskipun
tanpa bermaksud
mengesampingkan rezim hukum yang telah lebih dahulu ada yaitu hukum nasional. Antara kedua rezim hukum tersebut sangat dibutuhkan suatu kerja sama. Rezim
hukum internasional tentang HKI tidak mungkin efektif tanpa ditransformasi ke dalam hukum nasional. Sebaliknya, rezim hukum nasional tentang HKI juga harus
mengindahkan kaidah-kaidah dalam rezim hukum internasional tentang HKI yang
Universitas Sumatera Utara
10
tujuannya untuk keseragaman pengaturan tentang HKI dalam rangka kebebasan lalu lintas barang, jasa dan modal secara internasional.
14
Hal tersebut di atas pernah menjadi dasar putusan Hakim pada kasus pelanggaran merek dagang asing “TOAST BOX” Nomor: 02Merek2011PN.
NiagaMedan, dimana merek dagang asing tersebut telah digunakan secara komersial di Singapura sejak tahun 2005 dan diperluas peredarannya ke negara-negara lain
seperti Thailand, Malaysia, Filipina dan sebagai keseriusan Penggugat BREAD TALK Pte,Ltd untuk membuka outlet di Indonesia maka pada tanggal 24 April 2008
mendaftarkan merek TOAST BOX dan logo pada Direktorat Merek Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia, sehingga Hakim memutuskan untuk membatalkan pendaftaran Merek TOAST BOX oleh Tergugat Frangky Chandra pada tanggal 16 Januari 2007
yang dianggap memiliki itikad tidak baikburuk karena telah menjiplakmeniru merek TOAST BOX
baik huruf, logo ataupun kata-kata. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek yang menggantikan
undang-undang merek yang telah ada sebelumnya, memberikan penegasan bahwa apabila terjadi suatu sengketa terhadap suatu merek terdaftar, maka gugatan
pembatalan pendaftaran merek tersebut dapat diajukan pada Pengadilan Niaga.
15
Sedangkan untuk melaksanakan pembatalan suatu merek kewenangannya berada pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia HAM Direktorat Jenderal Hak
14
Titon Slamet Kurnia, Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terkenal di Indonesia Pasca Perjanjian TRIPs
Bandung: PT. Alumni, 2011, hal. 16.
15
Indonesia, Undang-Undang tentang Merek,, Op.cit, Pasal 68 ayat 3, Pasal 76 ayat 2.
Universitas Sumatera Utara
11
Kekayaan Intelektual dengan mencoret merek yang bersangkutan dari Daftar Umum Merek, dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek.
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, tidak melarang perdagangan barang yang menggunakan merek yang tidak terdaftar. Namun sesuai
dengan prinsip perlindungan Merek yang bersifat Konstitutif yang dianut oleh Undang-undang No. 15 tahun 2001, merek dagang yang tidak terdaftar tersebut tidak
mendapat perlindungan hukum. Perkembangan teknologi informasi dan transportasi yang sangat pesat dalam
era globalisasi ini, ikut pula mendorong meningkatnya merek dagang asing yang masuk ke Indonesia. Hal ini berpotensi menimbulkan sengketa, sehingga diperlukan
aturan hukum yang tegas dan efektif untuk memberikan kepastian hukum di dalam perlindungan atas merek dagang asing tersebut. Oleh karena itulah, perlu dikaji
terlebih dahulu mengenai permasalahan pengaturan hukum merek yang berlaku di Indonesia dan yang terdapat dalam perjanjian Internasional.
B. Perumusan Masalah