Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 TRIPs- WTO

32 telah memicu perubahan yang sangat fenomenal dalam perkembangan sistem perlindungan HKI di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Persetujuan TRIPs menentukan standar-standar Internasional tertentu bagi penegakan yang bersifat perintah dan mengharuskan Negara anggota menyediakan perangkat kerja hukum yang efektif untuk melindungi hak-hak kekayaan intelektual, termasuk didalamnya merek. Setiap negara anggota memiliki kewajiban internasional untuk memasukkan TRIPs ke dalam hukum nasional tentang hak kekayaan intelektual. Untuk itu, Indonesia beberapa kali mengubah, menambah dan melengkapi ketentuan di dalam Undang-Undang Merek sebagai konsekuensi Indonesia meratifikasi TRIPs-WTO. Beberapa ketentuan merek yang diatur dalam persetujuan TRIPs cukup banyak yang telah diadopsi dalam Undang-Undang Merek Indonesia, diantaranya seperti lisensi dan indikasi geografis. Secara keseluruhan, TRIPs telah mempengaruhi dan membantu terciptanya suatu kecenderungan yang umum ke arah penyempurnaan perundang-undangan merek. TRIPs berguna sebagai suatu kesempatan positif bagi suatu negara untuk meningkatkan pembangunan ekonomi dan nasional.

B. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001

Dengan berlakunya UU Merek di Indonesia pencatutan, pendomplengan, penggunaan nama maupun domain name atas suatu merek yang telah terkenal merupakan musuh besar bagi perkembangan industri sebuah perusahaan. Pengaturan merek dengan Undang-Undang ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan Universitas Sumatera Utara 33 secara efektif untuk mencegah segala bentuk pelanggaran yang berupa penjiplakan, penggunaan nama yang sama, pencatutan nama, atau domain name atas suatu merek. UU Merek menetapkan tujuan, untuk mendorong kelancaran dan peningkatan perdagangan barang dan jasa merek dengan mempromosikan mereknya tersebut kepada khalayak ramai agar dapat dinikmati karena merek merupakan karya atas olah pikir manusia yang dituangkan ke dalam bentuk benda immaterial. Perlindungan terhadap merek asing atau luar bagi pemegang merek tersebut sangatlah menentukan bagi perkembangan dan kemajuan dari industri yang ditekuni dan dijalaninya agar merek yang dimilikinya tidak disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak mempunyai itikad baik dalam menggunakan mereknya untuk mengelabui konsumen yang telah lama memakai mereknya dengan mendaftarkan dan menggunakan nama yang sama pada pendaftarannya. Pelanggaran terhadap merek acapkali terjadi di Indonesia, terutama dalam hal penggunaan dan pendomplengan nama maupun penjiplakan dari merek terkenal. Sebuah merek sangatlah gampang untuk ditiru bagi produsen-produsen perusahaan untuk meningkatkan daya jual ke pasaran dengan menggandeng ketenaran dari merek perusahaan yang telah ada di pasaran sebelumnya. Pada Usaha Kecil Menengah UKM pada saat dilakukan mereka memamerkan produk-produk yang dimiliki oleh mereka yang belum didaftarkan. Hanya dengan melihat dan memotret produk tesebut kemudian membuatnya kembali produk tersebut dan didaftarkan. Cara seperti ini secara tidak langsung yang dimana Universitas Sumatera Utara 34 produk buatan seseorang tadi yang seharusnya miliknya dapat dengan mudah ditiru oleh orang lain dan mendaftarkannya sebagai merek dari produknya. Pelanggaran atas merek tidak hanya pada UKM saja, perusahaan yang telah tenar dan mereknya yang sudah dikenal khalayak ramai tidak luput dari pihak yang ingin menyabotase ketenarannya itu dengan mendompleng nama dari merek perusahaan tersebut. Dengan membuat nama mirip atau dari pengucapan yang serupa walaupun pada dasarnya berbeda jenis barangnya. Oknum tadi dengan mudah dapat meraup keuntungan dengan merek yang digunakannya tersebut sehingga menimbulkan keragu-raguan pada khalayak ramai terhadap produk yang dipakai oleh mereka dan telah beredar di pasaran. Jika ini hal ini tidak ditindaklanjuti secara serius maka akan terus menyebar dan orang akan melakukan tindakan seenaknya saja demi mendapatkan keuntungan yang berlebih. Keadaan ini menjadi tidak kondusif bagi si pemilik merek dan lambat laun akan menjadi sebuah mesin yang dapat membunuh bagi pemilik merek, sehingga seorang pemilik merek akan berkurang minatnya dalam berkreasi menciptakan produk-produk baru agar bisa bersaing dengan produk-produk lainnya di pasaran. Hakikat dari perlindungan hukum ialah jaminan bahwa jika hak atau suatu kepentingan dirugikan atau dilanggar, akan ada kepastian tentang tersedianya pemulihan atas kerugian yang terjadi serta upaya-upaya hukum dalam rangka pemulihan tersebut apakah itu secara yudisial atau non-yudisial. Secara konseptual, istilah perlindungan hukum mendeskripsikan suatu keadaan berupa kebebasan pada Universitas Sumatera Utara 35 diri seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang di dalam menikmati kebebasan tersebut terkandung jaminan berupa ketiadaan gangguan. Jaminan tersebut penting artinya karena jika proses penikmatan atas kebebasan tersebut terganggu, yang bersangkutan berhak mengajukan suatu tuntutan supaya gangguan dihentikan dan kerugian dapat diganti. 39 Menyangkut mekanisme perlindungan secara ratione temporis dapat diklasifikasikan dua jenis perlindungan hukum, yaitu: a Perlindungan Hukum Preventif Sebagai konsekuensi dari sistem konstitutif yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, hak atas merek tercipta karena pendaftaran. Dinyatakan oleh Pasal 3 Undang-UndangNomor 15 Tahun 2001 bahwa: “Hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada pemilik Merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.” Dengan melakukan pendaftaran, pemilik merek akan memperoleh hak eksklusif atas penggunaan merek tertentu atau untuk memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya selama jangka waktu tertentu serta mendapatkan perlindungan hukum dari negara. 40 Sistem konstitutif yang dianut oleh hukum merek Indonesia menunjukkan betapa pentingnya makna lembaga pendaftaran merek dalam rangka memberikan perlindungan hukum kepada pemegangpemilik merek. Kaidah yang relevan 39 Titon Slamet Kurnia, Op.cit, hal. 151-152. 40 Indirani Wauran, Op.cit, hal. 25. Universitas Sumatera Utara 36 mengenai pendaftaran merek sehubungan dengan asas good faith yaitu Pasal 4 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 yang menentukan bahwa merek tidak dapat didaftar atas dasar permohonan yang beriktikad tidak baik. Pengertian iktikad tidak baik dalam pendaftaran merek dapat ditemukan dalam penjelasan Pasal 4 Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2001 berkenaan dengan kesengajaan yang diketahui dalam meniru merek dagang yang sudah dikenal. Kaidah ini memiliki kaitan dengan Pasal 6 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 sebagai relative grounds for refusal atas pendaftaran merek jika suatu merek memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek pihak lain, termasuk merek terkenal. Namun, kaidah in concreto yang dihasilkan dalam praktik peradilan ternyata masih problematis seperti kaidah in abstracto dalam peraturan karena mengandung ketidak jelasan pengertian “persamaan pada pokoknya” yang operasional untuk dapat diterapkan dalam peristiwa konkret ketika pejabat pada Kantor Merek menangani permohonan pendaftaran merek. 41 Pengadilan belum berhasil menetapkan kaidah otoritatif yang dapat mempedomani Kantor Merek padahal upaya tersebut sangat penting ketika yang bersangkutan harus mempertimbangkan apakah suatu pendaftaran dapat diterima atau tidak dapat diterimaharus ditolak karena memiliki persamaan pada pokoknya atau pada keseluruhannya dengan merek pihak lain terutama merek terkenal. 41 Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002, hal. 270-277. Universitas Sumatera Utara 37 Asas dalam pendaftaran yang sangat penting dalam kaitan dengan asal usul suatu merek supaya tidak terjadi persamaan pada pokoknya atau pada keseluruhannya dengan merek pihak lain ialah asas kebenaran substantif menyangkut kepemilikan merek yang didaftarkan. Pengadilan perlu memberikan kontribusi bagi pemecahan isu ini sebagai solusi dari ketidaklengkapan, kekurangsempurnaan atau kekurangjelasan peraturan legislasi maupun regulasi terutama dalam melakukan interpretasi atas pengertian kapan terjadi persamaan pada pokoknya. Satu pengertian penting dalam kaitan dengan itu ialah bahwa Kantor Merek harus bertindak hati-hati dan cermat dalam memutuskan untuk menerbitkan Sertifikat Merek untuk mencegah supaya ketika Sertifikat Merek diterbitkan tidak ada pihak lain yang kepentingannya dirugikan. Keharusan berlaku cermat tersebut secara konkret misalnya harus mengenali apakah merek yang didaftarkan memiliki persamaan pokoknya atau tidak dengan merek terkenal di dalam maupun di luar yurisdiksi Indonesia. Menurut Penjelasan Umum UU No 14 Tahun 1997, perlindungan terhadap merek terkenal didasarkan pada pertimbangan bahwa peniruan merek terkenal milik orang lain pada dasarnya dilandasi itikad tidak baik, terutama untuk mengambil kesempatan dari ketenaran merek orang lain, sehingga tidak seharusnya mendapat perlindungan hukum. Berdasarkan undang – undang ini, mekanisme perlindungan merek terkenal, selain melalui inisiatif pemilik merek tersebut sebagaimana telah diatur dalam Pasal 56 ayat 3 UU Nomor 19 Tahun 1992, dapat pula ditempuh melalui penolakan oleh Kantor Merek terhadap permintaan pendaftaran merek yang Universitas Sumatera Utara 38 sama pada pokoknya dengan merek terkenal. Perlindungan hukum merek yang diberikan kepada merek asing atau lokal, terkenal atau tidak terkenal hanya diberikan kepada merek terdaftar. b Perlindungan Hukum Represif 1. Penarikan Kembali Keputusan tentang Pendaftaran Merek Sertifikat Merek oleh Kantor Merek. Pasal 61 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 menetapkan kaidah tentang siapa yang dapat melakukan penghapusan merek: “Penghapusan pendaftaran Merek dari Daftar Umum Merek dapat dilakukan atas prakarsa Direktorat Jenderal atau berdasarkan permohonan pemilik Merek yang bersangkutan”. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tidak menetapkan dasar hukum secara eksplisit yang memberi kewenangan kepada Kantor Merek untuk atas inisiatifnya sendiri melakukan penghapusan pendaftaran merek yang memiliki persamaan pada pokoknya atau pada keseluruhannya dengan merek terkenal dan hal itu baru terbukti di kemudian hari karena pemegangpemilik merek ketika mendaftarkan mereknya tidak memberikan keterangan secara benar dan lengkap tentang merek yang didaftarkannya. Pembatalan Pendaftaran Merek yang dapat Kantor Merek lakukan adalah atas kekuatan putusan pengadilan, bukan inisiatif sendiri, yang lahir karena proses gugatan yang diajukan oleh pemilik merek yang berhak. Hal ini dapat diketahui dari ketentuan Pasal 70 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 15 Universitas Sumatera Utara 39 Tahun 2001 yang kaidahnya ialah bahwa Direktorat Jenderal melaksanakan pembatalan pendaftaran merek dari Daftar Umum Merek setelah menerima putusan badan peradilan yang berkekuatan hukum tetap. Dengan kata lain, tersirat suatu pengertian bahwa pembatalan Pendaftaran Merek hanya bisa dilakukan setelah adanya putusan yudisial, bukan inisiatif sendiri dari Kantor Merek padahal kewenangan melakukan itu senantiasa inheren dalam diri mereka sesuai dengan asas-asas dan kaidah-kaidah dalam hukum administrasi menyangkut pembuatan keputusan TUN. Secara yuridis, ketentuan demikian memiliki sisi-sisi positif maupun negatif sekaligus. Sisi positifnya ialah mencegah supaya Kantor Merek tidak melakukan tindakan sewenang-wenang sehingga karena itu kewenangannya sangat dibatasi. Sisi negatifnya ialah ketentuan ini kurang efisien dan mengurangi kewenangan Kantor Merek untuk melakukan pengawasan atas keputusannya dalam pendaftaran merek, terutama untuk melakukan koreksi atas keputusan yang mengandung kekeliruan. Dengan pengertian lain bahwa Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 mengurangi secara substantif kewenangan secara administratif yang dimiliki oleh Kantor Merek sebagai badan tata usaha negara. 42 2. Pembatalan Merek oleh Pengadilan dan Ganti Kerugian. 42 Titon Slamet Kurnia, Op.cit, hal. 179. Universitas Sumatera Utara 40 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 memberi dampak cukup signifikan dalam rangka perlindungan hukum terhadap merek terkenal meskipun pengaturan yang ada di dalamnya masih belum sesuai sepenuhnya dengan perkembangan dalam yurisprudensi maupun ketentuan Pasal 16 Ayat 2 3 Perjanjian TRIPs supra Bab II. Perubahan paling mendasar dari Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2001 ialah tentang isu yurisdiksi. Upaya hukum yudisial dalam setiap sengketa tentang merek berada di bawah yurisdiksi Pengadilan Niaga suatu pengadilan khusus di dalam peradilan umum. Menurut Pasal 80 ayat 8 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, putusan harus diucapkan paling lama 90 hari setelah gugatan didaftarkan. Perpanjangan hanya dibolehkan maksimal 120 hari dengan persetujuan Ketua Mahkamah Agung. Satu-satunya upaya hukum atas putusan Pengadilan Niaga tersebut adalah kasasi Pasal 82 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001. Pasal 68 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 menetapkan kaidah: “Gugatan pembatalan pendaftaran merek dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan dengan alasan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 4,5, dan 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001” Kemudian Pasal 68 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 menetapkan kaidah: ”Pemilik merek yang tidak terdaftar dapat mengajukan gugatan setelah mengajukan permohonan pendaftaran kepada Kantor Merek.” Universitas Sumatera Utara 41 Terkait dengan isu pembatalan merek oleh pengadilan, pemegang hak atas merek juga berhak atas ganti kerugian. Dasar hukum menyangkut gugatan atas pelanggaran merek diatur dalam Pasal 76 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 yang meliputi: gugatan ganti rugi dan penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek yang disengketakan. Namun, aplikabilitas kaidah Pasal 76 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tersebut sangat sempit, yaitu hanya sebagai dasar mengajukan gugatan oleh pemilik merek terhadap pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang atau jasa sejenis. Meskipun Pasal 76 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tidak mengatur tentang merek untuk barang atau jasa tidak sejenis maupun merek terkenal, kaidah dalam pasal tersebut dapat diberlakukan secara analogi terhadap merek untuk barang atau jasa tidak sejenis maupun untuk merek terkenal.

C. Pengertian Merek Asing