54
BAB III PELAKSANAAN PRINSIP FIRST TO FILE DALAM PENYELESAIAN
SENGKETA MEREK DAGANG ASING DALAM PERADILAN DI INDONESIA
A. Pengertian Prinsip First to File dalam Perlindungan Merek menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001.
Pada umumnya, negara-negara dengan sistem hukum Civil Law, termasuk Indonesia, menganut sistem First to file dalam memberikan hak merek. Berdasarkan
sistem First to file tersebut, pemilik merek, termasuk merek terkenal, harus mendaftarkan mereknya di Dirjen HKI untuk memperoleh hak eksklusif atas
mereknya dan perlindungan hukum. Hak eksklusif tidak dapat diperoleh pemilik merek hanya dengan menunjukan bukti-bukti bahwa ia adalah pemakai pertama
merek tersebut di Indonesia. First-to-file system berarti bahwa pihak yang pertama kali mengajukan permohonan pendaftaran diberi prioritas untuk mendapatkan
pendaftaran merek dan diakui sebagai pemilik merek yang sah. Berdasarkan Pasal 3 UU No. 15 Tahun 2001 bahwa pendaftaran merek yang
digunakan adalah sistem Konstitutif yang isinya menyatakan: “Hak atas merek adalah hak khusus atau eksklusif yang diberikan negara
kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu menggunakan sendiri merek tersebut atau memberi izin
kepada seseorang atau beberapa orang yang secara beramai-ramai atau badan hukum untuk menggunakannya”
54
54
H. M. N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Djambatan. 1985, hal. 89.
54
Universitas Sumatera Utara
55
Sistem Konstitutif ini dianut oleh undang-undang sebelumnya yakni UU No. 19 Tahun 1992 dan UU No. 14 Tahun 1997 yang merupakan perubahan yang sangat
mendasar dalam undang-undang merek di Indonesia yang dari semula telah menganut Sistem Deklaratif dan dengan sistem ini maka terjadi perubahan dimana sistem ini
memberikan hak atas merek, maksudnya siapa yang pertama kali mendaftarkan mereknya maka dialah yang berhak terhadap merek tersebut first to file.
55
Sistem pendaftar konstitutif disebut juga first to file principle. Artinya, merek yang didaftar adalah yang memenuhi syarat dan sebagai yang pertama karena tidak
semua merek dapat didaftarkan. Merek tidak dapat didaftar atas dasar permohonan yang diajukan oleh pemohon yang beretikad tidak baik. Pemohon beretikad tidak baik
adalah pemohon yang mendaftarkan mereknya secara tidak layak dan tidak jujur, ada niat tersembunyi misalnya membonceng, meniru, atau menjiplak ketenaran
menimbulkan persaingan tidak sehat dan mengecohkan atau menyesatkan konsumen. Yang dapat mendaftarkan merek adalah orang atau badan hukum.
Sistem ini lebih menjamin adanya suatu kepastian hukum karena pemilik atau pendaftar merek diberikan sebuah sertifikat sebagai tanda bukti pendaftaran dan bukti
hak atas merek yang telah didaftarkan tersebut sekaligus dianggap sebagai pemakai pertama dari merek yang bersangkutan. Keuntungan dari merek yang terdaftar bila
dibandingkan dengan merek yang tidak didaftarkan apabila terjadi sengketa adalah merek yang telah terdaftar akan lebih mudah untuk pembuktiannya karena
55
Suyud Margono, Op.cit, hal. 32.
Universitas Sumatera Utara
56
mempunyai bukti otentik berupa sertifikat yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal HKI dan dengan adanya sertifikat tersebut dianggap sebagai pemakai pertama merek
tersebut sedangkan pada merek yang tidak terdaftar si pemakai akan mengalami kesulitan untuk membuktikan dirinya sebagai pemakai pertama karena tidak terdapat
surat-surat yang diajukan sebagai bukti otentik di dalam pemeriksaan di pengadilan.
56
Merek dengan sistem konstitutif, pendaftaran merupakan keharusan agar dapat memperoleh hak atas merek. Tanpa pendaftaran negara tidak akan memberikan hak
atas merek kepada pemilik merek. Hal ini berarti tanpa mendaftarkan merek, seseorang tidak akan diberikan perlindungan hukum oleh negara apabila mereknya
ditiru oleh orang lain. Pendaftaran merek yang digunakan di Indonesia sejak Undang- Undang Nomor 19 Tahun 1992 adalah sistem Konstitutif.
Pada sistem Konstitutif ini perlindungan hukumnya didasarkan atas pendaftar pertama yang beritikad baik.
57
Hal ini juga seperti yang tercantum dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 yang menyatakan bahwa merek tidak dapat
didaftar oleh pemohon yang tidak beritikad baik. Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 disebutkan bahwa permohonan merupakan permintaan
pendaftaran yang diajukan secara tertulis kepada Direktorat Jenderal. Sehingga dimungkinkan permohonan pendaftaran merek dapat berlangsung dengan tertib,
pemeriksaan merek tidak hanya dilakukan berdasarkan kelengkapan persyaratan formal saja, tetapi juga dilakukan pemeriksaan subtantif.
56
Ibid , hal. 32.
57
Rachmadi Usman, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual, Bandung: PT. Alumni, 2003 , hal. 326.
Universitas Sumatera Utara
57
Pemeriksaan subtantif atas permohonan pendaftaran merek ini dimaksudkan untuk menentukan dapat atau tidaknya merek yang dimohonkan didaftarkan dalam
Daftar Umum Merek. Pemeriksaan substantif dilakukan dalam jangka waktu paling lama 9 Sembilan bulan. Apabila dari hasil pemeriksaan subtantif ternyata
permohonan tersebut tidak dapat diterima atau ditolak, maka atas persetujuan Direktorat Merek, hal tersebut diberitahukan secara tertulis pada pemohon atau
kuasanya dengan menyebutkan alasannya. Pasal 4, 5, dan 6 Undang-Undang nomor 15 Tahun 2001 menyatakan bahwa merek tidak dapat didaftarkan atas itikad tidak
baik, merek juga tidak dapat didaftar apabila merek tersebut mengandung salah satu unsur yang bertentangan dengan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku,
moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum, tidak memiliki daya pembeda, telah menjadi milik umum, dan merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang
atau jasa yang dimohonkan pendaftaran. Tidak seperti halnya dalam sistem deklaratif yang lebih banyak menimbulkan
kesulitan dalam penegakan hukumnya, maka pada sistem konstitutif dengan prinsip first to file
atau dengan doktrin prior in tempore, melior injure, sangat potensial untuk mengkondisikan:
a Kepastian hukum untuk mengkondisikan siapa sebenarnya pemilik merek yang paling utama untuk dilindungi.
b Kepastian hukum pembuktian, karena hanya didasarkan pada fakta pendaftaran. Pendaftaran satu-satunya alat bukti utama.
Universitas Sumatera Utara
58
c Mewujudkan dugaan hukum siapa pemilik merek yang paling berhak dengan pasti, tidak menimbulkan kontroversi antara pendaftar pertama dan pemakai
pertama.
58
Permohonan merek juga harus ditolak apabila merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek pihak lain yang sudah
terdaftar terlebih dahulu untuk barang atau jasa yang sejenis, mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi geografis yang sudah dikenal.
59
Berdasarkan ketentuan persyaratan merek agar dapat didaftarkan, sesuatu dapat dikategorikan dan diakui sebagai merek, apabila:
1. Mempunyai fungsi pembeda; 2. Merupakan tanda pada barang atau jasa unsur-unsur gambar, nama, kata,
huruf, angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut; 3. Tidak memenuhi unsur-unsur yang bertentangan dengan kesusilaan dan
ketertiban umum; 4. Bukan menjadi milik umum;
5. Tidak merupakan keterangan, atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimintakan pendaftaran.
Selain pemeriksaan substantif, harus pula ditempuh mekanisme Pengumuman dalam waktu 3 tiga bulan dengan menempatkan pada papan pengumuman yang
58
Kholis Roisah, Implementasi Perjanjian TRIPs Tentang Perlindungan Hukum Terhadap Hak Atas Merek Terkenal Asing Di Indonesia,
Semarang: Tesis HukumUNDIP, 2001 , hal. 66.
59
Ahmadi M. Ramli, Cyber Law dan HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia, Bandung: PT. Refika Aditama, 2004, hal. 11.
Universitas Sumatera Utara
59
khusus dan dapat dengan mudah dilihat oleh masyarakat dalam Berita Resmi Merek yang diterbitkan secara berkala oleh Direktorat Merek. Hal ini dilakukan untuk
memungkinkan pihak-pihak
yang dirugikan
mengajukan bantahan
terhadap pendaftaran merek dan dapat mencegah pendaftaran merek yang dilakukan oleh
orang yang tidak beritikad baik. Apabila masa pengumuman berakhir dan tidak ada sanggahan atau keberatan dari pihak lain, Direktorat Merek mendaftarkan merek
tersebut dalam Daftar Umum Merek serta dilanjutkan dengan pemberian sertifikat merek.
Sertifikat merek merupakan alat bukti bahwa merek telah terdaftar dan juga sebagai bukti kepemilikan. Dalam hal permintaan pendaftaran merek ditolak,
keputusan tersebut diberitahukan secara tertulis oleh Direktorat Merek kepada pemilik merek atau kuasanya dengan disertai alasan-alasan.Penolakan terhadap
putusan ini dapat diajukan banding secara tertulis oleh pemilik merek atau kuasanya kepada Komisi Banding Merek. Tentang permohonan banding dan Komisi Banding
Merek ini terdapat dalam Pasal 29 sampai dengan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001.
Komisi Banding Merek merupakan badan khusus yang independen yang berada dilingkungan Direktorat Hak Kekayaan Intelektual. Keputusan yang diberikan
oleh Komisi Banding Merek paling lama 3 tiga bulan terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan banding. Keputusan Komisi Banding bersifat final dan
mengikat. Apabila komisi banding merek mengabulkan permintaan banding, Direktorat Merek melaksanakan pendaftaran dan memberikan sertifikat merek. Jika
Universitas Sumatera Utara
60
ditolak, pemohon dan kuasanya dapat mengajukan gugatan atas putusan penolakan permohonan banding kepada Pengadilan Niaga dalam waktu paling lambat 3 tiga
bulan terhitung sejak tanggal diterimanya keputusan penolakan.
60
Sistem konstitutif ini mulai diberlakukan di Indonesia berdasarkan Undang- Undang Merek 1992 lihat Pasal 2. Pada sistem konstitutif Undang-Undang Merek
1992 teknis pendaftarannya telah diatur seteliti mungkin, dengan melakukan pemeriksaan secara formal persyaratan pendaftaran dan pemeriksaan substantive
tentang merek. Sebelum dilakukan pemeriksaan substantif, dilakukan lebih dahulu pengumuman tentang permintaan pendaftaran merek. Bagi mereka yang merasa
dirugikan akan adanya pengumuman itu dapat mengajukan keberatan. Pihak yang mengajukan pendaftaran merek diberi hak untuk menyanggah terhadap keberatan
tersebut.
61
Jika prosedur pemeriksaan substantif selesai dan pendaftaran merek dilangsungkan dengan menempatkan ke Daftar Umum Merek, maka pemilik merek
diberikan Sertifikat Merek. Sertifikat ini merupakan tanda bukti Hak atas Merek yang merupakan bukti bahwa pemilik merekdiberi hak khusus oleh negara untuk
menggunakan merek yang telah didaftarkan. Bukti yang demikian tidak dijumpai pada sistem deklaratif, karena pemilik merek yang mendaftarkan mereknya hanya
diberi surat tanda pendaftaran, bukan sertifikat. Disinilah dapat dilihat jaminan
60
Erna Wahyuni, dan T. Saiful Bahri, Kebijakan dan Manajemen Hukum Merek, Yogyakarta : YPAPI, 2004, hal. 96.
61
Gatot Supramono, Pendaftaran Merek Berdasarkan Undang Undang Nomor 19 Tahun1 992,
Jakarta: Djambatan, 1996, hal. 21.
Universitas Sumatera Utara
61
kepastian hukumnya pemakai merek pada sistem konstitutif pendaftaran merek. Merek-merek yang tidak didaftarkan sudah dapat dipastikan pemilik merek yang
bersangkutan tidak mempunyai Hak Atas Merek.
62
B. Pelaksanaan Prinsip First To File dalam Penyelesaian Sengketa Merek Dagang Asing “TOAST BOX” berdasarkan dalam Putusan Pengadilan NO.
02Merek2011PN. NiagaMedan. Untuk memenuhi komitmennya sebagai salah satu Negara anggota Konvensi
Paris dan penanda tangan Perjanjian TRIPS, pemerintah Indonesia sejak 1997 telah melakukan beberapa kali perubahan terhadap UU Merek dan melengkapinya dengan
pasal-pasal yang memberi wewenang kepada otoritas terkait yakni Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Dirjen HKI, dalam hal ini Direktorat Merek,
untuk melindungi merek terkenal dengan menolak permohonan pendaftaran merek yang mengandung persamaan baik
pada pokoknya maupun secara keseluruhan dengan merek terkenal milik pihak lain terutama untuk barang danatau jasa sejenis.
Dalam UU Merek yang saat ini berlaku, kewenangan melindungi merek terkenal tersebut diberikan melalui Pasal 4, Pasal 6 ayat 1 huruf b dan Pasal 6 ayat 2.
Baik Konvensi Paris maupun Perjanjian TRIPS tidak memberi definisi yang baku mengenai kriteria merek terkenal ini. Masing-masing Negara anggota
bebas merumuskan kriteria untuk menentukan apakah sebuah merek dapat dikategorikan
sebagai merek terkenal. Mengenai hal ini, UU Merek dalam Penjelasannya melengkapi ketentuan pada Pasal 6 ayat 1 huruf b sebagai berikut:
62
Ibid , hal. 21.
Universitas Sumatera Utara
62
“Penolakan Permohonan yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan Merek terkenal untuk barang danatau jasa yang
sejenis dilakukan dengan memperhatikan pengetahuan umum masyarakat mengenai Merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan. Di samping itu,
diperhatikan pula reputasi Merek terkenal yang diperoleh karena promosi yang gencar dan besar-besaran, investasi di beberapa negara di dunia yang
dilakukan oleh pemiliknya, dan disertai bukti pendaftaran Merek tersebut di
beberapa negara. Apabila hal-hal di atas belum dianggap cukup, Pengadilan
Niaga dapat memerintahkan lembaga yang bersifat mandiri untuk melakukan survei guna memperoleh kesimpulan mengenai terkenal atau tidaknya Merek
yang menjadi dasar penolakan.“ Terkait pelaksanaan Pasal 4, dan Pasal 6 ayat 1 huruf b oleh Dirjen HKI,
bagi pemilik merek terkenal yang dapat menunjukkan bukti-bukti keterkenalan mereknya, UU Merek menyediakan mekanisme pembatalan pendaftaran merek
melalui pengadilan niaga dan oposisi Pengajuan Keberatan, apabila merek terkenal mereka terlanjur didaftarkan atau diajukan permohonan pendaftarannya di Indonesia
oleh pihak lain yang beriktikad buruk. Indonesia sebagai negara peserta dalam Konvensi Paris wajib menjamin
adanya perlindungan yang efektif dalam hukum nasional terhadap tindakan-tindakan unfair competition
yang dapat menimbulkan kerugian bagi pihak lainnya. Hal ini diharapkan akan dapat mencegah atau menekan segala tindakan yang menimbulkan
unfair competition . Adapun mengenai tindakan-tindakan yang dianggap sebagai
Unfair competition menurut pasal 10 bis Konvensi Paris, yaitu meliputi segala
tindakan yang menciptakan comfusion, adanya pernyataan menyesatkan false allegation
untuk mendiskritkan kompetitornya, serta adanya indikasi atau pernyataan bahwa setiap tindakan atau praktek yang bertentangan dengan praktek di dalam
Universitas Sumatera Utara
63
kegiatan perdagangan yang jujur dianggap sebagai unfair competition
dishonest practice
.
63
Sampai saat ini, Indonesia belum mempunyai suatu peraturan perundang- undangan yang mengatur secara khusus mengenai unfair competition dalam kaitan
dengan pemakaian merek. Namun demikian untuk menangani
kasus unfair
competition saat ini dapat mendasarkan pada ketentuan yang termuat dalam aturan
hukum pidana criminal provision dan aturan perdata civil provision yaitu :
64
1. Pasal 382 bis KUHP Barang siapa untuk mendapatkan, melangsungkan atau memperluas hasil
perdagangan atau perusahaan milik sendiri atau orang lain, melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak umum atau atau seorang
tertentu diancam jika perbuatan itu dapat menimbulkan kerugian bagi konkuren-konkurennya atau konkuren-konkuren orang lain karena persaingan
curang dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak tiga belas ribu lima ratus rupiah .
2. Pasal 1365 BW Tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
3. Pasal 2 Undang- Undang Perlindungan konsumen No. 8 tahun 1999 “Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan,
keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.”
63
Zen Umar Purba, Latar Belakang Perubahan UU Tentang Kekayaan Hak Intelektual, Mahkamah Agung RI dan Pusat pengkajian Hukum , 2004, hal. 15
64
Ibid , hal. 17.
Universitas Sumatera Utara
64
Gugatan atas kasus unfair competition yang mendasar pada ketiga ketentuan hukum di atas berada di lingkungan peradailan umum. Sedangkan untuk perkara-
perkara merek dalam lingkup Pengadilan Niaga yang mengandung unsur unfair competition
, para Hakim untuk mengisi kekosongan hukum yang ada dengan mendasarkan pertimbangan hukumnya pada UU Merek Pasal 69 ayat 2 yang
menyatakan bahwa : Gugatan pembatalan dapat diajukan tanpa batas waktu apabila merek yang
bersangkutan bertentangan dengan
moralitas, agama, kesusilaan
dan ketertiban umum.
Karena dalam penjelasan pasal tersebut dijelaskan bahwa: pengertian
bertentangan dengan
moralitas, agama,
kesusilaan, atau
ketertiban umum
adalah apabila
penggunaan tanda
tersebut dapat
menyinggung perasaan, kesopanan, ketentraman, atau keagamaan dari khalayak umum atau dari golongan masyarakat tertentu penjelasan pasal 5
huruf a, termasuk pula dalam pengertian yang bertentangan dengan ketertiban umum adalah adanya itikad tidak baik .
Masalah unfair competition ini berkaitan erat dengan unsur itikad tidak baik, Bertitik tolak dari penjelasan pasal 57 ayat 2 UU Merek No. 19 Tahun 1992 yang
sudah diadopsi menjadi pasal 69 ayat 2 dalam UU Merek No.15 Tahun 2001, dimana dinyatakan pengajuan gugatan pembatalan tanpa batas waktu, terdiri dari dua
alasan:
65
1. Berdasarkan alasan bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum, dan
65
M. Yahya Harahap, Tinjauan Merek secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 19 tahun 1992
, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996, hal. 584- 585.
Universitas Sumatera Utara
65
2. Berdasarkan alasan itikad tidak baik bad faith. Sulit untuk menentukan definisi yang pasti dan konkret akan pengertian itikad
tidak baik. Dari pendekatan teori dan praktek terdapat pengertian yang sangat luas. Misalnya, meniru, memproduksi atau mencontoh maupun membonceng
kemasyuran merek orang lain menurut versi pasal 6 bis konvensi paris, dianggap sebagai perbuatan Pembajakan pirate secara itikad tidak baik.
Setiap orang tahu, itikad tidak baik bad faith merupakan lawan kata dari
itikad baik good faith .Secara umum, jangkauan pengertian itikad tidak baik, meliputi
perbuatan penipuan
fraud. Termasuk
juga rangkaian
yang menyesatkan misleading orang lain. Meliputi juga
tingkah laku yang mengabaikan kewajiban hukum untuk mendapat keuntungan. Atau bisa juga diartikan
melakukan perbuatan yang tidak dibenarkan secara sadar untuk mencapai suatu tujuan yang tidak jujur dishonesthy purpose.
Dalam pengkajian Merek, setiap perbuatan peniruan, reproduksi, mengkopi, membajak atau membonceng kemasyuran merek orang lain, dianggap perbuatan
pemalsuan fraud, Penyesatan deception,misleading, dan memakai merek orang lain tanpa hak unauthorized use. Setiap perbuatan Pemalsuan, penyesatan atau
memakai merek orang lain tanpa hak, secara harmonisasi dalam perlindungan merek, dikualifikasi sebagai : Persaingan curang unfair competition, Serta dinyatakan
sebagai perbuatan mencari kekayaan secara tidak jujur unjust enrichment.
66
66
Ibid, hal.584-585.
Universitas Sumatera Utara
66
Dalam perkara No: 02Merek2011PN. NiagaMedan, yang terjadi antara BreadTalk Pte.Ltd selaku penggugat, yang beralamat di 171 Kampong Amat, 05-
0304, KA Foodlink, Singapura 368330 yang diwakili oleh Mr. Aw Wee Kiat dengan Tuan Frangky Chandra selaku Tergugat yang
bertempat tinggal di Pasar Pelita RT.002002, Kampung Pelita, Lubuk baja, Batam, Indonesia, dijelaskan dalam Surat
Gugatan bahwa Pihak BreadTalk telah memiliki perlindungan merek TOAST BOX di negara asalnya Singapura, setidak-tidaknya sejak tanggal 27 September 2005 yang
merupakan desain Mr. Thomas Tan dan memperluas peredarannya ke negara-negara lain, di tahun 2006 membuka outlet pertamanya di Thailand, tahun 2007 membuka
outlet di Malaysia dan Filipina dan juga akan membuka outlet di Indonesia, saat ini Penggugat telah mencapai 14 outlet di Singapura, 3 outlet di Malaysia dan 1 outlet
masing-masing di Thailand dan Filipina. Sebagai Keseriusan Penggugat untuk membuka outlet di Indonesia, pada
tanggal 24 April 2008 Penggugat telah mendaftarkan merek TOAST BOX dan TOAST BOX Logo pada Direktorat Merek Direktorat Jenderal Hak Kekayaan
Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia untuk: a Kelas 30 yaitu Hasil-hasil roti dan makanan yang dipanggang; campuran
makanan untuk membuat hasil-hasil makanan yang dipanggang; sedia-sediaan untuk membuat hasil-hasil roti; roti; roti kecil-kecil; roti kismis; biskuit; kue-
kue; kue kering; gula-gula; donat; adonan terigu untuk membuat berbagai macam kue; kue pai manis ataupun asin; wafer; kue bapel waffle; kopi
buatan; minuman dengan bahan dasar coklat; minuman dengan bahan dasar
Universitas Sumatera Utara
67
kakao; minuman dengan bahan dasar kopi; minuman dengan bahan dasar selain minyak-minyak sari untuk penyedap rasa dan aroma; minuman dengan
bahan dasar teh; andewi pengganti kopi; minuman coklat dengan susu; kokoa; minuman kokoa dengan susu; kopi; kopi yang disangrai; minuman
kopi dengan susu; penyedap rasa dan aroma kopi; sedia-sediaan tumbuh- tumbuhan untuk digunakan sebagai pengganti kopi; es teh; serbat es; sorbet
es; teh. b Kelas 43 yaitu Mengatur penyediaan makanan; mengatur penyediaan
minuman; kafetaria; pelayanan kafetaria; jasa boga makanan minuman; pelayanan jasa boga untuk rumah makan; pelayanan jasa boga untuk sedia-
sediaan makanan; pelayanan jasa boga untuk penyediaan makanan; pelayanan jasa boga untuk sedia-sediaan makanan bagi turis-turis; pelayanan jasa boga
yang disediakan untuk rumah makan; pelayanan konsultasi berkaitan dengan makanan; pelayanan konsultasi berkaitan dengan penyajian makanan;
pelayanan pemasakan
makanan; penyediaan
makanan; pelayanan
keramahtamahan makanan dan minuman; penyediaan makanan dan minuman; penyajian makanan dan minuman di food court; kios makanan siap
saji dan rumah makan; pemberian informasi berkaitan dengan rumah makan; pemberian informasi berkaitan dengan penyediaan makanan dan minuman;
pelayanan rumah makan untuk pemberian makanan siap saji; rumah makan; pelayanan kafetaria swalayan; pelayanan penyediaan makanan dan minuman.
Universitas Sumatera Utara
68
Dengan No. Agenda J002008014764 dan No. Agenda J002008014765. Permohonan Pendaftaran Merek Penggugat untuk Kelas 30 telah dikabulkan
oleh Direktorat Merek Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan telah didaftarkan pada
tanggal 21 Desember 2009 dengan No. Pendaftaran IDM000230206 dan No. Pendaftaran IDM000230207, hal ini membuktikan bawah Penggugat adalah memang
merupakan pemilik atas merek Toast Box. Penggugat pada tanggal 4 Juni 2008 telah mengajukan keberatan atas pengajuan permohonan pendaftaran merek Toast Box
untuk kelas 43 yang diajukan oleh Joenani pada tanggal 5 Oktober 2006 dengan No. Agenda D00.2006.033189 yang telah diumumkan dalam Berita Resmi Merek No.
25IIIA2008, pada tanggal 5 Maret 2008 dan keberatan tersebut telah dikabulkan oleh Direktorat Merek Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dengan menolak permohonan yang diajukan Joenani, hal ini juga membuktikan dan memperkuat bahwa Penggugat
adalah pemilik atas merek Toast Box. Tergugat telah mengajukan permohonan merek pada Direktorat Merek
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia pada tanggal 16 Januari 2007 untuk kelas 43 dengan No.
Agenda J002007001306 dengan bentuk dan huruf yang sama dengan merek Toast Box yang digunakan oleh Penggugat sejak tahun 2005 di Singapura dan telah
dikabulkan pada tanggal 11 Agustus 2008 dengan no. IDM000173048. Bahwa, Tergugat berdomisili di Batam sangat masuk akal dan tidak mengada-ada bahwa
Universitas Sumatera Utara
69
Tergugat telah melihat dan mengamati merek Toast Box milik Penggugat di Singapura yang telah mempunyai reputasi yang baik dan menjadi bisnis yang maju di
Singapura dan sekitarnya sehingga tidak diragukan lagi Tergugat dengan itikad tidak baikburuk telah menjiplak meniru merek Toast Box milik Penggugat dan
mendaftarkannya di Direktorat Merek Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, dan hal ini jelas
melanggar ketentuan Undang-Undang Merek Nomor 15 Tahun 2001 pasal 4 yang berbunyi:” Merek tidak dapat didaftarkan atas dasar permohonan yang diajukan
Pemohon yang beritikad tidak baik”. Penggugat pada tanggal 6 Juli 2010 telah mengajukan sanggahan atas akan
ditolaknya Permohonan Pendaftaran Merek Toast Box untuk kelas 43 yang diajukan pada tanggal 24 April 2008 dengan No. Agenda J002008014764 karena persamaan
dengan merek Toast Box yang didaftarkan oleh Tergugat. Tetapi hingga saat gugatan diajukan, sanggahan Penggugat belum mendapat tanggapan dari Direktorat Merek
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
Adapun yang menjadi pertimbangan Majelis Hakim Pengadilam Niaga adalah adanya bukti-bukti yang kuat yang dapat mendukung dalil gugatan penggugat bahwa
penggugat merupakan pemilik satu-satunya merek Toast Box dan Tergugat adalah pemohon merek Toast Box yang beritikad tidak baik beritikad buruk. Sehingga
dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, Hakim menyatakan pendaftaran merek Toast Box Tergugat No. IDM000173048 yang dikeluarkan oleh Direktorat Merek
Universitas Sumatera Utara
70
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia batal demi hukum. Oleh karena Gugatan Penggugat
dikabulkan seluruhnya maka biaya yang timbul dalam perkara ini dibebankan kepada Tergugat yaitu sebesar Rp 426.000,- empat ratus dua puluh enam ribu rupiah.
Berkaitan dengan kasus merek Toast Box yang terjadi antara BreadTalk Pte.Ltd selaku penggugat, dengan Tuan Frangky Chandra selaku Tergugat
memperluas perlindungan hukum merek tersebut, yaitu mencakup perlindungan hukum bagi merek terkenal baik untuk barang yang sejenis maupun bukan.
Pengadilan mendasarkan pandangannya dengan prinsip iktikad baik. Ada niat yang tidak baik iktikad buruk untuk membonceng ketenaran merek orang lain.
Dalam memutuskan perkara ini Hakim juga menggunakan Undang-Undang Merek Nomor 15 tahun 2001 sebagai dasar hukum. Sehingga dapat dipastikan bahwa
Hakim menggunakan sistem pendaftaran konstitutif dalam memutuskan perkara. Prinsip penerimaan merek dalam Undang-Undang ini adalah first to file, artinya
siapapun yang mendaftar lebih dahulu akan diterima pendaftaraannya, dalam kasus ini pendaftar pertama merupakan BreadTalk. Beberapa kemungkinan dapat terjadi
setelah masuknya pendaftaran pertama. Selain kasus tersebut di atas, telah banyak ditemukan kasus mengenai prinsip
first to file antara lain kasus K-Link Sendirian Berhad yang berkedudukan di Kuala
Lumpur, Malaysia yang adalah pemakai pertama merek “KINOTAKARA” yang digunakan untuk merek bagi produk kesehatan kelas barang No. 5 berupa koyo
tempel. Merek dagang “KINOTAKARA” ini terdaftar di beberapa negara lain seperti
Universitas Sumatera Utara
71
Malaysia, India dan Indonesia sendiri sejak 2001. Namun pada 27 Desember 2002 merek tersebut telah terdaftar di Dir.Jen. HKI atas nama PT Royal Body Care
Indonesia dengan nomor agenda DOO.2002.10804.00807 untuk kelas barang yang sama. Kondisi seperti ini sangat merugikan K-Link sebagai pemilik merek
KINOTAKARA dan sungguh sangat menyesatkan masyarakat. Kedua kasus diatas telah memberi kita pengalaman yang berharga, bahwa
tidak semua pemilik merek yang telah terdaftar merupakan pemilik yang sah atas merek terdaftar tersebut, banyak dari mereka mendaftarkan merek pihak lain dengan
itikad buruk. Hal ini sangat merugikan pemilik merek beritikad baik yang merupakan pihak paling berhak atas merek yang telah didaftarkan tersebut. Disisi lain tindakan
demikian ini dapat menimbulkan kerancuan dan penyesatan. Dalam hal demikian, pendaftar kemudian notabene pengguna merek
sebenarnya harus melakukan Penyelesaian khusus dengan pendaftar pertama. Hal- hal seperti ini lah yang menjadi permasalahan utama dalam sistem pendaftaran
konstitutif. Bentrokan antara keadilan dan kepastian hukum terjadi pada sistem konstitutif pendaftaran merek. Dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum,
ada hak-hak perseorangan yang tidak terpenuhi. Namun, dalam sejarah pengaturan perlindungan merek di Indonesia, sistem pendaftaran konstitutif memang merupakan
pilihan sistem yang paling baik, karena dapat mewujudkan kepastian hukum yaitu pemberian sebuah sertifikat kepada pendaftar merek sebagai tanda bukti pendaftaran
dan bukti atas hak merek, sekaligus dianggap sebagai pemakai pertama dari merek tersebut dan merek yang akan didaftar akan lebih mudah pembuktiannya daripada
Universitas Sumatera Utara
72
merek yang tidak didaftar karena pemakai akan mengalami kesulitan untuk membuktikan dirinya sebagai pemakai pertama karena tidak terdapat akta-akta dan
surat-surat yang dapat diajukan sebagai bukti otentik dalam pemeriksaan pengadilan. Prinsip penting yang dijadikan sebagai pedoman berkenaan dengan proses
pendaftaran merek adalah perlunya iktikad baik atau good faith dari pendaftar. Dengan prinsip ini hanya pendaftar yang beriktikad baiklah yang akan mendapat
perlindungan hukum. Hal ini membawa konsekuensi bahwa direktorat merek Depkumham juga berkewajiban secara aktif untuk menolak suatu pendaftaran merek
bilamana secara nyata ditemukan adanya kemiripan atau peniruan dengan suatu merek yang telah terlebih dahulu didaftarkan dengan iktikad baik.
Dengan demikian, unsur formalitas tenggang waktu pendaftaran dalam penerapannya harus memperhatikan pula motivasi dan situasi dari pihak yang
mengajukan pendaftaran dengan pertimbangan prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Prinsip-prinsip tersebut antara lain good faith, reciprocity dan right priority.
67
Di berlakukannya prinsip-prinsip hukum tersebut berarti pihak Indonesia secara konsekuen telah menerapkan kerangka hukum yang termuat dalam Paris
Convention, dan Stockholm Act 1967, yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden Indonesia No. 24 tahun 1979. Untuk itulah badan peradilan di
Indonesia dalam menyelesaikan sengketa bidang merek, baik yang berskala nasional
67
O. C. Kaligis, Teori dan Praktek Hukum Merek Indonesia, Bandung: PT. Alumni, 2008, hal. 14.
Universitas Sumatera Utara
73
maupun yang berskala internasional harus secara tepat menerapkan patokan-patokan dari prinsip-prinsip hukum tersebut.
Hal ini terbukti dari putusan Mahkamah Agung RI No. 3485KPdt1992 dalam perkara GUCCI, dimana Mahkamah Agung RI secara tegas menerapkan Pasal
6 bis ayat 3 Konvensi Paris, yang mengatur bahwa tuntutan pembatalan merek yang didaftarkan dengan iktikad tidak baik, tidak terikat tenggang waktu. Selanjutnya,
pertimbangan hukum ini ditindak lanjuti secara nyata oleh pemerintah dalam rangka melengkapi
pelaksanaan Undang-Undang
No. 21
Tahun 1961,
dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. M. 03-
HC.0201 Tahun 1991, yang menegaskan bahwa permohonan pendaftaran merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya maupun pada keseluruhannya dengan merek
terkenal milik pihak lain, ditolak untuk didaftar dalam daftar umum. Salah satu prinsip hukum baru dari isi keputusan Menteri tersebut adalah
semakin dipertegas bahwa melalui pendaftaran akan menciptakan suatu hak atas merek
yang bersangkutan,
sedangkan pihak
lain tidak
dibenarkan untuk
mempergunakannya. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari orang lain yang tidak berhak atas penggunaan merek dari luar negeri dengan jalan tidak menerima
pendaftaran yang dilakukan oleh pemohon merek di Indonesia terhadap merek yang sudah terkenal di luar negeri. Pada keadaan tertentu ada kalanya pemilik merek luar
negeri lalai atau belum mendaftarkan mereknya di Indonesia, dengan resiko mereknya telah didaftar oleh pihak lain untuk produk yang sama.
Universitas Sumatera Utara
74
Pada 6 bis ayat 3 Konvensi Paris memuat perlindungan hukum kepada pemilik merek, yang menyatakan bahwa tidak ada jangka waktu yang ditentukan
untuk meminta pembatalan dari merek yang didaftarkan dengan iktikad tidak baik mendaftarkan merek yang telah ada atau larangan untuk memakai merek terdaftar
tersebut jikalau dipakainya dengan iktikad buruk. Berdasarkan persoalan-persoalan yang muncul dalam sengketa, timbul prinsip-prinsip hukum yang dapat diambil yang
kemudian diselaraskan dengan konvensi-konvensi di bidang merek untuk akhirnya dituangkan dalam peraturan perundang-undangan tentang merek di Indonesia.
Untuk merek terkenal, Departemen Kehakiman RI mengeluarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.03.HC.020.1 tahun 1991, tentang penolakan
permohonan pendaftaran merek terkenal atau merek yang mirip dengan merek terkenal milik orang lain atau milik badan lain. Peraturan ini dapat dianggap sebagai
penetapan prinsip dari Pasal 4 ayat 1 Konvensi Paris mengenai Principle Right of Priority
hak prioritas. Pengertian hak prioritas menurut hukum adalah hak utama untuk dilakukan,
yang berarti apabila orang asing mengajukan permintaan pendaftaran merek di Indonesia, untuk memperoleh “filling data” pemilik merek yang sama dengan cara
memberikan perlindungan kepadanya berupa hak prioritas untuk didaftarkan. Tujuan utama pemberian hak priritas kepada pemilik orang asing memperoleh pendaftaran,
yaitu melindungi merek orang asing di Indonesia di Indonesia dari pembajakan atau pemboncengan.
Universitas Sumatera Utara
75
Hak prioritas adalah hak pemohon untuk mengajukan permohonan yang berasal dari negara yang tergabung dalam Paris Convention for Protection of
Industrial Property atau Agreement Establishing the World Trade Organization
untuk memperoleh pengakuan bahwa tanggal penerimaan di negara asal merupakan tanggal prioritas di negara tujuan yang juga anggota salah satu dari kedua perjanjian
itu selama pengajuan tersebut dilakukan dalam kurun waktu yang telah ditentukan berdasarkan Paris Convention tersebut.
Perlindungan tersebut hanya bisa efektif dengan jalan memberi hak prioritas kepada pemilik merek orang asing tersebut. Dengan demikian, dalam hal terjadi
persaingan untuk memperoleh pendaftaran antara pemilik merek orang asing dan pemilik merek domestik mengenai merek orang asing dan pemilik merek domestik
mengenai merek dari jenis barang dan kelas yang sama harus diberi rangka utama kepada orang asing.
Undang-Undang Merek secara tegas mengatur pendaftaran merek dengan hak prioritas Pasal 11 s.d Pasal 12. Dengan demikian, acuan penerapan pendaftaran
merek dengan hak prioritas adalah antara lain:
68
1. Perlakuan pemberian perlindungan hukum yang sama
Hukum merek suatu negara harus memberi perlindungan yang sama terhadap pemilik merek orang asing, sebagaimana perlakuan perlindungan yang diberikan
kepada pemilik merek warga negara sendiri.
68
Ibid , hal. 17.
Universitas Sumatera Utara
76
2. Berdasarkan asas Resiprositas
Menegakkan asas pemberian perlakuan yang sama atas hak prioritas, artinya kesediaan, kerelaan memberi perlindungan yang sama terhadap pelayanan
permintaan pendaftaran dengan hak prioritas terhadap pemilik merek orang asing harus berdasarkan asas timbal balik. Asas Resiprositas dengan sendirinya
bercorak multilateral terhadap semua negara anggota peserta Konvensi Paris, artinya jika pemohon bukan dari negara anggota peserta Konvensi Paris, kantor
mereka harus menolak pendaftaran dengan alasan tidak ditegakkan asas Resiprositas.
Seperti telah dikemukakan, Indonesia menjadi peserta Paris Convention melalui Keppres No. 15 Tahun 1997 dan Trademark Law Treaty melalui Keppres No.
17 Tahun 1997. Dalam Paris Convention diatur mengenai merek, tetapi hanya sebatas pengaturan mengenai gugatan terhadap pemberian merek yang dimiliki kesamaan
seluruhnya atau sebagian dengan merek. Banyak perkara yang terkait dengan merek terkenal yang akhirnya merugikan
pihak pemilik merek dari negara asalnya. Sampai saat ini masih dipermasalahkan tentang definisi apa yang disebut dengan merek terkenal. Tolak ukur yang digunakan
masih belum jelas. Batasan suatu merek sebagai merek terkenal tidaklah terbatas untuk merek-merek yang dimiliki oleh pihak asing saja, tetapi juga merek-merek
lokal yang dimiliki oleh pengusaha nasional yang berhasil go international. Apakah suatu merek termasuk sebagai merek terkenal, selain didasarkan pada Pasal 6 bis
Universitas Sumatera Utara
77
Paris Convention, juga didasarkan pada Undang-Undang Merek yang berlaku di suatu negara atau didasarkan pula pada interpretasi hakim yang mengadili kasus tersebut.
Rasanya akan sulit menentukan apakah suatu merek tertentu dapat dikelompokkan sebagai merek terkenal. Hal ini akan sangat bergantung pada produk
yang dihasilkan dan digunakan pada umumnya oleh konsumen, atau produk dengan merek tertentu yang dekat dengan kehidupan sehari-hari konsumen. Itu sebabnya
pendekatan yang dilakukan untuk menentukan suatu merek terkenal didasarkan pada Pasal 6 bis Paris Convention dan penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Merek.
Untuk mengatasi masalah tersebut, Undang-Undang Merek 1992 sampai dengan Undang-Undang Merek 2001, sudah pernah mengamanatkan dibentuknya
suatu Peraturan Pemerintah PP tentang merek terkenal. PP ini ditujukan untuk mengatur tentang batasan definisi merek untuk dapat dikatakan sebagai merek
terkenal agar dicapai kepastian hukum. Dengan demikian, penegak hukum dapat lebih mudah memilah-milah mana yang dapat disebut sebagai merek terkenal dan
mana yang tidak. Namun, sampai sekarang PP ini belum juga diterbitkan. Perlindungan hukum atas suatu merek yang dimiliki oleh seseorang perlu
diberikan oleh pemerintah kepada pemilik yang sah secara tepat. Bagi pemegang merek yang sesungguhnya jelas dapat mengurangi pemasukannya karena volume
penjualan menurun atau bilamana barang yang diproduksi si pemalsu merek tidak memadai kualitasnya, sehingga pada akhirnya nama baik merek itu akan tercemar.
Begitu juga konsumen akan kehilangan jaminan kepercayaan atau reputasi atas kualitas barang yang dibelinya.
Universitas Sumatera Utara
78
Untuk mencegah timbulnya kasus yang telah dijelaskan sebelumnya, pemerintah perlu benar-benar didorong untuk secepatnya menerbitkan PP tentang
merek terkenal. Kebutuhan akan adanya PP itu bukan saja dapat menjadi bukti keseriusan pemerintah untuk memberikan perlindungan bagi pemegang HKI, namun
juga sebagai usaha pemerintah untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi pelaku bisnis.
Diharapkan PP tersebut akan menjadi pedoman guideline bagi penegakan hukum dalam menafsirkan merek terkenal. Selain itu, hakim Pengadilan Niaga dan
Hakim Agung
69
perlu memiliki pengetahuan yang cukup soal merek, sehingga ada kesamaan dalam membuat putusan predictability. Hal ini penting karena hakim di
Indonesia tidak terikat kepada keputusan terdahulu case law, kita tidak menganut sistem preseden.
Penyediaan perangkat hukum di bidang merek yang didukung oleh sumber daya manusia yang andal adalah suatu keniscayaan yang harus selalu dimiliki oleh
pemerintah. Perlindungan hukum terhadap merek juga merupakan jaminan kepastian hukum di bidang ekonomi, yang harus senantiasa mendapat perhatian, untuk menjaga
hubungan internasional Indonesia.
69
Mieke Komar K, Kasus Sengketa Merek Terkenal dan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia
Minahasa Law Centre, 2008, hal. 63.
Universitas Sumatera Utara
79
BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA DALAM HAL MEREK DAGANG ASING