Dimensi – Dimensi Kekuasaan Otonomi Daerah

Kekuasaan menjadi salah satu pandangan yang dipakai ketika memandang politik. Salah satu defenisi ilmu politik adalah “ilmu yang mempelajari hakikat, kedudukan, dan penggunaan kekuasaan di manapun kekuasaan itu ditemukan”. 11

I.5.2.2 Dimensi – Dimensi Kekuasaan

Kekuasaan dilihat sebagai interaksi antara yang mempengaruhi dengan yang dipengaruhi maupun interaksi antara yang memberikan perintah dan yang diberi perintah. Untuk lebih memahami kekuasaan secara konseptual, maka dibuat sebuah perumpamaan yang membedakan antara seseorang yang menodongkan senjata tajam kepada seseorang agar memberikan barang berharganya dengan seorang komandan militer yang memerintahkan anak buahnya untuk melakukan suatu tugas atau misi tertentu. Keduanya memiliki persamaan dan juga perbedaan. Persamaannya adalah keduanya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi atau menguasai orang lain untuk mematuhi perintah mereka. Perbedaannya adalah, kekuasaan yang dimiliki oleh penodong tadi adalah kekuasaan yang tidak sah dan dianggap tidak benar, atau dengan kata lain kekuasaan yang disebabkan oleh adanya unsur paksaan koersif. Sedangkan kekuasaan komandan militer diatas adalah kekuasaan karena wewenang otoritas yang diberikan karena adanya legitimasi untuk mempengaruhi orang lain. Sehingga dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa kekuasaan itu memiliki hubungan yang cukup kuat dengan legitimasi atau wewenang. Namun kekuasaan sebagai sebuah konsep politik juga memiliki kelemahan, pertama, konseptualisasi tidak membedakan kekuasaan yang beraspek politik dari kekuasaan yang tidak beraspek politik. Misalnya, kemampuan para kiai atau pendeta untuk mempengaruhi jemaat agar melaksanakan ajaran agama tidaklah beraspek politik. Hal itu karena tidak berkaitan dengan pemerintah selaku pemegang kewenangan yang mendistribusikan nilai – nilai, melainkan menyangkut lingkungan masyarakat yang lebih terbatas. Namun, apabila konseptualisasi itu diikuti, kemampuan para pemimpin agama untuk mempengaruhi cara berpikir dan perilaku anggota jemaah, termasuk dalam kategori kegiatan politik. Kedua, kekuasaan hanya salah satu konsep dalam ilmu politik. Selain kekuasaan, ilmu politik masih memiliki konsep – konsep yang lain, seperti kewenangan, legitimasi, konflik, konsensus, kebijakan umum, integrasi politik dan ideologi. Jadi, politik sebagai kegiatan dan mencari dan mempertahankan kekuasaan merupakan konseptualisasi yang terlalu luas dan kurang tajam. Walaupun demikian, harus dicatat, konsep kekuasaan politik merupakan salah satu konsep yang tak terpisahkan dari ilmu politik. 11 Ibid,Hal. 7 Universitas Sumatera Utara Untuk memahami fenomena kekuasaan politik secara tuntas maka konsep kekuasaan dapat dilihat dari 6 dimensi yaitu: 1. “Dimensi potensial dan aktual, yakni seseorang yang dipandang mempunyai kekuasaan potensial apabila dia mempunyai atau memiliki sumber – sumber kekuasaan seperti kekayaan, tanah, senjata, pengetahuan dan informasi, popularitas, status sosial yang tinggi, massa yang terorganisir dan jabatan. Sebaliknya seseorang yang memiliki kekuasaan aktual apabila dia telah menggunakan sumber – sumber yang dimilikinya kedalam kegiatan – kegiatan politik secara efektif. Misalnya seorang jutawan memiliki kekuasaan potensial tetapi dia hanya dapat disebut sebagai memiliki kekuasaan aktual apabila dia telah menggunakan kekayaannya untuk mempengaruhi para pembuat dan pelaksana keputusan politik secara efektif. 2. Dimensi konsensus dan paksaan, dalam menganalisis keduanya harus dibedakan antara kekuasaan yang berdasarkan paksaan dan kekuasaan yang berdasarkan konsensus. Perbedaan dimensi kekuasaan seperti ini menyangkut dua hal, yakni alasan penataan dan saran kekuasaan yang digunakan. Pada umumnya, alasan untuk menaati kekuasaan paksaan berupa rasa takut. Dalam hubungan ini rasa takut, takut akan paksaan fisik seperti dipukul, ditangkap dan dipenjarakan atau dibunuh. Selain itu, rasa takut akan paksaan nonfisik, seperti kehilangan pekerjaan, dikucilkan dan diintimidasi. Sementara itu, alasan untuk menaati kekuasaan konsensus pada umumnya berupa persetujuan secara sadar dari pihak yang dipengaruhi. Kekuasaan dengan berdasarkan paksaan, memang secara nyata merupakan cara yang paling efektif untuk mendapatkan ketaatan dari pihak lain. Selain yang menyangkut pelanggaran etik, penggunaan paksaan menimbulkan kesukaran dikemudian hari, yaitu ketaatan ditentukan dengan kehadiran sarana paksaan fisik. Ketika sarana paksaan fisik tidak ada, saat itu pula kediktatoran muncul. Sebaliknya pada kekuasaan paksaan berdasarkan konsensus, ketaatan lebih cenderung langgeng karena ketaatan timbul dari kesadaran dan persetujuan dari yang dipengaruhi. 3. Dimensi positif dan negative, tujuan umum pemegang kekuasaan adalah untuk mendapatkan ketaatan atau penyesuaian diri dari pihak yang dipengaruhi. Tujuan umum ini dapat dikelompokkan menjadi dua aspek yang berbeda yakni, tujuan positif dan tujuan negatif. Dimaksudkan dengan kekuasaan positif adalah penggunaan sumber – sumber kekuasaan untuk mencapai tujuan yang dianggap penting dan diharuskan, dan kekuasaan negative, adalah penggunaan sumber – sumber kekuasaan untuk mencegah orang lain untuk mencapai tujuannya yang tidak hanya dipandang tidak perlu akan tetapi merugikan pihaknya. Sebagai contoh umpamanya, kemampuan untuk seorang presiden untuk mempengaruhi Dewan Perwakilan Rakyat agar menerima dan menyetujui Rancangan Undang – Undang yang diajukan, dapat dipandang sebagai kekuasaan positif. Sedangkan kemampuan fraksi – fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat untuk menolak seluruh Rancangan Undang – Undang yang diajukan presiden dapat dipandang sebagai kekuasaan negative dari sudut pandang presiden. 4. Dimensi jabatan dan pribadi, dalam masyarakat yang maju dan mapan kekuasaan terkandung erat dalam jabatan – jabatan seperti dalam Presiden, Perdana Menteri PM, Menteri – Menteri dan Senator. Seperti misalnya tanpa memandang kualitas pribadinya, seorang presiden di Amerika Serikat akan memiliki kekuasaan formal yang besar, namun penggunaan kekuasaan yang terkandung dalam jabatan tersebut secara efektif tergantung sekali pada kualitas pribadi yang dimiliki dan Universitas Sumatera Utara ditampilkan oleh setiap pribadi pemegang jabatan. Dan sebaliknya, pada masyarakat yang masih sederhana struktur kekuasaan dalam masyarakat seperti itu didasarkan pada realitas pribadi tampaknya yang lebih menonjol daripada kekuasaan yang terkandung didalam jabatan itu. Dalam hal ini, pemimpin yang melaksanakan kekuasaan, khususnya terhadap orang daripada lembaga – lembaga. Efektifitas kekuasaannya terutama berasal dari kualitas pribadi, seperti misalnya charisma, penampilan diri, asal usul keluarga dan wahyu. 5. Dimensi implisit dan eksplisit, kekuasaan implisit adalah kekuasaan yang tidak dilihat dengan kasat mata akan tetapi dapat dirasakan. Sedangkan kekuasaan eksplisit adalah pengaruh yang jelas terlihat dan dapat dirasakan. Adanya kekuasaan dimensi eksplisit, menimbulkan perhatian orang pada segi rumit hubungan kekuasaan yang disebut dengan “azas memperkirakan reaksi dari pihak lain”. 6. Dimensi langsung dan tidak langsung, kekuasaan langsung adalah penggunaan sumber – sumber kekuasaan untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksana kebutuhan politik dengan melakukan hubungan secara langsung tanpa melalui perantara. Yang termasuk dalam kategori sumber – sumber kekuasaan adalah sarana paksaan fisik, kekayaan dan harta benda, normatif jabatan, keahlian, status sosial, popularitas abadi, massa yang terorganisasi, senjata, penjara, kerja paksa, teknologi, aparat yang mengunakan senjata. Sedangkan kekuasaan yang tidak langsung adalah penggunaan sumber – sumber kekuasaan untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksana keputusan politik dengan melalui perantara pihak lain yang diperkirakan mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap pembuat dan pelaksana keputusan politik”. 12

I.5.2.3 Sumber – Sumber Kekuasaan