BAB I Pendahuluan
I.1. Latar Belakang Masalah
Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan
pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-
batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Otonomi daerah menurut para pendukungnya merupakan sarana demokratisasi. Pemerintahan yang menerapkan otonomi daerah cenderung menciptakan efek penguatan
dalam proses demokratisasi karena aspek edukatif otonomi daerah. Otonomi daerah memberikan peluang kalangan masyarakat dalam debat politik dan dalam pemilihan para
wakilnya. Didalam Undang – Undang otonomi daerah sendiri juga diakui bahwa demokratisasi merupakan tujuan eksplisit yang hendak dicapai.Otonomi daerah merupakan
sebuah terobosan dalam sistem pemerintahan dimana pemerintah daerah diberikan kewenangan oleh pemerintahan pusat dalam mengelola daerahnya sesuai dengan potensi
daerah masing – masing. Artinya adalah bahwa disini pemerintah pusat memberikan kepada daerah sebuah kewenangan strategis dalam mengelola dan memutuskan strategi kebijakan di
daerah.
DR. M. Mas’ud Said, menjelaskan definisi otonomi daerah itu adalah: Sebagai sebuah proses devolusi dalam sektor publik dimana terjadi pengalihan wewenang
dari pemerintah pusat kepada pemerintahan provinsi dan kabupaten kota. Dengan kata lain, dalam konteks Indonesia otonomi daerah diartikansebagai proses pelimpahan kekuasaan dari
pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi dan kabupaten kota sebagaimana yang diamanatkan oleh UU
.
1
Dalam mengamalkan dan melaksanakan otonomi daerah, haruslah dikonsep aturan mainnya dalam bentuk Undang – Undang. Hal ini guna menghindari pelaksanaan otonomi
1
M. Mas’ud Said, Arah Baru Otonomi Di Indonesia.Malang : UMM Press, 2008,Hal. 6
Universitas Sumatera Utara
daerah tidak mengalami kekacauan selain itu Undang – Undang yang ada nantinya dapat menjadi rujukan dan pedoman bagi daerah – daerah untuk melaksanakan otonomi daerah
dengan baik. Adapun Undang – Undang yang terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah antara
lain: Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang No. 25
Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Undang- Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Pada masa orde baru telah dikonsep sebuah Undang – Undang terkait dengan otonomi daerah yakni UU No. 5 tahun 1974 tentang pokok – pokok pemerintahan daerah. Namun
meski dikatakan UU mengenai pembagian kewajiban dan hak daerah, namun pada kenyataannya UU ini hanya menunjukkan betapa kontrol pusat terhadap daerah begitu kuat
sentralisasi. Kenyataan ini akhirnya menimbulkan ketergantungan daerah begitu kuat terhadap pusat.
UU otonomi daerah sendiri secara benar mulai dikonsep dan disahkan pada masa kepemimpinan presiden B.J Habibie dengan keluarnya UU No. 22 tahun 1999 tentang
landasan hukum pemerintahan daerah. Dengan terciptanya UU No. 22 tahun 1999 ini maka diharapkan dapat mengakomodasi perubahan paradigma pemerintahan dan dapat
mengedepankan prinsip – prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, memperhatikan perbedaan potensi dan keanekaragaman, serta dapat mencegah
disintegrasi bangsa.
2
Pada tahap berikutnya dibawah kepemimpinan Presiden Megawati dilakukanlah evaluasi yang mendasar terhadap UU otonomi daerah yang lama, maka lahirlah UU No. 32
tahun 2004 sebagai landasan hukum pemerintahan daerah yang baru menggantikan UU No. 22 tahun 1999 yang dianggap tidak lagi sesuai dengan UUD 1945 yang telah diamandemen.
3
Dalam proses pembuatan konsepnya, otonomi daerah memiliki tujuan – tujuan yang diharapkan dapat dicapai nantinya ketika otonomi daerah ini dijalankan di lingkungan
pemerintahan daerah dan perangkat – perangkatnya. Dalam UU No 22. Tahun 1999 yang lama dijelaskan bahwa tujuan dari lahirnya Undang – Undang pemerintahan daerah adalah
2
Agussalim Andi Gadjong, SH, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum. Bogor : Ghalia Indonesia, 2007, Hal. 161
3
Ibid, hal 167
Universitas Sumatera Utara
sebagai antisipasi pembaharuan dan sebagai penyempurnaan dari beberapa aturan yang melandasi pelaksanaan pemerintahan daerah yang sudah tidak efektif dalam perkembangan
yang ada saat ini. Di satu sisi, Undang – Undang ini juga sebagai implementasi dari beberapa aturan mendasar, dengan tegas dan jelas memberikan batasan – batasan, beberapa pengertian
sebagai acuan atau dasar dari pelaksanaan pemerintahan daerah dan DPRD, yang disatu sisi menempatkan kepala daerah beserta perangkat daerah otonom sebagai badan eksekutif dan
DPRD sebagai badan legislatif daerah. Ketika membicarakan mengenai otonomi daerah maka tidak terlepas dari adanya
penyerahan wewenang yang lebih luas kepada daerah dalam hal penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Hal ini merupakan perwujudan dari semangat desentralisasi yang
dibawa oleh konsep otonomi daerah ini. UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dinilai tidak layak lagi sebab jiwa UU ini kurang begitu mendukung terciptanya demokrasi
yang menjunjung tinggi nilai – nilai demokrasi itu sendiri. UU ini cenderung menghasilkan demokrasi yang ‘kebablasan’, dan memunculkan ‘raja – raja’ kecil di daerah.
4
Dengan latar belakang seperti itu akhirnya dibuatlah revisi UU yang lama yaitu UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Selain alasan diatas, perubahan ini juga
didasarkan oleh amanat UUD 1945 hasil amandemen bahwa pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan
prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
5
Otonomi daerah yang kita anut seperti yang dijelaskan diatas, berpedoman atas azasdesentralisasi. Desentralisasi sendiri adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia
.
6
4
J. Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah: Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global, Jakarta: Rineka Cipta, 2007, Hal. 69
5
Ibid, Hal. 72
6
UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 ayat 7 D
ari sini dapat diartikan bahwa otonomi daerah saat ini merupakan sebuah pembagian kewenangan yang lebih luas kepada daerah oleh pusat
untuk menjalankan pemerintahan di daerah dengan tanpa melepas wewenang pusat atas daerah. Berbeda dengan federasi, sistem federasi merupakan sebuah sistem dimana
pemerintah pusat member kewenangan sepenuhnya kepada daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri pemerintahannya tanpa ada intervensi dari pemerintah pusat.
Universitas Sumatera Utara
Desentralisasi pada hakikatnya memiliki arti yang baik, karena pembagian antara kewenangan pusat dan daerah dapat dibagi tanpa merusak kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia NKRI. Disamping itu, tujuan dari penerapan azas desentralisasi juga untuk menghindari timbulnya raja – raja kecil di daerah karena dengan masih adanya
wewenang pusat atas daerah, maka masalah raja – raja kecil dapat diatasi. Namun, meskipun ada dalam UU otonomi daerah yang baru telah dijelaskan bahwa
daerah diberikan otonomi yang seluas – luasnya dan bertanggung jawab berdasarkan hak dan kewajibannya, kenyataannya tidak demikian begitu banyak keterikatan antara daerah kepada
pemerintah pusat serta kewenangan pusat terhadap daerah melalui asas pembinaan dan pengawasannya. Poin yang paling ditekankan adalah soal hubungan antara susunan
pemerintahan bahwa antara pemerintah pusat, provinsi, daerah kabupatenkota hingga desakelurahan memiliki sebuah garis yang tidak mungkin terputus. Suatu pemerintahan di
level manapun akan bertanggung jawab kepada pemerintah diatasnya, sementara pemerintah diatasnya wajib melakukan pengawasan dan pembinaan bahkan berhak memberikan sanksi
kepada pemerintah dibawahnya. Hal lainnya yang dapat mengakibatkan dilema dalam pemerintahan daerah adalah
peran DPRD di daerah. Pada UU No.22 tahun 1999 dikatakan, seorang kepala daerah akan bertanggung jawab kepada DPRD di daerah yang bersangkutan. Namun hal ini berubah
dalam UU No.32 tahun 2004, dimana kepala daerah oleh karena diplih secara langsung tidak bertanggung jawab lagi kepada DPRD daerah melainkan kepada pemerintah di atasnya.
Sedangkan status DPRD adalah tidak lebih dari salah satu unsur pelenggara pemerintah daerah, dilain pihak kepala daerah adalah pimpinan penyelenggara daerah, dengan kata lain
DPRD posisinya sedikit dibawah kepala daerah. Disamping itu permasalahan yang paling utama adalah terkait dengan kedudukan
kepala daerah. Kepala daerah yang dipilih oleh rakyat secara langsung beradasarkan UU No. 32 tahun 2004 masih tetap berada dibawah kewenangan dari pusat baik dalam soal
pengelolaan, pertanggung jawaban, maupun pembinaan dan pengawasan, sehingga tidak sembarangan membuat sebuah keputusan yang strategis kepada daerahnya. Hal ini tentu saja
dapat menimbulkan sebuah dilema bagi kepala daerah. Ketika mereka ingin menerapkan sebuah kebijakan didaerahnya, namun karena tidak mendapat persetujuan dari pusat maka
kebijakan itu harus kandas. Situasi sebaliknya terjadi ketika pemerintah pusat menerapkan sebuah kebijakan yang kontroversial, mau tidak mau pemerintah di daerah harus
mematuhinya. Kasus isu kenaikan bahan bakar minyak misalnya, banyak pemerintahan di daerah yang kepala daerahnya menolak kebijakan kenaikan ini justru terkena sanksi oleh
Universitas Sumatera Utara
pemerintah pusat. Secara politis yang berhak memberikan sanksi kepada kepala daerah adalah rakyat yang memilihnya. Namun yang terjadi, setelah kepala daerah terpilih, mereka
justru otomatis berada dibawah pemerintah pusat, sehingga dapat dikatakan posisi masyarakat daerah hanya sebagai pemilih dalam pemilukada saja.
Permasalahan yang dialami oleh pemerintahan daerah ini dapat berdampak tidak berjalannya fungsi perangkat penyelenggara pemerintahan di daerah. DPRD yang seharusnya
mempunyai fungsi sebagai pengawas pemerintahan daerah akhirnya tidak lebih dari lembaga yang hanya sebagai simbol demokrasi. Kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat
akhirnya menjadi lebih mementingkan apa keinginan pemerintah pusat dan mengabaikan aspirasi rakyatnya. Hal ini semua dikarenakan kerancuan yang terjadi dalam UU Otonomi
daerah No. 32 tahun 2004. Saya merasa tertarik untuk meneliti karena saya ingin melihat bagaimana dampak
wewenang desentralisasi yang dimiliki oleh pemerintah pusat berdasarkan UU No.32 tahun 2004 mempengaruhi kekuasaan kepala daerah yang seharusnya memiliki legitimasi yang kuat
karena dipilih langsung oleh rakyat sehingga otomatis juga bertanggung jawab kepada rakyat di daerahnya, namun disisi lain harus tunduk kepada pusat.
Pada penelitian ini yang menjadi objek penelitian saya adalah Pemerintahan Kabupaten Tapanuli Tengah, karena selain saya mengenal daerah ini, daerah ini juga baru
saja melewati pesta demokrasi di tingkat lokal dan sudah memiliki kepala daerah yang baru yakni Bonaran Situmeang. Hal menarik lainnya bahwa kepala daerah yang terpilih benar –
benar terpilih atas kehendak masyarakat. Hal ini terbukti dengan tingkat persentasi kemenangan yang mencapai 62 dengan partisipasi masyarakatnya mencapai 70 sehingga
memiliki legitimasi yang kuat tetapi harus dihadapkan dengan masih adanya wewenang pusat atas daerah. Sehingga saya tertarik melakukan penelitian tentang bagaimana dampak
desentralisasi berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 dalam mempengaruhi kekuasaan kepala daerah di kabupaten Tapanuli Tengah terkait dengan legitimasinya sebagai pemimpin yang
dipilih langsung oleh masyarakat di daerah.
Universitas Sumatera Utara
I.2. Perumusan Masalah