Physiology Response of Juvenile Pangasius hypopthalmus on Close System Transportation With Utilization of Zeolit, Activated Charcoal and Clove Oil
RESPON FISIOLOGI BENIH IKAN PATIN
Pangasius
hypopthalmus
PADA PENGANGKUTAN SISTEM TERTUTUP
DENGAN PEMBERIAN ZEOLIT, ARANG AKTIF DAN
MINYAK CENGKEH
RUSPINDO SYAHPUTRA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
(2)
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Respon Fisiologi Benih Ikan Patin Pangasius hypopthalmus Pada Pengangkutan Sistem Tertutup Dengan Pemberian Zeolit, Arang Aktif Dan Minyak Cengkeh adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2010
Ruspindo Syahputra NRP C151080361
(3)
ABSTRACT
RUSPINDO SYAHPUTRA. Physiology Response of Juvenile Pangasius hypopthalmus on Close System Transportation With Utilization of Zeolit, Activated Charcoal and Clove Oil. Under the direction of EDDY SUPRIYONO and DINAMELLA WAHJUNINGRUM.
The objective of this research was to determine the effect of zeolit, activated charcoal and clove oil in maintaining water quality in the transport media and minimizing the stress level of Pangasius hypopthalmus juvenile. This research consisted of 6 treatments and 3 replications. Each treatments were; B). 20 g of zeolite + 10 g of activated charcoal; C). 20 g of zeolite + 10 g of activated charcoal + 3 ppm of clove oil; D). 20 g of zeolite + 10 g of activated charcoal + 6 ppm of clove oil; E). 20 g of zeolite + 10 g of activated charcoal + 9 ppm of clove oil; F). 20 g of zeolite + 10 g of activated charcoal + 12 ppm of clove oil, and A as a control (without zeolite, activated charcoal and clove oil). The duration of this research was 72 hours. The result showed that treatment E gave the best result among them. It was indicated by 5,348 ± 0,02 mg/L TAN (Total Ammonia Nitrogen) concentration, 50,42 mg/L CO2, 14,1 ng/ml of cortisol concentration,
1,56 (106×sel/mm3) erythrocyte, 6,52 (104×sel/mm3) leukocyte, 5,5±0,3 gr/100ml hemoglobin, 36,51±0,15 % hematocrit, 83,11% of survival rate. That treatment also showed the fewest of the gill histopathological changes and also showed the best spesific growth rate ( 1,035% of body weight/day).
(4)
RINGKASAN
RUSPINDO SYAHPUTRA. Respon Fisiologi Benih Ikan Patin Pangasius hypopthalmus Pada Pengangkutan Sistem Tertutup Dengan Pemberian Zeolit, Arang Aktif dan Minyak Cengkeh. Dibimbing oleh EDDY SUPRIYONO dan DINAMELLA WAHJUNINGRUM.
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian zeolit, arang aktif dan minyak cengkeh dalam mempertahankan kualitas air media pada pengangkutan, sehingga dapat meminimalisasi tingkat stres dan tingkat kematian ikan serta dapat menekan biaya pengangkutan khususnya dalam pengangkutan benih jarah jauh dengan kepadatan tinggi.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2009 sampai Januari 2010, bertempat di Laboratorium Lingkungan Akuakultur, Laboratorium Kesehatan Organisme Akuatik Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, serta Laboratorium Bioteknologi LIPI Bogor. Penelitian ini terdiri dari dua tahap, yaitu tahap pendahuluan dan utama. Tahap pendahuluan terdiri dari penentuan kemampuan puasa ikan, laju ekskresi amoniak ikan, dan tingkat konsumsi oksigen. Sedangkan pada tahap utama yaitu penentuan perlakuan penelitian, pengukuran konsentrasi kortisol, gambaran darah ikan, histologi jaringan (insang) baik pasca pengangkutan dan setelah 10 hari pasca pengangkutan (setelah pemeliharaan), kelangsungan hidup setelah pengangkutan dan setelah pemeliharaan 30 hari pasca pengangkutan, laju pertumbuhan harian yang diukur setelah pemeliharaan selama 1 bulan pasca pengangkutan, dan pengukuran nilai kualitas air media pengangkutan.
Rancangan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL),dengan 6 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan tersebut adalah perlakuan A (kontrol), B (Zeolit 20gr + Arang Aktif 10 gr), C (Zeolit 20gr + Arang Aktif 10 gr + Minyak Cengkeh 3 ppm), D (Zeolit 20gr + Arang Aktif 10 gr + Minyak Cengkeh 6 ppm), E (Zeolit 20gr + Arang Aktif 10 gr + Minyak Cengkeh 9 ppm), dan F (Zeolit 20gr + Arang Aktif 10 gr + Minyak Cengkeh 12 ppm). Data hormon kortisol, gambaran darah, kelangsungan hidup, pertumbuhan dan TAN (Total Amonia Nitrogen) dianalisis secara statistik dengan menggunakan analisis ragam (anova) dengan uji F pada selang kepercayaan 95% menggunakan program MS.exel 2007. Jika perlakuan berpengaruh nyata maka perlakuan akan diuji lanjut dengan menggunakan uji Beda Nyata Terkecil (BNT).
Uji pendahuluan menunjukkan bahwa kemampuan puasa ikan patin dengan ukuran 2 gram sebanyak 20 ekor mampu bertahan hidup dalam keadaan puasa hingga 10 hari. Kematian ikan mulai terjadi pada hari ke-11 sebanyak 5 ekor, sedangkan pengamatan pada hari ke-13, SR ikan patin adalah 45% dengan kondisi ikan sudah lemas. Nilai TKO ikan patin menurun seiring dengan meningkatnya bobot ikan. Ikan yang memiliki bobot yang lebih kecil akan membutuhkan oksigen yang lebih banyak daripada ikan yang mempunyai bobot yang lebih besar karena ikan yang lebih kecil lebih banyak membutuhkan energi untuk pertumbuhan, aktivitas, dan pembentukan jaringan baru. Laju ekskresi TAN ikan patin ukuran 2 gram sebesar adalah 0,0012 mg L-1 .jam -1. Ekskresi TAN ikan patin diukur setiap 6 jam selama 48 jam. Maka dapat diprediksi bahwa TAN yang
(5)
dihasilkan oleh ikan patin dengan ukuran 2 gram dan kepadatan 150 ekor dalam media pengepakan dalam waktu 72 jam adalah sekitar 12,96 mg/L.
Dari hasil pengukuran kadar kortisol ikan patin diperoleh kortisol ikan patin dalam keadaan normal adalah sebesar 12,4 ng/ml. Setelah dilakukan pengangkutan ikan kosentrasi kortisol meningkat pada semua perlakuan dan kosentrasi tertinggi terdapat pada perlakuan A yaitu sebesar 18,8±0,1 ng/ml, jika dibandingkan dengan perlakuan B, C, D, E, dan F. Jumlah sel darah merah, hemoglobin, dan hematokrit ikan patin pasca pengangkutan mengalami penurunan di bandingkan dengan ikan patin normal.Sedangkan jumlah Sel darah putih pada waktu pengukuran pasca pengangkutan mengalami kenaikan pada semua perlakuan. Nilai rasio neutrofil : limfosit mengalami peningkatan pada setiap perlakuan. Dari analisa histopatologi (insang) diperoleh bahwa pada semua perlakuan mengalami kerusakan. Kerusakan yang paling banyak terdapat pada perlakuan A dan F, kemudian diikuti oleh perlakuan B, C dan D. Sedangkan pada perlakuan E hanya mengalami sedikit kerusakan jika dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya.
Parameter kualitas air yang diamati pada penelitian ini meliputi, pH, DO, Suhu, TAN, NH3, dan CO2. Nilai pH media pengepakan berkisar antara 6,81-7,51.
Konsentrasi DO dalam media pengepakan terjadi penurunan pada setiap hari atau dengan bertambahnya waktu. Suhu pada media pengepakan masih dalam batas kisaran yang baik bagi kehidupan ikan patin. Konsentrasi TAN pada setiap perlakuan terjadi perbedaan. TAN merupakan produk limbah utama dari metabolisme protein pada ikan, apabila belum terionisasi menjadi amonia dan yang paling berbahaya bagi ikan. Nilai NH3 terendah terdapat pada perlakuan E
sebesar 0,0389±0,004 mg/L. Konsentrasi CO2 dalam media air pengepakan terus
mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Pada jam ke-24 konsentrasi CO2
tertinggi terdapat pada perlakuan A (kontrol) sebesar 46,82 mg/L, sehingga pada jam ke-30 terjadi kematian total pada ikan patin. Tingginya CO2 pada perlakuan A
disebabkan karena tidak adanya pemberian zeolit dan arang aktif pada perlakuan tersebut.
Kelangsungan hidup ikan patin yang tertinggi diperoleh pada perlakuan E dengan nilai sebesar 83,11 %. Laju pertumbuhan harian ikan patin yang paling tertinggi juga diperoleh pada perlakuan E sebesar 1,03 bobot tubuh/hari.
Pemberian zeolit 20 gr, arang aktif 10 gr dan minyak cengkeh 9 ppm dalam air media pengepakan sistem tertutup dapat memberikan hasil yang paling baik. Hal ini dapat dilihat dari respon fisiologi berupa konsentrasi hormon kortisol dan gambaran darah yang mendekati normal. Lebih jauh lagi nilai kualitas air juga menunjukkan hasil yang terbaik, baik kadar TAN terendah 5,348±0,02 mg/L, CO2
50,42 mg/L, tingkat kelangsungan hidup yang tertinggi pada pasca pengangkutan sebesar 83,11 % pada jam ke-72, tingkat kelangsungan hidup tertinggi setelah pemeliharaan 30 hari sebesar 79,3 %, dan laju pertumbuhan harian yang tinggi sebesar 1,03 % bobot tubuh/hari dibandingkan dengan perlakuan-perlakuan lain.
(6)
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa izin IPB
(7)
RESPON FISIOLOGI BENIH IKAN PATIN
Pangasius
hypopthalmus
PADA PENGANGKUTAN SISTEM TERTUTUP
DENGAN PEMBERIAN ZEOLIT, ARANG AKTIF DAN
MINYAK CENGKEH
RUSPINDO SYAHPUTRA
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Akuakultur
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
(8)
(9)
Judul Tesis : Respon Fisiologi Benih Ikan Patin (Pangasius hypopthalmus) pada Pengangkutan Sistem Tertutup dengan Pemberian Zeolit, Arang Aktif dan Minyak Cengkeh
Nama : Ruspindo Syahputra
NRP : C151080361
Disetujui :
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Eddy Supriyono, M.Sc Dr. Dinamella Wahjuningrum, S.Si M.Si
Ketua Anggota
Diketahui :
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Akuakultur
Prof. Dr. Ir. Enang Harris, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S
(10)
PRAKATA
Puji syukur dipanjatkan kepada Allah SWT, atas karunia yang diberikan kepada penulis, sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan dengan baik.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung sudah membantu dalam pelaksanaan penulisan tesis ini.
Terima kasih penulis ucapkan, utamanya kepada :
1. Dr. Ir. Eddy Supriyono, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan tema penelitian, bantuan sebagian dana penelitian, kesempatan, kearifan dan kebaikan beliau mengantarkan penelitian penulis hingga selesai. 2. Dr. Dinamella Wahjuningrum, S.Si M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing
dengan kesempatan, kearifan, kebaikan dan perhatian beliau dalam mengevaluasi penelitian penulis hingga selesai.
3. Dr. Ir. Nur Bambang Priyo Utomo, M.Si selaku Penguji Luar Komisi yang telah memberikan saran dan masukkan pada saat ujian tesis dalam menyempurnakan tesis ini.
4. Orang tua tercinta, Bapak dan Ibu yang telah memberikan semangat, baik berupa materi maupun do’a restu yang tak pernah hentinya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.
5. Istri tercinta yang telah memberikan dorongan dan semangat sehingga penulis dapat dapat menyelesaikan penelitian.
6. Kakak dan adik tersayang yang telah memberikan dorongan dan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian.
7. Teman-teman S2 apaan 08’ Program Studi Ilmu Akualkultur.
8. Team Transporter 05, Ibu Budiyanti, Bapak Sugianto, Bapak Supasman dan Reza atas kekompakkan team selama ini sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian.
Penulis berharap, semoga penelitian ini dapat berguna bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan bermanfaat bagi semua pihak, khususnya kepada penulis pribadi kiranya dapat menjadi bekal setelah menyelesaikan studi nantinya.
Bogor, Juli 2010
(11)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Padang pada tanggal 24 Mei 1985 dari Ayah Dahlius dan Ibu Gusnida Ilyas. Penulis merupakan anak ke dua dari tiga bersaudara.
Tahun 2003 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Lengayang Sumatera Barat dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Sriwijaya melalui jalur UMPTN. Penulis memilih Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian. Pada tahun 2007 penulis melaksanakan Praktek Lapangan di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung. Pada tahun itu juga penulis ikut dalam pelatihan statistik bidang perikanan, seminar ilmiah pengembangan teknologi dalam rangka peningkatan produktivitas budidaya perairan yang diselenggarakan di Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya. Selama studi di Universitas Sriwijaya, penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Dasar-dasar Budidaya Perairan.
Pada tahun 2008 penulis melanjutkan studi dan diterima sebagai mahasiswa pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Program Studi Ilmu Akuakultur. Selama studi penulis pernah ikut dalam pelatihan pembuatan proposal di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB dan seminar nasional akuakultur di Institut Pertanian Bogor.
(12)
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN... xiii
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 3
1.1 Tujuan dan Manfaat ... 4
1.2 Hipotesis ... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5
2.1 Biologi Ikan Patin ... 5
2.2 Transportasi Ikan ... 5
2.3 Zeolit ... 10
2.4 Arang Aktif ... 11
2.5 Minyak Cengkeh ... 14
2.6 Respon Fisiologi Ikan ... 16
III.METODE PENELITIAN ... 20
3.1 Waktu dan Tempat ... 20
3.2 Prosedur Kerja ... 20
3.3 Rancangan Penelitian ... 27
3.4 Analisis Data ... 27
IV.HASIL DAN PEMBAHASAN ... 28
4.1 Hasil ... 28
4.1.1 Penelitian Pendahuluan ... 28
4.1.2 Kualitas Air Media Pengepakan ... 29
4.1.3 Respon Fisiologi Ikan Patin ... 34
4.1.4 Kelangsungan Hidup Ikan Patin ... 44
4.1.5 Pertumbuhan Ikan Patin ... 46
4.2 Pembahasan ... 46
4.2.1 Penelitian Pendahuluan ... 46
4.2.2 Kualitas Air Media Pengepakan ... 47
4.2.3 Respon Fisiologi Ikan Patin ... 48
4.2.4 Kelangsungan Hidup Ikan Patin ... 52
4.2.5 Pertumbuhan Ikan Patin ... 52
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 53
5.1 Kesimpulan ... 53
5.2 Saran ... 53
DAFTAR PUSTAKA ... 54
(13)
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Tahapan anastesipada ikan ... 15
2. Kemampuan puasa ikan patin ... 28
3. TAN media pengepakan ikan patin ... 31
4. Amonia (NH3) media pengepakan ikan patin ... 32
5. Insang ikan patin pasca pengangkutan………... 43
6. Insang ikan patin setelah pemeliharaan……….. 44
7. Kelangsungan hidup ikan patin... 45
(14)
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Nilai pH media pengepakan ... 29
2. DO media pengepakan ... 30
3. Suhu media pengepakan ... 30
4. TAN media pengepakan ... 31
5. NH3 media pengepakan ... 33
6. Karbondioksida media pengepakan ... 33
7. Konsentrasi kortisol ikan patin pasca pengangkutan ... 34
8. Konsentrasi kortisol ikan patin setelah pemeliharaan ... 35
9. Sel darah merah ikan patin pasca pengangkutan ... 35
10. Sel darah merah ikan patin setelah pemeliharaan ... 36
11. Sel darah putih ikan patin pasca pengangkutan ... 37
12. Sel darah putih ikan patin setelah pemeliharaan ... 37
13. Konsentrasi hemoglobin ikan patin pasca pengangkutan ... 38
14. Konsentrasi hemoglobin ikan patin setelah pemeliharaan ... 38
15. Nilai N:L ikan patin pasca pengangkutan ... 39
16. Nilai N:L ikan patin setelah pemeliharaan ... 39
17. Konsentrasi hematokrit ikan patin pasca pengangkutan ... 40
18. Konsentrasi hematokrit ikan patin setelah pemeliharaan ... 41
19. Insang ikan patin pasca pengangkutan ... 42
20. Insang ikan patin setelah pemeliharaan ... 43
21. SR ikan patin ... 44
(15)
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Hasil pengukuran minyak cengkeh... 61
2. Tingkat kelangsungan hidup (%) ikan patin... 62
3. Nilai pH media pengepakan... 67
4. Disolved oxygen (DO) media pengepakan... 67
5. Karbondioksida media pengepakan ikan patin... 67
6. Suhu media pengepakan... 67
7. Total amonia nitrogen (TAN) media pengepakan... 67
8. Amonia (NH3) media pengepakan ikan patin... 69
9. Konsentrasi hormon kortisol ikan patin... 70
10. Pertumbuhan ikan patin... 71
(16)
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ikan patin Pangasius hypopthalmus merupakan ikan konsumsi yang digemari masyarakat dan termasuk jenis ikan air tawar yang memiliki nilai ekonomis penting karena harganya yang cukup tinggi dan digemari oleh masyarakat karena rasanya enak serta mudah untuk dibudidayakan karena ikan ini bersifat omnivora. Ikan ini dapat ditemukan di perairan air tawar yang banyak ditemukan di daerah Sumatera, Kalimantan, dan sebagian Jawa (Rupawan et al. 2000). Berdasarkan data produksi perikanan budidaya pada tahun 2005, produksi ikan patin sebesar 32.575 ton dan terus mengalami peningkatan hingga pada tahun 2009 sebesar 132.600 ton (DKP 2009). Selain itu, patin juga merupakan salah satu komoditas perikanan budidaya yang produksinya akan ditingkatkan pada periode 2010-2014 sebesar 1.420% (Anonim 2010). Peningkatan produksi perikanan budidaya didukung oleh ketersediaan benih dalam jumlah, waktu dan mutu yang tepat.
Kegiatan pemijahan ikan patin selama ini masih banyak terkosentrasi di daerah Sukabumi, Bogor dan Jakarta sedangkan kegiatan pendederan dan pembesaran berada di daerah Sumatera, Kalimantan dan daerah lainnya di pulau Jawa (Sunarma 2007). Karena daerah produksi benih dan daerah pendederan serta pembesaran mempunyai jarak yang jauh, maka diperlukanlah transportasi benih. Transportasi ikan yang baik haruslah dapat menghasilkan kelangsungan hidup yang tinggi, kualitas ikan yang baik, dan mampu menghemat biaya pengangkutan. Oleh karena itu diperlukan suatu teknologi yang tepat dalam pengangkutan ikan benih ikan patin sehingga dapat sampai ke tujuan dengan tidak mengurangi kualitas dan kuantitas dari benih ikan meskipun dalam waktu pengangkutan yang lama, sehingga ketersediaan benih untuk mendukung target produksi yang diinginkan dapat tercapai. Transportasi ikan yang membutuhkan jarak tempuh yang jauh dan waktu yang lama biasanya menggunakan sistem tertutup.
Transportasi sistem tertutup memiliki resiko yang tinggi yaitu dapat menyebabkan kematian ikan. Kematian ikan dapat disebabkan karena tingginya kadar amoniak ikan karena metabolisme ikan dan tingginya tingkat stress ikan
(17)
yang diakibatkan karena adanya perubahan fisiologi dalam tubuh ikan pada saat pengangkutan. Respon fisiologi ikan merupakan tanggapan tubuh ikan dalam menanggapi perubahan lingkungan yang tidak sesuai dengan kehidupan ikan. Respon fisiologi dapat berupa meningkatnya konsentrasi hormon kortisol pada saat ikan stress, terjadinya perubahan jumlah gambaran darah, dan perubahan pada histologi jaringan.
Stres adalah suatu bentuk respon fisiologis yang berasaldari dalam tubuh
internal atau berasal dari lingkungan eksternal dalam mengawali penyesuaian diri terhadap perubahan. Stres merupakan fenomena biologi yang non-spesifik dari suatu perubahan lingkungan atau faktor-faktor lain yang mempengaruhi daya adaptasi homeostatis dimana proses perubahan secara stabil tersebut akan mempengaruhi proses-proses fisiologis yang pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan fisik bahkan kematian (Makmur 2003). Stres mempengaruhi konsentrasi kortisol plasma, total sel antibody, hematokrit, dan diferensial sel darah ikan. Oleh karena itu, stres berpengaruh terhadap kesehatan ikan. Ekspose stres dalam jangka waktu yang lama dapat merusak kesehatan ikan dan dapat menyebabkan kematian pada ikan.
Untuk mengatasi masalah tersebut maka digunakanlah zeolit untuk menurunkan dan menyerap kandungan amoniak pada saat pengangkutan ikan. Menurut Tsitsishvili et al. (1992) bahwa zeolit digunakan sebagai penyerap amoniak yang sangat efektif, sebab zeolit dalam bekerja tidak bergantung suhu. Dari penelitian terdahulu, Ghazali (2007) menyatakan bahwa penambahan zeolit 20 g dan arang aktif 10 g dapat menyerap kandungan TAN pada media pengangkutan ikan maanvis. Zhang and Perschbacher (2003) juga menyatakan bahwa pemberian zeolit 20 g dan arang aktif 10 g dapat menyerap kandungan TAN. Arang aktif merupakan adsorben yang memiliki daya serap yang tinggi. Arang aktif dapat menyerap NH3 dan H2S di dalam perairan. Sedangkan untuk
mengurangi metabolisme ikan yang disebabkan karena aktivitas ikan maka diberikanlah minyak cengkeh sebagai penenang pada saat pengangkutan ikan sehingga metabolisme yang dihasilkan oleh ikan pada saat pengangkutan tidak terlalu banyak.
(18)
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan bahan anastesi telah menurunkan tingkat mortalitas ikan hidup selama pengangkutan. MS–222 (Tricaine Methanesulphonat) dapat menekan angka mortalitas ikan kerapu hidup 80 % pada pengangkutan sistem kering (Uddin 2008). Tetapi hal ini bertentangan dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : KEP.20/MEN/2003, tangga 9 Juni 2003, tentang larangan penggunaan bahan kimia sebagai obat bius., karena MS-22 memiliki residu di dalam tubuh ikan dan berbahaya untuk dikonsumsi oleh manusia. Bahan anastesi lainnya yang dilarang meliputi ether, Propoxate dan Quinaldine sulfate. Dengan demikian maka diperlukan bahan anastesi alternatif misalnya bahan anastesi alami yang tidak berbahaya. Schuster (1960), menyatakan bahwa penggunaan minyak cengkeh juga dapat menekan angka mortalitas ikan sebesar 95 % dalam pengangkutan ikan. Pendapat ini juga didukung oleh Grush et al (2004), menyatakan bahwa dalam pengangkutan ikan dapat digunakan minyak cengkeh sebagai anastesi atau sebagai penenang.
1.2 Perumusan Masalah
Pengangkutan ikan hidup jarak jauh umumnya menggunakan sistem tertutup. Akan tetapi permasalahan yang sering dihadapi pada saat pengangkutan sistem tertutup dengan jarak jauh adalah tingginya tingkat kematian ikan. Kematian ikan pada sistem pengangkutan tertutup umumnya disebabkan oleh akumulasi amonia, metabolit beracun yang diakibatkan tingginya tingkat keaktifan ikan sehingga dapat meningkatkan laju metabolisme ikan, berkurangnya persediaan oksigen terlarut, infeksi bakteri, dan luka fisik akibat penanganan yang tidak baik yang dapat menyebabkan stress pada ikan (Bose et al. 1991).
Permasalahan-permasalahan ini dapat diatasi dengan beberapa cara, diantaranya dengan penambahan oksigen murni pada kantung pengepakan dengan memperhatikan tingkat konsumsi oksigen ikan yang akan diangkut, penambahan es batu kedalam kotak pengangkutan sebagai penstabil suhu, pemberian minyak cengkeh untuk mengurangi tingkat stress pada ikan yang dapat digunakan sebagai penenang (Purnomo 2004) sehingga akan menurunkan tingkat keaktifan ikan yang akhirnya dapat menurunkan laju metabolisme ikan, dan menyerap amoniak dengan menggunakan bahan yang dapat menyerap dan melakukan penukaran ion,
(19)
diantaranya ion NH4+ dengan ion lainnya, untuk mengatasi hal tersebut maka
digunakan zeolit dan arang aktif.
1.3. Tujuan dan Manfaat
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dosis minyak cengkeh yang berbeda dengan penambahan zeolit dan arang aktif dalam meminimalisir tingkat stres benih ikan patin dan mempertahankan kualitas air media selama pengangkutan.
Manfaat dari penelitian ini adalah dengan pemberian zeolit, arang aktif dan minyak cengkeh dapat mempertahankan kelangsungan hidup dan dapat menekan biaya pengangkutan khususnya dalam pengangkutan benih jarak jauh dengan kepadatan tinggi.
1.4 Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah dengan penambahan zeolit, arang aktif dan minyak cengkeh diharapkan mampu mempertahankan kondisi kualitas air sehingga mampu meminimalisir tingkat stres dan kematian ikan selama pengangkutan.
(20)
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Ikan Patin
Ikan patin termasuk golongan ikan catfish yang memiliki ciri khusus yaitu kulit halus, jari-jari punggung dan sirip dada sempurna dengan tujuh jari-jari bercabang, sebuah sirip lemak berpangkal sempit, sirip dubur panjang dan bersambung dengan sirip ekor, sirip ekor bercagak dalam, letak mulut agak mengarah ke depan (Slembrouck et al. 2005).
Slembrouck et al (1968), mengklasifikasikan ikan patin dalam sistematika sebagai berikut :
Kelas : Pisces Sub Kelas : Teleostei Divisi : Ostariophysi Ordo : Siluroidea Family : Pangasidae Genus : Pangasius
Spesies : Pangasius hypopthalmus
Ikan patin mempunyai sifat omnivora atau golongan ikan pemakan segalanya. Di alam, makanan ikan ini antara lain adalah ikan-ikan kecil lainnya, cacing, detritus, serangga, biji-bijian, udang-udang kecil dan moluska. Ikan patin mempunyai beberapa sifat yang menguntungkan untuk dibudidayakan seperti ukurannya besar, fekunditasnya cukup tinggi, serta mutu dagingnya digemari masyarakat luas (Susanto dan Amri 2004).
2.2 Transportasi Ikan
Keberhasilan transportasi ikan hidup selalu dipengaruhi sifat fisiologi ikan sendiri, ukuran ikan, kebugaran atau mutu ikan menjelang transportasi, mutu air selama transportasi (suhu media, DO, pH, CO2, dan amoniak), kepadatan ikan
dalam wadah, teknik pengangkutan dengan menggunakan suhu rendah atau bahan kimia serta metabolit alam dan lama pengangkutan (Suryaningrum et al. 2000).
Peningkatan kepadatan menyebabkan penurunan mutu kualitas air selama transportasi. Hal ini terlihat dari kondisi visual air selama pengangkutan dimana air media menjadi agak keruh dan berlendir. Pada saat pengangkutan respon ikan
(21)
terhadap perubahan lingkungan baik suhu, oksigen terlarut, serta peningkatan metabolik ikan akan dapat mengakibatkan perubahan perubahan warna pada ikan (Utomo dalam Suryaningrum et al. 2000).
Bose et al. (1991) menyebutkan beberapa hal penyebab kematian ikan dalam transportasi, yaitu; menipisnya persediaan oksigen terlarut di media pengangkutan, akumulasi dari gas toksik misalnya amoniak, luka fisik akibat dari penanganan sebelum pengangkutan, gerakan ikan yang hiperaktif di awal pengangkutan, fluktuasi suhu air yang mendadak, dan penyakit ikan. Untuk menghindari hal tersebut, maka ada beberapa langkah yang harus diperhatikan, yaitu :
Sebelum ikan dimasukkan ke dalam media pengepakan terlebih dahulu ikan disortir sesuai ukuran untuk menghindari sifat kanibalisme sehingga ikan tidak terluka. Selain disortir ikan juga dipuasakan agar ikan tidak banyak menghasilkan feses.
Media pengepakan harus bebas polusi dimana air diaerasi hingga jenuh untuk meningkatkan kadar oksigen terlarut dan suhu pengepakan harus dingin untuk mempertahankan kadar oksigen terlarut.
Lesmana (2001) menyatakan bahwa untuk pengangkutan ikan, hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain adalah seleksi ikan dan pemuasaan atau pemberokan ikan. Proses seleksi ini meliputi kualitas, kesehatan, ukuran, dan jenis serta jumlah. Ukuran dan jenis ikan untuk satu kemasan sebaiknya seragam. Sedangkan jumlah ikan dalam satu kemasan sangat bergantung pada ukuran dan besarnya kemasan. Setelah proses seleksi, ikan dipuasakan selama 40-60 jam, supaya hasil metabolism ikan berkurang seperti feses, CO2, dan NH3 dari urine.
Menurut Utomo (2003), pengangkutan ikan dapat dilakukan dengan dua sistem pengangkutan, yaitu pengangkutan sistem tertutup dan pengangkutan sistem terbuka. Pada sistem terbuka media air di dalam wadah dapat kontak langsung dengan udara terbuka diluar wadah sedangkan pada sistem tertutup kontak dengan udara luar tidak terjadi karena media terdapat dalam wadah yang tertutup rapat.
Pengangkutan sistem terbuka biasanya digunakan untuk pengangkutan melalui jalur darat dan jarak yang akan ditempuh relatif dekat. Pada pengangkutan
(22)
ini, sumber oksigen untuk pernafasan ikan sebagian besar adalah oksigen yang terlarut dalam air, yang lainnya hasil difusi dari udara pada tekanan udara yang normal. Pada sistem ini perbandingan volume air dengan berat ikan relatif lebih besar. Untuk pengangkutan ikan selama 5 jam, paling tidak 5 liter air diperlukan untuk mengangkut 1 kg ikan. Makin lama waktu angkut makin tinggi perbandingan volume air dengan berat ikan.
Sedangkan pada pengangkutan sistem tertutup biasanya digunakan untuk pengangkutan dengan jarak yang ditempuh relatif jauh. Pada pengangkutan sistem ini dimasukkan oksigen murni dan tekanan udara lebih tinggi dibanding di luar wadah. Hal ini yang menyebabkan konsentrasi dan kelarutan oksigen di dalam media air cukup tinggi, sehingga perbandingan volume air dengan berat ikan pada sistem tertutup lebih rendah dibanding sistem terbuka, yang berarti dapat mengurangi ongkos angkut per kg ikan.
Dalam pengangkutan ikan diperlukan media air yang cukup layak kualitasnya untuk mendukung kelangsungan hidup ikan. Kualitas air yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan dalam proses pengangkutan adalah :
1. Oksigen terlarut (DO)
Piper et al (1982) dalam Arifin (1991) menyatakan bahwa oksigen telarut di dalam media pengangkutan harus tinggi dan lebih kecil dari tingkat jenuh, sebab kebutuhan oksigen akan meningkat pada saat kadar CO2 tinggi dan stres
penanganan sehingga untuk persiapan disediakan dua kali kebutuhan normal. Pescod dan Okun (1973) menyatakan bahwa kandungan O2 terlarut yang baik
untuk kehidupan ikan harus lebih dari 2 ppm. Menurut Huet (1971) kadar terendah yang dapat ditoleransi oleh ikan dalam pengangkutan adalah 2-3 mg/L. Kebutuhan ikan akan oksigen berbeda-beda, bergantung pada spesies, ukuran, aktivitas, tingkat konsumsi pakan, suhu dan konsentrasi oksigen terlarut (Boyd, 1979).
Oksigen masuk ke dalam air melalui difusi langsung antara permukaan udara dan air. Oksigen masuk ke dalam air melalui difusi pasif dari atmosfer, karena adanya perbedaan tekanan parsial oksigen di udara dan di air (Wedemeyer, 1996).
(23)
Tingkat kelarutan oksigen dipengaruhi oleh laju produksi oksigen melalui fotosintesis, transfer oksigen dari udara ke dalam air dan laju konsumsi oksigen karena respirasi (Royce 1984). Salah satu cara untuk mempertahankan tingkat kelarutan oksigen dalam air adalah dengan pengaerasian, yaitu penambahan oksigen atau udara berisi oksigen secara mekanik ke dalam air hingga konsentrasi kelarutannya meningkat. Pada pengepakan tertutup penambahan oksigen dengan cara menambahkan oksigen murni terlebih dahulu sebelum pengepakan dilakukan.
Pada kenyataan dalam melakukan kegiatan transportasi ikan hidup selalu terjadi kompetisi penggunaan ruang dan pemanfaatan oksigen yang tersedia. Pengangkutan dengan sistim tertutup menggunakan kantong plastik, nilai oksigen merupakan parameter penentu pada transportasi ikan hidup ( Berka 1986).
2. Temperatur
Jhingran dan Pullin (1985) dalam Supendi (2006) menyatakan kriteria temperatur yang ideal untuk pengangkutan ikan tropis adalah 20-24 0C. peningkatan suhu dapat menyebabkan penurunan konsentrasi oksigen terlarut, karena akan meningkatkan laju metabolisme dan konsumsi oksigen ikan dan suhu air mempengaruhi kelarutan gas. Penurunan suhu air akan menurunkan aktivitas makan ikan (Wedemeyer 1996).
Berka (1986) dalam Arifin et al (1991) menyatakan bahwa kandungan oksigen terlarut bukan merupakan faktor pembatas dalam transportasi ikan hidup apabila suhu air tidak banyak berubah sehingga tidak mempengaruhi aktifitas metabolisme ikan. Suhu sangat mempengaruhi tingkat konsumsi oksigen, peningkatan suhu akan meningkatkan laju metabolisme dan menyebabkan konsumsi oksigen pada jaringan lebih tinggi, sehingga kandungan oksigen terlarut berkurang (Berka 1986 dalam Arifin et al. 1991).
3. Derajat Keasaman
Kriteria pH yang ideal dalam pengangkutan ikan menurut Pescod et al
(1973) adalah 6,5-8,5. Derajat keasaman memepengaruhi proses dan kecepatan reaksi kimiawi dalam air dan biokimiawi dalam tubuh ikan (Royce 1984). Nilai pH mempengaruhi daya racun bahan atau faktor kimia lain, misalnya amoniak meningkat dengan naiknya nilai pH. Emerson (1975) dalam Anwar (1989)
(24)
mengemukakan bahwa jika nilai pH air meningkat, maka amoniak tak terionisasi terhadap amoniak total akan meningkat pula. Prosesnya adalah apabila terjadi penurunan terhadap nilai pH air, maka akan terjadi peningkatan konsentrasi H+ di dalam air sehingga NH3-N dapat berubah menjadi NH4+. Apabila nilai pH air
meningkat maka konsentrasi OH- dominan di dalam air dan NH3-N dapat masuk
ke dalam jaringan. Hal ini ditunjukkan pada persamaan reaksi sebagai berikut : NH3 + H2O NH4+ + OH- dengan K = 10-4,74
4. Amoniak
Sisa-sisa metablisme pada ikan berupa senyawa nitrogen yang merupakan unsur utama dalam hasil buangan metabolisme adalah urea dan diikuti amoniak yang dapat menyebabkan kematian pada ikan apabila terdapat banyak atau melewati batas toleransi (Royce 1984).
Peningkatan amoniak di atas konsentrasi 0,3 ppm akan mengurangi kandungan oksigen dan meningkatkan kandungan CO2 dalam darah (Brockway dalam Gerbhards 1965). Kenaikan kadar NH3 hingga 1 ppm dapat menurunkan
kadar O2 dalam darah hingga 1/7 kali konsentrasi normal dan CO2 dalam darah
naik 15 %. Sebaliknya jika kadar O2 rendah maka daya racun NH3 akan
meningkat (Waterman 1960).
Meningkatnya kandungan amoniak dalam air dapat berasal dari hasil metabolisme pemecahan protein menjadi amoniak oleh bakteri. Tingginya kandungan amoniak dalam air menyebabkan pengeluaran amoniak dalam darah dan jaringan tinggi dan dapat menyebabkan pH dalam darah naik. Keadaan ini menyebabkan meningkatnya konsumsi oksigen oleh ikan, sementara kelarutan oksigen dalam media semakin menurun, sehingga akhirnya menyebabkan kematian ikan.
5. Karbondioksida (CO2)
Hasil ekskresi yang dihasilkan oleh ikan yang sangat signifikan adalah CO2
yang dapat mempengaruhi kesehatan dan kondisi ikan. Jumlah karbondioksida yang terlalu banyak akan bersifat racun bagi ikan (Jhingran dan Pullin, 1985). Secara umum, ikan memproduksi 1,4 mg CO2 untuk setiap 1 mg O2 yang
(25)
Untuk mempertahankan ikan agar tetap hidup sampai ke tangan konsumen, maka dalam proses pengepakan (pengemasan) harus memenuhi persyaratan. Teknik pengemasan dengan air di dalam kantung plastik yang diisi oksigen adalah cara terbaik. Keberhasilannya erat kaitannya dengan kondisi kimia medium pengangkutan, terutama kandungan oksigen terlarut, NH3, CO2, pH, dan suhu
(Lesmana 2001).
Garbhards (1965) menyatakan bahwa penggunaan wadah plastik untuk pengemasan yang diletakkan pada kotak styrofoam dapat meningkatkan kelangsungan hidup sebesar 99,9 % dan sebaiknya dalam pengangkutan, ikan diletakkan dalam keadaan tertutup sehingga ikan berada dalam kondisi gelap agar ikan tidak mudah stres.
2.3 Zeolit
Nama zeolit berasal dari dua kata dalam Bahasa Yunani, yaitu zeo (mendidih) dan lithos (batu). Nama ini menggambarkan perilaku mineral ini yang dengan cepat melepaskan air bila dipanaskan sehingga kelihatan seolah-olah mendidih, seperti pengamatan Cronsted, ahli mineral Swedia, terhadap mineral
stilbite yang ditemukannya pada tahun 1756 (Barrer 1982). Zeolit memiliki sejumlah sifat kimia maupun fisika yang menarik, di antaranya mampu menyerap zat organik maupun anorganik, dapat berlaku sebagai penukar kation, dan sebagai katalis untuk berbagai reaksi. Sifat katalitik zeolit pertama kali ditemukan oleh Weisz dan Frilette pada tahun 1960 dan dua tahun kemudian mulai diperkenalkan penggunaan zeolit Y sebagai katalis perengkah (Augustine 1996).
Zeolit ditemukan pertama kali oleh seorang ahli mineral dari Swedia tahun 1756 yaitu Cronstedt (Sugiyanto 1996 dalam Rusyani 2001). Menurut Smith (1984) definisi zeolit yaitu berupa mineral dengan struktur alumino silikat yang berbentuk “frame work” (sangkar) 3 dimensi, mempunyai rongga dan saluran serta mengandung kation logam Na, K, Mg, Ca, Fe serta molekul air. Mineral zeolit banyak terdapat di sekitar gunung berapi atau mengendap pada daerah panas. Jenis zeolit alam diantaranya klinoptilolit, modernit, filipsit, kabasit, dan erionit (Sugiyanto 1996 dalam Rusyani 2001).
Karakteristik zeolit di alam terdistribusikan menjadi beberapa bentuk yaitu
(26)
philpsite (Tsitsishvili, dkk, 1992). Bentuk ini mempengaruhi daya serap atau pertukaran ion. Modernite adalah bentuk zeolit yang umum digunakan dalam pertanian yang mengandung kation logam SiO2, Al2O3, Fe2O3, FeO, MgO, CaO,
Na2O, K2O dan H2O.
Zeolit merupakan penukar kation yang efektif, yang memiliki nilai KTK (Kemampuan Tukar Kation) sebesar 200-500 cmolc/kg. Klinoptilolit merupakan
jenis zeolit yang memiliki afinitas yang tinggi terhadap ammonium dan telah berhasil digunakan sebagai pembersih amoniak (Midlen dan Theresa 1998).
Penggunaan zeolit sebagai penyerap amoniak memang sangat efektif, sebab zeolit dalam bekerja tidak bergantung suhu dan bekerja pada kisaran pH 6-11 (Tsitsishvili et al. 1992). Pada sistem pengangkutan tertutup dengan penambahan zeolit, jumlah benih ikan yang diangkut dapat ditingkatkan sebanyak 20-25%. Dalam pengangkutan ikan sistem tertutup kegunaan zeolit terutama adalah sebagai penyerap ion NH4+, maksudnya dengan penyerapan ion NH4+ itu adalah
pertukaran ion NH4+ dengan Ca2+ atau Na+ atau ion-ion lainnya (Mumphton dan
Fishman 1977 dalam Supendi, 2006) sehingga dapat menetralkan racun hasil metabolisme.
2.4 Arang Aktif
Arang merupakan suatu padatan berpori yang mengandung 85-95% karbon, dihasilkan dari bahan-bahan yang mengandung karbon dengan pemanasan pada suhu tinggi. Ketika pemanasan berlangsung, diusahakan agar tidak terjadi kebocoran udara didalam ruangan pemanasan sehingga bahan yang mengandung karbon tersebut hanya terkarbonisasi dan tidak teroksidasi. Arang selain digunakan sebagai bahan bakar, juga dapat digunakan sebagai adsorben (penyerap). Daya serap ditentukan oleh luas permukaan partikel dan kemampuan ini dapat menjadi lebih tinggi jika terhadap arang tersebut dilakukan aktifasi dengan aktif ataupun dengan pemanasan pada temperatur tinggi. Dengan demikian, arang akan mengalami perubahan sifat-sifat fisika dan kimia. Arang yang demikian disebut sebagai arang aktif (Sembiring dan Sinaga 2003).
Di dalam air yang tercemar, misalnya oleh amoniak (NH3), H2S
ataupun oleh unsur-unsur logam berat lainnya, bila digunakan arang aktif maka molekul zat pencemar tersebut akan terjaring dan terperangkap di dalam
(27)
pori-pori atau zone-zone antar kristal arang aktif sehingga pada akhirnya air menjadi bersih tanpa berbau. Arang yang atomnya merupakan atom-atom karbon dapat berfungsi sebagai bahan penyerap. Supaya terjadi arang aktif, proses aktivasi harus dilakukan, yaitu dengan pemanasan pada suhu tinggi (Subiarto 2000).
Kualitas arang aktif ditentukan oleh kadar air, kadar abu, kadar karbon terikat, ukuran partikel dan kapasitas absorbs. Kualitas ini dipengaruhi oleh bahan baku, bahan pengaktif dan proses pengolahan (Nopiyanti 2002). Arang aktif biasanya dibuat dari serbuk gergaji, kayu, batubara, lignin, tempurung kelapa, peat, bagasse (pulp gula tebu), lignite, tulang dan residu minyak.
Sembiring dan Sinaga (2003) menyatakan bahwa sifat karbon aktif yang paling penting adalah daya serap. Beberapa faktor yang mempengaruhi daya serap adsorpsi yaitu :
a. Sifat Adsorben
Arang aktif yang merupakan adsorben adalah suatu padatan berpori, yang sebagian besar terdiri dari unsur karbon bebas dan masing-masing berikatan secara kovalen. Dengan demikian, permukaan arang aktif bersifat non polar. Selain kompisisi dan polaritas, struktur pori juga merupakan faktor yang penting diperhatikan. Struktur pori berhubungan dengan luas permukaan, semakin kecil pori-pori arang aktif, mengakibatkan luas permukaan semakin besar. Dengan demikian kecepatan adsorpsi bertambah. Untuk meningkatkan kecepatan adsorpsi, dianjurkan agar menggunakan arang aktif yang telah dihaluskan.
b. Sifat Serapan
Bany ak seny aw a y ang dapat diadsorpsi oleh arang aktif, tetapi kemampuannya untuk mengadsorpsi berbeda untuk masing-masing senyawa. Adsorpsi akan bertambah besar sesuai dengan bertambahnya ukuran molekul serapan dari sturktur yang sama, seperti dalam deret homolog. Adsorpsi juga dipengaruhi oleh gugus fungsi, posisi gugus fungsi, ikatan rangkap, struktur rantai dari senyawa serapan.
(28)
c. Temperatur
Dalam pemakaian arang aktif dianjurkan untuk menyelidiki temperatur pada saat berlangsungnya proses. Karena tidak ada peraturan umum yang bisa diberikan mengenai temperatur yang digunakan dalam adsorpsi. Faktor yang mempengaruhi temperatur proses adsoprsi adalah viskositas dan stabilitas thermal senyawa serapan. Jika pemanasan tidak mempengaruhi sifat-sifat senyawa serapan, seperti terjadi perubahan warna maupun dekomposisi, maka perlakuan dilakukan pada titik didihnya. Untuk senyawa volatil, adsorpsi dilakukan pada temperatur kamar atau bila memungkinkan pada temperatur yang lebih kecil.
d. pH (Derajat Keasaman)
Untuk asam-asam organik adsorpsi akan meningkat bila pH diturunkan, yaitu dengan penambahan asam-asam mineral. Ini disebabkan karena kemampuan asam mineral untuk mengurangi ionisasi asam organik tersebut. Sebaliknya bila pH asam organik dinaikkan yaitu dengan menambahkan alkali, adsorpsi akan berkurang sebagai akibat terbentuknya garam.
e. Waktu Singgung
Bila arang aktif ditambahkan dalam suatu cairan, dibutuhkan waktu untuk mencapai kesetimbangan. Waktu yang dibutuhkan berbanding terbalik dengan jumlah arang yang digunakan. Pengadukan mempengaruhi waktu singgung. Pengadukan dimaksudkan untuk memberi kesempatan pada partikel arang aktif untuk bersinggungan dengan senyawa serapan. Untuk larutan yang mempunyai viskositas tinggi, dibutuhkan waktu singgung yang lebih lama.
2.5 Minyak Cengkeh
Minyak cengkeh adalah minyak atsiri yang diperoleh dari proses penyulingan daun dan ranting tanaman cengkeh (Marwati 2005). Komponen utama minyak cengkeh adalah eugenol yaitu sekitar 60-90 % dan merupakan cairan tak berwarna atau kuning pucat, bila kena cahaya matahari berubah menjadi coklat hitam yang berbau spesifik.
Menurut Sastrohamidjojo (2002) komponen minyak cengkeh dapat dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah senyawa fenolat dengan eugenol sebagai komponen terbesar. Sedangkan kelompok kedua adalah senyawa
(29)
non fenolat yaitu β-kariofeilen, α-kubeben, α-kopaen, humulan, δ-kadien, dan kadina 1,3,5 trien dengan β-kariofeilen sebagai komponen terbesar.
Erdiman (2004) melaporkan penggunaan baru yang menarik dari minyak cengkeh yaitu sebagai obat anestesi dalam penangkapan ikan hias dari tempat asalnya maupun selama proses penanganan, pemilihan dan transportasinya sebagai alternatif pengganti larutan sianida. Munday dan Wilson (1997) dan Keene et al. (1998) mendapatkan bahwa minyak cengkeh mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan bahan lain yang terbuat dari bahan kimia termasuk MS. 222, quinaldine dan benzocain. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, diantaranya adalah : (a) sangat efektif walaupun dalam dosis yang rendah; (b) mudah dalam proses induksinya; (c). waktu pemulihan kesadarannya (recovery time) lebih lama; dan (d) harganya jauh lebih rendah dibandingkan bahan kimia lainnya.
Minyak cengkeh digunakan sebagai pembiusan halus sejak dulu dan sangat efektif untuk pembiusan gigi karena mengandung eugenol. Eugenol dapat digunakan sebagai bahan anastesi. Ada banyak penelitian minyak cengkeh digunakan untuk pembiusan binatang. Hisaka et al. (1986) dalam Purnomo (2004) memperlihatkan pembiusan yang efektif pada ikan mas Cyprinus carpio pada 25– 100 ppm. Ikan kehilangan keseimbangan sesudah 30–45 detik dan mulai segar sekitar 3 menit. Secara rinci dari percobaan mengunakan benih (20 gram) ikan trout pelangi Oncorhynchus mykiss. Keene et al. (1998) dalam Purnomo (2004) memperlihatkan 8–96 jam LC50 dari eugenol mengunakan 9 ppm. Pada dosis
yang rendah, 2–5 ppm menghasilkan efek penenang yang cukup untuk transportasi, sedangkan dosis 60 ppm selama 3–6 menit efektif untuk pembiusan bedah (Ross & Barbara 1999).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Afendy (1996) yang mengujicobakan penggunaan minyak cengkeh untuk membius benih bandeng dengan panjang total 13,5–17 cm menemukan bahwa pada dosis 15 ppm mampu memingsankan ikan bandeng selama 1.201,33 menit (± 20 jam) kemudian disusul pada konsentrasi 10 ppm dengan lama waktu pingsan 1.057,33 menit (± 17 jam 37 menit).
(30)
Menurut Summerfelt and Smith (1990) dalam Cooke et al (2004), bahwa tahapan-rahapan anastesi pada ikan adalah sebagai berikut :
Tabel 1. Tahapan anastesi pada ikan (Summerfelt and Smith 1990 dalam Cooke
at al. 2004)
Tahapan anaesthesia
Descriptor Karakteristik
0 Normal Reaktif terhadap stimuli eksternal, laju bukaan operculum dan detak jantung normal
1 Light sedation
Secara perlahan-lahan kehilangan reaktifitas terhadap stimuli, secara perlahan-lahan laju bukaan operculum menurun namun
keseimbangan masih terjaga
2 Deep sedation
Reaktivitas terhadap semua stimuli hilang secara total, namun demikian masih reaktif terhadap stimuli yang keras
3
Kehilangan keseimbangan
secara parsial
Elastisitas otot hilang secara sebagian,
pergerakan ikan tidak teratur, peningkatan laju bukaan operculum hanya reaktif ketika ikan disentuh dengan keras.
4
Kehilangan keseimbangan
secara total
Elastisitas otot dan keseimbangan hilang secara total, laju bukaan operculum menjadi rendah, kehilangan refleksi spinal
5
Kehilangan reaktifitas
reflex
Reaktivitas hilang secara total, pergerakan operculum menjadi lambat dan tidak teratur, denyut jantung menjadi lamban, kehilangan semua bentuk reflex
6 Medullary collapse
Tidak ada pergerakan operculum yang diikuti oleh berhentinya detak jantung.
Pada prinsipnya proses penenangan atau pembiusan pada ikan meliputi tiga tahap yaitu :
a. Berpindahnya bahan penenang atau pembius dari lingkungan ke dalam muara pernafasan organisme
b. Difusi membran dalam tubuh yang menyebabkan terjadinya penyerapan bahan penenang ke dalam darah
c. Sirkulasi darah dan difusi jaringan menyebarkan substansi tersebut ke seluruh tubuh. Kecepatan distribusi dan penyerapan oleh sel ini sangat beragam, tergantung pada persediaan darah dan kandungan lemak pada setiap jaringan.
(31)
Dengan sifat bahan pembius minyak cengkeh yang mudah larut dalam air dan lemak, proses difusi zat penenang dalam aliran darah melalui insang terjadi sangat cepat. Masuknya cairan penenang ke dalam sistem darah akan disebarkan ke seluruh tubuh termasuk otak dan jaringan lain. Pengaruh bobot zat penenang terhadap ikan ditentukan oleh kadar zat penenang yang terkandung dalam jaringan otak atau sarafnya (Spotte 1992).
2.6 Respon Fisiologi Ikan 2.6.1 Hormon Kortisol
Stres merupakan kondisi dimana pertahanan tubuh ikan menurun, dan stres merupakan salah satu kunci terjadinya infeksi yang peranannya sangat dominan. Stres dapat disebabkan oleh kondisi lingkungan yang buruk yang tidak nyaman lagi bagi kehidupan ikan, misalnya kondisi oksigen perairan yang kurang, kelebihan karbondioksida, pH ekstrim, tingginya kandungan amoniak dan lain-lain (Affandi dan Usman, 2002).
Stres dapat meningkatkan tingkat kortisol pada ikan. Ketika pengaruh stres acute terjadi, dalam beberapa menit konsentrasi kortisol akan mengalami kenaikan secara bertahap dan akan mencapai tingkat tertinggi. Produksi kortisol meningkat sebagai akibat dari berbagai stimulant stres yaitu rendahnya kualitas air, penanganan, kenyamanan ikan, dan polutan (Wendelaar Bonga 1997). Tingkat Plasma kortisol digunakan sebagai salah satu parameter untuk menentukan respon stres pada ikan ( Chiba et al. 2006).
Kondisi yang sangat stres menurunkan sistem imunitas seluler maupun humoral dan konsekuensinya kapasitas resistensi terhadap pathogen lebih rendah. Secara fisiologis, pencegahan dan resistensi ikan terhadap penyakit diperantarai melalui sistem endokrin, yaitu steroid kortisol. Pada saat stresor diterima oleh otak, maka terjadi proses melaui sistem neuroendokrin yang menghasilkan kenaikan kortisol dalam darah. Kortisol selanjutnya mempengaruhi produksi limfosit dan antibodi. Aksi hormon tersebut dan lainnya dioperasikan melalui aktivasi reseptor spesifik pada limfosit (Schreck 1996 dalam Hastuti 2004).
(32)
2.6.2 Histologi Jaringan (Insang)
Histologi adalah metode yang sensitive dan secara biologis bernilai untuk mengukur efek stres lingkungan terhadap hewan (jaringan). Perubahan histopatologi sebagai indikator penting faktor stres lingkungan yang dialami sebelumnya dimana perubahannnya secara biokimia dan fisiologi. Perubahan ini biasa digunakan untuk menduga efek yang mungkin terjadi seperti pertumbuhan, reproduksi, menghindarkan diri dari predator, dan stabilisasi populasi yang terjadi pada tingkat yang lebih tinggi (Mackim, 1985; Meyer dan Hendricks 1985 dalam
Hinton dan Laurtn, 1990).
Insang merupakan organ osmoregulasi, yaitu melakukan berbagai fungsi fisiologis, meliputi peredaran gas, regulasi ion, mempertahankan keseimbangan asam basa, dan ekskresi bahan buangan senyawa nitrogen, selain itu insang terus menerus berhadapan polutan di lingkungan medium (Hinton dan Laurtn, 1990).
2.6.3 Gambaran Darah Ikan
Darah ikan tersusun atas cairan plasma dan sel-sel darah yang terdiri dari sel-sel darah merah (eritrosit), sel-sel darah putih (leukosit) dan keping-keping darah (Randal 1970 dalam Affandi dan Tang 2002). Darah ikan berfungsi mengedarkan nutrient yang berasal dari pencernaan makanan ke sel-sel tubuh, membawa oksigen ke sel-sel tubuh (jaringan) (Lagler et al. 1977). Fujaya (2004) menyatakan bahwa fungsi darah sebagai pembawa oksigen, karbondioksida, sari-sari makanan maupun hasil metabolisme.
Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah sel darah merah adalah spesies, perbedaan induk (genetik), kondisi nutrisi, aktivitas fisik, dan umur (Dellman dan Brown 1989). Parameter darah menjadi salah stu indikator adanya perubahan kondisi pada kesehatan ikan, baik karena faktor infeksi akibat mokroorganisme atau karena factor non infeksi oleh lingkungan. Menurut Amlacher (1970), darah mengalami perubahan-perubahan yang sangat serius khususnya bila terkena infeksi oleh bakteri dan gangguan lingkungan juga mempengaruhi komposisi darah. Pada ikan normal, jumlah sel darah merah berkisar antara 1.05-3.000 × 106 sel/mm3 darah (Roberts 1978).
Eritrosit pada ikan merupakan sel yang terbanyak jumlahnya. Rendahnya jumlah eritrosit menandakan ikan menderita anemia sedangkan tingginya jumlah
(33)
eritrosit menandakan ikan dalam keadaan stres (Wedemeyer dan Yasutake 1977; Nabib dan Pasaribu, 1989). Menurut Chinabut et al. (1991) bahwa eritrosit ikan lele mempunyai inti dengan bentuk lonjong, berwarna merah kekuningan dan berukuran 12-13 µm dengan diameter 4-5 µm.
Hematokrit adalah perbandingan antara padatan sel-sel darah (eritrosit) di dalam darah yang dinyatakan dalam persen (Affandi dan Tang 2002). Meningkatnya kadar hematokrit menunnjukkan bahwa ikan dalam keadaan stres (Wedemeyer dan Yasutake 1977; Anderson dan Siwicki 1933). Alifuddin (1999) mengemukakan bahwa hasil pemeriksaan kadar hematokrit dapat digunakan sebagai patokan kondisi kesehatan ikan.
Sel darah merah mengandung hemoglobin. Molekul hemoglobin adalah suatu protein dalam eritrosit yang terdiri dari protoporfirin, globin dan besi (Fe) bervalensi dua (Affandi dan Tang 2002). Hemoglobin darah merupakan alat transportasi oksigen dan karbondioksida. Menurut Blaxhall (1972) bahwa kadar hemoglobin merupakan indicator anemia. Meningkatnya kadar hemoglobin menunjukkan bahwa ikan ada dalam kondisi stres (Anderson dan Siwicki 1993).
Leukosit dikelompokkan menjadi dua golongan berdasarkan ada tidaknya butir-butir (granula) dalam sel, yaitu agranulosit dan granulosit. Agranulosit dibagi menjadi limfosit, trombosit dan monosit, sedangkan granulosit berupa neutrofil (Chinabut et al., 1991; Affandi dan Tang, 2002). Leukosit pada ikan berbentuk lonjong sampai bulat, tidak berwarna dan jumlahnya berkisar antara 20.000-150.000 butir per mm3. Pada chanel catfish 64,75×103 sel/mm3 (Chinabut
et al. 1991). Jumlah leukosit yang menyimpang dari keadaan normal mempunyai arti klinis penting untuk evaluasi proses penyakit (Dellman dan Brown 1989).
Limfosit merupakan sel darah putih berbentuk bola berukuran 7-10 µm. Inti berbentuk terletak tidak di tengah-tengah, kadang-kadang mempunyai sedikit lekuk, mempunyai kromatin yang kompak dan berwarna ungu kemerah-merahan (Affandi dan Tang 2002). Limfosit berjumlah 71,12-82,88 % dari total leukosit dalam darah ikan normal (Blaxhall dan daisley, 1973). Bentuknya bundar dengan ukuran 4-8 mikron. Inti besar dan hamper memenuhi sel dengan warna violet terang, sitoplasmanya tidak bergranula dan tipis mengelilingi inti.
(34)
Inti sel netrofil kecil memanjang, berbentuk oval dengan warna violet, sitoplasmanya bergranula halus dan berwarna kebiru-biruan, ukurannya berkisar antara 12-15 mikron. Pada ikan normal jumlah netrofil dari total leukosit adalah 6-8 % serta berfungsi melawan penyakit bersama-sama dengan eosinofil yang disebabkan oleh organisme mikroseluler seperti bakteri dan virus. Sifat melawan penyakit ini disebut sifat fagositik yaitu memakan dan menghancurkan sel penyebab penyakit (Lagler et al. 1977).
(35)
III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2009 sampai Januari 2010, bertempat di Laboratorium Lingkungan Akuakultur untuk pengepakan dan pemeliharaan ikan, Laboratorium Kesehatan Organisme Akuatik Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor untuk analisa histologi dan gambaran darah dan Laboratorium Bioteknologi LIPI untuk analisa kortisol.
3.2 Prosedur Kerja
Penelitian ini terdiri dari dua tahap, yaitu tahap pendahuluan dan utama. Tahap pendahuluan terdiri dari penentuan kemampuan puasa ikan, laju ekskresi amoniak ikan, dan tingkat konsumsi oksigen. Sedangkan pada tahap utama yaitu penentuan perlakuan penelitian, pengukuran konsentrasi kortisol, gambaran darah pada ikan, histologi jaringan (insang) baik pasca pengangkutan dan setelah 7 hari pasca pengangkutan (setelah pemeliharaan), kelangsungan hidup setelah pengangkutan dan setelah pemeliharaan 30 hari pasca pengangkutan, laju pertumbuhan harian yang diukur setelah pemeliharaan selama 1 bulan pasca pengangkutan, dan pengukuran nilai kualitas air media pengangkutan.
Untuk pengukuran konsentrasi kortisol, gambaran darah dan histologi jaringan (insang) selain dilakukan pengukuran pada setiap perlakuan juga dilakukan pengukuran pada ikan normal (N) sebagai perbandingan.
3.2.1 Prosedur Penentuan Kemampuan Puasa Ikan
Penentuan puasa ikan dilakukan dengan cara menyiapkan akuarium dengan ukuran 0,6 × 0,5 × 0,5 m3 yang telah dibersihkan dan dikeringkan selama 2 hari yang kemudian diisi air dengan tinggi 25 cm yang diaerasi selama 2 hari. Setelah itu ikan uji dimasukkan sebanyak 15 ekor dan dilakukan aklimatisasi terlebih dahulu selama 15 menit. Pergantian air sebanyak 5-20 % yang dilakukan setiap hari. Kemudian mengamati tingkah laju ikan uji setiap hari dan mencatatnya pada hari keberapa ikan mulai lemas dan akhirnya mengalami kematian. Selama pemuasaan atau pemberokan dilakukan pengamatan kualitas air yaitu suhu, pH, dan DO.
(36)
3.2.2 Prosedur Penentuan Laju Ekskresi Amoniak Ikan
Penentuan laju ekskresi amoniak ikan bertujuan untuk mengetahui jumlah amoniak yang diekskresikan tiap satuan waktu, sehingga dapat diketahui jumlah akumulasi amoniak pada waktu tertentu. Percobaan ini dilakukan dengan menyiapkan stoples bervolume 3 liter yang telah dibersihkan dan dikeringkan selama 2 hari, kemudian diisi air hingga volume 3 liter. Ikan uji setelah makan dan pada saat puasa dengan ukuran 2. Ikan uji dimasukkan ke dalam wadah masing-masing dengan biomassa 10 g per wadah. Kemudian dilakukan pengambilan sampel air sebanyak 30 mL setiap 12 jam untuk mengukur suhu, pH, oksigen dan konsentrasi TAN.
3.2.3 Prosedur Penentuan Tingkat Konsumsi Oksigen (TKO)
Tingkat Konsumsi Oksigen (TKO) ditentukan dengan menyiapkan 3 buah stoples bervolume 3 liter yang telah dibersihkan dan dikeringkan dan kemudian diisi air yang sebelumnya diberi aerasi selama 3 hari (sampai kandungan oksigen dalam air jenuh) hingga penuh. Ikan uji setelah makan dan pada saat puasa dengan ukuran 2 g dimasukkan ke dalam wadah masing-masing dengan biomassa 10 g/wadah, kemudian ditutup dengan tutup yang sebelumnya sudah dimasukkan DO meter hingga rapat dan tidak ada lagi gelembung udara. Lalu diukur kandungan DO tiap satu jam selama 6 jam.
3.2.4 Prosedur Penentuan Perlakuan Penelitian Utama
Perlakuan yang dilakukan pada penelitian ini adalah : A = Tanpa zeolit, arang aktif dan minyak cengkeh (kontrol) B = zeolit (20 gr), arang aktif (10 gr)
C = zeolit (20 gr), arang aktif (10 gr), minyak cengkeh (3 ppm) D = zeolit (20 gr), arang aktif (10 gr), minyak cengkeh (6 ppm) E = zeolit (20 gr), arang aktif (10 gr), minyak cengkeh (9 ppm) F = zeolit (20 gr), arang aktif (10 gr), minyak cengkeh (12 ppm)
Minyak cengkeh yang digunakan pada penelitian ini mengandung eugenol sebesar 60,91%. Hasil pengukuran chromatography minyak cengkeh dapat dilihat pada Lampiran 1.
Prosedur percobaan utama ini dimulai dengan memuasakan ikan uji selama 2 hari. Kemudian pada saatpengepakan ikan, kantung diisi air sebanyak 1,3 L dan ikan uji sebanyak 150 ekor per kantong. Kemudian dimasukkan zeolit, arang aktif
(37)
dan minyak cengkeh serta diberi oksigen sebanyak 1 : 4. Kantung plastik diikat dengan karet hingga tidak ada udara yang keluar. Kantung plastik yang sudah dikemas dimasukkan ke dalam kotak Styrofoam dan di dalamnya diisi dengan es. Pengamatan keadaan ikan berupa tingkat kelangsungan hidup dilakukan setiap 6 jam dan pengambilan sampel air sebanyak 50 mL per kantong setiap 24 jam untuk pengamatan kualitas air.
3.2.5 Prosedur Pengukuran Kortisol dengan HPLC (AOAC 1999)
Sampel diambil sebanyak 1 gr atau satu ekor ikan. Kemudian Ikan dimatikan dengan cepat, agar kondisi stres yang dialami tidak meningkatkan konsentrasi hormon kortisol pada ikan. Ikan yang sudah dimatikan diekstrak dengan cara : 1 gram sampel dimasukkan ke dalam tabung teflon kemudian ditambahkan 5 L standar sampel (0,62 nMol = 200 ng cortisol) dan ditambahkan 10 mL dichloro methan. Sampel dikocok selama 5 menit dan disentrifuge pada kecepatan 1300 rpm. Sampel didiamkan selama 15 menit pada suhu 20°C. Buang bagian yang jernih yang terdapat pada sampel yang telah disentrifuge, kemudian tambahkan 1 ml NaOH 0,1 M. Kemudian sampel dikocok selama 1 menit dan disentrifuge dengan kecepatan 1300 rpm lalu didiamkan selama 5 menit pada suhu 20°C. Setelah itu buang bagian atas sampel yang disentrifuge dengan cepat lalu ditambahkan 1 ml air serta kocok selama 1 menit dan disentrifuge dengan kecepatan 1300 rpm lalu didiamkan selama 5 menit pada suhu 20°C (ulangi sebanyak 2 kali). Keringkan larutan dichloro methan dibawah vacuum, larutan kortisol yang telah kering ditambahkan dengan 100 l (H2O + alkohol). Biarkan
selama 5 menit, kemudian saring dengan 0.5 milliphore.
Setelah diekstrak sampel diinject ke alat HPLC dengan detector 254 nm. Plak sampel dan standar sampel dibandingkan dengan sepadex atau luas area contoh, maka akan diperoleh konsentrasi (ppm) sampel (kortisol).
3.2.6 Prosedur Pengukuran Gambaran darah
1) Penghitungan jumlah sel darah merah (Eritrosit)
Darah diambil dari ikan dengan menggunakan injeksi yang terlebih dahulu telah diisi dengan cairan antikoagulan untuk mencegah terjadinya penggumpalan darah. Darah yang tersedot dimasukkan kedalam ependorf, dan kemudian darah dihisap dengan menggunakan pipet pencampur sampai dengan skala 0,5 dan
(38)
ditambahkan dengan larutan hayems yang dihisap dengan menggunakan pipet yang sama hingga mencapai skala 101. Setelah itu, pipet digoyanglan membentuk angka delapan selama 3-5 menit. Tetesan pertama dibuang dan tetesan berikutnya diteteskan kedalam haemocytometer dan ditutup dengan kaca penutup. Penghitungan dilakukan pada 5 kotak kecil yaitu pada sudut kiri atas, sudut kanan atas, sudut kiri bawah, sudut kanan bawah dan pada bagian tengah. Jumlah sel darah merah yang terhitung dikonversikan dengan rumus :
Jumlah sel darah merah = ∑ sel darah merah terhitung x 104 sel/mm3.
2) Penghitungan jumlah sel darah putih
Metode pengambilan darahnya sama dengan metode pengambilan darah merah. Darah dihisap dengan pipet pencampur sampai dengan skala 11 dan ditambahkan larutan turk. Kemudian pipet digoyangkan hingga membentuk angka delapan selama 3-5 menit. Tetesan pertama dibuang, dan tetesan selanjutnya diteteskan diatas haemocytometer lalu ditutup dengan kaca penutup. Penghitungan dilakukan pada 5 kotak besar. Jumlah sel darah putih yang terhitung dikonversikan dengan rumus
Jumlah sel darah putih = ∑ sel darah putih terhitung x 50 sel/mm3
3) Pengukuran kadar hematokrit
Menggunakan Microhematocrit method, darah dimasukkan kedalam tabung mikrohematokrit sampai 4/5 bagian. Kemudian salah satu ujung tabung disumbat dengan crestaseal. Darah disentrifuge pada kecepatan 12000 rpm selama 5 menit. Setelah itu akan terbentuk lapisan-lapisan yang terdiri dari lapisan plasma yang jernih di bagian atas, kemudian lapisan putih abu-abu (buffy coat) yang merupakan trombosit dan leukosit dan lapisan eritrosit yang berwarna merah. Nilai hematokrit ditentukan dengan mengukur persentase volume eritrosit dari darah dengan menggunakan alat baca mikrohematokrit (Microcapillary hematocrit reader) dan dinyatakan dalam persentase (% Ht).
4) Kadar Haemoglobin (Hb)
Pengukuran kadar haemoglobin pada prinsipnya adalah mengkonversikan haemoglobin dalam darah ke dalam bentuk asam hematin oleh asam klorida.
(39)
Mula-mula darah diisap menggunakan pipet sahli hingga skala 20 mm3. Kemudian dipindahkan ke dalam tabung Hb yang berisi HCl 0.1 N sampai skala 10 (kuning). Didiamkan selama 3–5 menit agar Hb bereaksi dengan HCl membentuk asam hematin, kemudian diaduk dan ditambahkan aquadestila (sedikit demi sedikit) hingga warnanya sama dengan standar. Pembacaan skala dilakukan dengan melihat tinggi permukaan larutan yang dikocok dengan skala lajur g% yang menunjukkan banyaknya Hb dalam gram setiap 100 ml darah dan dinyatakan dalam persentase (% Hb).
5) Diferensiasi Leukosit
Satu tetes darah diteteskan di atas gelas objek yang bersih. Dengan menggunakan gelas objek yang lain darah disinggungkan sehingga antara kedua objek gelas tersebut membentuk sudut 30. Setelah itu darah didorong ke arah depan dengan tidak mengubah sudut kedua objek gelas tersebut. sediaan darah yang tipis setelah dikeringanginkan difiksasi selama 5 menit. Sediaan yang telah difiksasi kemudian diwarnai dengan zat warna Giemsa selama 30 menit. Sediaan diangkat dan kelebihan zat warna dibilas dengan air kran. Kemudian dikeringanginkan dan siap untuk diamati. Pengamatan pada sediaan apusan ditunjukkan untuk menghitung rasio jumlah trombosit dan eritrosit.
3.2.7 Prosedur Histologi
1. Fiksasi dilakukan dengan cara merendam jaringan ke dalam larutan fiksatif. Fiksatif yang digunakan adalah bouin dan paraformaldehid 4%. Sebelum perendaman dilakukan, jaringan insang disayat-sayat terlebih dahulu dengan tujuan agar larutan fiksatif tersebut dapat masuk ke dalam jaringan secara merata. Lama perendaman jaringan di dalam larutan fiksatif adalah seminggu. 2. Bahan dehidrasi/dehidrant yang digunakan adalah alkohol. Prosedur dehidrasi
dengan dehidrant adalah memasukan jaringan ke dalam alkohol secara bertahap dimulai dari alcohol 70%, 80%, 90% dan 95% masing-masing selama 24 jam. Selanjutnya jaringan dimasukan ke alkohol absolut (100%) I, II dan III masing-masing 1 jam.
3. Bahan yang digunakan sebagai bahan penjernih adalah xylol. Proses penjernihan ini dapat dilakukan secara bertahap, yakni melalui xylol 1, xylol 2 dan xylol 3. Lama perendaman pada masing-masing xylol adalah 1 jam. Dalam
(40)
proses infiltrasi dengan parafin yang bertitik didih sekitar 58oC digunakan inkubator yang suhunya tetap terjaga sekitar 58 0C. Agar proses ini berjalan sempurna, perendaman spesimen jaringan pada parafin diulang 3 kali masing-masing selama 1 jam. Pemindahan jaringan dari masing-masing-masing-masing parafin dilakukan dengan menggunakan pinset.
4. Prosedur embedding adalah sebagai berikut :
- Wadah untuk penanaman dipanaskan kemudian diolesi dengan gliserin secara merata di permukaan cetakan
- Cetakan dipanaskan, dan parafin cair dituangkan ke dalam cetakan - Kemudian parafin cair dimasukan ke dalam cetakan
- Pengaturan jaringan pada cetakan, untuk memudahkan orientasi pada saat pemotongan
- Cetakan yang telah berisi parafin yang masih cair dan jaringan diapungkan di atas permukaan air dingin. Setelah parafin mengeras, cetakan yang berisi jaringan tersebut ditenggelamkan dan direndam selama satu malam
- Cetakan diangkat dari dalam air, kemudian dimasukan ke dalam refrigerator untuk memudahkan pelepasan blok parafin
- Blok parafin dikeluarkan dari cetakan dengan menggunakan ujung pisau - Blok parafin dipotong dengan menggunakan pisau yang dipanaskan
- Blok parafin dibentuk persegi empat dengan sudut-sudutnya ditumpulkan, kemudian dilekatkan pada blok kayu dengan menggunakan pisau yang dipanaskan.
5. Prosedur pemotongan (sectioning) adalah sebagai berikut :
- Sebelum pemotongan, blok parafin dimasukan ke dalam refrigerator atau lemari pendingin
- Blok parafin dipasang pada penjepit yang ada pada mikrotom
- Pengaturan orientasi blok parafin untuk mendapatkan posisi yang tegak lurus dan tepat di depan pisau
- Trimming, yaitu proses pemotongan untuk mendapatkan keseluruhan jaringan yang terdapat pada blok. Ketebalan proses trimming ini adalah 10 µm.
(41)
- Mikrotom diputar, sambil mengambil hasil irisan dengan menggunakan kerta yang ujungnya dibasahi.
- Pita-pita hasil irisan dimasukan dan diapungkjan ke dalam air dingin, kemudian diseleksi dengan menggunakan jarum.
- Pengambilan irisan yang diapungkan di air dingin menggunakn objek gelas untuk dipindahkan ke dalam penangas air yang bersuhu 48-50 0C untuk beberapa saat (bergantung pada suhu penangas).
- Fiksasi dengan cara menyentuhkan irisan dengan objek gelas, kemudian ditiriskan untuk beberapa saat sebelum diletakan di atas hot plate sampai air yang terdapat pada objek gelas mengering.
- Penyimpanan preparat ke dalam inkubator minimal 24 jam sebelum proses pewarnaan
6. Prosedur pewarnaan Hemaktosilin-Eosin adalah sebagai berikut :
- Deparafinasi, yaitu proses menghilangkan parafin secara bertahap menggunakan xylol (xylol III, xylol II dan xylol I) selama kurang lebih 5 menit
- Rehidrasi, yaitu proses pemberian air pada jaringan secara bertahap ke dalam deretan alkohol mulai dari konsentrasi tinggi sampai konsentrasi rendah (mulai 100% - 70%) selama kurang lebih 5 menit.
- Pencucian pada air mengalir selama 10 menit, kemudian air suling selama 5 menit
- Pewarnaan dengan hemaktosilin selama 5–7 menit
- Pencucian pada air mengalir lagi selama 10 menit, kemudian air suling selama 5 menit
- Pewarnaan dengan eosin selama 15 menit - Pencucian pada air suling selama 5 menit.
3.2.8 Prosedur Pemeliharaan Ikan Pasca pengangkutan
Pemeliharaan ikan dilakukan setelah pengangkutan atau pasca pengangkutan selama 30 hari. Ikan dipelihara di dalam akuarium ukuran 0,6 × 0,5 × 0,5 m3. Pada saat pemeliharaan ikan diberi makan dan dilakukan pergantian air sebanyak 20-30% setiap harinya. Selama pemeliharaan, dilakukan pengukuran
(42)
laju pertumbuhan harian. Pengukuran dilakukan satu kali dalam satu minggu. Pertumbuhan yang diukur adalah bobot tubuh ikan.
3.3 Rancangan Penelitian
Rancangan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL),dengan 6 perlakuan dan 3 ulangan.
A = Tanpa zeolit, arang aktif dan minyak cengkeh. B = zeolit (20 gr), arang aktif (10 gr)
C = zeolit (20 gr), arang aktif (10 gr), minyak cengkeh (3 ppm) D = zeolit (20 gr), arang aktif (10 gr), minyak cengkeh (6 ppm) E = zeolit (20 gr), arang aktif (10 gr), minyak cengkeh (9 ppm) F = zeolit (20 gr), arang aktif (10 gr), minyak cengkeh (12 ppm)
Analisa data menggunakan acuan statistic (Steel dan Torrie, 1991) dengan model rancangan sebagai berikut :
Model rancangan yang digunakan dalah : yij = µ + τi + єij yij = data pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
µ = nilai tengah data
τi = pengaruh perlakuan ke-i
єij = kesalahan percobaan pada perlakuan ke-j dan ulangan ke-i
3.4 Analisis Data
Adapun data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kematian ikan, nilai kualitas air (suhu, pH, DO, CO2, TAN), gambaran darah ikan (jumlah
sel darah merah, sel darah putih, netrofil, limfosit, hemoglobin, dan hematokrit), konsentrasi hormon kortisol dan data histologi jaringan. Data tersebut akan digunakan untuk menghitung parameter yang diamati meliputi tingkat kelangsungan hidup, pertumbuhan harian (bobot), NH3, jumlah sel darah, dan N:L
rasio. Data gambaran darah, hormon kortisol, kelangsungan hidup, pertumbuhan, TAN dan NH3 dianalisis secara statistik dengan menggunakan analisis ragam
(anova) dengan uji F pada selang kepercayaan 95 % menggunakan program MS.exel 2007 untuk menentukan pengaruh terhadap parameter yang diamati. Jika perlakuan berpengaruh nyata maka untuk melihat perbedaan antar perlakuan akan diuji lanjut dengan menggunakan uji Beda Nyata Terkecil (BNT).
(43)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 HASIL
4.1.1 Penelitian Pendahuluan
4.1.1.1 Kemampuan Puasa Ikan Patin
Ikan Patin dengan ukuran 2 gram sebanyak 20 ekor mampu bertahan hidup dalam keadaan puasa hingga 10 hari. Kematian ikan mulai terjadi pada hari ke-11 sebanyak 5 ekor, sedangkan pengamatan pada hari ke-13, SR ikan patin adalah 45% dengan kondisi ikan sudah lemas. Data kemampuan puasa ikan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kemampuan Puasa Ikan Patin
Hari Ke -
∑ Ikan
Hidup ∑ Ikan Mati SR
(%)
Suhu
(°C) pH
DO Tingkah Laku
(ekor) (ekor) (mg/l) Ikan
1 20 0 100 26.4 7,21 6.2 Berenang aktif
2 20 0 100 26.1 7,18 5.9 Berenang aktif
3 20 0 100 26.6 7,35 5.9 Berenang aktif
4 20 0 100 26.3 7,27 5.5 Berenang aktif
5 20 0 100 26.5 7.29 5.8 Berenang aktif
6 20 0 100 26.7 7,32 5.8 Berenang aktif
7 20 0 100 26.5 7,13 5.3 Berenang aktif
8 20 0 100 26.5 7,20 5.9 Berenang aktif
9 20 0 100 26.3 7,24 5.6 Berenang aktif
10 20 0 100 26.8 7,17 5.7 Berenang aktif
11 15 5 75 26.6 7,25 5.4 Berenang aktif
12 12 3 60 26.6 7,12 5.8 Berenang lemas
13 9 3 45 26.4 7,38 5.6 Berenang lemas
Hasil
9 11 45
Akhir
4.1.1.2 Tingkat Konsumsi Oksigen Ikan Patin
Ikan patin yang memiliki bobot yang lebih kecil memiliki nilai TKO yang lebih tinggi daripada ikan berukuran besar. Hal ini dapat dilihat dari TKO rata-rata dari ukuran 1 gram sebesar 0,30±0,01 mg O2. g-1 .jam-1, ukuran 2 gram sebesar
0,23±0,01 mg O2. g-1 .jam-1 , kemudian ukuran 3 gram sebesar 0.18±0,02 mg O2. g -1
.jam-1 dan ukuran 4 gram sebesar 0.15±0,03 mg O2. g-1 .jam-1.
Maka dapat diketahui TKO ikan patin ukuran 2 gram adalah sebesar 0,23 mg O2. g-1 .jam-1 , jadi dalam waktu pengangkutan selama 72 jam oksigen yang
(44)
diperlukan untuk respirasi 150 ekor ikan patin dengan ukuran 2 gram adalah 4.968 mg O2.
4.1.1.3 Laju Ekskresi TAN Ikan Patin
Ekskresi TAN ikan patin diukur setiap 6 jam selama 48 jam. TAN yang dihasilkan oleh ikan patin dengan bobot 2 gram adalah 0,0012 mg L-1 .jam -1. Maka dapat diketahui bahwa TAN yang dihasilkan oleh ikan patin dengan ukuran 2 gram dan kepadatan 150 ekor dalam media pengepakan dalam waktu 72 jam adalah sekitar 12,96 mg/L.
4.1.2 Kualitas Air Media Pengepakan 4.1.2.1 pH Media Pengepakan Ikan Patin
Gambar 1 menunjukkan pH media pengepakan ikan patin. Pada gambar 1 terlihat bahwa pH tertinggi terjadi pada jam ke-48 pada perlakuan A dengan nilai pH 7,58 dan pH terendah pada perlakuan E dengan nilai pH 6,92. Sedangkan pada jam ke-72 pH air media pengepakan berkisar antara 7,16 - 7,51. Nilai pH pada media pengepakan dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.
Gambar 1. Grafik pH Media Pengepakan
4.1.2.2 Disolved Oxygen (DO) Media Pengepakan Ikan Patin
Gambar 2 menunjukkan konsentrasi DO media pengepakan ikan patin. Pada gambar 2 ini terlihat bahwa konsentrasi DO media pengepakan mengalami penurunan dengan bertambahnya waktu pengepakan. Konsentrasi DO media pengepakan mulai mengalami penurunan pada jam ke-24 dengan nilai kisaran
(45)
3,94 - 4,41 mg/L. Sedangkan pada jam ke-72 nilai konsentrasi DO berkisar antara 0,15 – 1,78 mg/L. Konsentrasi DO air media pengepakan dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Grafik DO Media Pengepakan
4.1.2.3 Suhu Media Pengepakan Ikan Patin
Gambar 3 menunjukkan suhu media pengepakan ikan patin. Pada gambar 3 dapat diketahui suhu awal air media pengepakan yaitu 25,1 0C kemudian diturunkan dengan menggunakan es batu sehingga suhu mulai turun pada jam ke-24 dengan nilai kisaran 22,2 – 22,6 0C. Pada jam ke-24 sampai jam ke-72 suhu air media pengepakan relatif stabil dengan kisaran antara 22,2 - 23,3 0C. Suhu media pengepakan dapat dilihat pada Gambar 3.
(46)
4.1.2.4 Total Amonia Nitrogen (TAN) Media Pengepakan
Pada Tabel 3 disajikan data konsentrasi TAN rata-rata pada setiap perlakuan dari jam ke-0 sampai jam ke-72. Dari Tabel tersebut dapat dilihat bahwa peningkatan TAN seiring dengan bertambahnya waktu. Berdasarkan analisis statistic menggunakan sidik ragam terhadap TAN dan juga menggunakan uji lanjutan BNT, maka dapat diketahui bahwa pada jam ke-24 sudah mulai terjadi perbedaan yang nyata antar perlakuan meskipun ada beberapa perlakuan yang perbedaannya tidak nyata. Nilai TAN media pengepakan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. TAN Media Pengepakan Ikan Patin
Perlakuan Jam ke-
0 24 48 72
A 0,099±0 2,830±0,04a 6,214±0,03a -
B 0,099±0 2,566±0,08b 4,379±0,04b -
C 0,099±0 1,748±0,02d 3,070±0,03d 6,734±0,01b
D 0,099±0 1,625±0,01ade 2,355±0,05e 6,400±0,02c
E 0,099±0 1,637±0,05de 2,129±0,01f 5,348±0,02d
F 0,099±0 2,352±0,17c 3,241±0,04c 7,263±0,04a
Keterangan : Huruf superscript di belakang nilai standar deviasi yang berbeda pada setiap kolom menunjukkan pengaruh perlakuan yang berbeda nyata (P<0,05).
Nilai TAN pada media pengepakan ikan dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini.
(47)
Perbedaan yang paling jelas pada tiap perlakuan terjadi pada jam ke-48 dan jam ke-72. Dari pengukuran nilai TAN pada media pengepakan dapat diketahui bahwa perlakuan yang paling efektif dalam menekan konsentrasi TAN dalam air media pengepakan pada akhir pengamatan adalah perlakuan E yang mampu mempertahankan TAN pada konsentrasi 5,348±0,02 mg/L, kemudian disusul oleh perlakuan D dengan konsentrasi TAN 6,400±0,02 mg/L, kemudian perlakuan D dengan konsentrasi TAN 6,734±0,01, dan pada perlakuan F dengan konsentrasi 7,263±0,04.
4.1.2.5 Amonia (NH3) Media Pengepakan
Data konsentrasi NH3 rata-rata pada setiap perlakuan dari jam ke-0 sampai
jam ke-72 dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Amonia (NH3) Media Pengepakan Ikan Patin
Palauan Jam ke-
0 24 48 72
A 0,0004±0 0,0206±0,002a 0,0949±0,002a ‐
B 0,0004±0 0,0092±0b 0,0496±0,003b ‐
C 0,0004±0 0,0080±0bd 0,0260±0,005c 0,0982±0,014b
D 0,0004±0 0,0075±0cd 0,0132±0,002d 0,0592±0,008c
E 0,0004±0 0,0051±0,001c 0,0094±0e 0,0389±0,004d
F 0,0004±0 0,0089±0,001bd 0,0312±0d 0,1228±0,014a
Keterangan : Huruf superscript di belakang nilai standar deviasi yang berbeda pada setiap kolom menunjukkan pengaruh perlakuan yang berbeda nyata (P<0,05).
Dari Tabel 4 di atas dapat diketahui bahwa pada jam ke-24 dan 48 terjadi perbedaan yang nyata terhadap konsentrasi NH3, meskipun ada beberapa
perlakuan yang tidak berbeda nyata.Sedangkan pada jam ke-72 semua perlakuan berbeda nyata. Dari Tabel 4 juga dapat diketahui bahwa perlakuan yang paling efektif menekan konsentrasi NH3 dalam air media pengepakan yaitu pada
perlakuan E sebesar 0,0389±0,004 mg/L sama halnya dengan perlakuan yang paling efektif dalam menekan konsentrasi TAN. Kemudian disusul perlakuan D sebesar 0,0592±0,008 mg/L, perlakuan C sebesar 0,0982±0,014 mg/L dan perlakuan F sebesar 0,1228±0,014 mg/L.
(48)
Konsentrasi NH3 pada media pengepakan dapat dilihat pada Gambar 5 di
bawah ini.
Gambar 5. Grafik NH3 Media Pengepakan
4.1.2.6 Karbondioksida (CO2) Media Pengepakan Ikan Patin
Dari Gambar 6 terlihat bahwa nilai CO2 yang terus mengalami kenaikan dari
jam ke-0 sampai jam ke-72. Pada jam ke-24 nilai CO2 tertinggi terjadi pada
perlakuan A (kontrol) dengan nilai sebesar 46,82 mg/L. Sedangkan pada jam ke-72 nilai CO2 tertinggi terjadi pada perlakuan C sebesar 73,31 mg/L, kemudian
diikuti oleh perlakuan F sebesar 71,32 mg/L, kemudian perlakuan D sebesar 68,43 mg/L dan perlakuan E sebesar 50,42 mg/L. Konsentrasi CO2 media
pengepakan dapat dilihat pada Gambar 6.
(49)
4.1.3 Respon Fisiologi Ikan Patin 4.1.3.1 Konsentrasi Kortisol Ikan Patin
Minyak cengkeh dengan konsentrasi yang tepat dapat mengurangi tingkat keaktifan ikan, sehingga dapat mempengaruhi tingkat stress pada ikan patin pada saat pengepakan. Hal ini dapat dilihat dari nilai konsentrasi hormon kortisol pada masing-masing perlakuan. Konsentrasi hormon kortisol yang paling rendah diperoleh pada perlakuan E sebesar 14,1 ng/mL pada waktu pengukuran pasca pengengkutan. Sama halnya dengan pada waktu pengukuran hormon kortisol setelah pemeliharaan, nilai hormon kortisol yang paling rendah terjadi pada perlakuan E dengan nilai sebesar 12,6 ng/mL, kemudian diikuti perlakuan D sebesar 13,3 ng/mL, kemudian perlakuan F sebesar 13,9 ng/mL, dan perlakuan C dengan nilai sebesar 14,1 ng/mL. Sedangkan pada perlakuan A dan B tidak dilakukan pengukuran, dikarenakan pada perlakuan tersebut semua ikan sudah mati. Tanda N merupakan kondisi hormon kortisol ikan normal yang tidak dilakukan pengangkutan dan tidak diberi perlakuan.
Konsentrasi Hormon kortisol pasca pengangkutan dan setelah pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 7 dan 8 berikut ini.
Gambar 7. Grafik Konsentrasi Kortisol Ikan Patin Pasca Pengangkutan
(50)
Gambar 8. Grafik Konsentrasi Kortisol Ikan Patin Setelah Pemeliharaan
4.1.3.2 Gambaran Darah Ikan Patin a. Sel Darah Merah Ikan Patin
Jumlah sel darah merah ikan patin pasca pengangkutan dan setelah pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 9 dan 10 di bawah ini.
Gambar 9. Sel Darah Merah Ikan Patin Pasca Pengangkutan
(51)
Gambar 10. Sel Darah Merah Ikan Patin Setelah Pemeliharaan
Pada waktu pengukuran pasca pengangkutan ikan patin, jumlah sel darah merah paling tertinggi diperoleh pada perlakuan E dengan nilai (1,56×106 sel/mm3), diikuti oleh perlakuan D dengan nilai (1,41×106 sel/mm3), perlakuan C dengan nilai (1,33×106 sel/mm3), perlakuan F dengan nilai (1,25×106 sel/mm3), perlakuan B dengan nilai (1,23×106 sel/mm3), dan perlakuan A dengan nilai (0,73×106 sel/mm3). Penurunan jumlah sel darah merah pada waktu pengukuran pasca pengangkutan dikarenakan ikan sebelum pengepakan terlebih dahulu dipuasakan dan pada saat pengepakan ikan tidak diberi makan. Sedangkan pada waktu pengukuran jumlah sel darah merah setelah pemeliharaan 10 hari jumlah sel darah merah sudah mendekati nilai sel darah merah ikan normal.
Sedangkan pada waktu pengukuran setelah pemeliharaan, jumlah sel darah merah hampir mendekati jumlah sel darah merah ikan normal. Pada perlakuan C jumlah sel darah merah sebesar 1,73×106 sel/mm3, perlakuan D sebesar 1,75×106 sel/mm3, perlakuan E sebesar 1,83×106 sel/mm3, dan perlakuan F sebesar 1,73×106 sel/mm3.
(1)
Anova Sel Darah Merah Pasca Pengangkutan
SK DB JK KT Fhit F,Tab 5%
PER 6 2,071848 0,34531 334,277 2,85 GALAT 14 0,0145 0,00103
TOTAL 20 2,086348 ** : Berpengaruh nyata (P<0,05) BNT : 0,05577
Perlakuan N A B C D E F
1,833 0,730 1,227 1,330 1,407 1,563 1,25 N - 1,103 0,607 0,503 0,427 0,270 0,583 A - 0,497 0,600 0,677 0,833 0,520 B - 0,103 0,180 0,337 0,023ns C - 0,077 0,233 0,080 D - 0,157 0,157
E - 0,313
F -
Ns = non significant
Jumlah sel darah merah ikan patin setelah pemeliharaan Ulangan Perlakuan
N C D E F I 1,87 1,74 1,77 1,82 1,75 II 1,8 1,71 1,72 1,83 1,73 III 1,83 1,73 1,76 1,84 1,72 Rerata 1,8±0,04 1,7±0,02 1,8±0,03 1,8±0,01 1,7±0,02
Anova Sel Darah Merah Setelah Pemeliharaan
SK DB JK KT Fhit F,Tab 5%
PER 4 0,0333 0,00834 16,686 3,48 GALAT 10 0,005 0,0005
TOTAL 14 0,0383 ** : Berpengaruh nyata (P<0,05)
BNT : 0,040104
Perlakuan N C D E F
1,833 1,727 1,750 1,830 1,733 N - 0,107 0,083 0,003ns 0,100 C - 0,023ns 0,103 0,007ns D - 0,080 0,017ns
E - 0,097
F -
(2)
Jumlah sel darah putih ikan patin pasca pengangkutan
Ulangan Perlakuan
N A B C D E F I 5,62 7,23 7,08 7,01 6,89 6,56 6,98 II 5,49 7,14 7,01 6,96 6,76 6,49 6,94 III 5,57 7,12 7,04 6,91 6,72 6,51 6,91 Rerata
5,56±0,0 7
7,16±0,0 6
7,04±0,0 4
6,96±0,0 5
6,79±0,0 9
6,52±0,0 4
6,94±0, 04
Anova Sel Darah Putih Pasca Pengangkutan
SK DB JK KT Fhit F,Tab 5%
PER 6 5,396 0,8992 287,376 2,85 GALAT 14 0,044 0,00313
TOTAL 20 5,44
** : Berpengaruh nyata (P<0,05) BNT : 0,09867
Perlakuan N A B C D E F
5,560 7,163 7,043 6,960 6,790 6,520 6,943 N - 1,603 1,483 1,400 1,230 0,960 1,383 A - 0,120 0,203 0,373 0,643 0,220 B - 0,083ns 0,253 0,523 0,100 C - 0,170 0,440 0,017ns D - 0,270 0,153
E - 0,423
F -
Ns = non significant
Jumlah sel darah putih ikan patin setelah pemeliharaan Ulangan Perlakuan
N C D E F
I 5,62 5,91 5,71 5,52 5,87
II 5,49 5,88 5,69 5,63 5,92
III 5,57 5,85 5,64 5,58 5,81 Rerata 5,6±0,07 5,9±0,03 5,7±0,04 5,6±0,06
5,9±0,0 6 Anova Sel Darah Putih Setelah Pemeliharaan
SK DB JK KT Fhit F,Tab 5% PER 4 0,28376 0,07094 28,22546 3,48 GALAT 10 0,025133 0,002513
TOTAL 14 0,308893 ** : Berpengaruh nyata (P<0,05)
(3)
BNT : 0,091348
Perlakuan N C D E F
5,560 5,880 5,680 5,577 5,867 N - 0,320 0,120 0,017ns 0,307 C - 0,200 0,303 0,013ns
D - 0,103 0,187
E - 0,290
F -
Ns = non significant
Kadar hemoglobin ikan patin pasca pengangkutan
Ulangan Perlakuan
N A B C D E F
I 7,2 3,1 3,5 3,9 4,5 5,3 3,6
II 7,1 3,1 3,4 3,8 4,8 5,5 3,9
III 7,1 3,2 3,4 3,9 4,6 5,8 3,8
Rerata 7,1±0,1 3,1±0,
1 3,4±0,1 3,9±0,1 4,6±0,2 5,5±0,3 3,8±0,3
Anova Hemoglobin Pasca Pengangkutan
SK DB JK KT Fhit F,Tab 5%
PER 6 35,8933 5,9822 332,3444 2,85 GALAT 14 0,2467 0,018
TOTAL 20 36,14
** : Berpengaruh nyata (P<0,05) BNT : 0,233805
Perlakuan N A B C D E F
7,13 3,13 3,43 3,87 4,63 5,53 3,77 N - 4,00 3,70 3,27 2,50 1,60 3,37 A - 0,30 0,73 1,50 2,40 0,63 B - 0,43 0,77 2,10 0,33 C - 0,77 1,67 0,10ns D - 0,90 0,87
E - 1,77
F -
Ns = non significant
Kadar hemoglobin ikan patin setelah pemeliharaan Ulangan Perlakuan
N C D E F I 7,2 6,2 6,6 7,1 6,1 II 7,1 6,1 6,7 7,1 6,0 III 7,1 6,2 6,5 6,9 6,1 Rerata 7,1±0,1 6,2±0,1 6,6±0,1 7,0±0,1 6,1±0,1
(4)
Anova Hemoglobin Setelah Pemeliharaan
SK DB JK KT Fhit F,Tab 5%
PER 4 2,8333 0,7083 106,1919 3,48 GALAT 10 0,06666 0,00667
TOTAL 14 2,89996 ** : Berpengaruh nyata (P<0,05) BNT : 0,1486
Perlakuan N C D E F
7,13 6,17 6,60 7,03 6,07 N - 0,97 0,53 0,10ns 1,07
C - 0,43 0,87 0,10ns
D - 0,43 0,53
E - 0,97
F ‐
Ns = non significant
Nilai hematokrit ikan patin pasca pengangkutan Ulanga
n
Perlakuan
N A B C D E F I 40,67 30,22 32,39 34,41 35,98 36,55 33,26 II 40,43 30,58 32,17 34,64 35,74 36,34 33,19 III 40,58 30,61 32,35 34,59 35,82 36,63 32,98 Rerata 40,56±0,1
2
30,47±0,2 2
32,30±0,1 2
34,55±0,1 2
35,85±0,1
2 36,51±0,15 33,14±0,15
Anova Hematokrit Pasca Pengangkutan
SK DB JK KT Fhit F,Tab 5%
PER 6 194,911 32,4851 1515,94 2,85 GALAT 14 0,3 0,02143 TOTAL 20 195,211 ** : Berpengaruh nyata (P<0,05)
BNT : 0,256328
Perlakuan N A B C D E F
40,56 30,47 32,30 34,55 35,85 36,51 33,14 N - 10,09 8,26 6,01 4,71 4,05 7,42 A - 1,83 4,08 5,38 6,04 2,67 B - 2,24 3,54 4,20 0,84 C - 1,30 1,96 1,40 D - 0,66 2,70
E - 3,36
(5)
Nilai hematokrit ikan patin setelah pemeliharaan Ulangan Perlakuan
N C D E F I 40,67 37,12 38,65 39,34 36,89 II 40,43 37,65 38,95 39,42 36,98 III 40,58 37,52 38,58 39,21 36,84 Rerata 40,56±0,12 37,43±0,28 38,73±0,20 39,32±0,11 36,90±0,07 Anova Hematokrit Setelah Pemeliharaan
SK DB JK KT Fhit F,Tab 5%
PER 4 25,8833 6,47084 224,137 3,48 GALAT 10 0,2887 0,02887 TOTAL 14 26,172 ** : Berpengaruh nyata (P<0,05)
BNT : 0,3090
Perlakuan N C D E F
40,56 37,43 38,73 39,32 36,90
N - 3,13 1,83 1,24 3,66
C - 1,30 1,89 0,53
D - 0,60 1,82
E - 2,42
F ‐
Nilai N:L Rasio ikan patin pasca pengangkutan
Ulanga n
Perlakuan
N A B C D E F I 1,29 2,56 1,88 1,75 1,58 1,47 1,72 II 1,28 2,62 1,76 1,61 1,62 1,51 1,69 III 1,24 2,69 1,69 1,64 1,57 1,41 1,68 Rerata
1,27±0,0 3
2,62±0,0 7
1,78±0,1 0
1,67±0,0 7
1,59±0,0 3
1,46±0,0 5
1,70±0,0 2
Anova N : L Pasca Pengangkutan
SK DB JK KT Fhit F,Tab 5%
PER 6 3,3227 0,55379 166,603 2,85 GALAT 14 0,04653 0,00332
TOTAL 20 3,36923 ** : Berpengaruh nyata (P<0,05)
(6)
BNT : 0,100815
Perlakuan N A B C D E F
1,27 2,62 1,78 1,67 1,59 1,46 1,70 N - 1,35 0,51 0,40 0,32 0,19 0,43 A - 0,85 0,96 1,03 1,16 0,93 B - 0,11 0,19 0,31 0,08ns C - 0,08ns 0,20 0,03ns D - 0,13 0,11
E - 0,23
F -
Ns = non significant
Nilai N:L Rasio ikan patin setelah pemeliharaan Ulangan Perlakuan
N C D E F I 1,34 1,38 1,32 1,31 1,41 II 1,16 1,31 1,29 1,29 1,39 III 1,32 1,41 1,34 1,26 1,42 Rerata 1,3±0,10 1,4±0,05 1,3±0,03 1,3±0,03 1,4±0,02
Anova N : L Setelah Pemeliharaan
SK DB JK KT Fhit F,Tab 5%
PER 4 0,0386 0,00966 9,98656 3,48 GALAT 10 0,00967 0,00097
TOTAL 14 0,04827 ** : Berpengaruh nyata (P<0,05)
BNT : 0,056788
Perlakuan N C D E F
1,270 1,367 1,317 1,287 1,407 N - 0,097 0,047ns 0,017ns 0,137
C - 0,050ns 0,080 0,040ns D - 0,030ns 0,090
E - 0,120
F ‐