Stabilisasi Bekatul Hasil dan Pembahasan

padi Pandan Wangi dan IR-64.Gabah digiling terlebih dahulu sehingga diperoleh beras pecah kulit.Beras pecah kulit disosoh selama 2 menit dan didapatkan bekatul.Bekatul diayak ukuran 100 mesh agar ukurannya lebih seragam. Perlakuan yang diterapkan dalam proses stabilisasi ini adalah perlakuan suhu dan kecepatan ulir. Suhu yang digunakan adalah suhu 100, 120, dan 140°C dan kecepatan ulir 15 Hz dan 25 Hz. Menurut Tao et al. 1993 suhu dibawah 100°C kurang untuk menginaktivasi lipase dan suhu diatas 140°C dapat menyebabkan terjadinya case hardening dan warna coklat tua pada bagian permukaan bekatul. Kecepatan ulir minimal yang dipilih adalah 15 Hz yang merupakan batas minimal kecepatan ulir dari daya kerja alat. Kombinasi perlakuan yang didapatkan yaitu : 1 suhu 100°C dan kecepatan ulir 15 Hz A100, 2 suhu 120°C dan kecepatan ulir 15 Hz A120, 3 suhu 140°C dan kecepatan ulir 15 Hz A140, 4 suhu 100°C dan kecepatan ulir 25 Hz B100, 5 suhu 120°C dan kecepatan ulir 25 Hz B120, 6 suhu 140°C dan kecepatan ulir 25 Hz, dan terakhir kontrol bekatul segar. Parameter yang digunakan adalah ALB sebagai indikator kestabilan bekatul dan analisis ϒ- oryzanol dan tokoferol sebagai indikasi perubahan komponen bioaktif akibat proses stabilisasi. 2.3.2Pengaruh Stabilitas Bekatul terhadap Kandungan Asam Lemak Bebas Analisis ALB telah banyak dilakukan sebagai indikator kestabilan bekatul Randall et al.1985; Tao et al. 1993; Lakkakula et al. 2004; Budijanto et al. 2010. Asam lemak bebas merupakan hasil reaksi hidrolisis trigliserida yang dikatalis oleh enzim lipase.Reksi hidrolisis trigliserida dapat dilihat pada Gambar 2.3. H 2 C-COO-R H 2 C-OH HC-COO-R + 3H 2 O HC-OH + 3RCOOH lipase H 2 C-COO-R H 2 C-OH Trigliserida Gliserol ALB Gambar 2.3 Reaksi hidrolisis trigliserida oleh lipase Fennema 1995 Analisis ALB pada bekatul segar dan terstabilisasi dilakukan pada hari ke-0 dan setelah penyimpanan selama 2 minggu dalam inkubator 37°C. Suhu tersebut dipilih karena merupakan suhu optimum dari lipase bekatul Kao dan Luh 1991.Hasil kenaikan ALB pada bekatul selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 2.4. Berdasarkan analisis statistik didapatkan perbedaan signifikan pada nilai peningkatan ALB bekatul terstabilisasi bila dibandingkan bekatul segar. Bekatul segar mengalami kenaikan ALB hingga 39.91 pada minggu kedua penyimpanan. Namun bekatul yang terstabilisasi hanya mengalami peningkatan ALB antara 3.09-6.75. Hasil tersebut menunjukkan bahwa proses pemanasan dengan single screw conveyor dapat memperlambat kerusakan bekatul terstabilisasi secara nyata. Peningkatan ALB terendah yaitu terjadi pada perlakuan suhu 140°C dan kecepatan ulir 15 Hz A140.Pada perlakuan tersebut, bekatul mengalami pemanasan lebih tinggi dan lebih lama dibandingkan perlakuan lainnya. Namun berdasarkan uji lanjut Duncan didapatkan bahwa perlakuan stabilisasi pada suhu 120°C dan 140°C tidak berbeda nyata sehingga pada suhu 120°C pun sudah cukup untuk menginaktivasi enzim lipase dan memperlambat kerusakan bekatul. Hasil pengujian ALB dapat dilihat pada Tabel 2.1. Penyimpanan pada minggu kedua didapatkan bahwa pada bekatul yang diberi perlakuan suhu 120°C dan 140°C A120, A140, B120, dan B140 memiliki kadar ALB dibawah 10 yaitu berturut-turut 7.87, 8.30, 8.58, dan 7.56. Namun perlakuan dengan suhu 100°C A100 dan B100 memiliki kadarALB 10 yaitu 12.11 dan 10.22 Gambar 2.4 Kenaikan kadarALB pada bekatulyang distabilisasi pada suhu 37 °C selama 2 minggu penyimpanan. A100=kecepatan ulir 15 Hz dan suhu100°C, A120=kecepatan ulir 15 Hz dan suhu120°C, A140=kecepatan ulir 15 Hz dan suhu140°C, B100=kecepatan ulir 25 Hz dan suhu100°C, B120=kecepatan ulir 25 Hz dan suhu 120°C, serta B140= kecepatan ulir 25 Hz dan suhu140°C. Menurut Tao et al. 1993 kadarALB bekatul lebih dari 10 sudah tidak layak untuk dikonsumsi karena sudah tengik. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemanasan pada suhu 100°C belum mampu untuk mendenaturasi enzim lipase sehingga masih terjadi peningkatan ALB lebih dari 10 setelah 2 minggu penyimpanan. Hasil analisis tersebut sesuai dengan pernyataan Tao et al. 1993 bahwa proses pemanasan pada bekatul di atas suhu 100°C dibutuhkanuntuk mendenaturasi enzim lipase sehingga bekatul menjadi lebih tahan terhadap ketengikan karena reaksi hidrolisis. 2.3.3 Pengaruh Stabilitasi Bekatul terhadap Kandungan α-tokoferol 39.91a 6.75b 3.21d 3.09d 4.53c 3.47d 3.13d 5 10 15 20 25 30 35 40 45 segar A100 A120 A140 B100 B120 B140 Kenaikan ALB Perlakuan Analisis kandungan tokoferol dilakukan pada minyak hasil ekstraksi bekatul. Hasil analisis masing-masing perlakuan dan bekatul segar dapat dilihat pada Gambar 2.5. Gambar 2.5 Kandungan tokoferol pada bekatul yang distabilisasi pada suhu 37 °C selama 2 minggu penyimpanan. A100=kecepatan ulir 15 Hz dan suhu 100°C, A120=kecepatan ulir 15 Hz dan suhu 120°C, A140=kecepatan ulir 15 Hz dan suhu140°C, B100=kecepatan ulir 25 Hz dan suhu100°C, B120=kecepatan ulir 25 Hz dan suhu 120°C, serta B140= kecepatan ulir 25 Hz dan suhu140°C. Kandungan tokoferol yang didapatkan yaitu antara 217.92-236.86 µgg minyak. Kandungan tokoferol tersebut sesuai dengan penelitian Schramm et al. 2007 pada bekatul varietas Cypress and Cheniere yaitu antara 170.26-218.21 µgg minyak bekatul serta penelitian Anwar et al. 2005 pada bekatul dari beras Pakistan yaitu antara 175.12-304.2 µgg. Nilai tertinggi kandungan tokoferol diperoleh dari perlakuan B100 kecepatan ulir 25Hz dan suhu 100°C sebanyak 236.86 ugg±1.91 sedangkan yang terendah adalah perlakuan B140 kecepatan ulir 25Hz dan suhu 140°C yaitu 227.48±19.23 ugg.Uji ANOVA menunjukkan adanya perbedaan signifikan antar perlakuan.Perbedaan kandungan tokoferol yang signifikan terlihat pada perlakuan B100 kecepatan ulir 25 Hz dan suhu 100°C. Kandungan tokoferol pada perlakuan A100, A120, A140, B120, dan B140 menunjukkan hasil tidak berbeda nyata. Hasil tersebut menunjukkan bahwa perlakuan B100 merupakan perlakuan yang bisa mempertahankan kestabilan tokoferol lebih tinggi dibanding perlakuan lainnya.

2.3.4 Pengaruh Stabilitas Bekatul terhadap Kandungan γ- Oryzanol

Berdasarkan analisis γ-oryzanol dengan HPLC menggunakan metode Xu dan Godber 2000 pada kromatogram terdapat 4 peak yang terpisahkan pada RT 17- 25 menit Gambar 4. Namun setiap peak tidak dapat teridentifikasi karena 242.14a 227.98b 230.89b 227.79b 236.86ab 227.48b 228.13b 220 225 230 235 240 245 segar A100 A120 A140 B100 B120 B140 Kandungan α-tokoferol ugg Perlakuan standar yang digunakan adalah γ-oryzanol campuran yang tidak spesifik terhadap komponen oryzanol tertentu sehingga untuk mendapatkan total oryzanol dengan cara menjumlahkan area dari 4 peak tertinggi tersebut Pascual et al. 2011; Chen dan Bergman 2005; Xu dan Godber 2000.Identifikasi tiap-tiap peak telah dilakukan oleh Cho et al. 2012 yang mengidentifikasi γ-oryzanol berupa cycloartenyl ferulat peak 1, 24-methylenecycloartanyl ferulate peak 2, campesteryl ferulate peak 3, dan sitosteryl ferulate peak 4. Gambar kromatogram bekatul segar dapat dilihat pada Gambar 2.6. Gambar 2.6 Hasil kromatogram analisis γ-oryzanol pada ekstrak heksana bekatul segar dengan menggunakan kolom RP-18,fase gerak methanol, asetonitril, diklorometan, dan asam asetat 50:44:3:3 by volume, serta laju alir fase gerak 1 mlmenit. Peak1 cycloartenyl ferulat, peak 2 24-methylenecycloartanyl ferulate, peak 3campesteryl ferulate, danpeak 4sitosteryl ferulate. Hasil analisis γ-oryzanol terhadap perlakuan kombinasi suhu dan kecepatan ulir dapat dilihat pada Gambar 2.7 dan Tabel 2.1. Kandungan γ-oryzanol rata-rata pada bekatul segar yaitu 2408.03±5.01 ugg. Hal ini sesuai dengan penelitian Qureshi et al. 2002 yang melaporkan kandungan γ-oryzanol pada bekatul sekitar 2200-3000 ugg. Hasil penelitian juga sejalan dengan penelitian Chen dan Bergman 2005 yang menyatakan bahwa kandungan γ-oryzanol 10-20x lebih banyak dibandingkan total tokoferol pada bekatul.