Stabilized Rice Bran and Its Application in Analog Rice Formulation
STABILISASI BEKATUL DAN PENERAPANNYA
PADA BERAS ANALOG
MAYA KURNIAWATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2013
(2)
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Stabilisasi Bekatul dan Penerapannya pada Beras Analog adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013
Maya Kurniawati
(3)
RINGKASAN
MAYA KURNIAWATI. Stabilisasi Bekatul dan Penerapannya pada Beras Analog. Dibimbing oleh SLAMET BUDIJANTO dan NANCY D. YULIANA.
Ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap beras sangat tinggi. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bagi pemerintah. Oleh sebab itu Pemerintah mengeluarkan kebijakan Peraturan Presiden nomor 22 tahun 2009 untuk percepatan diversifikasi pangan berbasis sumber daya lokal.
Pengembangan beras analog merupakan salah satu alternatif produk pangan untuk mendukung progam diversifikasi pangan. Teknologi yang digunakan dalam pembuatan beras analog adalah teknologi ekstrusi. Pencampuran dengan berbagai komposisi dimungkinkan dengan teknologi ini dan lebih mudah untuk persiapan, penggunaan, serta pengembangan produk. Pada proses pembuatan beras analog ini bahan baku lokal yang digunakan adalah tepung jagung, sagu, tepung kedelai, dan bekatul.
Latar belakang penggunaan tepung jagung, sagu, dan kedelai adalah karena makanan ini sudah cukup akrab di masyarakat Indonesia sehingga beras analog diharapkan dapat dengan mudah diterima di masyarakat. Selain itu, tepung jagung digunakan karena memiliki serat lebih tinggi dari tepung terigu. Tepung kedelai merupakan sumber protein. Penambahan protein dapat meningkatkan nilai gizi dan memperbaiki tekstur beras analog. Bahan lain penyusun beras analog adalah sagu. Sagu merupakan salah satu makanan pokok masyarakat Indonesia Timur.
Bahan lain yang digunakan dalam beras analog adalah bekatul. Bekatul memiliki serat tinggi dan aktivitas antioksidan. Bekatul mengandung tokoferol (vitamin E), tokotrienol, dan ϒ-oryzanol yang memiliki kapasitas antioksidan. Bekatul juga memiliki indeks glikemik rendah. Bekatul adalah produk samping dari penggilingan gabah untuk menghasilkan beras sosoh. Bekatul harus segera distabilkan setelah diproduksi untuk melindunginya dari aktivitas lipase yang dapat mengurangi kualitas bekatul karena dapat membentuk off flavor. Beberapa metoda telah lebih dahulu diteliti untuk menonaktifkan lipase dalam bekatul. Namun, umumnya metoda tersebut sulit untuk dioperasikan dan membutuhkan lebih banyak energi sehingga kurang cocok untuk penggilingan padi skala kecil sehingga dalam penelitian ini dikembangkanlah alat stabilisasi bekatul yang lebih sederhana yaitu single screw conveyor.
Tahap awal penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek perlakuan stabilisasi dengan menggunakan single screw conveyor kemudian dilihat
pengaruhnya terhadap kandungan asam lemak bebas dan komponen bioaktif (α
-tokoferol dan ϒ-oryzanol) bekatul. Perlakuan yang digunakan adalah A100 (kecepatan ulir 15 Hz, 100° C), A120 (kecepatan ulir 15 Hz, 120° C), A140 (kecepatan ulir 15 Hz, 140° C), B100 (kecepatan ulir 25 Hz, 100° C), B120 (kecepatan ulir 25 Hz, 120° C), dan B140 (kecepatan ulir 25 Hz, 140° C).
(4)
Penelitian ini menunjukkan bahwa stabilisasi bekatul dengan menggunakan single screw conveyor mampu secara signifikan mencegah peningkatan kadar ALB bekatul terstabilisasi dibandingkan dengan kontrol. Perlakuan A120 adalah perlakuan terbaik untuk mencegah ketengikan (kadarALB <10%) dengan
penurunan α-tokoferol dan ϒ-oryzanol yang minimum. Hal tersebut berarti bahwa
single screw conveyor berpotensi untuk digunakan pada penggilingan padi skala kecil-menengah untuk menghasilkan bekatul terstabilisasi yang tahan terhadap ketengikan.
Bekatul terstabilisasi kemudian digunakan untuk formulasi beras analog dengan menggunakan program Mixture Design dalam Design Expertv 7.0 (DX7).
Mixture Design adalah program yang digunakan untuk mendapatkan formula optimal pada suatu produk. Penentuan formula didasarkan pada respon tingkat kecerahan dan aktivitas antioksidan beras analog. Formula yang diperoleh dari program Mixture Design adalah tepung jagung 32.17%, sagu 16.67%, tepung kedelai13.3%, bekatul 3.16%, dan GMS 1.33% (air 50% dari adonan kering). Beras analog dibandingkan dengan beras sosoh dan Beras Cerdas. Berdasarkan hasil karakterisasi beras analog didapatkan hasil kadar protein beras analog lebih tinggi dari beras biasa dan Beras Cerdas (11,4%) dan serat pangan dalam beras analog tergolong tinggi yaitu 13.3% (> 6%). Hasil analisis sensori menunjukkan beras analog dan Beras Cerdas memiliki skor netral-agak suka. Uji indeks glikemik pun dilakukan pada beras analog. Pelaksanaan uji indeks glikemik berdasarkan Ethical Approval No.LB 02.01/5.2/KE.209/2013 yang dikeluarkan oleh Komisi Etik Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Uji indeks glikemik dilakukan untuk mengetahui potensi beras analog sebagai pangan fungsional. Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan bahwa indeks glikemik dari beras analog formula optimum adalah 54 ± 18.
Berdasarkan hasil karakterisasi beras analog, penelitian ini menghasilkan formula beras analog dari tepung jagung, sagu, tepung kedelai dan bekatul yang mengandung protein dan serat tinggi. Hasil tersebut menunjukkan beras analog potensial dikembangkan sebagai produk pangan fungsional berbasis sumber daya lokal.
(5)
SUMMARY
MAYA KURNIAWATI. Stabilized Rice Bran and Its Application in Analog Rice Formulation. Supervised by SLAMET BUDIJANTO and NANCY D. YULIANA.
Indonesian rice consumption is one of the largest one in the world. This condition has raised concern to from the government. They issued Presidential Decree No. 22 in 2009 aims accelerate food diversification progam based on local resources.
The development of analog rice can be one alternative to support food diversification program. Extrusion technology is used in manufacturing process of analog rice. This technology enables to formulate rice with various compositions and also makes product preparation and development easier. Corn flour, sago, soy flour, and rice bran are local resources used for analog rice.
Corn flour, soy flour, and sago were used because these raw materials have been very common for Indonesian society, therefore analog rice resulted in this study was expected to be easily accepted in Indonesia. Corn flour was used because it has higher dietary fiber than wheat. Soy flour was used as a source of protein. The presence of protein increases the nutritional value and improves the texture of the analog rice. Other raw material of analog rice is sago. Sago is one of the primary food in East Indonesia. Rice bran contains high dietary fiber and has good antioxidant activity. Rice bran contains tocopherol (vitamin E), tocotrienols and oryzanol that have antioxidant capacity. Rice bran also has low glycemic index. Rice bran is a by-product of rice mill. It is a thin layer covering the rice seeds after husk removal. Rice bran must be stabilized immediately upon production to protect it from lipase activity, which can reduce quality of the rice bran by stimulating off flavor formation. Many methods have been developed to deactivate the lipase in rice bran. However, those methods are difficult to operate and they require a lot of energy so that less suitable for small rice milling unit. Therefore in this study, we developed another stabilization method by using single screw conveyor.
The initial study was undertaken to determine the effects of stabilization treatment by using a single screw conveyor to the content of free fatty acids and bioactive
components (α-tocopherol and ϒ-oryzanol) of rice bran. The treatments used were A100 (screw speed of 15 Hz, 100 °C), A120 (screw speed of 15 Hz, 120 °C), A140 (screw speed of 15 Hz, 140 °C), B100 (screw speed of 25 Hz, 100 °C), B120 (screw speed of 25 Hz, 120 °C), and B140 (screw speed of 25 Hz, 140 °C). It was shown that rice bran stabilization by using screw conveyor was able to significantly suppress an increase of FFA content of stabilized rice bran as compared to control (unstabilized one). Particularly, A120 was the best treatment for preventing rancidity (FFA content <10%) with a minimum decrease in α-tocopherol and γ-oryzanol content. It can be concluded that single screw conveyor is potential to be used in small-medium scale rice milling unit to produce rice bran with better self-life, while the nutrition content can be preserved.
(6)
The stabilized rice bran obtained from the most optimum condition was used in analog rice formulation using Mixture Design in Design Expert program (DX7). Mixture Design in the Design Expert v 7.0 (DX7) is a program used to obtain the most optimum formula for the studied product. In this study determination of the best formula was based on the lightness and antioxidant activity of analog rice as two responses. The most optimum formula obtained from DX7 progam consisted of 32.17% corn flour, sago 16.67%, 13.3% soybean flour, 3.16% rice bran, and 1.33% GMS (with water content of 50% of the dry dough). The analog rice was characterized and compared with the milled rice and Beras Cerdas. This study obtained protein content of analog rice was higher than milled rice and Beras Cerdas (11.4%) while dietary fiber in analog rice was as high as 13.3% (>6%). Results of sensory analysis showed that both analog rice and Beras Cerdas had a score of neither like nor dislike-like slightly (Analog rice score was 4.97 and Beras Cerdas 4.90). Glycemic index test was then performed for the resulted analog rice. It was based on Ethical Approval No. LB 02.01/5.2/KE.209/2013 issued by the Ethics Commission of the Ministry of Health of Indonesia. Based on the data obtained, it showed that the glycemic index of the optimum analog rice was 54 ± 18.
Based on the results of analog rice characterizations, this study has resulted analog rice formulation from corn flour, sago, soy flour, and rice bran, with high protein and dietaryfiber. The results of this study indicate that analog rice is potential to be developed as functional food products based on local resources.
(7)
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang
–
Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
(8)
STABILISASI BEKATUL DAN PENERAPANNYA
PADA BERAS ANALOG
MAYA KURNIAWATI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2013
(9)
Nomor Pokok : F251110351 Program Studi : Ilmu Pangan
Disetujui Komisi Pembimbing
HOセ@
Prof. Dr. Slamet Budijanto, MAgr Ketua
MSc
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Dekan Sekolah
P ascasarj ana Ilmu Pangan
Dr. Ir. Ratih Dewanti Hariyadi, M Sc.
(10)
Judul Tesis : Stabilisasi Bekatul dan Penerapannya pada Beras
Analog
Nama Mahasiswa : Maya Kurniawati
Nomor Pokok : F251110351
Program Studi : Ilmu Pangan
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Slamet Budijanto, MAgr Dr. Nancy D. Yuliana, MSc
Ketua Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Pangan
Dr. Ir. Ratih Dewanti Hariyadi, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr
(11)
(12)
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2013 sampai Juni
2013 ini adalah bekatul dan beras analog dengan judul “Stabilisasi Bekatul dan Penerapannya pada Beras Analog”.
Penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang tulus kepada Prof. Dr. Slamet Budijanto, MAgr dan Dr. Nancy D. Yuliana MSc selaku komisi pembimbing atas waktu dan kesempatan yang telah diluangkan dalam memberikan masukan, arahan, bimbingan dan motivasi sejak penulis mengikuti pendidikan, pelaksanaan penelitian hingga tersusunnya tesis ini. Selain itu ucapan terima kasih juga disampaikan pada Bapak Drs.Alibata Harahap, Apt, MKes (Mantan Kepala Balai Besar POM di Palembang), Ibu Dra. Indriaty Tubagus, Apt, MKes (Kepala Balai Besar POM di Palembang sekarang), Ibu Dra. Arofah Nur Fahmi, Apt, MM, dan Bapak Yudi Noviandi, SFarm, Apt, MTech atas kesempatan, arahan, dan motivasi pada penulis dari awal pengajuan beasiswa studi hingga terselesainya studi ini.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak, Ibu, dan suami atas segala pengertian, kesabaran, dukungan dan doanya selama penulis memulai studi sampai dengan selesainya studi. Semoga tesis ini dapat bermanfaat untuk kemajuan ilmu pengetahuan
Bogor, Juli 2013
(13)
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xiii
DAFTAR GAMBAR xiii
DAFTAR LAMPIRAN xiv
1 PENDAHULUAN UMUM
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 3
2 STABILISASI BEKATUL
Pendahuluan 3
Bahan dan Metode 4
Hasil dan Pembahasan 9
Simpulan 14
3 FORMULASI BERAS ANALOG
Pendahuluan 15
Bahan dan Metode 17
Hasil dan Pembahasan 26
Simpulan 39
4 PEMBAHASAN UMUM 39
5 SIMPULAN DAN SARAN 42
DAFTAR PUSTAKA 43
(14)
DAFTAR TABEL
2.1 Hasil analisis kadar asam lemak tokoferol, dan oryzanol bekatul 15
3.1 Karakterisasi bahan baku beras analog 26
3.2 Formula beras analog untuk pemilihan konsentrasi bekatul terbaik 29
3.3 Interval dari variabel penyusun beras analog 29
3.4 Rancangan formula beras analog hasil progam DX7 beserta respon kecerahan dan kadar antioksidan
30
3.5 Kapasitas antioksidan bahan baku beras analog 31
3.6 Formula optimum hasil olahan progam DX7 32
3.7 Hasil validasi beras analog terhadap respon 32
3.8 Karakteristik fisik dan kimia pada beras analog 34
3.9 Hasil analisis sensori beras analog dan beras cerdas 36
DAFTAR GAMBAR
2.1 Diagram penelitian stabilisasi bekatul 6
2.2 Alat single screw conveyor untuk stabilisasi bekatul 9
2.3 Reaksi hidrolisis trigliserida oleh lipase 10
2.4 Kenaikan kadar ALB bekatul yang distabilisasi pada suhu 37 °C selama 2 minggu penyimapanan
11 2.5 Kandungan tokoferol bekatul yang distabilisasi pada
suhu 37 °C selama 2 minggu penyimapanan
12
2.6 Hasil kromatogram analisis γ-oryzanol pada bekatul segar 13
2.7 Kandungan γ-oryzanol bekatul yang distabilisasi pada suhu 37 °C
selama 2 minggu penyimpanan
14
3.1 Proses pembuatan tepung kedelai 18
3.2 Proses pembuatan beras analog 19
(15)
DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil perhitungan analisis γ-oryzanol 49
2 Hasil perhitungan analisis tokoferol 51
3 Hasil analisis bilangan asam 53
4 Hasil uji statistik analisis bilangan asam 54
5 Hasil uji statistik analisis oryzanol 55
6 Hasil uji statistik analisis tokoferol 56
7 Analisis aktivitas antioksidan 57
8 Hasil validasi aktivitas antioksidan formula optimum 59
9 Hasil uji t-test aroma pada beras analog 60
10 Hasil uji t-test kecerahan pada beras analog 61
11 Hasil uji t-test tekstur pada beras analog 62
12 Hasil uji t-test beras analog secara overall 63
13 Hasil uji t-test aroma pada nasi beras analog 64
14 Hasil uji t-test tekstur pada nasi beras analog 65
15 Hasil uji t-test rasa pada nasi beras analog 66
16 Hasil uji t-test kecerahan pada nasi beras analog 67
17 Hasil uji t-test pada nasi beras analog secara overall 68
18 Data indeks glikemik 69
(16)
1
PENDAHULUAN UMUM
1.1Latar Belakang
Pangan pokok merupakan pangan yang sebagian besar dikonsumsi oleh sebagian besar penduduk dalam suatu wilayah.Masyarakat Indonesia sangat tergantung pada beras sebagai makanan pokoknya sehingga mereka masih beranggapan jika belum makan nasi maka mereka sebenarnya belum makan.
Ketergantungan tersebut menimbulkan kekhawatiran bagi pemerintah. Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan Peraturan Presiden No. 22 Tahun 2009 tentang percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal. Target progam Kementrian Pertanian pada tahun 2012 adalah menurunnya konsumsi beras 1.5 % per tahun dengan digantikan oleh sumber karbohidrat lokal Indonesia.
Pengembangan potensi sumber karbohidrat lokal sebagai pangan pokok alternatif telah banyak dilakukan. Namun sumber karbohidrat lokal untuk subsitusi beras sebagai salah satu pangan pokok belum banyak berkembang di masyarakat. Hal tersebut mungkin terjadi karena pola konsumsi masyarakat yang telah sangat dekat dengan nasi sebagai salah satu produk olahan beras sehingga proses pengembangan subsitusi beras dalam bentuk lain masih dirasa kurang tepat. Oleh sebab itu muncul adanya pemanfaatan sumber karbohidrat lokal non-beras dalam bentuk non-beras analog sebagai salah satu upaya diversifikasi pangan.
Beras analog adalah produk olahan yang dibuat dari bahan non-beras serta memiliki zat gizi dan bentuk mendekati beras (Mishra et al. 2012).Pembuatan beras analog dengan metode ekstrusi menghasilkan bentuk hampir menyerupai beras aslinya (Koide et al. 1999; Steiger 2011; Budijanto 2011).Prinsip proses ekstrusi pada industri pangan umumnya berdasarkan pada gelatinisasi pati, pembentukan kompleks lemak-pati, denaturasi dan teksturisasi protein, pengaruh tekanan/penggilingan dan pengembangan (Hurber 2000). Pencampuran dengan berbagai macam komposisi dimungkinkan dengan teknologi ini selain kemudahan dalam preparasi, penggunaan, dan pengembangan produksi (Kato 2006).
Beras analog dapat dibuat dengan mengkombinasikan beberapa tepung-tepungan non beras (Budijanto dan Yulianti 2012).Kombinasi tersebut dilakukan untuk mendapatkan tekstur dan komposisi nutrisi yang diinginkan (Steiger 2011).Bahan yang digunakan pada beras analog adalah tepung jagung, sagu, tepung kedelai, dan bekatul.
Penggunaan tepung jagung dan sagu karena bahan pangan tersebut telah cukup familiar dalam masyarakat Indonesia sebagai bahan pangan pokok sehingga diharapkan beras analog dapat dengan mudah diterima dalam masyarakat.Kelebihan tepung jagungkarena mengandungserat pangan dan beta-karoten (pro vitamin A) (Suarni dan Firmansyah 2005).
Bahan lain untuk formulasi beras analog adalah tepung kedelai. Tepung kedelai merupakan bahan yang mengandung protein cukup tinggi (lebih dari 35%) sehingga dipergunakan dalam formulasi beras analog ini untuk menambah kandungan protein pada beras analog.Selain kandungan proteinnya, tepung kedelai juga dapat memperbaiki tekstur pada beras analog menjadi lebih baik.
(17)
Bekatul juga ditambahkan sebagai ingridien pada beras analog.Bekatul merupakan sumber serat yang telah dikembangkan sebagai ingredien fungsional (Qureshi et al.2002). Selain serat, bekatul memiliki banyak komponen bioaktif.Komponen tersebut diantaranya tokoferol (vitamin E) tokotrienol, dan ϒ -oryzanol (Damayanthiet al. 2010; Schramm et al. 2007; Qureshi et al. 2002).Keberadaan komponen bioaktif tersebut menyebabkan bekatul memiliki aktivitas antioksidan.Selain itu, bekatul juga dapat menurunkan kadar kolesterol darah (Most et al. 2005; Qureshi et al. 2002; Gerhardt dan Galo 1998). Adanya serat pangan dapat membentuk matriks di sekeliling granula pati serta mengikat air dalam produk sehingga daya cerna pati menurun pula (Fennema 1995).
Pemanfaatanbekatul untuk konsumsi manusiamasih terbatas hingga saat ini. Sebagian besar hanya digunakan untuk makanan ternak. Bekatul relatif tidak stabil selama penyimpanan.Minyak bekatul mengandung sejumlah besar mono-, di-, dan trigliserida, asam lemak bebas, glikolipid, dan fosfolipid (McCaskill dan Zhang 1999).Oleh karena itu, bekatul harus distabilkan segera setelah penggilingan untuk melindunginya dari aktivitas lipase. Aktivitas lipase dapat mengurangi kualitas bekatul dengan merangsang pembentukan off flavor dan odor(Tao et al.
1993 dan Lakkakula et al. 2004) sehingga dapat mempengaruhi sifat sensori bekatul.
Beberapa metode pemanasan untuk menonaktifkan lipase dalam bekatul telah dilaporkan.Stabilisasi bekatul dengan pemanasan microwave (Tao et al.1993), ohmic heating (Lakkakula et al.2004), otoklaf (Damayanthi et al. 2010),
twin screw extruder (Budijanto 2011).Namun metode stabilisasi tersebut kurang cocok untuk diterapkan di penggilingan padi skala kecil-menengah karena energi dan biaya operasional yang dibutuhkan lebih banyak.Oleh sebab itulah dikembangkan alat penstabilisasi bekatul yang berupa single screw conveyor.Adanya stabilisasi bekatul diharapkan dapat meningkatkan umur simpan lebih lama sehingga dapat digunakan sebagai salah satu ingridien beras analog.Pada penelitian ini juga dicari kondisi terbaik stabilisasi bekatul
berdasarkan parameter asam lemak bebas, α-tokoferol, dan γ-oryzanol.
1.2Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengembangkan metode stabilisasi bekatul menggunakan metode single screw conveyor.
2. Mendapatkan formulasi optimum menggunakan progam DX7dari beras analog berbahan dasar jagung dengan penambahan bekatul dan tepung kedelai.
3. Mengkarakterisasi beras analog yang dihasilkan meliputi sifat fisik, komposisi kimiawi, sifat fungsional, dan penerimaan sensori.
(18)
1.3Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah dapat menghasilkan bekatul yang stabil terhadap ketengikan dan menghasilkan beras analog berbahan dasar tepung jagung yang memiliki potensi sebagai makanan yang berguna bagi kesehatan.
2 STABILISASI BEKATUL
2.1 Pendahuluan
2.1.1 Latar Belakang
Bekatul merupakan produk samping dari penggilingan beras yang merupakan lapisan tipis pada padi setelah dilakukan penghilangan sekam sebelumnya (Tao et al. 1993; Prakash 1996) dengan rendemen sekitar 8% dari beras giling (Sereewatthanawut et al. 2008). Jumlah produksi bekatul sekitar 50-60 juta ton per tahun di dunia (Devi dan Arumughan 2007), yang sebagian besar digunakan sebagai bahan pakan ternak, pupuk, dan bahan bakar (Pan et al. 2005 dan Zullaikah et al. 2005).
Bekatul merupakan sumber protein, serat, dan karbohidrat yang baik (Qureshi et al. 2002). Bekatul juga mengandung tokoferol dan tokotrienol (Xu dan Godber 2000; Schramm et al. 2007). Selain karena kandungan serat, banyak penelitian telah melaporkan potensi bekatul sebagai ingridien fungsional karena kandungan tokoferol dan oryzanol (Huang 2003; Iqbal et al. 2005). Oryzanol merupakan antioksidan yang hanya ditemukan dalam bekatul dan dilaporkan memiliki aktivitas antioksidan lebih kuat dari tokoferol (Devi dan Arumughan 2007).γ-Oryzanol merupakan golongan fitosterol yang merupakan senyawa ester asam ferulat. Senyawa ini telah dilaporkan untuk mengurangi kolesterol pada manusia (Gerhardt dan Gallo 1998) dan mengurangi risiko penyakit jantung koroner (Cicero dan Gerosa 2005)
Minyak bekatul mengandung sejumlah besar mono-, di-, dan trigliserida, asam lemak bebas (ALB), glikolipid, dan fosfolipid (McCaskill dan Zhang 1999).Oleh karena itu, bekatul harus distabilkan segera setelah penggilingan untuk melindunginya dari aktivitas lipase.Aktivitas lipase dapat mengurangi kualitas bekatul dengan merangsang pembentukan off flavor (Tao et al. 1993; Lakkakula et al. 2004).
Beberapa metode pemanasan untuk menonaktifkan lipase dalam bekatul telah dilaporkan. Randall et al. (1985) melaporkan bahwa perlakuan panas adalah metode praktis dan murah untuk menonaktifkan lipase dalam bekatul segar segera setelah penggilingan. Suhu pemanasan di bawah 100 °C tidak cukup untuk menstabilisasi bekatul sementara perlakuan panas di atas 140 °C tidak dianjurkan karena akan merusak kualitas bekatul (Fernando dan Hewavitharana 1990).
Pemanasan microwave digunakan oleh Tao et al. (1993), sedangkan pemanasan ohmik diterapkan oleh Lakkakula et al. (2004). Pemansan bekatul
(19)
dengan microwave menunjukkan bahwa kandungan ALB sedikit meningkat selama 4 minggu penyimpanan pada 25 °C (Tao et al. 1993). Penggunaan ekstruder untuk menstabilkan bekatul juga telah dilaporkan.Randall et al. (1985) menggunakan suhu 125-135 °C selama 1-3 detik dengan ekstruder ulir tunggal. Penelitian Budijanto (2011), twin screw extruder digunakan untuk stabilisasi bekatul pada kondisi optimum T1 (suhu input) = 130 °C, T2 (suhu tengah) = 160 °C, T3 (suhu output) = 230 °C dan speedscrew dan feedscrew 12 Hz. Metode ini telah berhasil menghambat kerja lipase pada bekatul dengan hasil peningkatan kandungan ALB hanya 1.48% setelah 15 hari penyimpanan. Namun, banyak energi yang dibutuhkan dalam operasi twin screw extruder, sehingga metode ini kurang cocok untuk unit penggilingan padi skala kecil.Penelitian ini mengembangkan metode stabilisasi bekatul dengan menggunakan single screw conveyor. Prinsip instrumen ini mirip dengan twin screw extruder yang menggunakan perputaran ulir untuk mendorong bekatul tetapi tidak membutuhkan tekanan uap seperti pada twin screw extruder, ukurannya relatif kecil dan kompak, serta sangat mudah untuk mengoperasikannya sehingga dapat dengan mudah dipergunakan pada penggilingan padi skala kecil-menengah.Variabel yang dikendalikan oleh alat ini untuk menstabilkan bekatul adalah suhu dan kecepatan ulir.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek stabilisasi dengan menggunakan single screw conveyor terhadap kandungan ALB, nutrisi dan
komponen bioaktif (α-tokoferol dan γ-oryzanol) bekatul.Sebagai hasil akhir,
diharapkan dapat memperoleh kondisi stabilisasi bekatul terbaik yang dapat menghambat ketengikan pada bekatul sehingga dapat dipergunakan sebagai ingridien pangan.
2.1.2 Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah:
1. mencari kondisi stabilisasi bekatul yang terbaik (suhu dan kecepatan single screw conveyor). Parameter yang digunakan adalah kenaikan ALB selama penyimpanan 2 minggu.
2. mengkarakterisasi bekatul yang terstabilisasi berupa kandungan tokoferol dan
ϒ-oryzanol.
2.1.3 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah mengetahui kondisi terbaik single screw conveyor untuk dapat menghasilkan bekatul yang stabil terhadap ketengikan.
2.2 Bahan dan Metode 2.2.1 Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan dan Gedung F-Technopark di Institut Pertanian Bogor.Waktu pelaksanaan penelitian direncanakan dari bulan Agustus 2012 sampai dengan Desember 2012.
(20)
2.2.2 Bahan
Bahan untuk pembuatan bekatul adalah padi Ciherang dari Sumedang, Jawa Barat. Bahan yang digunakan untuk analisis antara lain heksana dan isopropanol PA (Merck, Germany), methanol, asetonitril, dan diklorometan standar HPLC (Merck, Germany), standar α-tokoferol (Sigma, Japan) dan oryzanol campuran (Wako Chemical Industries Co. Ltd, Japan), asam askorbat (JT. Baker, USA), serta bahan-bahan untuk analisis kimia lainnya.
2.2.3 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah mesin giling padi (Satake, Japan),mesin sosoh beras (Satake, Japan),penyaring 100 mesh, dan single screw conveyor (F-Technopark, IPB). Peralatan analisis meliputi penangas air, oven, neraca analitik, hot plate, vorteks, spektrometer UV-Vis (Shimadzu, Japan), HPLC (Agilent, USA), inkubator, dan kromameter (Minolta, USA)
2.2.4 Penentuan Kondisi Terbaik Stabilisasi Bekatul
Penelitian dilakukan dengan beberapa tahapan. Tahapan-tahapan itu berupa: (1) tahap pembuatan bekatul, (2) tahap penentuan kondisi terbaik stabilisasi bekatul dengan alat stabilisasi, dan (3) karakterisasi komponen tokoferol dan oryzanol dari bekatul terstabilisasi.
Pembuatan bekatul diawali dengan penggilingan gabah terlebih dahulu yang akan menghasilkan beras giling dan sekam. Beras giling kemudian disosoh untuk mendapatkan bekatul dan beras sosoh yang telah berwarna putih.
Bekatul yang didapatkan dari pengolahan gabah kemudian segera distabilisasi dengan single screw conveyor.Perlakuan stabilisasi yang digunakan adalah A100 (15Hz, 100°C), A120 (15Hz, 120°C), A140 (15Hz, 140°C), B100 (25Hz, 100°C), B120 (15Hz, 120°C) dan B140 (25Hz, 140°C).Hasil stabilisasi diayak dengan ukuran 100 mesh.
Bekatul yang telah terstabilisasi dan bekatul segar kemudian dianalisis kandungan ϒ-oryzanol dan tokoferolnya dengan metode HPLC untuk mengetahui tingkat pengaruh proses stabilisasi terhadap kandungan dua komponen tersebut. Bekatul dikemas dengan plastik dan disimpan dalam dalam inkubator 37o C selama 2 minggu.
Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap. Data akan diolah dengan menggunakan progam SPSS versi 20 dengan analisis sidik ragam dan uji Duncan untuk uji lanjutnya. Perlakuan stabilisasi terbaik dipilih berdasarkan kandungan ALB<10% dengan perubahan kandungan tokoferol dan ϒ-oryzanol yang minimum.Alur proses stabilisasi bekatul dapat dilihat pada Gambar 2.1.
(21)
.
Gambar 2.1 Diagram penelitian stabilisasi bekatul
2.2.5 Analisis Laboratorium Ekstraksi Minyak Bekatul
Bekatul diekstrak menggunakan heksana untuk mendapatkan minyak bekatul yang akan digunakan dalam analisis selanjutnya. Bekatul direndam dalam pelarut heksana dengan perbandingan bekatul:heksana sebesar 1:3 selama 24 jam sambil digoyang kemudian dilanjutkan dengan penyaringan. Minyak bekatul yang masih bercampur heksana selanjutnya diuapkan menggunakan rotavapor vakum
Gabah
Analisis oryzanol dan tokoferol
Bekatul terstabilisasi
Sekam
Analisis oryzanol dan tokoferol
Penyimpanan selama 2 minggu pada suhu 37°C
Beras sosoh Penggilingan
Beras pecah
Bekatul
Penstabilisasian (suhu dan kecepatan ulir) suhu 100, 120, dan 140°C kecepatan ulir 15 dan 25 Hz
Penyosohan selama 2 menit
Analisis bilangan asam pada minggu ke-0, 1, dan 2
Bekatul terstabilisasi terpilih 3x
(22)
dengan suhu penguapan berkisar antara 54-60°C (Damayanthiet al. 2010). Minyak ini akan dianalisis kandungan ALB dan α-tokoferol
Penentuan Jumlah Asam Lemak Bebas (AOAC 940.28)
Minyak bekatul sebanyak1 g ditimbang dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml, lalu ditambahkan 50 ml etanol 95% netral, dipanaskan hingga mendidih (± 10 menit) dalam penangas air sambil diaduk. Larutan ini kemudian dititrasi dengan NaOH 0.1 N, menggunakan indikator fenolftalein sampai terbentuk warna merah muda yang persisten selama 30 detik.Analisis dilakukan dua ulangan.
ALB ሺ ሻ NaOH x N NaOH x 2 210x contoh (mg x 100
Keterangan :
V NaOH : volume titran (ml) NNaOH : normalitas NaOH
M : berat molekul oleat (sesuai jenis lemak dominan sampel)
W : berat contoh minyak (g)
Analisis α-Tokoferol (AOAC 971.30) Persiapan sampel
Sebanyak 1 g minyak bekatul ditimbang ke dalam tabung reaksi 50 ml kemudian ditambah 0.3 g asam askorbat dan 4 ml etanol. Selanjutnya ditambahkan 1 ml KOH 70%.Gas N2 dihembuskan untuk menghindari oksidasi
udara. Larutan dipanaskan dalam waterbath pada suhu 80°C selama 15 menit dan didinginkan cepat dengan air mengalir. Larutan diletakkan dalam labu pemisah dan ditambahkan air 20 ml. Larutan diekstrak dengan penambahan heksana a 25 ml sebanyak 3 kali.Penambahan NaCl jenuh dilakukan jika terbentuk emulsi.Ekstrak heksana disatukan dan dicuci dengan akuadem hingga netral (gunakan indikator PP).Ekstrak dilewatkan dalam natrium sulfat anhidrous untuk mengikat air yang tersisa. Ekstrak heksana kemudian diuapkan dengan gas N2. Sampel dilarutkan kembali dengan fase gerak dalam labu takar 5 ml dan
ditepatkan volumenya hingga tera. Sampel disaring dengan kertas Whatman 0.45µm dan dihilangkan gelembung udaranya.Injeksi sebanyak 20µ dilakukan untuk pengujian dengan HPLC. Analit akan terukur pada panjang gelombang 280 nm. Analisis dilakukan dua ulangan.
Kolom : RP-HPLC dengan kolom C-18 (25 cm × 4.6 mm)
Detektor : UV Vis
Fase Gerak : Metanol : Isopropanol (98 : 2) Laju Alir : 1.0 ml/menit
Persiapan baku
Larutan baku standar dibuat dengan menimbang 25 mg standar D-α tokoferol yang selalu dibuat segar. Standar baku di tempatkan pada labu takar 50 ml dan ditambahkan fase gerak hingga tera. Setelah itu dibuat deret standar baku hingga 50 ppm. Sebanyak 20µl larutan standar baku disuntikkan dalam kolom HPLC. Konsentrasi tokoferol didapatkan dengan perhitungan sebagai berikut :
(23)
Konsentrasi ሺppmሻ Asp x Cst x sp sp
Keterangan :
Asp : Area contoh Cst : konsentrasi standar
Vsp : Volume pelarutan sampel (ml) Wsp : bobot contoh (g)
Analisisϒ-oryzanol (Xu dan Godber 2000) Persiapan sampel
Bekatul sebanyak 1 gram dilarutkan dengan 5 ml akuades di dalam tabung reaksi 25 ml.Asam askorbat sebanyak 0.2 g kemudian ditambahkan dalam tabung.Larutan tersebut divorteks dan diinkubasi di penangas pada suhu 60°C selama 30 menit. Sebanyak 5 ml pelarut isopropanol:heksana (50:50) ditambahkan dalam tabung dan divorteks selama 30 detik. Setelah homogen, larutan disentrifugasi 3000 rpm pada suhu ruang selama 15 menit.Lapisan organik dikumpulkan dalam tabung reaksi. Residu yang tersisa dicampurkan dengan 5 ml pelarut isopropanol:heksana dan disentifugasi lagi. Lapisan organik yang didapat dikumpulkan bersama dengan lapisan organik yang didapat sebelumnya.
Air akuades 5 ml ditambahkan dalam tabung reaksi untuk mencuci lapisan organik.Tabung reaksi didiamkan selama 10 menit lalu diambil larutan organiknya. Proses pencucian diulangi hingga dua kali. Setelah itu, lapisan organik dihembuskan gas N2 untuk menguapkan pelarut organik.
Minyak bekatul hasil ekstraksi dilarutkan dengan fase gerak.Setelah itu larutan sampel disaring dengan menggunakan membran PTFE 0.45 µm dan dihilangkan gelembung udaranya terlebih dahulu sebelum diinjeksikan ke dalam kolom HPLC.Sebanyak 20µl larutan sampel disuntikkan dalam kolom HPLC. Analit akan terbaca pada panjang gelombang 330 nm. Analisis dilakukan dua kali ulangan.
Persiapan Baku
Kuantifikasi dilakukan dengan menggunakan larutan baku standar γ-oryzanol. Larutan baku standar γ-oryzanol dibuat dengan menimbang 25.0 mg baku γ -oryzanol dalam labu 50.0 ml. Deret standar dibuat 5 seri yaitu 0 ppm-250 ppm yang dilarutkan dengan fase gerak. Setelah itu larutan standar baku disaring dengan menggunakan membran PTFE 0.45 mm dan dihilangkan gelembung udaranya terlebih dahulu. Sebanyak 20µl larutan standar baku disuntikkan dalam kolom HPLC. Kondisi HPLC yang digunakan adalah:
Kolom : RP-HPLC dengan kolom C-18 (25 cm × 4.6 mm)
Detektor : UV Vis
Fase Gerak : metanol, asetonitril, diklorometan, dan asam asetat (50:44:3:3by vol)
Laju Alir : 1.0 ml/menit
Identifikasi komponen oryzanol dilihat berdasarkan waktu retensi (RT) yang dibandingkan dengan standar.
(24)
2.3.1 Stabilisasi Bekatul
Bekatul setelah disosoh akanmudah mengalami kerusakan hidrolisis. Kerusakan hidrolisis terjadi karena adanya kontak antara enzim lipase dan minyak bekatul.Laju hidrolisis enzim lipase dipengaruhi oleh konsentrasienzim, suhu reaksi, kadar air, konsentrasi substrat dan pH. (Lakkakula et al. 2004).
Menurut Randall et al. (1985), kemungkinan besar enzim lipase terdapat pada testa dan lapisan selubung biji sedangkan lemaknya tersimpan pada selaput aleuron dan lembaga. Enzim lipase aktivitasnya akan meningkat apabila terjadi perusakan pada lapisan biji dan aleuron saat proses penyosohan. Lipase mampu menghidrolisis lemak menjadi asam lemak bebas (ALB) dan gliserol.Selanjutnya asam-asam lemak dioksidasi oleh enzim lipoksigenase menjadi bentuk-bentuk peroksida, keton, dan aldehid (Tao et al. 1993).Aktivasi enzim lipase dapat menyebabkan kerusakan pada bekatul karena terjadi kenaikan ALB (Lakkakula et al. 2004). Oleh sebab itu diperlukan proses stabilisasi bekatul untuk mecegah reaksi hidrolisis terus berlanjut.
Stabilisasi pada penelitian kali ini menggunakan alat stabilisasi berupa single screw conveyor buatan F-Technopark, IPB (Gambar 2.2).Alat ini memiliki prinsip kerja seperti single screw extruder. Bekatul akan dimasukkan lewat hopper lalu bekatul akan dilewatkan dalam ulir yang dilengkapi pemanas di selongsong ulirnya. Ulir akan mendorong bekatul dengan kecepatan tertentu sehingga bekatul dapat dipanaskan secara merata.
Gambar 2.2 Alat single screw conveyor untuk stabilisasi bekatul
Bekatul diperoleh dari padi Ciherang.Padi Ciherang dipilih karena berdasarkan penelitian Budijantoet al. (2010) bekatul padi ini setelah terstabilisasi dengan twin screw extruder memiliki umur simpan lebih lama dibanding jenis
(25)
padi Pandan Wangi dan IR-64.Gabah digiling terlebih dahulu sehingga diperoleh beras pecah kulit.Beras pecah kulit disosoh selama 2 menit dan didapatkan bekatul.Bekatul diayak (ukuran 100 mesh) agar ukurannya lebih seragam.
Perlakuan yang diterapkan dalam proses stabilisasi ini adalah perlakuan suhu dan kecepatan ulir. Suhu yang digunakan adalah suhu 100, 120, dan 140°C dan kecepatan ulir 15 Hz dan 25 Hz. Menurut Tao et al. (1993) suhu dibawah 100°C kurang untuk menginaktivasi lipase dan suhu diatas 140°C dapat menyebabkan terjadinya case hardening dan warna coklat tua pada bagian permukaan bekatul. Kecepatan ulir minimal yang dipilih adalah 15 Hz yang merupakan batas minimal kecepatan ulir dari daya kerja alat.
Kombinasi perlakuan yang didapatkan yaitu : (1) suhu 100°C dan kecepatan ulir 15 Hz (A100), (2) suhu 120°C dan kecepatan ulir 15 Hz (A120), (3) suhu 140°C dan kecepatan ulir 15 Hz (A140), (4) suhu 100°C dan kecepatan ulir 25 Hz (B100), (5) suhu 120°C dan kecepatan ulir 25 Hz (B120), (6) suhu 140°C dan kecepatan ulir 25 Hz, dan terakhir kontrol (bekatul segar). Parameter yang digunakan adalah ALB sebagai indikator kestabilan bekatul dan analisis ϒ -oryzanol dan tokoferol sebagai indikasi perubahan komponen bioaktif akibat proses stabilisasi.
2.3.2Pengaruh Stabilitas Bekatul terhadap Kandungan Asam Lemak Bebas
Analisis ALB telah banyak dilakukan sebagai indikator kestabilan bekatul (Randall et al.1985; Tao et al. 1993; Lakkakula et al. 2004; Budijanto et al.
2010). Asam lemak bebas merupakan hasil reaksi hidrolisis trigliserida yang dikatalis oleh enzim lipase.Reksi hidrolisis trigliserida dapat dilihat pada Gambar 2.3.
H2C-COO-R H2C-OH
HC-COO-R + 3H2O HC-OH + 3RCOOH
lipase
H2C-COO-R H2C-OH
(Trigliserida) (Gliserol) (ALB)
Gambar 2.3 Reaksi hidrolisis trigliserida oleh lipase (Fennema 1995)
Analisis ALB pada bekatul segar dan terstabilisasi dilakukan pada hari ke-0 dan setelah penyimpanan selama 2 minggu dalam inkubator 37°C. Suhu tersebut dipilih karena merupakan suhu optimum dari lipase bekatul (Kao dan Luh 1991).Hasil kenaikan ALB pada bekatul selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 2.4.
Berdasarkan analisis statistik didapatkan perbedaan signifikan pada nilai peningkatan ALB bekatul terstabilisasi bila dibandingkan bekatul segar. Bekatul segar mengalami kenaikan ALB hingga 39.91% pada minggu kedua
(26)
penyimpanan. Namun bekatul yang terstabilisasi hanya mengalami peningkatan ALB antara 3.09%-6.75%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa proses pemanasan dengan single screw conveyor dapat memperlambat kerusakan bekatul terstabilisasi secara nyata.
Peningkatan ALB terendah yaitu terjadi pada perlakuan suhu 140°C dan kecepatan ulir 15 Hz (A140).Pada perlakuan tersebut, bekatul mengalami pemanasan lebih tinggi dan lebih lama dibandingkan perlakuan lainnya. Namun berdasarkan uji lanjut Duncan didapatkan bahwa perlakuan stabilisasi pada suhu 120°C dan 140°C tidak berbeda nyata sehingga pada suhu 120°C pun sudah cukup untuk menginaktivasi enzim lipase dan memperlambat kerusakan bekatul.
Hasil pengujian ALB dapat dilihat pada Tabel 2.1. Penyimpanan pada minggu kedua didapatkan bahwa pada bekatul yang diberi perlakuan suhu 120°C dan 140°C (A120, A140, B120, dan B140) memiliki kadar ALB dibawah 10% yaitu berturut-turut 7.87%, 8.30%, 8.58%, dan 7.56%. Namun perlakuan dengan suhu 100°C (A100 dan B100) memiliki kadarALB >10% yaitu 12.11% dan 10.22%
Gambar 2.4 Kenaikan kadarALB pada bekatulyang distabilisasi pada suhu 37 °C selama 2 minggu penyimpanan. A100=kecepatan ulir 15 Hz dan suhu100°C, A120=kecepatan ulir 15 Hz dan suhu120°C, A140=kecepatan ulir 15 Hz dan suhu140°C, B100=kecepatan ulir 25 Hz dan suhu100°C, B120=kecepatan ulir 25 Hz dan suhu 120°C, serta B140= kecepatan ulir 25 Hz dan suhu140°C.
Menurut Tao et al. (1993) kadarALB bekatul lebih dari 10% sudah tidak layak untuk dikonsumsi karena sudah tengik. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemanasan pada suhu 100°C belum mampu untuk mendenaturasi enzim lipase sehingga masih terjadi peningkatan ALB lebih dari 10% setelah 2 minggu penyimpanan. Hasil analisis tersebut sesuai dengan pernyataan Tao et al. (1993) bahwa proses pemanasan pada bekatul di atas suhu 100°C dibutuhkanuntuk mendenaturasi enzim lipase sehingga bekatul menjadi lebih tahan terhadap ketengikan karena reaksi hidrolisis.
2.3.3 Pengaruh Stabilitasi Bekatul terhadap Kandungan α-tokoferol 39.91a
6.75b
3.21d 3.09d 4.53c 3.47d 3.13d 0
5 10 15 20 25 30 35 40 45
segar A100 A120 A140 B100 B120 B140 Kenaikan
ALB (%)
(27)
Analisis kandungan tokoferol dilakukan pada minyak hasil ekstraksi bekatul. Hasil analisis masing-masing perlakuan dan bekatul segar dapat dilihat pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5 Kandungan tokoferol pada bekatul yang distabilisasi pada suhu 37 °C selama 2 minggu penyimpanan. A100=kecepatan ulir 15 Hz dan suhu 100°C, A120=kecepatan ulir 15 Hz dan suhu 120°C, A140=kecepatan ulir 15 Hz dan suhu140°C, B100=kecepatan ulir 25 Hz dan suhu100°C, B120=kecepatan ulir 25 Hz dan suhu 120°C, serta B140= kecepatan ulir 25 Hz dan suhu140°C.
Kandungan tokoferol yang didapatkan yaitu antara 217.92-236.86 µg/g minyak. Kandungan tokoferol tersebut sesuai dengan penelitian Schramm et al.
(2007) pada bekatul varietas Cypress and Cheniere yaitu antara 170.26-218.21 µg/g minyak bekatul serta penelitian Anwar et al. (2005) pada bekatul dari beras Pakistan yaitu antara 175.12-304.2 µg/g.
Nilai tertinggi kandungan tokoferol diperoleh dari perlakuan B100 (kecepatan ulir 25Hz dan suhu 100°C) sebanyak 236.86 ug/g±1.91 sedangkan yang terendah adalah perlakuan B140 (kecepatan ulir 25Hz dan suhu 140°C) yaitu 227.48±19.23 ug/g.Uji ANOVA menunjukkan adanya perbedaan signifikan antar perlakuan.Perbedaan kandungan tokoferol yang signifikan terlihat pada perlakuan B100 (kecepatan ulir 25 Hz dan suhu 100°C). Kandungan tokoferol pada perlakuan A100, A120, A140, B120, dan B140 menunjukkan hasil tidak berbeda nyata. Hasil tersebut menunjukkan bahwa perlakuan B100 merupakan perlakuan yang bisa mempertahankan kestabilan tokoferol lebih tinggi dibanding perlakuan lainnya.
2.3.4 Pengaruh Stabilitas Bekatul terhadap Kandungan γ- Oryzanol
Berdasarkan analisis γ-oryzanol dengan HPLC menggunakan metode Xu dan Godber (2000) pada kromatogram terdapat 4 peak yang terpisahkan pada RT 17-25 menit (Gambar 4). Namun setiap peak tidak dapat teridentifikasi karena
242.14a
227.98b 230.89b
227.79b 236.86ab
227.48b 228.13b
220 225 230 235 240 245
segar A100 A120 A140 B100 B120 B140 Kandungan
α-tokoferol (ug/g)
(28)
standar yang digunakan adalah γ-oryzanol campuran yang tidak spesifik terhadap komponen oryzanol tertentu sehingga untuk mendapatkan total oryzanol dengan cara menjumlahkan area dari 4 peak tertinggi tersebut (Pascual et al. 2011; Chen dan Bergman 2005; Xu dan Godber 2000).Identifikasi tiap-tiap peak telah dilakukan oleh Cho et al. (2012) yang mengidentifikasi γ-oryzanol berupa cycloartenyl ferulat (peak 1), 24-methylenecycloartanyl ferulate (peak 2), campesteryl ferulate (peak 3), dan sitosteryl ferulate (peak 4). Gambar kromatogram bekatul segar dapat dilihat pada Gambar 2.6.
Gambar 2.6 Hasil kromatogram analisis γ-oryzanol pada ekstrak heksana bekatul segar dengan menggunakan kolom RP-18,fase gerak methanol, asetonitril, diklorometan, dan asam asetat (50:44:3:3
by volume), serta laju alir fase gerak 1 ml/menit. Peak1 cycloartenyl ferulat, peak 2 24-methylenecycloartanyl ferulate, peak 3campesteryl ferulate, danpeak 4sitosteryl ferulate.
Hasil analisis γ-oryzanol terhadap perlakuan kombinasi suhu dan kecepatan ulir dapat dilihat pada Gambar 2.7 dan Tabel 2.1. Kandungan γ-oryzanol rata-rata pada bekatul segar yaitu 2408.03±5.01 ug/g. Hal ini sesuai dengan penelitian Qureshi et al. (2002) yang melaporkan kandungan γ-oryzanol pada bekatul sekitar 2200-3000 ug/g. Hasil penelitian juga sejalan dengan penelitian Chen dan Bergman (2005) yang menyatakan bahwa kandungan γ-oryzanol 10-20x lebih banyak dibandingkan total tokoferol pada bekatul.
(29)
Gambar 2.7 Kandunganγ-oryzanol pada bekatul yang distabilisasi pada suhu 37 °C selama 2 minggu penyimpanan. A100=kecepatan ulir 15 Hz dan suhu 100°C, A120=kecepatan ulir 15 Hz dan suhu 120°C, A140=kecepatan ulir 15 Hz dan suhu140°C, B100=kecepatan ulir 25 Hz dan suhu100°C, B120=kecepatan ulir 25 Hz dan suhu 120°C, dan B140= kecepatan ulir 25 Hz dan suhu140°C.
Secara umum kandungan oryzanol akan berkurang selama penyimpanan. Kandungan γ-oryzanol tertinggi pada bekatul segar yaitu 2408.03±5.01 ug/g sedangkan pada bekatul yang telah distabilisasi pada perlakuan kecepatan ulir 15 Hz dan suhu 100°C (A100) yaitu 2025.79±63.53 ug/g. Penurunan kadar ϒ -oryzanol sebanyak 15.87% dari bekatul segar. Kadar ϒ-oryzanol terendah didapatkan dari perlakuan kombinasi kecepatan ulir 15Hz dan suhu 140°C (A140) yaitu 1571.81±22.81 ug/g. Hal tersebut kemungkinan terjadi dengan kecepatan ulir yang 15Hz, bekatul lebih lama terpapar suhu tinggi (suhu 140°C) dibandingkan dengan kecepatan ulir 25 Hz.
Perlakuan panas yang tinggi akan menyebabkan pengurangan kandungan ϒ -oryzanol. Khuwijitjaru et al. (2009) menyatakan bahwa kadarϒ-oryzanol akan menurun apabila dilakukan pemanasan 120-200°C. Penurunan kadarϒ-oryzanol ini disebabkan terjadinya oksidasi pada suhu tinggi. Namun penurunan ϒ-oryzanol yang rendah bila dibandingkan antara bekatul segar dan bekatul yang terstabilisasi karena menurut Qureshi et al. (2000) dan Azrina et al. (2008) terjadi karena komponen larut lemak seperti ϒ-oryzanol dan tokoferol terikat pada jaringan tanaman.
2408.03a 2025.79b
1871.35c 1571.81d
1807.24c 1793.41c 1766.81c
0 500 1000 1500 2000 2500 3000
Kontrol A100 A120 A140 B100 B120 B140 Kandungan
ϒ-oryzanol (ug/g)
(30)
Tabel 2.1 Hasil analisis kadar asam lemak, tokoferol, dan ϒ-oryzanol pada bekatula
Perlakuan
Kadar Asam Lemak Bebas
(%)
Kandungan γ-oryzanol (ug/g)
Kandungan
α-tocoferol (ug/g)
Kontrol 44.53±0.71a 2408.03±56.59a 242.14±4.40a A100 12.11±1.19b 2025.79 ±77.06b 227.99±4.77b A120 7.87±0.31d 1871.35±189.06c 230.66±3.61b A140 8.30±0.59d 1571.81±77.43d 227.80±15.38b B100 10.22±0.24c 1807.24±65.72c 236.86±1.91ab B120 8.58±0.87d 1793.41±104.80c 227.48±2.98b B140 7.60±0.29d 1766.81±45.11c 228.13±41.21b a
Angka-angka dengan huruf yang sama pada satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). A100=kecepatan ulir 15 Hz dan suhu 100 °C, A120=kecepatan ulir 15 Hz dan suhu 120 °C, A140=kecepatan ulir 15 Hz dan suhu 140 °C, B100=kecepatan ulir 25 Hz dan suhu 100 °C, B120=kecepatan ulir 25 Hz dan suhu 120 °C, serta B140= kecepatan ulir 25 Hz dan suhu 140 °C.
2.4 Simpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa stabilisasi dengan single screw conveyor dapat menghambat peningkatan ALB dari bekatul. Perlakuan terbaik adalah perlakuan A120 (kecepatan ulir 15 Hz dan suhu 120°C) karena perlakuan tersebut dapat menghasilkan peningkatan ALB<10% dengan penurunan tokoferol dan oryzanol minimum selama penyimpanan 2 minggu pada suhu 37°C.
3. FORMULASI BERAS ANALOG
3.1 Pendahuluan 3.1.1 Latar Belakang
Beras analog adalah produk olahan yang dibuat dari sebagian atau seluruhnya bahan non-beras yang memiliki bentuk seperti butiran beras padi (Mishra et al. 2012).Keanekaragaman sumber karbohidrat lokal di Indonesia memungkinkan berbagai macam kombinasi tepung yang digunakan untuk menghasilkan beras analog.
Beras analog menggunakan teknologi ekstrusi dalam proses pembuatannya. Teknologi ekstrusi merupakan suatu proses dimana bahan dicampur di bawah pengaruh kondisi operasi pencampuran, pemanasan dengan suhu tinggi(Koide et al. 1999; Kato 2006; Steiger 2011; Budijanto dan Yulianti 2012).Penggunaan ekstruder merupakan teknologi yang memudahkan dalam pembuatan beras
(31)
analog.Kelebihan penggunaan ekstruder dalam pembuatan beras analog adalah waktu pembuatan singkat, produktivitas tinggi, biaya murah (Riaz 2000), kualitas produk pun lebih terjaga karena merupakan proses terkontrol (Hurber 2000), serta pencampuran dengan berbagai macam komposisi dimungkinkan dengan teknologi ini (Budijanto 2011).
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menghasilkan beras analog.Samad (2003) membuat beras analog berbentuk sagu mutiara dari campuran tepung sagu dan tepung ubi kayu.Kelemahannya adalah bentuk beras belum mendekati bentuk beras sebenarnya.Budijanto dan Yulianti (2012) mengembangkan beras analog berbahan dasar tepung jagung, sorgum, dan sagu dengan menggunakan bahan pengikat GMS 2%.
Pada penelitian ini, tepung jagung, sagu, tepung kedelai, dan bekatul digunakan sebagai bahan penyusunnya.Penggunaan tepung jagung dan sagu karena bahan pangan tersebut telah cukup familiar dalam masyarakat Indonesia sebagai bahan pangan pokok sehingga diharapkan beras analog dapat dengan mudah diterima dalam masyarakat.Kelebihan tepung jagung sebagai bahan pangan adalah kandungan serat pangannya lebih tinggi dibandingkan dengan terigu.Tepung jagung mengandung serat pangan, unsur Fe, dan beta-karoten (pro vitamin A) (Suarni dan Firmansyah 2005).
Bahan penyusun beras analog lainnya adalah tepung kedelai.Koide et al. (1999) membuat fabricated rice dari tepung gandum, tepung beras, pati jagung, tepung kedelai, isolat protein kedelai, dan protein whey. Konsentrat protein whey dan isolate protein whey yang ditambahkan sebanyak 0.5-7%. Menurut Koide et al. (1999), beras analog yang dihasilkan mengandung protein sebesar 3.5% sedangkan pada beras aslinya mengandung 7% protein sehingga diperlukan penambahan protein untuk menghasilkan nilai protein sama atau lebih tinggi dari beras aslinya. Kelebihan tepung kedelai mengandung protein cukup tinggi (lebih dari 35%).Selain itu tepung kedelai mengandung antioksidan yang bermanfaat bagi kesehatan.Penambahan tepung kedelai selain menambahkan protein sebagai nutrisi juga dapat memperbaiki tekstur produk.Protein dapat membentuk matriks dengan karbohidrat sehingga dapat menurunkan daya cerna karbohidrat (Alsaffar 2011).Penurunan daya cerna karbohidrat dapat berpotensi menjadi bahan pangan dengan nilai IG yang rendah.
Bahan penyusun beras analog yang lain adalah bekatul. Bekatul memiliki potensi besar sebagai bahan pangan fungsional tetapihinggasaatini pemanfaatannya untukmanusia masih terbatas. Sebagian besar bekatul masih dimanfaatkan untuk makanan ternak padahal bekatul berpotensi sebagai ingridien fungsional pada bahan pangan.Bekatul merupakansumberserat,mengandung vitamin B dari golongan tiamin, riboflavin, niasin (asam nikotinat) dan piridoxin serta dalam bekatul juga ditemukan komponen bioaktif (Qureshi et al.
2002).Komponen bioaktif tersebut diantaranya tokoferol (vitamin E), tokotrienol, dan oryzanol (Chen dan Bergman 2005).Keberadaan serat pada beras analog dapat membentuk matriks di sekeliling granula pati serta mengikat air dalam produk sehingga daya cerna pati berkurang pula (Fennema, 1995). Berdasarkan sifat fungsional dari bahan baku yang ditambahkan maka dilakukan analisis IG dan aktivitas antioksidan pada produk beras analog untuk mengetahui potensinya sebagai produk pangan fungsional.
(32)
3.1.2 Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Mendapatkan formulasi optimum menggunakan progam Mixture Design
DX7dari beras analog berbahan jagung, sagu, tepung kedelai dan bekatul. 2. Mengkarakterisasi beras analog yang dihasilkan meliputi sifat fisik
(kecerahan dan derajat gelatinisasi), komposisi kimiawi (proksimat, serat pangan, amilosa, oryzanol, dan tokoferol), sifat fungsional (aktivitas antioksidan dan indeks glikemik), dan penerimaan sensori (kecerahan, rasa, aroma, dan tekstur).
3.2 Bahan dan Metode
3.2.1 Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di laboratorium Biokimia dan Kimia Ilmu dan Teknologi Pangan dan Gedung F-Technopark di Institut Pertanian Bogor.Waktu pelaksanaan penelitian direncanakan dari bulan Desember 2012 sampai dengan Juni 2013.
3.2.2 Bahan
Bahan untuk pembuatan beras analog adalah jagung, sagu Riau, bekatul padi Ciherang, kedelai Cianjur, dan Gliseril Monostearat (GMS). Bahan yang digunakan untuk analisis antara lain heksana, isopropanol PA (Merck, Germany), metanol, asetonitril, dan diklorometan HPLC grade (Merck, Germany), standar tokoferol (Sigma, Japan) dan oryzanol (Wako Chemical Industries Co. Ltd, Japan), asam askorbat (JT. Baker, USA), dan bahan untuk analisis kimia lainnya.
3.2.3 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah twin screw extruder, disc mill, mixer, tray oven, dansaringan 100 mesh Peralatan analisis meliputi penangas air, oven, neraca analitik, hot plate, vorteks, spektrometer UV-Vis (Shimadzu, Japan), HPLC (Agilent, USA), inkubator, dan kromameter (Minolta, USA).
3.2.4 Pembuatan Bahan Baku
Tepung kedelai dibuat mengikuti metode Widaningrum et al. (2005) yang dimodifikasi (Gambar 3.1). Biji kedelai dipilih yang utuh dan tidak cacat atau sedikit warna hitamnya kemudian dicuci bersih, disteam selama 1 menit pada suhu 150°C dengan menggunakan continued steam dan selanjutnya digiling dengan menggunakan disc mill. Tepung yang diperoleh diayak dengan ayakan 60 mesh lalu dikeringkan dengan tray oven suhu 70°C selama 6 jam.
(33)
.
Gambar 3.1 Proses pembuatan tepung kedelai
3.2.5 Formulasi Beras Analog
Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan formula standar yang akan digunakan pada penelitian utama nanti. Bahan-bahan kering ditimbang sesuai dengan formula (tepung dan GMS) dan dicampur hingga homogen dengan
mixer selama 10 menit. Setelah itu dilakukan penambahan air sebanyak 50% dari total adonan (Budijantodan Yulianti 2012).Air ditambahkan sedikit demi sedikit hingga adonan tercampur rata. Adonan kemudian diekstrusi dengan menggunakantwin screw extruder. Hasil produk ekstrusi dikeringkan dalam oven pada suhu 60°C selama 4 jam untuk mencapai kadar air 4-15 % (Budijanto dan Yulianti 2012). Diagram pembuatan beras analog dapat dilihat pada Gambar 3.2.
Formulasi optimum didapatkan dengan menggunakan progam Mixture Design
(DX7).Faktor yang dipakai sebagai variabel adalah tepung jagung, tepung kedelai, dan bekatul.Respon yang dipakai adalah aktivitas antioksidan dan tingkat kecerahan.Hasil analisis respon dengan menggunakan progam Mixture Design
DX7dengan tiga variabel akan menghasilkan 16 formula beras analog.
Kedelai
Steaming150°C, 1 menit
Pengeringan suhu 70°C, 6 jam
Penggilingan
Pengayakan 60 mesh
Analisis proksimat Tepung
(34)
Gambar 3.2 Proses pembuatan beras analog
Formula optimum yang telah didapatkan akan divalidasi sebanyak 5 kali ulangan berdasarkan rekomendasi progam Mixture DesignDX7 tersebut. Validasi dilakukan terhadap respon aktivitas antioksidan dan tingkat kecerahan.Analisis terhadap formula beras analog optimum dilakukan setelah diketahui hasil validasi memenuhi model dari progam. Analisis yang dilakukan antara lain uji proksimat (kadar air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat), derajat gelatinisasi, amilosa, uji serat pangan, analisis tokoferol, analisis ϒ-oryzanol, total fenol, aktivitas antioksidan, indeks glikemik, sertaanalisissensori t-test terhadap beras analog dan
GMS Tepung jagung, tepung
kedelai, dan bekatul
Pencampuran 10 menit
Suhu
Feed (T1) : 95oC Compressing (T2) : 95oC Metering (T3) : 95oC Kecepatan Auger : 18 Hz Screw : 15Hz
Cutter : 50Hz Penimbangan sesuai
formulasi
Air Pencampuran bahan
kering 10 menit
Ekstrusi
Pengeringan dengan oven 60oC , 4 jam
Beras analog hasil formulasi Mixture Design
DX7
Analisis tingkat kecerahan dan aktivitas antioksidan
Analisis proksimat, amilosa, derajat gelatinisasi, serat pangan,
tokoferol, oryzanol, total fenol aktivitas antioksidan, indeks glikemik, dan analisis sensori Beras analog
(35)
nasi dari beras analog (kecerahan, tekstur, rasa, aroma, dan penampakan keseluruhan).
3. 2.6 Metode analisis
Analisis α-Tokoferol (AOAC 971.30) Persiapan sampel
Beras analogbubukdiekstrak menggunakan heksanauntuk mendapatkan minyak beras analog yang akan digunakan dalam analisis selanjutnya. Beras analog direndam dalam pelarut heksana dengan perbandingan beras:heksana sebesar 1:3 selama 24 jam sambil digoyang kemudian dilanjutkan dengan penyaringan. Minyak yang masih bercampur heksana selanjutnya diuapkan menggunakan rotavapor vakum dengan suhu penguapan berkisar antara 54-60°C (Damayanthiet al. 2010).
Sebanyak 1 g minyak beras analog ditimbang ke dalam tabung reaksi 50 ml kemudian ditambah 0.3 g asam askorbat dan 4 ml etanol. Selanjutnya ditambahkan 1 ml KOH 70%.Gas N2 dihembuskan untuk menghindari oksidasi
udara. Larutan dipanaskan dalam waterbath pada suhu 80°C selama 15 menit dan didinginkan cepat dengan air mengalir. Larutan diletakkan dalam labu pemisah dan ditambahkan air 20 ml. Larutan diekstrak dengan penambahan heksana 25 ml sebanyak tiga kali.Penambahan NaCl jenuh dilakukan jika terbentuk emulsi.Ekstrak heksana disatukan dan dicuci dengan akuades hingga netral (gunakan indikator PP).Ekstrak dilewatkan dalam natrium sulfat anhidrous untuk mengikat air yang tersisa. Ekstrak heksana kemudian diuapkan dengan gas N2. Sampel dilarutkan kembali dengan fase gerak dalam labu takar 5 ml dan
ditepatkan volumenya hingga tera. Sampel disaring dengan kertas Whatman 0.45µm dan dihilangkan gelembung udaranya.Injeksi sebanyak 20µ dilakukan untuk pengujian dengan HPLC.Analisis dilakukan dua kali ulangan. Analit akan terukur pada panjang gelombang 280 nm.
Kolom : RP-HPLC dengan kolom C-18 (25 cm × 4.6 mm)
Detektor : UV Vis
Fase Gerak : Metanol : Isopropanol (98 2) Laju Alir : 1.0 ml/menit
Persiapan baku
Larutan baku standar dibuat dengan menimbang 25 mg standar D-αtokoferol yang selalu dibuat segar. Standar baku di tempatkan pada labu takar 50 ml dan ditambahkan fase gerak hingga tera. Setelah itu dibuat deret standar baku hingga 50 ppm. Sebanyak 20µl larutan standar baku disuntikkan dalam kolom HPLC. Konsentrasi tokoferol didapatkan dengan perhitungan sebagai berikut :
Konsentrasi ሺppmሻ Asp x Cst x sp sp
Keterangan :
Asp : area contoh
Cst : konsentrasi standar (µg/ml) Vsp : volume pelarutan sampel (ml) Wsp : bobot contoh (g)
(36)
Analisis ϒ-oryzanol (Xu dan Godber 2000) Persiapan sampel
Sebanyak 1 gram beras analog bubukdilarutkan dengan 5 ml akuades di dalam tabung reaksi 25 ml.Asam askorbat sebanyak 0.2 g kemudian ditambahkan dalam tabung.Larutan tersebut divorteks dan diinkubasi di penangas pada suhu 60°C selama 30 menit. Sebanyak 5 ml pelarut isopropanol:heksana (50:50) ditambahkan dalam tabung dan divorteks selama 30 detik. Setelah homogen, larutan disentrifugasi 3000 rpm pada suhu ruang selama 15 menit.Lapisan organik dikumpulkan dalam tabung reaksi. Residu yang tersisa dicampurkan dengan 5 ml pelarut isopropanol:heksana dan disentifugasi lagi. Lapisan organik yang didapat dikumpulkan bersama dengan lapisan organik yang didapat sebelumnya.
Air akuades 5 ml ditambahkan dalam tabung reaksi untuk mencuci lapisan organik.Tabung reaksi didiamkan selama 10 menit lalu diambil larutan organiknya. Proses pencucian diulangi hingga dua kali. Setelah itu, lapisan organik dihembuskan gas N2 untuk menguapkan pelarut organik.
Minyak beras analog hasil ekstraksi dilarutkan dengan fase gerak.Setelah itu larutan sampel disaring dengan menggunakan membran PTFE 0.45 µ m dan dihilangkan gelembung udaranya terlebih dahulu sebelum diinjeksikan ke dalam kolom HPLC.Sebanyak 20µl larutan sampel disuntikkan dalam kolom HPLC. Analit akan terbaca pada panjang gelombang 330 nm.
Persiapan Baku
Kuantifikasi dilakukan dengan menggunakan larutan baku standar γ-oryzanol. Larutan baku standar γ-oryzanol dibuat dengan menimbang 25.0 mg baku γ -oryzanol dalam labu 50.0 ml. Deret standar dibuat 5 seri yaitu 0 ppm-250 ppm yang dilarutkan dengan fase gerak. Setelah itu larutan standar baku disaring dengan menggunakan membran PTFE 0.45 mm dan dihilangkan gelembung udaranya terlebih dahulu. Sebanyak 20µl larutan standar baku disuntikkan dalam kolom HPLC. Kondisi HPLC yang digunakan adalah:
Kolom : RP-HPLC dengan kolom C-18 (25 cm × 4.6 mm)
Detektor : UV Vis
Fase Gerak : metanol, asetonitril, diklorometan, dan asam asetat (50:44:3:3by vol)
Laju Alir : 1.0 ml/menit
Kadar Amilosa (IRRI 1978) Pembuatan Larutan
Larutan NaOH 1 N dibuat dengan melarutkan 40 g NaOH kristal dengan gelas piala 500 ml. Larutan tersebut dituang ke dalam labu takar 1000 ml dan di tepatkan dengan akuades hingga tanda tera. Larutan asam asetat 1 N dibuat dengan melarutkan sebanyak 5ml asam asetat glasial dengan air akuades 80 ml dan diaduk hingga homogen.
Larutan iod dibuat dengan melarutkan 20 g kalium iodida ke dalam 500 ml akuades dan ditambahkan 2 g iod. Larutan dipindahkan ke dalam labu takar 1000
(37)
ml dan ditambahkan akuades hingga tanda tera serta dikocok hingga tercampur rata.
Pembuatan Kurva Standar
Amilosa murni ditimbang sebanyak 40 mg kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml.Amilosa kemudian ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N.Larutan standar dipanaskan di atas waterbath suhu 95°C selama 10 menit dan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades. Selanjutnya larutan tersebut dipipet masing-masing sebanyak 1, 2, 3, 4, dan 5 ml dalam labu takar 100 ml. Ke dalam masing-masing labu takar tersebut ditambahkan asam asetat 1 N sebanyak masing-masing 0,2; 0,4; 0,6; 0,8; dan 1 ml. Larutan iod ditambahkan sebanyak 2 ml. Setelah itu, larutan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades dan dikocok. Larutan didiamkan selama 20 menit kemudian diukur intensitas warna yang terbentuk.Pengukuran dilakukan dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm.
Penetapan Sampel
Sejumlah 100 mg sampel tanpa lemak dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Sampel ditambahkan 1 ml etanol serta 9 ml NaOH 1 N. Setelah itu, larutan sampel dipanaskan di atas waterbath suhu 95°C selama 10 menit dan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades. Larutan kemudian dipipet sebanyak 5 ml, dan dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Sebanyak 1 ml asetat 1 N dan 2 ml larutan iod ditambahkan.Larutan selanjutnya ditambah akuades sampai tanda tera, dikocok, dan didiamkan selama 20 menit. Intensitas warna yang terbentuk diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm.Kadar amilosa dihitung dengan rumus:
Kadar Amilosa ( ASx P
Keterangan:
A : absorbansi sampel pada panjang gelombang 625 nm S : slope kemiringan pada kurva standar
FP : faktor pengenceran W : berat sampel (g)
Derajat Gelatinisasi (Wooton et al. 1971)
Sebanyak 1 gram sampel halus 60 mesh dilarutkan dalam 100 ml air selama 1 menit dengan waring blender.Larutan disentrifuse pada suhu ruang selama 15 menit dengan kecepatan 3500 rpm. Supernatan diambil 0.5 ml secara duplo dan ditambahkan 0.5 ml HCl 0.5 M.Larutan ditambahkan akuades hingga volume menjadi 10 ml.Pada salah satu tabung duplo ditambahkan 0.1 ml larutan iodium. Larutan lain disiapkan dengan cara melarutkan 1 gram sampel dengan 95 ml air dan ditambahkan 5 ml NaOH 10 M. Larutan dikocok selama 5 menit kemudian disentrifus selama 15 menit pada suhu ruang dengan kecepatan 3500 rpm. Supernatan diambil 0.5 ml secara duplo kemudian ditambah 0.5 ml HCl 0.5 M. Larutan ditambahkan akuades hingga volume menjadi 10 ml.Pada salah satu tabung duplo ditambahkan 0.1 ml larutan iodium.Larutan diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 600 nm.
(38)
Pengamatan dilakukan dengan urutan sebagai berikut: (1) larutan yang ditambahkan HCl digunakan sebagai standar (blanko) pati tergelatinisasi; (2) larutan bahan yang ditambahkan HCl dan larutan iodium digunakan sebagai larutan pati tergelatinisasi; (3) larutan bahan yang ditambah NaOH dan HCl sebagai larutan standar (blanko) total pati; (4) larutan bahan yang ditambah NaOH, HCl, dan larutan iodium sebagai larutan total pati. Derajat gelatinisasi dihitung dengan rumus :
Derajat gelatinisasiሺ ሻ nilai absorbansi pati tergelatinisasinilai absorbansi total pati x 100 Uji Total Serat Pangan Metode Enzimatis (AOAC 985.29) Persiapan sampel
Sampel kering digiling hingga berukuran 40-50 mesh. Sampel yang mengandung lemak lebih dari 10% harus dihilangkan lemaknya dengan cara dicampurkan dalam 25 ml petroleum eter/g sampel selama satu jam sebanyak tiga kali ulangan, selanjutnya diblender kering. Sampel kemudian dikeringkan selama 12 jam dengan oven biasa pada suhu 105 oC hingga kadar airsampel kurang dari 5%. Kehilangan bobot akibat penghilangan air dan/atau lemak dicatat dan dibuat faktor koreksi yang tepat untuk menghitung % TDF. Prosedur analisis dilakukan terhadap blanko untuk melihat kandungan endapan non serat yang berasal dari reagen atau enzim yang terdapat dalam residu dan dapat terhitung sebagai serat pangan.
Sampel kering ditimbang sebanyak 1 g dalam gelas piala 400 ml.Perbedaan bobot antar sampel diusahakan tidak lebih dari 20 mg.Sebanyak 50 ml buffer fosfat pH 6.0 ditambahkan hingga pH 6.0 ± 0.2.Sebanyak 0.1 ml larutan termamyl
ditambahkan. Gelas piala ditutup menggunakan kertas aluminiumdan diletakkan dalam air mendidih selama 15 menit. Larutan sampel digoyangkan secara perlahan tiap 5 menit.Waktu pemanasan dapat ditambahkan jika jumlah sampel yang ditempatkan di dalam waterbath belum mencapai suhu internal antara 95-100oC.Termometer digunakan untuk memastikan tercapainya suhu 95-100oC selama 15 menit.Prosedur ini dapat dilakukan selama 30 menit.Selanjutnya larutan tersebut didinginkan pada suhu ruang. Nilai pH ditepatkan hingga 7.5 ± 0.2 dengan penambahan 10 ml NaOH 0.275 N.
Sebanyak 5 mg protease dimasukkan ke dalam sampel dengan cara dilengketkan pada ujung spatula. Protease dapat pula digunakan dalam bentuk larutan (50 mg dalam 1 ml buffer fosfat) yang dipipet sebanyak 0.1 ml dan dimasukkan ke dalam sampel sesaat sebelum digunakan. Setelah itu sampel ditutup kembali dengan kertas alufo dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu 60oC dengan agitasi kontinyu.Sampel didinginkan dan ditambahkan 10 ml HCl 0.325 M. Nilai pH diukur hingga berkisar antara 4.0-4.6.
Enzim amiloglukosidase ditambahkan ke dalam sampel dan ditutup kembali dengan kertas alufo. Selanjutnya diinkubasi selama 30 menit pada suhu 60oC dengan agitasi kontinyu.Sampel yang telah diinkubasi ditambahkan 280 ml etanol 95% yang sebelumnya telah dipanaskan hingga suhunya 60oC (volume diukur setelah pemanasan).Sampel dibiarkan pada suhu kamar selama 60 menit agar
(39)
terbentuk endapan.Secara kuantitatif endapan disaring melalui
crucible.Sebelumnya, crucible yang mengandung celite ditimbang.
Residu dari hasil penyaringan dicuci dengan 3 x 20 ml etil alkohol 78%, 2 x 10 ml etil alkohol 95%, dan 2 x 10 ml aseton secara berturut-turut. Filtrasi dapat dibantu dengan pengadukan menggunakan spatula.Waktu yang dibutuhkan untuk pencucian dan penyaringan bervariasi antara 0.1 sampai 6 jam, rata-rata waktu yang dibutuhkan ialah 0.5 jam per sampel. Lamanya waktu filtrasi dapat dikurangi dengan penghisapan vakum secara hati-hati setiap lima menit selama filtrasi.
Crucible yang mengandung residu dikeringkan selama satu malam di dalam oven pada suhu 105oC dan didinginkan dalam desikator baru kemudian ditimbang. Bobot residu didapatkan dari hasil pengurangan bobot crucible dan celite.
Analisis residu dari satu sampel ulangan digunakan untuk analisis protein menggunakan metode Kjeldahl, faktor konversi yang digunakan ialah N x 6.25. Sampel ulangan lainnya diabukan selama 5 jam pada suhu 525oC. Cawan dan abu kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang untuk mendapatkan bobot abu.
Penentuan blanko (B) :
B (mg) = bobot residu – PB – AB
Bobot residu (mg) = rata-rata bobot residu (mg) untuk dua ulangan blanko PB dan AB (mg) = bobot protein dan abu dari kedua ulangan blanko. Perhitungan total serat pangan (TDF):
TDF (%) = [(bobot residu – P – A – B) / bobot sampel] x 100 P dan A (mg) = bobot protein dan abu dari kedua ulangan sampel Bobot sampel (mg)= rata-rata bobot sampel.
Uji Antioksidan metode DPPH (Kubo et al. 2002)
Sampel sejumlah 5 g dilarutkan dalam methanol PA dengan perbandingan 1:4. Campuran diinkubasi selama 2 jam pada suhu 37°C. Selanjutnya campuran disaring dengan bantuan kertas saring untuk mendapatkan larutan sampel.
Sebanyak 2.8 ml metanol PA, 1 ml buffer asetat (pH 5.5), dan 250µl larutan DPPH dimasukkan dalam tabung reaksi dan dikocok kuat (vorteks). Setelah itu, 45µl larutan sampel ditambahkan dalam tabung reaksi dan divorteks. Tabung reaksi diinkubasikan dalam ruang gelap selama 20 menit.Absorbansi larutan diukur pada panjang gelombang 517 nm.Aktivitas antioksidan diperoleh dari hasil pengukuran absorbansi sampel dibandingkan dengan kurva standar kapasitas antioksidan vitamin C (asam askorbat).Satuannya µg vitamin C equivalen/mg sampel (CEQ/mg sampel).
Uji Total Fenol (Slinkard dan Singelton 1977)
Sebanyak 3.9 ml akuades dan 0.5 ml pereaksi Folin-Ciocalteu (FC) (1:10 dalam akuades) ditambahkan ke dalam 0.1mL minyak beras analog. Larutan tersebut didiamkan selama 3 menit kemudian ditambahkan 2ml Na2CO3 20% dan
(40)
dalam ekstrak etanol dinyatakan sebagai miligram ekuivalen asam galat/gram sampel (mg EAG/g sampel).
Uji Tingkat Kecerahan (nilai L)
Pengukuran warna dilakukan dengan Chromameter CR 300 Minolta. Sistem notasi warna yang terdapat dalam chromameter digunakan sebagai cara sistematik dan objektif untuk mendeskripsikan suatu jenis warna. Pengukuran ditampilkan dalam skala L a b. L menunjukkan kecerahan dengan nilai 0 (gelap/hitam), 100 (terang/putih).
Analisis Sensori dengan Uji t-test(Meilgaardet al. 1999)
Analisis sensori merupakan analisis yang menggunakan indera manusia sebagai instrumennya.Analisis sensori yang dilakukan adalah uji t-tes hedonik beras formula optimum dengan beras analog yang telah beredar di pasaran (beras cerdas).Analisis yang dilakukan menyangkut penerimaan terhadap sifat atau kualitas sampel yang diujikan dan melibatkan panelis tidak terlatih sebanyak 72 orang. Panelis diminta mengungkapkan tanggapan pribadinya dengan nilai skala terhadap warna, tekstur, aroma, dan kesukaan secara keseluruhan untuk beras serta rasa, warna, tekstur (kelengketan), aroma dan kesukaan secara keseluruhan untuk sampel nasi dari beras analog. Uji hedonik menggunakan skala angka dari 1-7 (sangat tidak suka sampai sangat suka) dengan desain penyajian sampel menggunakan uji t-test. Data yang diperoleh akan ditabulasi dan dianalisis dengan analisis ragam (ANOVA).
Uji Indeks Glikemik (Miller et al. 1997)
Beras analog sebelumnya dimasak terlebih dahulu dengan perbandingan beras dan air 1:1 selama 8 menit.Setelah itu dilakukan analisis proksimat terhadap nasi dari beras analog untuk menentukan jumlah sampel yang harus dikonsumsi oleh relawan.Jumlah sampel ditentukan mengandung 50 g karbohidrat.
Penentuan indeks glikemik menggunakan subjek manusia. Relawan yang digunakan dalam pengujian ini diseleksi yang memiliki kadar gula darah puasa normal (70-120 mg/dl). Seleksi dilakukan saat pengujian sampel yang pertama dan terpilih 10 orang relawan.Sampel berikutnya dan pangan acuan diuji pada hari yang berlainan dengan interval minimal 3 hari.
Relawan diminta melakukan puasa selama 10 jam pada malam hari kecuali air putih. Pagi harinya sebanyak ±5 µl darah relawan diambil melalui ujung jari untuk diukur kadar glukosa darahnya dengan menggunakan GlucocardTM Test Strip. Relawan kemudian diminta memakan nasi dari beras analog yang telah disiapkan dan kadar gulanya darahnya kembali diukur pada menit 30, 60, dan 120 menit setelah makan. Pengukuran respon kadar glukosa darah untuk pangan standar (50 g glukosa murni) dilakukan pada hari berbeda dengan rentang minimal 3 hari.
Data yang diperoleh ditebar pada grafik dengan kadar glukosa darah pada sumbu y dan waktu (menit) pada sumbu x. Kurva lalu dibuat untuk masing-masing relawan dan dihitung luas area di bawah kurva.Nilai IG masing-masing-masing-masing
(41)
relawan dihitung dan dirata-rata. Perhitungan untuk nilai IG adalah sebagai berikut :
luas area di bawah respon glikemik standar glukosaluas area di bawah kurva respon glikemik sampel x 100
3.3 Hasil dan Pembahasan
3.3.1 Karakteristik Bahan Baku
Bahan baku dalam pembuatan beras analog pada penelitian ini adalah tepung jagung, sagu, tepung kedelai, dan bekatul. Bahan baku tersebut dianalisis terlebih dahulu untuk mengetahui karakternya secara kimia. Hasil analisis dari bahan baku dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Karakterisasi bahan baku beras analog
Karakter Tepung
jagung
Sagu Tepung
kedelai
Bekatul
Kadar air (%bk) 9.24 9.06 5.05 12.44
Kadar abu (%bk) 0.89 0.07 4.79 9.97
Kadar protein (%bk) 8.48 0.06 36.33 16.54
Kadar lemak (%bk) 2.35 0.17 27.11 16.05
Kadar karbohidrat (%bk) 79.04 90.64 26.72 14.80
Serat pangan (%bk) 11.21 - 17.31 19.71
Amilosa 19.33 27.45 3.72 -
Analisis proksimat yang dilakukan terdiri atas analisis kadar air, abu, lemak, protein, dan karbohidrat. Kadar air dari tepung jagung, sagu, kedelai, dan bekatul berturut-turut adalah 9.24%, 9.06%, 2.05%, dan 12.44%. Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa kadar air bahan baku masih dibawah 15%. Menurut Steiger (2011), kadar air produk pangan kurang dari 15% akan aman selama penyimpanan.
Berdasarkan Tabel 3.1 juga dapat dilihat kadar protein pada tepung kedelai paling tinggi dibanding bahan baku lainnya. Pengukuran protein kedelai adalah 36.33%.Kandungan protein tersebut lebih rendah dari hasil penelitian Widaningrum et al. (2005) yang menyatakan bahwa protein pada tepung kedelai adalah 41.71%.Perbedaan hasil tersebut kemungkinan disebabkan perbedaan varietas dan kondisi penanaman (Afandi 2000). Keberadaan protein selain dapat meningkatkan nilai nutrisi juga dapat memperbaiki tekstur pada beras analog (Koide et al.1999; Widaningrum et al. 2005).
Hasil analisis bahan baku yang penting dilakukan adalah serat pangan. Serat pangan merupakan salah satu parameter uji yang mempengaruhi tekstur dan indeks glikemik pada beras analog. Serat pangan pada tepung jagung, tepung kedelai, dan bekatul berturut-turut yaitu 11.21%, 17.31%, dan 19.71%. Kandungan serat bahan baku tersebut tergolong serat tinggi. Menurut Widowati
(42)
et al. (2010) suatu bahan dapat dikatakan sebagai sumber serat bila mengandung serat >6%.
Selain serat, faktor lain yang mempengaruhi tekstur adalah kandungan amilosa. Amilosa merupakan parameter penting yang menentukan sifat dari kelengketan dari suatu produk yang berasal dari bahan baku tepung-tepungan. Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 3.1, kandungan amilosa pada sagu didapatkan 27.45%, lebih tinggi dari tepung jagung (19.33%). Hal tersebut kemungkinan terjadi karena sagu sudah dalam bentuk pati sedangkan tepung jagung masih mengandung komponen lain seperti serat, lemak, dan protein yang menyebabkan presentase amilosa menjadi lebih rendah.
3.3.2 Tahap Pendahuluan Pembuatan Beras Analog
Pembuatan beras analog berbahan dasar jagung pada penelitian ini menggunakan teknologi ekstruksi.Ekstrusi adalah suatu proses dimana bahan mengalami proses pencampuran dan pemanasan dengan suhu tinggi (Mishra et al. 2012). Proses ini dilanjutkan dengan pemotongan dengan cetakan yang dirancang untuk membentuk hasil ekstruksi. Kelebihannya dibanding ekstruder ulir tunggal adalah waktu pembuatan singkat, produktivitas tinggi, dan biaya murah (Riaz 2000) serta kualitas produk pun lebih terjaga karena merupakan proses terkontrol (Hurber 2000).
Prinsip proses ekstrusi pada industri pangan umumnya berdasarkan pada gelatinisasi pati, pembentukan kompleks lemak-pati, denaturasi dan teksturisasi protein, pengaruh tekanan/penggilingan dan pengembangan (Hurber 2000). Tahapan pembuatan beras analog adalah (1) Pengeringan matrik beras sebagai tahap pre treatment (2) Pencampuran bahan untuk pembuatan matrik beras (3)Penambahan emulsifier dan air pada adonan untuk mengikat air sehingga adonan membentuk pasta dengan kadar air 30-60% dari berat adonan (Kato 2006) (4) Penambahan mikronutrien yang diinginkan biasanya dalam bentuk bubuk untuk memudahkan pencampuran padaproses formulasi (5) Tahap pre-condition
yaitu pemanasan dengan suhu 70-100°C tidak lebih dari 5 menit (6) Tahap pembentukan dengan menggunakan die (cetakan berbentuk lubang) sehingga dihasilkan untaian adonan. Pada tahap ini suhu yang digunakan antara 60-120°C dan waktu tinggal 10-90 detik (7) Tahap pemotongan dengan kecepatan tertentu agar menyerupai bentuk beras (8) Tahap pengeringan hingga kadar air dibawah 15% (Steiger 2011; Budijanto 2011).
Menurut Koide et al. (1999) pada proses pembuatan beras analog, suhu yang baik digunakan pada ekstruder yaitu antara 80-120°C. Pada suhu 80°C terjadi pre-gelatinisasi hingga 50-60% sedangkan penggunaan suhu 120°C menyebabkan kondisi pre-gelatinisasi hingga 90 % lebih. Pada penelitian ini awalnya digunakan suhu ekstruder 85°C, tetapi suhu tersebut tidak menghasilkan tekstur beras analog yang baik.Beras analog yang dihasilkan mudah patah dan belum tergelatinisasi dengan baik.Hasil pengukuran derajat gelatinisasi adalah 42.67%.Suhu ekstruder 100°C digunakan kemudian menunjukkan tekstur beras analog yang lebih baik.Tekstur lebih kompak dan tidak mudah patah.Derajat gelatinisasi yang terukur adalah 60.41%.Derajat gelatinisasi yang optimum menurut Koide et al.
(1)
Lampiran 16 Hasil uji t-test kecerahan pada nasi beras analog
Group Statistics
sampel N Mean Std.
Deviation
Std. Error Mean Kecera
han
nasi analog 72 3.54 1.074 .127
nasi cerdas 72 3.88 1.233 .145
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig.
(2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the
Difference Lower Upper
Kecer ahan
Equal variances assumed
.170 .680 -1.730 142 .086 -.333 .193 -.714 .048
Equal variances not assumed
(2)
69
Lampiran 17 Hasil uji t-test pada nasi beras analog secara overall
Group Statistics
sampel N Mean Std.
Deviation
Std. Error Mean
overall nasi analog 72 4.51 .605 .071
nasi cerdas 72 4.01 1.055 .124
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig.
(2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the
Difference Lower Upper
overall
Equal variances assumed
8.079 .005 3.489 142 .001 .500 .143 .217 .783
Equal variances not assumed
(3)
(4)
69
Lampiran 18Data indeks glikemik
Relawan
Jenis Kadar gula darah Luas daerah
Total IG
waktu 0 30 60 120 I II III
1
Standar 71 116 84 65 675 870 195 1740
33
Sampel 74 97 70 72 345 230 - 575
2
Standar 79 111 88 65 480 615 225 1320
38
Sampel 70 86 71 65 240 255 5 500
3
Standar 82 164 108 63 1230 1620 390 3240
58
Sampel 72 151 92 58 1185 394 315 1894
4
Standar 72 144 53 62 1080 1620 - 2700
48
Sampel 67 100 77 59 495 645 150 1290
5
Standar 69 112 76 63 645 750 105 1500
75
Sampel 66 97 71 65 465 540 112.5 1117.5
6
Standar 76 127 100 72 765 1170 675 2610
49
Sampel 76 116 79 74 615 645 15 1275
7
Standar 73 134 91 75 915 1185 600 2700
73
Sampel 72 131 79 66 885 990 105 1980
8
Standar 59 131 106 51 1080 1785 1175 4040
28
Sampel 73 114 71 58 615 512.5 - 1127.5
9
Standar 75 121 60 42 690 575 - 1265
69
Sampel 76 111 89 67 525 350 - 875
10
Standar 65 156 96 68 1365 1830 1020 4215
73
Sampel 72 140 100 60 1020 1440 630 3090
Rata-rata IG 54
(5)
Lampiran 19 Kurva analisis indeks glikemik
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 1300 30 60 120
K ad ar g u la d ar ah ( mg /d l ) Waktu (Menit) Standar Sampel 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120
0 30 60 120
K ad ar g u la d ar ah ( mg /d l) Waktu (Menit) Standar Sampel 0 20 40 60 80 100 120 140 160
0 30 60 120
K ad ar g u la d ar ah ( mg /d l Waktu (Menit) Standar Sampel 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180
0 30 60 120
K ad ar g u la d ar ah ( mg /d l Waktu (Menit) Standar Sampel 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120
0 30 60 120
K ad ar g u la d ar ah ( mg /d l) Waktu (Menit) Standar Sampel 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140
0 30 60 120
K ad ar g u la d ar ah ( mg /d l) Waktu (Menit) Standar Sampel
(6)
71
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 25 Mei 1984 sebagai anak tunggal dari Bapak Dwi Waluyo dan Ibu Kasinem. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian IPB, lulus tahun 2007. Pada tahun 2011, penulis menikah dengan Supratikno, S.Si dan sekaligus diterima di Progam Studi Ilmu Pangan pada Progam Pascasarjana IPB. Penulis menamat pendidikannya tahun 2013.
Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia dengan pengajuan dari unit Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Palembang.Penulis bekerja sebagai Staff Laboratorium Pangan dan Bahan Berbahaya di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Palembang sejak tahun 2007.
Selama mengikuti progam S-2, penulis beserta komisi pembimbing menyajikan abstrak dalam bentuk poster dengan judul Stabilisasi Bekatul dengan Tehnik Ekstruder
Tanpa Die untuk Menghasilkan Ingridien Fungsional pada Seminar Nasional Pangan di