Manfaat Penelitian Simpulan Stabilized Rice Bran and Its Application in Analog Rice Formulation

dengan microwave menunjukkan bahwa kandungan ALB sedikit meningkat selama 4 minggu penyimpanan pada 25 °C Tao et al. 1993. Penggunaan ekstruder untuk menstabilkan bekatul juga telah dilaporkan.Randall et al. 1985 menggunakan suhu 125-135 °C selama 1-3 detik dengan ekstruder ulir tunggal. Penelitian Budijanto 2011, twin screw extruder digunakan untuk stabilisasi bekatul pada kondisi optimum T1 suhu input = 130 °C, T2 suhu tengah = 160 °C, T3 suhu output = 230 °C dan speedscrew dan feedscrew 12 Hz. Metode ini telah berhasil menghambat kerja lipase pada bekatul dengan hasil peningkatan kandungan ALB hanya 1.48 setelah 15 hari penyimpanan. Namun, banyak energi yang dibutuhkan dalam operasi twin screw extruder, sehingga metode ini kurang cocok untuk unit penggilingan padi skala kecil.Penelitian ini mengembangkan metode stabilisasi bekatul dengan menggunakan single screw conveyor. Prinsip instrumen ini mirip dengan twin screw extruder yang menggunakan perputaran ulir untuk mendorong bekatul tetapi tidak membutuhkan tekanan uap seperti pada twin screw extruder, ukurannya relatif kecil dan kompak, serta sangat mudah untuk mengoperasikannya sehingga dapat dengan mudah dipergunakan pada penggilingan padi skala kecil-menengah.Variabel yang dikendalikan oleh alat ini untuk menstabilkan bekatul adalah suhu dan kecepatan ulir. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek stabilisasi dengan menggunakan single screw conveyor terhadap kandungan ALB, nutrisi dan komponen bioaktif α-tokoferol dan γ-oryzanol bekatul.Sebagai hasil akhir, diharapkan dapat memperoleh kondisi stabilisasi bekatul terbaik yang dapat menghambat ketengikan pada bekatul sehingga dapat dipergunakan sebagai ingridien pangan.

2.1.2 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah: 1. mencari kondisi stabilisasi bekatul yang terbaik suhu dan kecepatan single screw conveyor. Parameter yang digunakan adalah kenaikan ALB selama penyimpanan 2 minggu. 2. mengkarakterisasi bekatul yang terstabilisasi berupa kandungan tokoferol dan ϒ-oryzanol.

2.1.3 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah mengetahui kondisi terbaik single screw conveyor untuk dapat menghasilkan bekatul yang stabil terhadap ketengikan. 2.2 Bahan dan Metode 2.2.1 Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan dan Gedung F-Technopark di Institut Pertanian Bogor.Waktu pelaksanaan penelitian direncanakan dari bulan Agustus 2012 sampai dengan Desember 2012.

2.2.2 Bahan

Bahan untuk pembuatan bekatul adalah padi Ciherang dari Sumedang, Jawa Barat. Bahan yang digunakan untuk analisis antara lain heksana dan isopropanol PA Merck, Germany, methanol, asetonitril, dan diklorometan standar HPLC Merck, Germany, standar α-tokoferol Sigma, Japan dan oryzanol campuran Wako Chemical Industries Co. Ltd, Japan, asam askorbat JT. Baker, USA, serta bahan-bahan untuk analisis kimia lainnya.

2.2.3 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah mesin giling padi Satake, Japan,mesin sosoh beras Satake, Japan,penyaring 100 mesh, dan single screw conveyor F-Technopark, IPB. Peralatan analisis meliputi penangas air, oven, neraca analitik, hot plate, vorteks, spektrometer UV-Vis Shimadzu, Japan, HPLC Agilent, USA, inkubator, dan kromameter Minolta, USA 2.2.4 Penentuan Kondisi Terbaik Stabilisasi Bekatul Penelitian dilakukan dengan beberapa tahapan. Tahapan-tahapan itu berupa: 1 tahap pembuatan bekatul, 2 tahap penentuan kondisi terbaik stabilisasi bekatul dengan alat stabilisasi, dan 3 karakterisasi komponen tokoferol dan oryzanol dari bekatul terstabilisasi. Pembuatan bekatul diawali dengan penggilingan gabah terlebih dahulu yang akan menghasilkan beras giling dan sekam. Beras giling kemudian disosoh untuk mendapatkan bekatul dan beras sosoh yang telah berwarna putih. Bekatul yang didapatkan dari pengolahan gabah kemudian segera distabilisasi dengan single screw conveyor.Perlakuan stabilisasi yang digunakan adalah A100 15Hz, 100°C, A120 15Hz, 120°C, A140 15Hz, 140°C, B100 25Hz, 100°C, B120 15Hz, 120°C dan B140 25Hz, 140°C.Hasil stabilisasi diayak dengan ukuran 100 mesh. Bekatul yang telah terstabilisasi dan bekatul segar kemudian dianalisis kandungan ϒ-oryzanol dan tokoferolnya dengan metode HPLC untuk mengetahui tingkat pengaruh proses stabilisasi terhadap kandungan dua komponen tersebut. Bekatul dikemas dengan plastik dan disimpan dalam dalam inkubator 37 o C selama 2 minggu. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap. Data akan diolah dengan menggunakan progam SPSS versi 20 dengan analisis sidik ragam dan uji Duncan untuk uji lanjutnya. Perlakuan stabilisasi terbaik dipilih berdasarkan kandungan ALB10 dengan perubahan kandungan tokoferol dan ϒ-oryzanol yang minimum.Alur proses stabilisasi bekatul dapat dilihat pada Gambar 2.1. . Gambar 2.1 Diagram penelitian stabilisasi bekatul

2.2.5 Analisis Laboratorium Ekstraksi Minyak Bekatul

Bekatul diekstrak menggunakan heksana untuk mendapatkan minyak bekatul yang akan digunakan dalam analisis selanjutnya. Bekatul direndam dalam pelarut heksana dengan perbandingan bekatul:heksana sebesar 1:3 selama 24 jam sambil digoyang kemudian dilanjutkan dengan penyaringan. Minyak bekatul yang masih bercampur heksana selanjutnya diuapkan menggunakan rotavapor vakum Gabah Analisis oryzanol dan tokoferol Bekatul terstabilisasi Sekam Analisis oryzanol dan tokoferol Penyimpanan selama 2 minggu pada suhu 37°C Beras sosoh Penggilingan Beras pecah Bekatul Penstabilisasian suhu dan kecepatan ulir suhu 100, 120, dan 140°C kecepatan ulir 15 dan 25 Hz Penyosohan selama 2 menit Analisis bilangan asam pada minggu ke-0, 1, dan 2 Bekatul terstabilisasi terpilih 3x Pengayakan 100 mesh dengan suhu penguapan berkisar antara 54-60°C Damayanthiet al. 2010. Minyak ini akan dianalisis kandungan ALB dan α-tokoferol Penentuan Jumlah Asam Lemak Bebas AOAC 940.28 Minyak bekatul sebanyak1 g ditimbang dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml, lalu ditambahkan 50 ml etanol 95 netral, dipanaskan hingga mendidih ± 10 menit dalam penangas air sambil diaduk. Larutan ini kemudian dititrasi dengan NaOH 0.1 N, menggunakan indikator fenolftalein sampai terbentuk warna merah muda yang persisten selama 30 detik.Analisis dilakukan dua ulangan. ALB ሺ ሻ NaOH x N NaOH x 2 2 10x contoh mg x 100 Keterangan : V NaOH : volume titran ml NNaOH : normalitas NaOH M : berat molekul oleat sesuai jenis lemak dominan sampel W : berat contoh minyak g Analisis α-Tokoferol AOAC 971.30  Persiapan sampel Sebanyak 1 g minyak bekatul ditimbang ke dalam tabung reaksi 50 ml kemudian ditambah 0.3 g asam askorbat dan 4 ml etanol. Selanjutnya ditambahkan 1 ml KOH 70.Gas N 2 dihembuskan untuk menghindari oksidasi udara. Larutan dipanaskan dalam waterbath pada suhu 80°C selama 15 menit dan didinginkan cepat dengan air mengalir. Larutan diletakkan dalam labu pemisah dan ditambahkan air 20 ml. Larutan diekstrak dengan penambahan heksana a 25 ml sebanyak 3 kali.Penambahan NaCl jenuh dilakukan jika terbentuk emulsi.Ekstrak heksana disatukan dan dicuci dengan akuadem hingga netral gunakan indikator PP.Ekstrak dilewatkan dalam natrium sulfat anhidrous untuk mengikat air yang tersisa. Ekstrak heksana kemudian diuapkan dengan gas N 2. Sampel dilarutkan kembali dengan fase gerak dalam labu takar 5 ml dan ditepatkan volumenya hingga tera. Sampel disaring dengan kertas Whatman 0.45µm dan dihilangkan gelembung udaranya.Injeksi sebanyak 20µ dilakukan untuk pengujian dengan HPLC. Analit akan terukur pada panjang gelombang 280 nm. Analisis dilakukan dua ulangan. Kolom : RP-HPLC dengan kolom C-18 25 cm × 4.6 mm Detektor : UV Vis Fase Gerak : Metanol : Isopropanol 98 : 2 Laju Alir : 1.0 mlmenit  Persiapan baku Larutan baku standar dibuat dengan menimbang 25 mg standar D- α tokoferol yang selalu dibuat segar. Standar baku di tempatkan pada labu takar 50 ml dan ditambahkan fase gerak hingga tera. Setelah itu dibuat deret standar baku hingga 50 ppm. Sebanyak 20µl larutan standar baku disuntikkan dalam kolom HPLC. Konsentrasi tokoferol didapatkan dengan perhitungan sebagai berikut : Konsentrasi ሺppmሻ Asp x Cst x sp sp Keterangan : Asp : Area contoh Cst : konsentrasi standar Vsp : Volume pelarutan sampel ml Wsp : bobot contoh g Analisis ϒ-oryzanol Xu dan Godber 2000  Persiapan sampel Bekatul sebanyak 1 gram dilarutkan dengan 5 ml akuades di dalam tabung reaksi 25 ml.Asam askorbat sebanyak 0.2 g kemudian ditambahkan dalam tabung.Larutan tersebut divorteks dan diinkubasi di penangas pada suhu 60°C selama 30 menit. Sebanyak 5 ml pelarut isopropanol:heksana 50:50 ditambahkan dalam tabung dan divorteks selama 30 detik. Setelah homogen, larutan disentrifugasi 3000 rpm pada suhu ruang selama 15 menit.Lapisan organik dikumpulkan dalam tabung reaksi. Residu yang tersisa dicampurkan dengan 5 ml pelarut isopropanol:heksana dan disentifugasi lagi. Lapisan organik yang didapat dikumpulkan bersama dengan lapisan organik yang didapat sebelumnya. Air akuades 5 ml ditambahkan dalam tabung reaksi untuk mencuci lapisan organik.Tabung reaksi didiamkan selama 10 menit lalu diambil larutan organiknya. Proses pencucian diulangi hingga dua kali. Setelah itu, lapisan organik dihembuskan gas N 2 untuk menguapkan pelarut organik. Minyak bekatul hasil ekstraksi dilarutkan dengan fase gerak.Setelah itu larutan sampel disaring dengan menggunakan membran PTFE 0.45 µm dan dihilangkan gelembung udaranya terlebih dahulu sebelum diinjeksikan ke dalam kolom HPLC.Sebanyak 20µl larutan sampel disuntikkan dalam kolom HPLC. Analit akan terbaca pada panjang gelombang 330 nm. Analisis dilakukan dua kali ulangan.  Persiapan Baku Kuantifikasi dilakukan dengan menggunakan larutan baku standar γ-oryzanol. Larutan baku standar γ-oryzanol dibuat dengan menimbang 25.0 mg baku γ- oryzanol dalam labu 50.0 ml. Deret standar dibuat 5 seri yaitu 0 ppm-250 ppm yang dilarutkan dengan fase gerak. Setelah itu larutan standar baku disaring dengan menggunakan membran PTFE 0.45 mm dan dihilangkan gelembung udaranya terlebih dahulu. Sebanyak 20µl larutan standar baku disuntikkan dalam kolom HPLC. Kondisi HPLC yang digunakan adalah: Kolom : RP-HPLC dengan kolom C-18 25 cm × 4.6 mm Detektor : UV Vis Fase Gerak : metanol, asetonitril, diklorometan, dan asam asetat 50:44:3:3by vol Laju Alir : 1.0 mlmenit Identifikasi komponen oryzanol dilihat berdasarkan waktu retensi RT yang dibandingkan dengan standar.

2.3 Hasil dan Pembahasan

2.3.1 Stabilisasi Bekatul

Bekatul setelah disosoh akanmudah mengalami kerusakan hidrolisis. Kerusakan hidrolisis terjadi karena adanya kontak antara enzim lipase dan minyak bekatul.Laju hidrolisis enzim lipase dipengaruhi oleh konsentrasienzim, suhu reaksi, kadar air, konsentrasi substrat dan pH. Lakkakula et al. 2004. Menurut Randall et al. 1985, kemungkinan besar enzim lipase terdapat pada testa dan lapisan selubung biji sedangkan lemaknya tersimpan pada selaput aleuron dan lembaga. Enzim lipase aktivitasnya akan meningkat apabila terjadi perusakan pada lapisan biji dan aleuron saat proses penyosohan. Lipase mampu menghidrolisis lemak menjadi asam lemak bebas ALB dan gliserol.Selanjutnya asam-asam lemak dioksidasi oleh enzim lipoksigenase menjadi bentuk-bentuk peroksida, keton, dan aldehid Tao et al. 1993.Aktivasi enzim lipase dapat menyebabkan kerusakan pada bekatul karena terjadi kenaikan ALB Lakkakula et al. 2004. Oleh sebab itu diperlukan proses stabilisasi bekatul untuk mecegah reaksi hidrolisis terus berlanjut. Stabilisasi pada penelitian kali ini menggunakan alat stabilisasi berupa single screw conveyor buatan F-Technopark, IPB Gambar 2.2.Alat ini memiliki prinsip kerja seperti single screw extruder. Bekatul akan dimasukkan lewat hopper lalu bekatul akan dilewatkan dalam ulir yang dilengkapi pemanas di selongsong ulirnya. Ulir akan mendorong bekatul dengan kecepatan tertentu sehingga bekatul dapat dipanaskan secara merata. Gambar 2.2 Alat single screw conveyor untuk stabilisasi bekatul Bekatul diperoleh dari padi Ciherang.Padi Ciherang dipilih karena berdasarkan penelitian Budijantoet al. 2010 bekatul padi ini setelah terstabilisasi dengan twin screw extruder memiliki umur simpan lebih lama dibanding jenis padi Pandan Wangi dan IR-64.Gabah digiling terlebih dahulu sehingga diperoleh beras pecah kulit.Beras pecah kulit disosoh selama 2 menit dan didapatkan bekatul.Bekatul diayak ukuran 100 mesh agar ukurannya lebih seragam. Perlakuan yang diterapkan dalam proses stabilisasi ini adalah perlakuan suhu dan kecepatan ulir. Suhu yang digunakan adalah suhu 100, 120, dan 140°C dan kecepatan ulir 15 Hz dan 25 Hz. Menurut Tao et al. 1993 suhu dibawah 100°C kurang untuk menginaktivasi lipase dan suhu diatas 140°C dapat menyebabkan terjadinya case hardening dan warna coklat tua pada bagian permukaan bekatul. Kecepatan ulir minimal yang dipilih adalah 15 Hz yang merupakan batas minimal kecepatan ulir dari daya kerja alat. Kombinasi perlakuan yang didapatkan yaitu : 1 suhu 100°C dan kecepatan ulir 15 Hz A100, 2 suhu 120°C dan kecepatan ulir 15 Hz A120, 3 suhu 140°C dan kecepatan ulir 15 Hz A140, 4 suhu 100°C dan kecepatan ulir 25 Hz B100, 5 suhu 120°C dan kecepatan ulir 25 Hz B120, 6 suhu 140°C dan kecepatan ulir 25 Hz, dan terakhir kontrol bekatul segar. Parameter yang digunakan adalah ALB sebagai indikator kestabilan bekatul dan analisis ϒ- oryzanol dan tokoferol sebagai indikasi perubahan komponen bioaktif akibat proses stabilisasi. 2.3.2Pengaruh Stabilitas Bekatul terhadap Kandungan Asam Lemak Bebas Analisis ALB telah banyak dilakukan sebagai indikator kestabilan bekatul Randall et al.1985; Tao et al. 1993; Lakkakula et al. 2004; Budijanto et al. 2010. Asam lemak bebas merupakan hasil reaksi hidrolisis trigliserida yang dikatalis oleh enzim lipase.Reksi hidrolisis trigliserida dapat dilihat pada Gambar 2.3. H 2 C-COO-R H 2 C-OH HC-COO-R + 3H 2 O HC-OH + 3RCOOH lipase H 2 C-COO-R H 2 C-OH Trigliserida Gliserol ALB Gambar 2.3 Reaksi hidrolisis trigliserida oleh lipase Fennema 1995 Analisis ALB pada bekatul segar dan terstabilisasi dilakukan pada hari ke-0 dan setelah penyimpanan selama 2 minggu dalam inkubator 37°C. Suhu tersebut dipilih karena merupakan suhu optimum dari lipase bekatul Kao dan Luh 1991.Hasil kenaikan ALB pada bekatul selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 2.4. Berdasarkan analisis statistik didapatkan perbedaan signifikan pada nilai peningkatan ALB bekatul terstabilisasi bila dibandingkan bekatul segar. Bekatul segar mengalami kenaikan ALB hingga 39.91 pada minggu kedua penyimpanan. Namun bekatul yang terstabilisasi hanya mengalami peningkatan ALB antara 3.09-6.75. Hasil tersebut menunjukkan bahwa proses pemanasan dengan single screw conveyor dapat memperlambat kerusakan bekatul terstabilisasi secara nyata. Peningkatan ALB terendah yaitu terjadi pada perlakuan suhu 140°C dan kecepatan ulir 15 Hz A140.Pada perlakuan tersebut, bekatul mengalami pemanasan lebih tinggi dan lebih lama dibandingkan perlakuan lainnya. Namun berdasarkan uji lanjut Duncan didapatkan bahwa perlakuan stabilisasi pada suhu 120°C dan 140°C tidak berbeda nyata sehingga pada suhu 120°C pun sudah cukup untuk menginaktivasi enzim lipase dan memperlambat kerusakan bekatul. Hasil pengujian ALB dapat dilihat pada Tabel 2.1. Penyimpanan pada minggu kedua didapatkan bahwa pada bekatul yang diberi perlakuan suhu 120°C dan 140°C A120, A140, B120, dan B140 memiliki kadar ALB dibawah 10 yaitu berturut-turut 7.87, 8.30, 8.58, dan 7.56. Namun perlakuan dengan suhu 100°C A100 dan B100 memiliki kadarALB 10 yaitu 12.11 dan 10.22 Gambar 2.4 Kenaikan kadarALB pada bekatulyang distabilisasi pada suhu 37 °C selama 2 minggu penyimpanan. A100=kecepatan ulir 15 Hz dan suhu100°C, A120=kecepatan ulir 15 Hz dan suhu120°C, A140=kecepatan ulir 15 Hz dan suhu140°C, B100=kecepatan ulir 25 Hz dan suhu100°C, B120=kecepatan ulir 25 Hz dan suhu 120°C, serta B140= kecepatan ulir 25 Hz dan suhu140°C. Menurut Tao et al. 1993 kadarALB bekatul lebih dari 10 sudah tidak layak untuk dikonsumsi karena sudah tengik. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemanasan pada suhu 100°C belum mampu untuk mendenaturasi enzim lipase sehingga masih terjadi peningkatan ALB lebih dari 10 setelah 2 minggu penyimpanan. Hasil analisis tersebut sesuai dengan pernyataan Tao et al. 1993 bahwa proses pemanasan pada bekatul di atas suhu 100°C dibutuhkanuntuk mendenaturasi enzim lipase sehingga bekatul menjadi lebih tahan terhadap ketengikan karena reaksi hidrolisis. 2.3.3 Pengaruh Stabilitasi Bekatul terhadap Kandungan α-tokoferol 39.91a 6.75b 3.21d 3.09d 4.53c 3.47d 3.13d 5 10 15 20 25 30 35 40 45 segar A100 A120 A140 B100 B120 B140 Kenaikan ALB Perlakuan Analisis kandungan tokoferol dilakukan pada minyak hasil ekstraksi bekatul. Hasil analisis masing-masing perlakuan dan bekatul segar dapat dilihat pada Gambar 2.5. Gambar 2.5 Kandungan tokoferol pada bekatul yang distabilisasi pada suhu 37 °C selama 2 minggu penyimpanan. A100=kecepatan ulir 15 Hz dan suhu 100°C, A120=kecepatan ulir 15 Hz dan suhu 120°C, A140=kecepatan ulir 15 Hz dan suhu140°C, B100=kecepatan ulir 25 Hz dan suhu100°C, B120=kecepatan ulir 25 Hz dan suhu 120°C, serta B140= kecepatan ulir 25 Hz dan suhu140°C. Kandungan tokoferol yang didapatkan yaitu antara 217.92-236.86 µgg minyak. Kandungan tokoferol tersebut sesuai dengan penelitian Schramm et al. 2007 pada bekatul varietas Cypress and Cheniere yaitu antara 170.26-218.21 µgg minyak bekatul serta penelitian Anwar et al. 2005 pada bekatul dari beras Pakistan yaitu antara 175.12-304.2 µgg. Nilai tertinggi kandungan tokoferol diperoleh dari perlakuan B100 kecepatan ulir 25Hz dan suhu 100°C sebanyak 236.86 ugg±1.91 sedangkan yang terendah adalah perlakuan B140 kecepatan ulir 25Hz dan suhu 140°C yaitu 227.48±19.23 ugg.Uji ANOVA menunjukkan adanya perbedaan signifikan antar perlakuan.Perbedaan kandungan tokoferol yang signifikan terlihat pada perlakuan B100 kecepatan ulir 25 Hz dan suhu 100°C. Kandungan tokoferol pada perlakuan A100, A120, A140, B120, dan B140 menunjukkan hasil tidak berbeda nyata. Hasil tersebut menunjukkan bahwa perlakuan B100 merupakan perlakuan yang bisa mempertahankan kestabilan tokoferol lebih tinggi dibanding perlakuan lainnya.

2.3.4 Pengaruh Stabilitas Bekatul terhadap Kandungan γ- Oryzanol

Berdasarkan analisis γ-oryzanol dengan HPLC menggunakan metode Xu dan Godber 2000 pada kromatogram terdapat 4 peak yang terpisahkan pada RT 17- 25 menit Gambar 4. Namun setiap peak tidak dapat teridentifikasi karena 242.14a 227.98b 230.89b 227.79b 236.86ab 227.48b 228.13b 220 225 230 235 240 245 segar A100 A120 A140 B100 B120 B140 Kandungan α-tokoferol ugg Perlakuan standar yang digunakan adalah γ-oryzanol campuran yang tidak spesifik terhadap komponen oryzanol tertentu sehingga untuk mendapatkan total oryzanol dengan cara menjumlahkan area dari 4 peak tertinggi tersebut Pascual et al. 2011; Chen dan Bergman 2005; Xu dan Godber 2000.Identifikasi tiap-tiap peak telah dilakukan oleh Cho et al. 2012 yang mengidentifikasi γ-oryzanol berupa cycloartenyl ferulat peak 1, 24-methylenecycloartanyl ferulate peak 2, campesteryl ferulate peak 3, dan sitosteryl ferulate peak 4. Gambar kromatogram bekatul segar dapat dilihat pada Gambar 2.6. Gambar 2.6 Hasil kromatogram analisis γ-oryzanol pada ekstrak heksana bekatul segar dengan menggunakan kolom RP-18,fase gerak methanol, asetonitril, diklorometan, dan asam asetat 50:44:3:3 by volume, serta laju alir fase gerak 1 mlmenit. Peak1 cycloartenyl ferulat, peak 2 24-methylenecycloartanyl ferulate, peak 3campesteryl ferulate, danpeak 4sitosteryl ferulate. Hasil analisis γ-oryzanol terhadap perlakuan kombinasi suhu dan kecepatan ulir dapat dilihat pada Gambar 2.7 dan Tabel 2.1. Kandungan γ-oryzanol rata-rata pada bekatul segar yaitu 2408.03±5.01 ugg. Hal ini sesuai dengan penelitian Qureshi et al. 2002 yang melaporkan kandungan γ-oryzanol pada bekatul sekitar 2200-3000 ugg. Hasil penelitian juga sejalan dengan penelitian Chen dan Bergman 2005 yang menyatakan bahwa kandungan γ-oryzanol 10-20x lebih banyak dibandingkan total tokoferol pada bekatul. Gambar 2.7 Kandungan γ-oryzanol pada bekatul yang distabilisasi pada suhu 37 °C selama 2 minggu penyimpanan. A100=kecepatan ulir 15 Hz dan suhu 100°C, A120=kecepatan ulir 15 Hz dan suhu 120°C, A140=kecepatan ulir 15 Hz dan suhu140°C, B100=kecepatan ulir 25 Hz dan suhu100°C, B120=kecepatan ulir 25 Hz dan suhu 120°C, dan B140= kecepatan ulir 25 Hz dan suhu140°C. Secara umum kandungan oryzanol akan berkurang selama penyimpanan. Kandungan γ-oryzanol tertinggi pada bekatul segar yaitu 2408.03±5.01 ugg sedangkan pada bekatul yang telah distabilisasi pada perlakuan kecepatan ulir 15 Hz dan suhu 100°C A100 yaitu 2025.79±63.53 ugg. Penurunan kadar ϒ- oryzanol sebanyak 15.87 dari bekatul segar. Kadar ϒ-oryzanol terendah didapatkan dari perlakuan kombinasi kecepatan ulir 15Hz dan suhu 140°C A140 yaitu 1571.81±22.81 ugg. Hal tersebut kemungkinan terjadi dengan kecepatan ulir yang 15Hz, bekatul lebih lama terpapar suhu tinggi suhu 140°C dibandingkan dengan kecepatan ulir 25 Hz. Perlakuan panas yang tinggi akan menyebabkan pengurangan kandungan ϒ- oryzanol. Khuwijitjaru et al. 2009 menyatakan bahwa kadar ϒ-oryzanol akan menurun apabila dilakukan pemanasan 120-200°C. Penurunan kadar ϒ-oryzanol ini disebabkan terjadinya oksidasi pada suhu tinggi. Namun penurunan ϒ-oryzanol yang rendah bila dibandingkan antara bekatul segar dan bekatul yang terstabilisasi karena menurut Qureshi et al. 2000 dan Azrina et al. 2008 terjadi karena komponen larut lemak seperti ϒ-oryzanol dan tokoferol terikat pada jaringan tanaman. 2408.03a 2025.79b 1871.35c 1571.81d 1807.24c 1793.41c 1766.81c 500 1000 1500 2000 2500 3000 Kontrol A100 A120 A140 B100 B120 B140 Kandungan ϒ-oryzanol ugg Perlakuan Tabel 2.1 Hasil analisis kadar asam lemak, tokoferol, dan ϒ-oryzanol pada bekatul a Perlakuan Kadar Asam Lemak Bebas Kandungan γ-oryzanol ugg Kandungan α-tocoferol ugg Kontrol 44.53±0.71a 2408.03±56.59a 242.14±4.40a A100 12.11±1.19b 2025.79 ±77.06b 227.99±4.77b A120 7.87±0.31d 1871.35±189.06c 230.66±3.61b A140 8.30±0.59d 1571.81±77.43d 227.80±15.38b B100 10.22±0.24c 1807.24±65.72c 236.86±1.91ab B120 8.58±0.87d 1793.41±104.80c 227.48±2.98b B140 7.60±0.29d 1766.81±45.11c 228.13±41.21b a Angka-angka dengan huruf yang sama pada satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 uji selang berganda Duncan. A100=kecepatan ulir 15 Hz dan suhu 100 °C, A120=kecepatan ulir 15 Hz dan suhu 120 °C, A140=kecepatan ulir 15 Hz dan suhu 140 °C, B100=kecepatan ulir 25 Hz dan suhu 100 °C, B120=kecepatan ulir 25 Hz dan suhu 120 °C, serta B140= kecepatan ulir 25 Hz dan suhu 140 °C.

2.4 Simpulan

Penelitian ini menunjukkan bahwa stabilisasi dengan single screw conveyor dapat menghambat peningkatan ALB dari bekatul. Perlakuan terbaik adalah perlakuan A120 kecepatan ulir 15 Hz dan suhu 120°C karena perlakuan tersebut dapat menghasilkan peningkatan ALB10 dengan penurunan tokoferol dan oryzanol minimum selama penyimpanan 2 minggu pada suhu 37°C. 3. FORMULASI BERAS ANALOG 3.1 Pendahuluan

3.1.1 Latar Belakang

Beras analog adalah produk olahan yang dibuat dari sebagian atau seluruhnya bahan non-beras yang memiliki bentuk seperti butiran beras padi Mishra et al. 2012.Keanekaragaman sumber karbohidrat lokal di Indonesia memungkinkan berbagai macam kombinasi tepung yang digunakan untuk menghasilkan beras analog. Beras analog menggunakan teknologi ekstrusi dalam proses pembuatannya. Teknologi ekstrusi merupakan suatu proses dimana bahan dicampur di bawah pengaruh kondisi operasi pencampuran, pemanasan dengan suhu tinggiKoide et al. 1999; Kato 2006; Steiger 2011; Budijanto dan Yulianti 2012.Penggunaan ekstruder merupakan teknologi yang memudahkan dalam pembuatan beras analog.Kelebihan penggunaan ekstruder dalam pembuatan beras analog adalah waktu pembuatan singkat, produktivitas tinggi, biaya murah Riaz 2000, kualitas produk pun lebih terjaga karena merupakan proses terkontrol Hurber 2000, serta pencampuran dengan berbagai macam komposisi dimungkinkan dengan teknologi ini Budijanto 2011. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menghasilkan beras analog.Samad 2003 membuat beras analog berbentuk sagu mutiara dari campuran tepung sagu dan tepung ubi kayu.Kelemahannya adalah bentuk beras belum mendekati bentuk beras sebenarnya.Budijanto dan Yulianti 2012 mengembangkan beras analog berbahan dasar tepung jagung, sorgum, dan sagu dengan menggunakan bahan pengikat GMS 2. Pada penelitian ini, tepung jagung, sagu, tepung kedelai, dan bekatul digunakan sebagai bahan penyusunnya.Penggunaan tepung jagung dan sagu karena bahan pangan tersebut telah cukup familiar dalam masyarakat Indonesia sebagai bahan pangan pokok sehingga diharapkan beras analog dapat dengan mudah diterima dalam masyarakat.Kelebihan tepung jagung sebagai bahan pangan adalah kandungan serat pangannya lebih tinggi dibandingkan dengan terigu.Tepung jagung mengandung serat pangan, unsur Fe, dan beta-karoten pro vitamin A Suarni dan Firmansyah 2005. Bahan penyusun beras analog lainnya adalah tepung kedelai.Koide et al. 1999 membuat fabricated rice dari tepung gandum, tepung beras, pati jagung, tepung kedelai, isolat protein kedelai, dan protein whey. Konsentrat protein whey dan isolate protein whey yang ditambahkan sebanyak 0.5-7. Menurut Koide et al. 1999, beras analog yang dihasilkan mengandung protein sebesar 3.5 sedangkan pada beras aslinya mengandung 7 protein sehingga diperlukan penambahan protein untuk menghasilkan nilai protein sama atau lebih tinggi dari beras aslinya. Kelebihan tepung kedelai mengandung protein cukup tinggi lebih dari 35.Selain itu tepung kedelai mengandung antioksidan yang bermanfaat bagi kesehatan.Penambahan tepung kedelai selain menambahkan protein sebagai nutrisi juga dapat memperbaiki tekstur produk.Protein dapat membentuk matriks dengan karbohidrat sehingga dapat menurunkan daya cerna karbohidrat Alsaffar 2011.Penurunan daya cerna karbohidrat dapat berpotensi menjadi bahan pangan dengan nilai IG yang rendah. Bahan penyusun beras analog yang lain adalah bekatul. Bekatul memiliki potensi besar sebagai bahan pangan fungsional tetapihinggasaatini pemanfaatannya untukmanusia masih terbatas. Sebagian besar bekatul masih dimanfaatkan untuk makanan ternak padahal bekatul berpotensi sebagai ingridien fungsional pada bahan pangan.Bekatul merupakansumberserat,mengandung vitamin B dari golongan tiamin, riboflavin, niasin asam nikotinat dan piridoxin serta dalam bekatul juga ditemukan komponen bioaktif Qureshi et al. 2002.Komponen bioaktif tersebut diantaranya tokoferol vitamin E, tokotrienol, dan oryzanol Chen dan Bergman 2005.Keberadaan serat pada beras analog dapat membentuk matriks di sekeliling granula pati serta mengikat air dalam produk sehingga daya cerna pati berkurang pula Fennema, 1995. Berdasarkan sifat fungsional dari bahan baku yang ditambahkan maka dilakukan analisis IG dan aktivitas antioksidan pada produk beras analog untuk mengetahui potensinya sebagai produk pangan fungsional.

3.1.2 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah : 1. Mendapatkan formulasi optimum menggunakan progam Mixture Design DX7dari beras analog berbahan jagung, sagu, tepung kedelai dan bekatul. 2. Mengkarakterisasi beras analog yang dihasilkan meliputi sifat fisik kecerahan dan derajat gelatinisasi, komposisi kimiawi proksimat, serat pangan, amilosa, oryzanol, dan tokoferol, sifat fungsional aktivitas antioksidan dan indeks glikemik, dan penerimaan sensori kecerahan, rasa, aroma, dan tekstur.

3.2 Bahan dan Metode

3.2.1 Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di laboratorium Biokimia dan Kimia Ilmu dan Teknologi Pangan dan Gedung F-Technopark di Institut Pertanian Bogor.Waktu pelaksanaan penelitian direncanakan dari bulan Desember 2012 sampai dengan Juni 2013.

3.2.2 Bahan

Bahan untuk pembuatan beras analog adalah jagung, sagu Riau, bekatul padi Ciherang, kedelai Cianjur, dan Gliseril Monostearat GMS. Bahan yang digunakan untuk analisis antara lain heksana, isopropanol PA Merck, Germany, metanol, asetonitril, dan diklorometan HPLC grade Merck, Germany, standar tokoferol Sigma, Japan dan oryzanol Wako Chemical Industries Co. Ltd, Japan, asam askorbat JT. Baker, USA, dan bahan untuk analisis kimia lainnya.

3.2.3 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah twin screw extruder, disc mill, mixer, tray oven, dansaringan 100 mesh Peralatan analisis meliputi penangas air, oven, neraca analitik, hot plate, vorteks, spektrometer UV-Vis Shimadzu, Japan, HPLC Agilent, USA, inkubator, dan kromameter Minolta, USA.

3.2.4 Pembuatan Bahan Baku

Tepung kedelai dibuat mengikuti metode Widaningrum et al. 2005 yang dimodifikasi Gambar 3.1. Biji kedelai dipilih yang utuh dan tidak cacat atau sedikit warna hitamnya kemudian dicuci bersih, disteam selama 1 menit pada suhu 150°C dengan menggunakan continued steam dan selanjutnya digiling dengan menggunakan disc mill. Tepung yang diperoleh diayak dengan ayakan 60 mesh lalu dikeringkan dengan tray oven suhu 70°C selama 6 jam. . Gambar 3.1 Proses pembuatan tepung kedelai 3.2.5 Formulasi Beras Analog Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan formula standar yang akan digunakan pada penelitian utama nanti. Bahan-bahan kering ditimbang sesuai dengan formula tepung dan GMS dan dicampur hingga homogen dengan mixer selama 10 menit. Setelah itu dilakukan penambahan air sebanyak 50 dari total adonan Budijantodan Yulianti 2012.Air ditambahkan sedikit demi sedikit hingga adonan tercampur rata. Adonan kemudian diekstrusi dengan menggunakantwin screw extruder. Hasil produk ekstrusi dikeringkan dalam oven pada suhu 60°C selama 4 jam untuk mencapai kadar air 4-15 Budijanto dan Yulianti 2012. Diagram pembuatan beras analog dapat dilihat pada Gambar 3.2. Formulasi optimum didapatkan dengan menggunakan progam Mixture Design DX7.Faktor yang dipakai sebagai variabel adalah tepung jagung, tepung kedelai, dan bekatul.Respon yang dipakai adalah aktivitas antioksidan dan tingkat kecerahan.Hasil analisis respon dengan menggunakan progam Mixture Design DX7dengan tiga variabel akan menghasilkan 16 formula beras analog. Kedelai Steaming150°C, 1 menit Pengeringan suhu 70°C, 6 jam Penggilingan Pengayakan 60 mesh Analisis proksimat Tepung Gambar 3.2 Proses pembuatan beras analog Formula optimum yang telah didapatkan akan divalidasi sebanyak 5 kali ulangan berdasarkan rekomendasi progam Mixture DesignDX7 tersebut. Validasi dilakukan terhadap respon aktivitas antioksidan dan tingkat kecerahan.Analisis terhadap formula beras analog optimum dilakukan setelah diketahui hasil validasi memenuhi model dari progam. Analisis yang dilakukan antara lain uji proksimat kadar air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat, derajat gelatinisasi, amilosa, uji serat pangan, analisis tokoferol, analisis ϒ-oryzanol, total fenol, aktivitas antioksidan, indeks glikemik, sertaanalisissensori t-test terhadap beras analog dan GMS Tepung jagung, tepung kedelai, dan bekatul Pencampuran 10 menit Suhu Feed T1 : 95 o C Compressing T2 : 95 o C Metering T3 : 95 o C Kecepatan Auger : 18 Hz Screw : 15Hz Cutter : 50Hz Penimbangan sesuai formulasi Air Pencampuran bahan kering 10 menit Ekstrusi Pengeringan dengan oven 60 o C , 4 jam Beras analog hasil formulasi Mixture Design DX7 Analisis tingkat kecerahan dan aktivitas antioksidan Analisis proksimat, amilosa, derajat gelatinisasi, serat pangan, tokoferol, oryzanol, total fenol aktivitas antioksidan, indeks glikemik, dan analisis sensori Beras analog terbaik nasi dari beras analog kecerahan, tekstur, rasa, aroma, dan penampakan keseluruhan.

3. 2.6 Metode analisis Analisis

α-Tokoferol AOAC 971.30  Persiapan sampel Beras analogbubukdiekstrak menggunakan heksanauntuk mendapatkan minyak beras analog yang akan digunakan dalam analisis selanjutnya. Beras analog direndam dalam pelarut heksana dengan perbandingan beras:heksana sebesar 1:3 selama 24 jam sambil digoyang kemudian dilanjutkan dengan penyaringan. Minyak yang masih bercampur heksana selanjutnya diuapkan menggunakan rotavapor vakum dengan suhu penguapan berkisar antara 54-60°C Damayanthiet al. 2010. Sebanyak 1 g minyak beras analog ditimbang ke dalam tabung reaksi 50 ml kemudian ditambah 0.3 g asam askorbat dan 4 ml etanol. Selanjutnya ditambahkan 1 ml KOH 70.Gas N 2 dihembuskan untuk menghindari oksidasi udara. Larutan dipanaskan dalam waterbath pada suhu 80°C selama 15 menit dan didinginkan cepat dengan air mengalir. Larutan diletakkan dalam labu pemisah dan ditambahkan air 20 ml. Larutan diekstrak dengan penambahan heksana 25 ml sebanyak tiga kali.Penambahan NaCl jenuh dilakukan jika terbentuk emulsi.Ekstrak heksana disatukan dan dicuci dengan akuades hingga netral gunakan indikator PP.Ekstrak dilewatkan dalam natrium sulfat anhidrous untuk mengikat air yang tersisa. Ekstrak heksana kemudian diuapkan dengan gas N 2. Sampel dilarutkan kembali dengan fase gerak dalam labu takar 5 ml dan ditepatkan volumenya hingga tera. Sampel disaring dengan kertas Whatman 0.45µm dan dihilangkan gelembung udaranya.Injeksi sebanyak 20µ dilakukan untuk pengujian dengan HPLC.Analisis dilakukan dua kali ulangan. Analit akan terukur pada panjang gelombang 280 nm. Kolom : RP-HPLC dengan kolom C-18 25 cm × 4.6 mm Detektor : UV Vis Fase Gerak : Metanol : Isopropanol 98 2 Laju Alir : 1.0 mlmenit  Persiapan baku Larutan baku standar dibuat dengan menimbang 25 mg standar D- αtokoferol yang selalu dibuat segar. Standar baku di tempatkan pada labu takar 50 ml dan ditambahkan fase gerak hingga tera. Setelah itu dibuat deret standar baku hingga 50 ppm. Sebanyak 20µl larutan standar baku disuntikkan dalam kolom HPLC. Konsentrasi tokoferol didapatkan dengan perhitungan sebagai berikut : Konsentrasi ሺppmሻ Asp x Cst x sp sp Keterangan : Asp : area contoh Cst : konsentrasi standar µgml Vsp : volume pelarutan sampel ml Wsp : bobot contoh g Analisis ϒ-oryzanol Xu dan Godber 2000  Persiapan sampel Sebanyak 1 gram beras analog bubukdilarutkan dengan 5 ml akuades di dalam tabung reaksi 25 ml.Asam askorbat sebanyak 0.2 g kemudian ditambahkan dalam tabung.Larutan tersebut divorteks dan diinkubasi di penangas pada suhu 60°C selama 30 menit. Sebanyak 5 ml pelarut isopropanol:heksana 50:50 ditambahkan dalam tabung dan divorteks selama 30 detik. Setelah homogen, larutan disentrifugasi 3000 rpm pada suhu ruang selama 15 menit.Lapisan organik dikumpulkan dalam tabung reaksi. Residu yang tersisa dicampurkan dengan 5 ml pelarut isopropanol:heksana dan disentifugasi lagi. Lapisan organik yang didapat dikumpulkan bersama dengan lapisan organik yang didapat sebelumnya. Air akuades 5 ml ditambahkan dalam tabung reaksi untuk mencuci lapisan organik.Tabung reaksi didiamkan selama 10 menit lalu diambil larutan organiknya. Proses pencucian diulangi hingga dua kali. Setelah itu, lapisan organik dihembuskan gas N 2 untuk menguapkan pelarut organik. Minyak beras analog hasil ekstraksi dilarutkan dengan fase gerak.Setelah itu larutan sampel disaring dengan menggunakan membran PTFE 0.45 µ m dan dihilangkan gelembung udaranya terlebih dahulu sebelum diinjeksikan ke dalam kolom HPLC.Sebanyak 20µl larutan sampel disuntikkan dalam kolom HPLC. Analit akan terbaca pada panjang gelombang 330 nm.  Persiapan Baku Kuantifikasi dilakukan dengan menggunakan larutan baku standar γ-oryzanol. Larutan baku standar γ-oryzanol dibuat dengan menimbang 25.0 mg baku γ- oryzanol dalam labu 50.0 ml. Deret standar dibuat 5 seri yaitu 0 ppm-250 ppm yang dilarutkan dengan fase gerak. Setelah itu larutan standar baku disaring dengan menggunakan membran PTFE 0.45 mm dan dihilangkan gelembung udaranya terlebih dahulu. Sebanyak 20µl larutan standar baku disuntikkan dalam kolom HPLC. Kondisi HPLC yang digunakan adalah: Kolom : RP-HPLC dengan kolom C-18 25 cm × 4.6 mm Detektor : UV Vis Fase Gerak : metanol, asetonitril, diklorometan, dan asam asetat 50:44:3:3by vol Laju Alir : 1.0 mlmenit Kadar Amilosa IRRI 1978  Pembuatan Larutan Larutan NaOH 1 N dibuat dengan melarutkan 40 g NaOH kristal dengan gelas piala 500 ml. Larutan tersebut dituang ke dalam labu takar 1000 ml dan di tepatkan dengan akuades hingga tanda tera. Larutan asam asetat 1 N dibuat dengan melarutkan sebanyak 5ml asam asetat glasial dengan air akuades 80 ml dan diaduk hingga homogen. Larutan iod dibuat dengan melarutkan 20 g kalium iodida ke dalam 500 ml akuades dan ditambahkan 2 g iod. Larutan dipindahkan ke dalam labu takar 1000 ml dan ditambahkan akuades hingga tanda tera serta dikocok hingga tercampur rata.  Pembuatan Kurva Standar Amilosa murni ditimbang sebanyak 40 mg kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml.Amilosa kemudian ditambahkan 1 ml etanol 95 dan 9 ml NaOH 1 N.Larutan standar dipanaskan di atas waterbath suhu 95°C selama 10 menit dan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades. Selanjutnya larutan tersebut dipipet masing-masing sebanyak 1, 2, 3, 4, dan 5 ml dalam labu takar 100 ml. Ke dalam masing-masing labu takar tersebut ditambahkan asam asetat 1 N sebanyak masing-masing 0,2; 0,4; 0,6; 0,8; dan 1 ml. Larutan iod ditambahkan sebanyak 2 ml. Setelah itu, larutan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades dan dikocok. Larutan didiamkan selama 20 menit kemudian diukur intensitas warna yang terbentuk.Pengukuran dilakukan dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm.  Penetapan Sampel Sejumlah 100 mg sampel tanpa lemak dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Sampel ditambahkan 1 ml etanol serta 9 ml NaOH 1 N. Setelah itu, larutan sampel dipanaskan di atas waterbath suhu 95°C selama 10 menit dan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades. Larutan kemudian dipipet sebanyak 5 ml, dan dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Sebanyak 1 ml asetat 1 N dan 2 ml larutan iod ditambahkan.Larutan selanjutnya ditambah akuades sampai tanda tera, dikocok, dan didiamkan selama 20 menit. Intensitas warna yang terbentuk diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm.Kadar amilosa dihitung dengan rumus: Kadar Amilosa A S x P Keterangan: A : absorbansi sampel pada panjang gelombang 625 nm S : slope kemiringan pada kurva standar FP : faktor pengenceran W : berat sampel g Derajat Gelatinisasi Wooton et al. 1971 Sebanyak 1 gram sampel halus 60 mesh dilarutkan dalam 100 ml air selama 1 menit dengan waring blender.Larutan disentrifuse pada suhu ruang selama 15 menit dengan kecepatan 3500 rpm. Supernatan diambil 0.5 ml secara duplo dan ditambahkan 0.5 ml HCl 0.5 M.Larutan ditambahkan akuades hingga volume menjadi 10 ml.Pada salah satu tabung duplo ditambahkan 0.1 ml larutan iodium. Larutan lain disiapkan dengan cara melarutkan 1 gram sampel dengan 95 ml air dan ditambahkan 5 ml NaOH 10 M. Larutan dikocok selama 5 menit kemudian disentrifus selama 15 menit pada suhu ruang dengan kecepatan 3500 rpm. Supernatan diambil 0.5 ml secara duplo kemudian ditambah 0.5 ml HCl 0.5 M. Larutan ditambahkan akuades hingga volume menjadi 10 ml.Pada salah satu tabung duplo ditambahkan 0.1 ml larutan iodium.Larutan diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 600 nm. Pengamatan dilakukan dengan urutan sebagai berikut: 1 larutan yang ditambahkan HCl digunakan sebagai standar blanko pati tergelatinisasi; 2 larutan bahan yang ditambahkan HCl dan larutan iodium digunakan sebagai larutan pati tergelatinisasi; 3 larutan bahan yang ditambah NaOH dan HCl sebagai larutan standar blanko total pati; 4 larutan bahan yang ditambah NaOH, HCl, dan larutan iodium sebagai larutan total pati. Derajat gelatinisasi dihitung dengan rumus : Derajat gelatinisasiሺ ሻ nilai absorbansi pati tergelatinisasi nilai absorbansi total pati x 100 Uji Total Serat Pangan Metode Enzimatis AOAC 985.29  Persiapan sampel Sampel kering digiling hingga berukuran 40-50 mesh. Sampel yang mengandung lemak lebih dari 10 harus dihilangkan lemaknya dengan cara dicampurkan dalam 25 ml petroleum eterg sampel selama satu jam sebanyak tiga kali ulangan, selanjutnya diblender kering. Sampel kemudian dikeringkan selama 12 jam dengan oven biasa pada suhu 105 o C hingga kadar airsampel kurang dari 5. Kehilangan bobot akibat penghilangan air danatau lemak dicatat dan dibuat faktor koreksi yang tepat untuk menghitung TDF. Prosedur analisis dilakukan terhadap blanko untuk melihat kandungan endapan non serat yang berasal dari reagen atau enzim yang terdapat dalam residu dan dapat terhitung sebagai serat pangan. Sampel kering ditimbang sebanyak 1 g dalam gelas piala 400 ml.Perbedaan bobot antar sampel diusahakan tidak lebih dari 20 mg.Sebanyak 50 ml buffer fosfat pH 6.0 ditambahkan hingga pH 6.0 ± 0.2.Sebanyak 0.1 ml larutan termamyl ditambahkan. Gelas piala ditutup menggunakan kertas aluminiumdan diletakkan dalam air mendidih selama 15 menit. Larutan sampel digoyangkan secara perlahan tiap 5 menit.Waktu pemanasan dapat ditambahkan jika jumlah sampel yang ditempatkan di dalam waterbath belum mencapai suhu internal antara 95- 100 o C.Termometer digunakan untuk memastikan tercapainya suhu 95-100 o C selama 15 menit.Prosedur ini dapat dilakukan selama 30 menit.Selanjutnya larutan tersebut didinginkan pada suhu ruang. Nilai pH ditepatkan hingga 7.5 ± 0.2 dengan penambahan 10 ml NaOH 0.275 N. Sebanyak 5 mg protease dimasukkan ke dalam sampel dengan cara dilengketkan pada ujung spatula. Protease dapat pula digunakan dalam bentuk larutan 50 mg dalam 1 ml buffer fosfat yang dipipet sebanyak 0.1 ml dan dimasukkan ke dalam sampel sesaat sebelum digunakan. Setelah itu sampel ditutup kembali dengan kertas alufo dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu 60 o C dengan agitasi kontinyu.Sampel didinginkan dan ditambahkan 10 ml HCl 0.325 M. Nilai pH diukur hingga berkisar antara 4.0-4.6. Enzim amiloglukosidase ditambahkan ke dalam sampel dan ditutup kembali dengan kertas alufo. Selanjutnya diinkubasi selama 30 menit pada suhu 60 o C dengan agitasi kontinyu.Sampel yang telah diinkubasi ditambahkan 280 ml etanol 95 yang sebelumnya telah dipanaskan hingga suhunya 60 o C volume diukur setelah pemanasan.Sampel dibiarkan pada suhu kamar selama 60 menit agar terbentuk endapan.Secara kuantitatif endapan disaring melalui crucible.Sebelumnya, crucible yang mengandung celite ditimbang. Residu dari hasil penyaringan dicuci dengan 3 x 20 ml etil alkohol 78, 2 x 10 ml etil alkohol 95, dan 2 x 10 ml aseton secara berturut-turut. Filtrasi dapat dibantu dengan pengadukan menggunakan spatula.Waktu yang dibutuhkan untuk pencucian dan penyaringan bervariasi antara 0.1 sampai 6 jam, rata-rata waktu yang dibutuhkan ialah 0.5 jam per sampel. Lamanya waktu filtrasi dapat dikurangi dengan penghisapan vakum secara hati-hati setiap lima menit selama filtrasi. Crucible yang mengandung residu dikeringkan selama satu malam di dalam oven pada suhu 105 o C dan didinginkan dalam desikator baru kemudian ditimbang. Bobot residu didapatkan dari hasil pengurangan bobot crucible dan celite. Analisis residu dari satu sampel ulangan digunakan untuk analisis protein menggunakan metode Kjeldahl, faktor konversi yang digunakan ialah N x 6.25. Sampel ulangan lainnya diabukan selama 5 jam pada suhu 525 o C. Cawan dan abu kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang untuk mendapatkan bobot abu. Penentuan blanko B : B mg = bobot residu – PB – AB Bobot residu mg = rata-rata bobot residu mg untuk dua ulangan blanko PB dan AB mg = bobot protein dan abu dari kedua ulangan blanko. Perhitungan total serat pangan TDF: TDF = [bobot residu – P – A – B bobot sampel] x 100 P dan A mg = bobot protein dan abu dari kedua ulangan sampel Bobot sampel mg= rata-rata bobot sampel. Uji Antioksidan metode DPPH Kubo et al. 2002 Sampel sejumlah 5 g dilarutkan dalam methanol PA dengan perbandingan 1:4. Campuran diinkubasi selama 2 jam pada suhu 37°C. Selanjutnya campuran disaring dengan bantuan kertas saring untuk mendapatkan larutan sampel. Sebanyak 2.8 ml metanol PA, 1 ml buffer asetat pH 5.5, dan 250µl larutan DPPH dimasukkan dalam tabung reaksi dan dikocok kuat vorteks. Setelah itu, 45µl larutan sampel ditambahkan dalam tabung reaksi dan divorteks. Tabung reaksi diinkubasikan dalam ruang gelap selama 20 menit.Absorbansi larutan diukur pada panjang gelombang 517 nm.Aktivitas antioksidan diperoleh dari hasil pengukuran absorbansi sampel dibandingkan dengan kurva standar kapasitas antioksidan vitamin C asam askorbat.Satuannya µg vitamin C equivalenmg sampel CEQmg sampel. Uji Total Fenol Slinkard dan Singelton 1977 Sebanyak 3.9 ml akuades dan 0.5 ml pereaksi Folin-Ciocalteu FC 1:10 dalam akuades ditambahkan ke dalam 0.1mL minyak beras analog. Larutan tersebut didiamkan selama 3 menit kemudian ditambahkan 2ml Na 2 CO 3 20 dan diukur absorbansnya pada panjang gelombang 756.5nm. Kandungan fenol total dalam ekstrak etanol dinyatakan sebagai miligram ekuivalen asam galatgram sampel mg EAGg sampel. Uji Tingkat Kecerahan nilai L Pengukuran warna dilakukan dengan Chromameter CR 300 Minolta. Sistem notasi warna yang terdapat dalam chromameter digunakan sebagai cara sistematik dan objektif untuk mendeskripsikan suatu jenis warna. Pengukuran ditampilkan dalam skala L a b. L menunjukkan kecerahan dengan nilai 0 gelaphitam, 100 terangputih. Analisis Sensori dengan Uji t-testMeilgaardet al. 1999 Analisis sensori merupakan analisis yang menggunakan indera manusia sebagai instrumennya.Analisis sensori yang dilakukan adalah uji t-tes hedonik beras formula optimum dengan beras analog yang telah beredar di pasaran beras cerdas.Analisis yang dilakukan menyangkut penerimaan terhadap sifat atau kualitas sampel yang diujikan dan melibatkan panelis tidak terlatih sebanyak 72 orang. Panelis diminta mengungkapkan tanggapan pribadinya dengan nilai skala terhadap warna, tekstur, aroma, dan kesukaan secara keseluruhan untuk beras serta rasa, warna, tekstur kelengketan, aroma dan kesukaan secara keseluruhan untuk sampel nasi dari beras analog. Uji hedonik menggunakan skala angka dari 1-7 sangat tidak suka sampai sangat suka dengan desain penyajian sampel menggunakan uji t-test. Data yang diperoleh akan ditabulasi dan dianalisis dengan analisis ragam ANOVA. Uji Indeks Glikemik Miller et al. 1997 Beras analog sebelumnya dimasak terlebih dahulu dengan perbandingan beras dan air 1:1 selama 8 menit.Setelah itu dilakukan analisis proksimat terhadap nasi dari beras analog untuk menentukan jumlah sampel yang harus dikonsumsi oleh relawan.Jumlah sampel ditentukan mengandung 50 g karbohidrat. Penentuan indeks glikemik menggunakan subjek manusia. Relawan yang digunakan dalam pengujian ini diseleksi yang memiliki kadar gula darah puasa normal 70-120 mgdl. Seleksi dilakukan saat pengujian sampel yang pertama dan terpilih 10 orang relawan.Sampel berikutnya dan pangan acuan diuji pada hari yang berlainan dengan interval minimal 3 hari. Relawan diminta melakukan puasa selama 10 jam pada malam hari kecuali air putih. Pagi harinya sebanyak ±5 µl darah relawan diambil melalui ujung jari untuk diukur kadar glukosa darahnya dengan menggunakan Glucocard TM Test Strip. Relawan kemudian diminta memakan nasi dari beras analog yang telah disiapkan dan kadar gulanya darahnya kembali diukur pada menit 30, 60, dan 120 menit setelah makan. Pengukuran respon kadar glukosa darah untuk pangan standar 50 g glukosa murni dilakukan pada hari berbeda dengan rentang minimal 3 hari. Data yang diperoleh ditebar pada grafik dengan kadar glukosa darah pada sumbu y dan waktu menit pada sumbu x. Kurva lalu dibuat untuk masing- masing relawan dan dihitung luas area di bawah kurva.Nilai IG masing-masing relawan dihitung dan dirata-rata. Perhitungan untuk nilai IG adalah sebagai berikut : luas area di bawah kurva respon glikemik sampel luas area di bawah respon glikemik standar glukosa x 100

3.3 Hasil dan Pembahasan

3.3.1 Karakteristik Bahan Baku

Bahan baku dalam pembuatan beras analog pada penelitian ini adalah tepung jagung, sagu, tepung kedelai, dan bekatul. Bahan baku tersebut dianalisis terlebih dahulu untuk mengetahui karakternya secara kimia. Hasil analisis dari bahan baku dapat dilihat pada Tabel 3.1. Tabel 3.1 Karakterisasi bahan baku beras analog Karakter Tepung jagung Sagu Tepung kedelai Bekatul Kadar air bk 9.24 9.06 5.05 12.44 Kadar abu bk 0.89 0.07 4.79 9.97 Kadar protein bk 8.48 0.06 36.33 16.54 Kadar lemak bk 2.35 0.17 27.11 16.05 Kadar karbohidrat bk 79.04 90.64 26.72 14.80 Serat pangan bk 11.21 - 17.31 19.71 Amilosa 19.33 27.45 3.72 - Analisis proksimat yang dilakukan terdiri atas analisis kadar air, abu, lemak, protein, dan karbohidrat. Kadar air dari tepung jagung, sagu, kedelai, dan bekatul berturut-turut adalah 9.24, 9.06, 2.05, dan 12.44. Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa kadar air bahan baku masih dibawah 15. Menurut Steiger 2011, kadar air produk pangan kurang dari 15 akan aman selama penyimpanan. Berdasarkan Tabel 3.1 juga dapat dilihat kadar protein pada tepung kedelai paling tinggi dibanding bahan baku lainnya. Pengukuran protein kedelai adalah 36.33.Kandungan protein tersebut lebih rendah dari hasil penelitian Widaningrum et al. 2005 yang menyatakan bahwa protein pada tepung kedelai adalah 41.71.Perbedaan hasil tersebut kemungkinan disebabkan perbedaan varietas dan kondisi penanaman Afandi 2000. Keberadaan protein selain dapat meningkatkan nilai nutrisi juga dapat memperbaiki tekstur pada beras analog Koide et al.1999; Widaningrum et al. 2005. Hasil analisis bahan baku yang penting dilakukan adalah serat pangan. Serat pangan merupakan salah satu parameter uji yang mempengaruhi tekstur dan indeks glikemik pada beras analog. Serat pangan pada tepung jagung, tepung kedelai, dan bekatul berturut-turut yaitu 11.21, 17.31, dan 19.71. Kandungan serat bahan baku tersebut tergolong serat tinggi. Menurut Widowati et al. 2010 suatu bahan dapat dikatakan sebagai sumber serat bila mengandung serat 6. Selain serat, faktor lain yang mempengaruhi tekstur adalah kandungan amilosa. Amilosa merupakan parameter penting yang menentukan sifat dari kelengketan dari suatu produk yang berasal dari bahan baku tepung-tepungan. Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 3.1, kandungan amilosa pada sagu didapatkan 27.45, lebih tinggi dari tepung jagung 19.33. Hal tersebut kemungkinan terjadi karena sagu sudah dalam bentuk pati sedangkan tepung jagung masih mengandung komponen lain seperti serat, lemak, dan protein yang menyebabkan presentase amilosa menjadi lebih rendah.

3.3.2 Tahap Pendahuluan Pembuatan Beras Analog

Pembuatan beras analog berbahan dasar jagung pada penelitian ini menggunakan teknologi ekstruksi.Ekstrusi adalah suatu proses dimana bahan mengalami proses pencampuran dan pemanasan dengan suhu tinggi Mishra et al. 2012. Proses ini dilanjutkan dengan pemotongan dengan cetakan yang dirancang untuk membentuk hasil ekstruksi. Kelebihannya dibanding ekstruder ulir tunggal adalah waktu pembuatan singkat, produktivitas tinggi, dan biaya murah Riaz 2000 serta kualitas produk pun lebih terjaga karena merupakan proses terkontrol Hurber 2000. Prinsip proses ekstrusi pada industri pangan umumnya berdasarkan pada gelatinisasi pati, pembentukan kompleks lemak-pati, denaturasi dan teksturisasi protein, pengaruh tekananpenggilingan dan pengembangan Hurber 2000. Tahapan pembuatan beras analog adalah 1 Pengeringan matrik beras sebagai tahap pre treatment 2 Pencampuran bahan untuk pembuatan matrik beras 3Penambahan emulsifier dan air pada adonan untuk mengikat air sehingga adonan membentuk pasta dengan kadar air 30-60 dari berat adonan Kato 2006 4 Penambahan mikronutrien yang diinginkan biasanya dalam bentuk bubuk untuk memudahkan pencampuran padaproses formulasi 5 Tahap pre-condition yaitu pemanasan dengan suhu 70-100°C tidak lebih dari 5 menit 6 Tahap pembentukan dengan menggunakan die cetakan berbentuk lubang sehingga dihasilkan untaian adonan. Pada tahap ini suhu yang digunakan antara 60-120°C dan waktu tinggal 10-90 detik 7 Tahap pemotongan dengan kecepatan tertentu agar menyerupai bentuk beras 8 Tahap pengeringan hingga kadar air dibawah 15 Steiger 2011; Budijanto 2011. Menurut Koide et al. 1999 pada proses pembuatan beras analog, suhu yang baik digunakan pada ekstruder yaitu antara 80-120°C. Pada suhu 80°C terjadi pre-gelatinisasi hingga 50-60 sedangkan penggunaan suhu 120°C menyebabkan kondisi pre-gelatinisasi hingga 90 lebih. Pada penelitian ini awalnya digunakan suhu ekstruder 85°C, tetapi suhu tersebut tidak menghasilkan tekstur beras analog yang baik.Beras analog yang dihasilkan mudah patah dan belum tergelatinisasi dengan baik.Hasil pengukuran derajat gelatinisasi adalah 42.67.Suhu ekstruder 100°C digunakan kemudian menunjukkan tekstur beras analog yang lebih baik.Tekstur lebih kompak dan tidak mudah patah.Derajat gelatinisasi yang terukur adalah 60.41.Derajat gelatinisasi yang optimum menurut Koide et al. 1999 adalah 50-95. Beras analog dibuat dari pencampuran antara tepung jagung, sagu, tepung kedelai dan bekatul.Gliseril monostearat GMS 2 ditambahkan sebagai bahan pengikat pada beras analog Budijanto dan Yulianti 2012. Fungsi GMS dalam formulasi ini adalah sebagai pelumas saat proses ekstrusi, menurunkan derajat pengembangan ekstrudat, memperkuat tekstur beras analog, dan mengurangi cooking loss Stanley et al. 1989. GMS akan berikatan dengan amilosa membentuk struktur helik Putseys et al. 2010; Alsaffar 2011 pada suhu 60-90°C saat terjadi proses gelatinisasi Stanley et al. 1989. Tahap awal formulasi pembuatan beras analog ini menggunakan perbandingan tepung dan pati 70:30. Pati yang digunakan adalah pati sagu 30 sedangkan tepung yang dipakai adalah tepung jagung 70 Budijanto dan Yulianti 2012. Formula awal yang dipakai belum ditambahkan tepung kedelai atau tepung bekatul karena untuk mengetahui efek penambahan sagu dalam pembuatan beras analog. Hasil beras analog yang didapatkan dengan penggunaan sagu 30 adalah beras analog yang lengket sedangkan pada penggunaan sagu konsentrasi 25, mempunyai tekstur dan bentuk yang baik menyerupai beras sehingga untuk proses selanjutnya dipakai sagu dengan konsentrasi 25. Penambahan sagu selain memperbaiki warna dari produk beras analog juga dapat menjadi bahan pengikat yang baik.Hal tersebut terlihat dari sagu 25 menunjukkan tekstur yang lebih baik dari penambahan sagu 20.Sagu dapat membentuk lapisan film dan dapat mempertahankan tekstur saat pemasakan juga membentuk rongga udara lebih kecil Gonzales 2005. Air yang ditambahkan adalah 1.5 liter yaitu 50 dari total adonan kering Kurachi 1995; Kato 2006; Budijanto dan Yulianti 2012. Berdasarkan percobaan, air 50 dari total adonan kering menghasilkan bentuk dan tekstur adonan yang baik. Penggunaan air dalam proses ekstrusi diperlukan untuk proses gelatinisasi Mishra et al. 2012. Tepung kedelai dipergunakan untuk menambah kandungan protein dari produk beras analog. Menurut Kato 2006, tepung kedelai pada rice substitute digunakan untuk menghasilkan produk tinggi protein dan rendah karbohidrat bila dibandingkan dengan beras aslinya. Tepung kedelai memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan sebagai ingridien bahan pangan karena mengandung protein yang tinggi 35-38 dan lemak yang cukup tinggi ± 20 Konsentrasi tepung kedelai yang ditambahkan yaitu berada pada rentang 0-20 dari total adonan kering. Kadar maksimal kedelai 20 dipilih karena kedelai 20 adalah batas warna produk dapat diterima secara sensori Widaningrum 2005 sejalan dengan penelitian Koideet al. 1999 yang menyatakan penggunaan tepung kedelai antara 0.5-20. Penggunaan di bawah rentang tersebut menyebabkan tidak tercapainya tingkat protein yang diinginkan tapi bila terlalu banyak penambahan akan menyebabkan pembentukan warna kecoklatan pada beras analog. Tahap berikutnya menentukan interval bekatul yang akan ditambahkan pada beras analog. Bekatul yang digunakan pada konsentrasi 5, 10, dan 15.Penambahan bekatul dilakukan untuk meningkatkan kandungan komponen antioksidan pada beras analog. Pemilihan kadar maksimal bekatul berdasarkan analisis sensori pada 3 formula Tabel 3.2 dari penampakan keseluruhan dan warna pada formula beras dan nasi analog. Berdasarkan hasil analisis sensori didapatkan panelis agak suka pada produk dengan 5 bekatul dan 10 bekatul.Namun tidak suka dengan penambahan bekatul 15.Penambahan bekatul pada konsentrasi 15 menyebabkan warna beras analog menjadi lebih gelap dan juga memberikan rasa pahit dan aroma yang tidak disukai oleh panelis.Rasa pahit pada bekatul kemungkinan disebabkan karena adanya kandungan komponen polifenol sebanyak 305-390 ppm Qureshi et al. 2002.Hasil analisis sensori menunjukkan penambahan bekatul 10 yang dipilih sebagai batas maksimal pada tahap formulasi dengan progamMixture Design pada tahap penelitian utama. Tabel 3.2 Formula beras analog untuk pemilihan konsentrasi bekatul terbaik Formula Komposisi 1 Sagu 25, GMS 2, tepung kedelai 20, tepung jagung 48, bekatul 5 2 Sagu 25, GMS 2, tepung kedelai 20, tepung jagung 43, bekatul 10 3 Sagu 25, GMS 2, tepung kedelai 20, tepung jagung 38, bekatul 15

3.3.3 Pembuatan Beras Analog dengan Progam Mixture Design Design Expert 7.0

Mixture design dalam Design Expert v 7.0 DX7 merupakan progam yang dipergunakan untuk mendapat formula yang optimum dalam suatu produk. Pemilihan kriteria dalam penggunaan mixture design diantaranya adalah pertama bahan baku dan ingredien yang merupakan bagian dari total formulasi, kedua respon yang merupakan parameter yang penting diketahui akibat penggunaan bahan baku dan ingredien yang dipakai Cornell 1990. Penelitian pendahuluan sebelumnya merupakan penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan variabel-variabel dan interval penyusun produk yang akan dipergunakan untuk penentuan model dengan progam ini. Variabel yang dipakai adalah konsentrasi tepung jagung, tepung kedelai, dan bekatul. Tepung sagu tidak dijadikan variabel pada progam Mixture Design DX7 karena berdasarkan penelitian pendahuluan tepung sagu konsentrasi tepung sagu 25 adalah konsentrasi yang menghasilkan tekstur dan bentuk beras analog yang baik. Konsentrasi sagu 30 menghasilkan beras yang lengket dan konsentrasi kurang dari 25 menyebabkan beras mudah hancur saat dimasak karena daya ikat pada matriks adonan kurang kuat. Jumlah total formula dari variabel harus memenuhi nilai 100, karena itu disesuaikan kembali untuk menentukan batas atas dan batas bawah yang akan diterapkan pada progam Mixture Design DX7. Interval yang akan dipakai dapat dilihat pada Tabel 3.3.Hasil olahan data dari progam Mixture Design DX7 berdasarkan interval pada Tabel 3.3 akan menghasilkan 16 formula. Formula- formula tersebut akan diukur respon kadar antioksidan dan kecerahannya Tabel 3.4. Tabel 3.3 Interval dari variabel penyusun beras analog Variabel Batas atas Batas bawah Tepung jagung 100 58.91 Tepung kedelai 27.39 Bekatul 13.70 Respon kecerahan dipilih karena berpengaruh dalam penerimaan produk secara sensori dan kadar antioksidan dipilih karena untuk mengetahui efek penambahan bahan baku tepung jagung, tepung kedelai, dan bekatul terhadap kandungan antioksidan pada beras analog. Pemilihan respon tersebut sejalan dengan penelitian Yousif et al. 2012 yang menggunakan nilai kecerahan dan antioksidan sebagai parameter penerimaan konsumen dan efek penambahan tepung sorgum sebagai sumber antioksidan pada roti tawar.Nourajit et al. 2011 juga menggunakan parameter antioksidan untuk mengetahui pengaruh penambahan tepung “hemp” pada produk energy bar. Berdasarkan 16 formula dan hasil analisis respon, Mixture Design DX7akan merekomendasikan persamaan polinomial yang cocok linier, kuadratik, dan kubik. Proses pemilihan model yaitu dilihat dari persamaan yang menunjukkan model memiliki hasil signifikan lebih kecil atau sama dengan 0.05. Berikut disajikan hasil analisis respon yang berdasarkan kecerahan dan kadar antioksidan produk. Tabel 3.4 Rancangan formula beras analog hasil progam DX7 beserta respon kecerahan dan kadar antioksidan Formula Tepung jagung Tepung kedelai Bekatul Respon Kecerahan L Kapasitas Antioksidan µg CEQmg sampel 1 69.49 27.39 3.12 57.71 7.70 2 69.49 27.39 3.12 55.24 8.00 3 82.59 17.41 0.00 53.40 5.07 4 100.00 0.00 0.00 59.88 3.36 5 81.08 11.43 7.50 49.56 7.39 6 58.92 27.39 13.69 48.12 6.67 7 75.24 11.06 13.70 53.79 6.51 8 75.33 20.70 3.97 53.69 6.68 9 58.92 27.39 13.69 49.67 7.26 10 90.49 5.73 3.78 54.02 6.85 11 66.00 24.05 9.95 49.96 6.00 12 100.00 0.00 0.00 58.09 3.09 13 86.30 0.00 13.70 49.72 7.30 14 69.27 17.21 13.53 50.67 6.74 15 82.59 17.41 0.00 49.25 4.91 16 86.30 0.00 13.70 50.77 5.82 Respon Tingkat Kecerahan nilai L Pemilihan model melalui programMixture Design DX7 menunjukkan model linier sesuai untuk respon kecerahan. Model linier dipilih karena model tersebut menunjukkan adanya perbedaan nyata signifikan antar nilai respon.Nilai kepercayaan model linier lebih kecil dari 0.05 yaitu 0.0043. Persamaaan untuk kecerahan adalah : Tingkat Kecerahan nilai L = 0.56446 tepung jagung + 0.47875 tepung kedelai + 0.19862 bekatul Respon tingkat kecerahan dapat dilihat pada Tabel 3.4.Nilai tingkat kecerahan berkisar antara 48.12 formula 6 hingga 58.80 Formula 4.Rata-rata kecerahan produk adalah sebesar 52.60. Berdasarkan hasil analisis warna nilai L pada ke-16 formula beras analog dapat dilihat bahwa kecerahan yang tertinggi adalah beras yang menggunakan tepung jagung 100 sedangkan nilai kecerahan paling rendah adalah beras analog formula 6. Hal tersebut sesuai dengan persamaan model dari DX7 yang menunjukkan bahwa tepung jagung menentukan kecerahan karena memiliki konstanta terbesar. Tingkat kecerahan yang lebih tinggi dengan komposisi tepung jagung lebih banyak terjadi karena tepung jagung yang berwarna kuning cerah.Menurut Suarni 1995, tepung jagung berwarna kuning cerah karena adanya pigmen warna kuning beta-karoten sehingga dapat meningkatkan kecerahan produk. Warna coklat karena adanya penambahan bekatul dan reaksi Maaillard dapat dikurangi dengan penambahan tepung jagung yang lebih banyak.Reaksi Maillard menurut Fennema 1995 terjadi karena adanya reaksi antara gula pereduksi dari pati dan gugus amin protein dari tepung kedelai.Hasil dari reaksi Maillard adalah melanoidin yang berwarna coklat. . Respon antioksidan Pemilihan model oleh progam DX7 didapatkan model quadratic.Hasil analisis ANOVA menunjukkan kapasitas antioksidan signifikan p0.05 dengan nilai R 0.7237. Hasil persamaan respon nilai kapasitas antioksidan yaitu: Kapasitas antioksidan µg CEQmg sampel = 0.034418 tepung jagung+ 0.21817 tepung kedelai - 2.56037 bekatul + 1.06307x 10 -3 tepung jagungtepung kedelai + 0.032809 tepung jagungbekatul + 0.023814 tepung kedelaitepung bekatul Respon antioksidan dianalisis dengan menggunakan metode DPPH.Uji DPPH merupakan salah satu metode analisis kapasitas antioksidan yang sederhana menggunakan senyawa pendeteksi, yaitu 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil DPPH. Senyawa DPPH adalah senyawa radikal bebas stabil yang dapat bereaksi dengan antioksidan membentuk DPPH tereduksi.Kubo et al. 2002. Uji DPPH tidak spesifik menguji suatu komponen antioksidan, tetapi digunakan untuk pengukuran kapasitas antioksidan total pada bahan pangan. Hasil kapasitas antioksidan terbesar yaitu pada formula 2 yaitu 8 µg CEQmg sampel dan nilai terendah pada formula 12 yaitu 3.09 µg CEQmg sampel. Formula 12 memiliki nilai terendah karena menggunakan 100 tepung jagung tanpa penambahan tepung kedelai dan bekatul. Masing-masing bahan baku seperti tepung jagung, kedelai, dan bekatul memiliki aktivitas antiosidan Tabel 3.5 Tabel 3.5 Kapasitas antioksidan bahan baku beras analog Bahan Baku Tepung jagung Tepung kedelai Bekatul Kapasitas antioksidan µg CEQ mg sampel 21.35 21.56 21.90 Bekatul memiliki aktivitas antioksidan.Bekatul menurut Chen and Bergman 2005 mengandung tokoferol vitamin E, tokotrienol dan oryzanol yang memiliki kapasitas antioksidan. Bekatul juga mengandung komponen polifenol sebanyak 305-390 ppm Qureshi et al. 2002.Menurut hasil analisis, kapasitas antioksidan dari bekatul adalah 21.90 µg CEQmg sampel. Kapasitas antioksidan pada beras analog juga terjadi akibat adanya pemakaian tepung jagung.Tepung jagung mengandung beta karoten yang selain berfungsi sebagai pigmen juga dapat sebagai antioksidan.Hasil analisis antioksidan tepung jagung yaitu 21.35 µg CEQmg sampel.Hasil analisis kedelai juga memiliki mempunyai kapasitas antioksidan sebesar 21.56 µg CEQmg sampel. Menurut Indranupakorn et al 2010, daidzein dan genistein merupakan isoflavon dari ekstrak kedelai yang memiliki aktivitas antioksidan dengan nilai IC 50 0.41 dan 0.39 mgml lebih tinggi dari aktivitas antioksidan standar trolox 0.28 mgml. Tahap Optimasi Tujuan dari optimasi adalah untuk meminimumkan sumberdaya yang diperlukan dan memaksimumkan hasil yang diinginkan.Penelitian ini memiliki sasaran menghasilkan produk yang memiliki kapasitas antioksidan tertinggi dan kecerahan yang optimum. Oleh sebab itu program Mixture Design DX7akan mengolah semua variabel respon dan memberikan beberapa solusi formula sebagai formula beras analog. Formula optimum yang direkomendasikan oleh progam Mixture Design DX7 dapat dilihat pada Tabel 3.6. Tabel 3.6 Formula optimum hasil olahan progam Mixture Design DX7 Tepung jagung Tepung kedelai Bekatul Prediksi 95 Kecerahan Prediksi 95 Kapasitas antioksidan 65.94 27.39 6.77 45.57-57.75 6.03-10.03 Berdasarkan formula optimum Tabel 3.6 didapatkan formula tepung jagung 32.17, tepung sagu 16.67, tepung kedelai 13.3, bekatul 3.16, GMS 1.33, air 50 dari adonan kering.Gambar beras dan nasi analog formula optimum dapat dilihat pada Gambar 3.3. Gambar 3.3 a Beras analog, b nasi analog dari formulasi optimum Validasi formula optimum dilakukan sebanyak 5 kali ulangan sesuai rekomendasi progam DX7.Setelah itu dilakukan analisis respon terhadap kelima produk beras analog yang terbentuk.Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 3.7. Tabel 3.7 Hasil validasi beras analog terhadap respon Respon Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Ulangan 4 Ulangan 5 Rata-rata Kecerahan 47.24 48.91 50.31 49.26 48.77 48.90 Antioksidan µg CEQmg sampel 7.37 6.45 8.93 6.58 8.22 7.51 Validasi dilakukan untuk mengetahui kesesuaian model yang didapat dari progam Mixture Design dengan kenyataan pembuatan beras analog di lapangan.Berdasarkan hasil validasi pembuatan beras analog didapatkan respon untuk kecerahan 48.90 dan untuk kapasitas antioksidan adalah 7.51 µg CEQmg sampel. Hasil validasi menunjukkan hasil masih berada dalam interval prediksi kepercayaan 95 dari progam Mixture Design. Hasil yang berada dalam rentang prediksi menunjukkan bahwa persamaan model yang diperoleh dapat menggambarkan kapasitas antioksidan dan kecerahan dari beras analog yang dihasilkan.

3.3.4 Karakterisasi Beras Analog Optimum

Beras analog optimum yang diperoleh selanjutnyadianalisis secara fisik, kimia, sifat fungsional aktivitas antioksidan dan indeks glikemik, serta analisis sensori. Analisis fisik yang dilakukan berupa analisis tingkat kecerahan dan analisis kimia berupa analisis proksimat, derajat gelatinisasi, α-tokoferol, dan ϒ- oryzanol, dan serat pangan, analisis sifat fungsional berupa kapasitas antioksidan dan indeks glikemik.Analisis sensori yang dilakukan berupa uji t-test untuk membandingkan beras analog bekatul dan beras analog yang telah beredar di masyarakat Beras Cerdas. Hasil analisa secara lengkap adalah sebagai berikut: a b . Analisis Fisik dan Kimia Hasil analisis fisik dan kimia beras analog, beras analog komersil Beras Cerdas, dan beras sosoh dapat dilihat pada Tabel 3.8. Tabel 3.8 Karakteristik fisik dan kimia beras analog Karakteristik Beras analog a Beras cerdas Beras sosoh Kadar air 4.22 13.44 11.22 b Kadar abu bk 2.07 0.68 0.56 b Kadar lemak bk 5.36 0.75 1.37 c Kadar protein bk 11.4 4.14 8.66 c Serat pangan 13.3 5.44 0.80 c Total fenol 0.05 0.04 - α-tokoferol mg100 g 1.00 - - ϒ-oryzanol µgg sampel 48.70 - - Derajat gelatinisasi 59.41 62.01 64.21 c Kecerahan 48.90 59.33 60.31 a Amilosa 28.02 21.60 23.22 Sumber: a. Hasil analisis peneliti, b Sumber : Ohtsubo 2005, c Liuet al. 2011 Analisis fisik yang dilakukan adalah analisis tingkat kecerahan.Tingkat kecerahan merupakan salah satu parameter yang penting dalam menentukan penerimaan beras.Berdasarkan hasil pengukuran didapatkan bahwa tingkat kecerahan beras analog lebih rendah dibandingkan beras sosoh.Nilai kecerahan pada beras analog, beras cerdas, dan beras sosoh berturut-turut adalah 59.41, 59.33, dan 64.21.Tingkat kecerahan yang rendah pada beras analog disebabkan karena adanya penambahan tepung kedelai dan bekatul.Penambahan tepung kedelai dapat menyebabkan reaksi Maillard bila dilakukan pemanasan suhu tinggi Widaningrum et al. 2005; Bressani 1990. Protein asam amino dan pati gula pereduksi akan berikatan membentuk melanoidin yang bewarna coklat. Selain itu juga kecerahan berkurang juga karena adanya penambahan bekatul yang memang secara alami bewarna coklat. Analisis kimia berupa analisis proksimat juga dilakukan pada beras analog. Analisis proksimat meliputi analisis kadar air, kadar lemak, dan kadar protein. Kadar air dari beras analog diperoleh 4.22. Kadar air tersebut dalam batas aman untuk penyimpanan beras analog. Steiger 2011 menyatakan kadar air beras analog 15 agar aman dalam penyimpanan dan mencegah pertumbuhan kapang. Kadar protein pada beras analog lebih tinggi daripada beras sosoh maupun beras cerdas yaitu 11.4.Hal tersebut terjadi karena pada beras analog diberikan tambahan tepung kedelai.Tepung kedelai digunakan untuk menghasilkan produk tinggi protein dan rendah karbohidrat bila dibandingkan dengan beras aslinya.Menurut hasil analisis, kandungan protein dan karbohidrat tepung kedelai berturut-turut adalah 36.33 dan 26.72.Kandungan lemak pada beras analog 5.36 lebih tinggi dibandingkan beras cerdas 0.75 ataupun beras sosoh 1.37.Kandungan lemak pada beras analog beras berasal dari adanya penambahan tepung kedelai dan bekatul dengan kandungan lemak berturut-turut adalah 27.11 dan 16.54. Selain analisis proksimat, juga dilakukan analisis serat pangan dan derajat gelatinisasi.Analisis serat pangan dan derajat gelatinisasi penting dilakukan karena menentukan tekstur produk Koide et al. 1999; Alsaffar 2011.Serat pangan pada beras analog cukup tinggi yaitu 13.3 bila dibandingkan beras biasa yang hanya 0.80 dan beras cerdas 5.5.Produk pangan sudah dikatakan tinggi serat apabila mengandung serat pangan 3-6 Widowati et al. 2010.Tepung jagung sebagai penyusun utama beras analog 66.11 dari adonan memiliki kandungan serat tinggi yaitu 11.21. Menurut Suarni dan Firmansyah 2005, tepung jagung mengandung komponen fungsional seperti serat pangan. Serat dari beras analog berasal dari tepung jagung, tepung kedelai, dan bekatul.Menurut Liu et al. 2011 serat pangan pada bekatul adalah 33.12. Serat pangan juga diperoleh dari penambahan tepung kedelai. Menurut Widaningrum et al. 2005 tepung kedelai juga merupakan bahan pangan tinggi serat.Kadar serat pada tepung kedelai adalah 17.31. Selain tepung jagung dan kedelai, bekatul juga merupakan bahan baku penyumbang serat pangan pada beras analog. Serat dari bekatul sudah dikembangkan sebagai ingredient fungsional pada produk pangan Qureshi et al. 2002.Serat pangan merupakan komponen pangan yang penting dalam produk pangan.Serat pangan berperan dalam memperlambat kecepatan pencernaan bahan pangan dalam usus, memberikan rasa kenyang lebih lama, serta memperlambat kemunculan glukosa darah sehingga insulin yang dibutuhkan untuk mentransfer glukosa ke dalam sel-sel tubuh dan diubah menjadi energi makin sedikit Bressani 1990; Englsyt et al. 2007. Hasil analisis derajat gelatinisasi pada beras analog adalah 59.41.Derajat gelatinisasi tersebut termasuk derajat gelatinisasi optimum pada beras analog.Derajat gelatinisasi yang optimum sehingga tekstur beras tetap kompak dan baik saat dimasak menurut Koide et al. 1999 adalah 50-95.Derajat gelatinisasi beras analog yang didapat lebih rendah dari beras sosoh 64.21 maupun beras cerdas 62.01.Derajat gelatinisasi yang lebih rendah pada beras analog terjadi karena kandungan serat pangan dan protein beras analog yang lebih tinggi dari beras cerdas ataupun beras sosoh.Serat pangan dan protein menurut Alsaffar 2011 dapat membentuk matrik disekitar granula pati sehingga dapat menghambat hidrolisis amilosa karena masuknya air ke granula pati terhambat dan derajat gelatinisasi menjadi lebih rendah. Analisis Sensori dengan Uji t-test Analisis sensori merupakan analisis yang penting untuk menentukan penerimaan panelis terhadap produk pangan yang dibuat Meilgaard 1999.Uji t- test dilakukan untuk menganalisis karakteristik sensori antara beras analog bekatul dengan Beras Cerdas.Parameter yang diujikan untuk ujisensori adalah parameter kecerahan, tekstur, rasa untuk nasi dari beras analog, dan keseluruhan.Hasil analisis sensori dapat dilihat pada Tabel 3.9. Kecerahan memang merupakan parameter yang penting dalam penentuan kesukaan terhadap beras.Hal tersebut dikarenakan presepsi masyarakat tentang beras itu cerah berwarna putih.Kecerahan pada beras merupakan salah satu parameter yang pertama kali akan dinilai oleh konsumen dan merupakan hal penting dalam penerimaan pangan tersebut Leon et al. 2006. Kecerahanberdasarkan analisis hedonik didapatkan hasil bahwa kecerahan pada beras analog dan beras cerdas berbeda nyata.Panelis agak suka terhadap beras cerdas dengan skor rata-rata 5.13 agak suka sedangkan pada beras analog rata- rata skor panelis 3.79 agak tidak suka-netral.Panelis lebih menyukai beras yang lebih cerah. Beras cerdas berwarna lebih cerah karena bahan bakunya yang berasal dari tepung mocaf, tepung jagung, dan susu skim. Namun pada nasi analog, nasi dari beras cerdas dan nasi analog tidak berbeda nyata atribut kecerahannya. Hal tersebut terjadi karena pada beras cerdas mengandung susu skim sehingga saat pemasakan kemungkinan terjadi reaksi Maillard pula akibat reaksi antara protein dari susu dan gula pereduksi. Reaksi Maillard menyebabkan warna coklat pada nasi analog sehingga menyebabkan kecerahannya berkurang. Tabel 3.9 Hasil analisis sensori beras analog dan beras cerdas Sampel Parameter Kecerahan Tekstur Keseluruhan Rasa Beras analog bekatul 3.79 b 5.50 a 4.97 a - Beras cerdas 5.13 a 4.76 b 4.90 b - Nasi beras analog bekatul 3.54 a 4.72 a 4.51 a 4.35 b Nasi beras cerdas 3.88 a 4.03 b 4.05 b 4.79 a Keterangan: huruf yang berbeda menunjukkan nilai berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95 Tekstur yang dimaksud dalam penilaian sensori beras analog adalah kekerasan pada beras analog dan kelengketan pada produk nasi dari beras analog.Hasil penilaian atribut tekstur beras analog menunjukkan nilai berbeda nyata.Skor penilaian terhadap beras analog 5.50 agak suka-suka sedangkan pada Beras Cerdas 4.76 netral-agak suka.Penilaian panelis yang lebih tinggi terhadap tekstur beras analog dikarenakan bentuk beras analog yang lebih mirip beras pada umumnya dan bentuk lebih seragam. Penilaian panelis terhadap tekstur pada nasi Beras Cerdas menunjukkan skor 4.03 netral sedangkan pada nasi beras analog mempunyai skor 4.72netral-agak suka. Menurut panelis karena pada nasi dari Beras Cerdas lebih lengket dan kenyal menempel satu sama lain sedangkan nasi beras analog lebih terpisah sehingga lebih mirip dengan nasi pada aslinya. Hal tersebut terjadi karena kandungan amilosa dari beras analog lebih tinggi dari dari beras cerdas.Amilosa dari beras analog adalah 28.02 yang tergolong dalam kriteria beras pera amilosa tinggi sedangkan Beras Cerdas tergolong beras beramilosa sedang 20-24.Beras beramilosa tinggi saat dimasak tidak saling menempel dan keras saat kering. Menurut Alliawati 2003, kadar amilosa berpengaruh dalam menentukan tekstur nasi. Berdasarkan kandungan amilosa, klasifikasi beras dibedakan menjadi beras beramilosa tinggi 25, sedang 20- 24, rendah 10-20, dan sangat rendah 10. Rasa merupakan parameter penting dalam penerimaan sebuah produk pangan Meilgaard et al. 1999.Berdasarkan hasil uji hedonik berbeda nyata antara nasi dari beras analog dan Beras Cerdas.Nasi dari beras analog memiliki nilai skor kesukaan 4.35 dari netral-agak suka sedangkan pada nasi dari Beras Cerdas didapatkan skor kesukaan 4.79 netral-agak suka.Skor itu berarti panelis mulai mau menerima rasa dari beras analog walau saat penilaian, panelis masih membandingkan beras analog dengan beras pada umumnya.Presepsi panelis yang merasakan nasi dari beras memiliki rasa normal hambar nasi turut mempengaruhi penilaian panelis terhadap beras analog. Parameter uji secara keseluruhan dari beras analog bekatul dan Beras Cerdas menunjukkan bahwa beras analog dan Beras Cerdas tidak berbeda nyata.Beras analog bekatul memiliki skor 4.97 netral-agak suka dan Beras Cerdas mempunyai skor 4.90 netral-agak suka. Menurut pendapat panelis, Beras Cerdas memiliki keunggulan dari segi kecerahan dibandingkan beras analog bekatul.Namun beras analog bekatul memiliki keunggulan dari bentuk dan ukurannya yang menyerupai beras aslinya serta tidak berbuntut dan seragam. Pada nasi dari hasil olahan beras analog didapatkan skor kesukaan beras analog bekatul adalah 4.51netral-agak suka dan beras cerdas 4.05 netral-agak suka.Panelis berpendapat bahwa rasa pada beras analog bekatul terdapat rasa pahit dan sedikit langu.Rasa pahit kemungkinan berasal dari bekatul.Bekatul mengandung komponen tannin yang memang memiliki rasa pahit. Aroma langu didapatkan karena adanya bahan baku tepung kedelai. Bau langu yang timbul terjadi karena adanya reaksi enzimatis pada kedelai saat pengolahan menjadi tepung. Pada beras cerdas, dari segi rasa panelis lebih suka tetapi dari tekstur nasi yang dihasilkan lebih lengket dan menempel satu sama lain sehingga kurang disukai oleh panelis cenderung netral. Aktivitas Antioksidan Analisis antioksidan dilakukan terhadap beras analog.Berdasarkan hasil analisis didapatkan kapasitas antioksidan dari beras analog adalah 7.51 µg CEQmg sampel sedangkan pada beras cerdas 3.25 µg CEQmg sampel.Hal tersebut terjadi kemungkinan karena beras analog menggunakan bahan tepung jagung kuning, tepung kedelai, dan bekatul yang berdasarkan analisis memiliki kapasitas antioksidan.Kapasitas antioksidan tepung jagung, tepung kedelai, dan bekatul berturut-turut adalah 21.35, 21.56, dan 21.90 ug CEQmg sampel. Selain analisis kapasitas antioksidan, juga dilakukan analisis total fenol pada beras analog dan Beras Cerdas. Berdasarkan analisis didapatkan total fenol pada beras analog dan Beras Cerdas adalah 0.05 dan 0.02. Total fenol pada beras analoglebih tinggi daripada Beras Cerdas kemungkinan karena adanya tepung kedelai dan tepung bekatul pada beras analog. Menurut Yawadio et al. 2007, bekatul mengandung komponen fenol yang terkandung dalam beras pecah kulit. Dua jenis fenol tersebut adalah asam ferulat 85.7 dan tokoferol 14.3. Kapasitas antioksidan dan total fenol pada beras analog juga terlihat dengan adanya kandungan komponen bioaktif α-tokoferol dan ϒ-oryzanol dari beras analog. Kandungan α-tokoferol pada beras analog adalah 1 mg100 g. Berdasarkan penelitian Pangestuti et al. 2004, kandungan tokoferol pada flakes 2.38 mg100 g dengan menggunakan wheat germ 15, dan tepung ubi jalar:tepung kecambah kedelai 1:1 total 85. Tokoferol merupakan senyawa fenolik sehingga mempunyai sifat sebagai antioksidan pada produk beras analog.Kandungan ϒ-oryzanol pada beras analog adalah 48.70 µgg sampel.ϒ- oryzanol pada beras analog berasal dari bekatul yang ditambahkan pada beras analog 6.5.Kandungan ϒ-oryzanol pada bekatul adalah 1871.35 µgg sampel bekatul. Menurut Azrina et al. 2008, ϒ-oryzanol merupakan komponen bioaktif yang baru ditemukan di dalam bekatul. Indeks Glikemik Beras Analog Perubahan gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat saat ini menyebabkan timbulnya penyakit degeneratif seperti diabetes mellitus. Tindakan pencegahan diperlukan untuk mencegah timbulnya penyakit tersebut.Cara memilih pangan yang tepat diantaranya dengan menggunakan pendekatan indeks glikemik.Indeks glikemik merupakan pendekatan yang dikembangkan Jenkins et al. 1981.Penentuan indeks glikemik dilakukan menggunakan subjek manusia.Relawan yang dipilih adalah relawan yang memiliki gula darah puasa normal 60-120 mgdl.Darah yang diambil melalui pembuluh kapiler yang terdapat di jari tangan Ragnhild et al. 2004. Prinsip pengukuran gula darah dengan menggunakan alat glukometer adalah sampel darah yang diperoleh melalui ujung jari dengan menyentuhkan ke ujung test strip. Kerja tes strip ini memiliki daya kapilaritas. Saat wadah darah diujung strip penuh, maka akan terjadi reaksi antara glukosa dengan reagen yang terdapat pada celah strip enzim glukosa oksidase dan kalium ferisianida. Glukosa dan kalium ferisianida akan diubah menjadi asam glukonat dan kalium ferosianida. Kalium ferosianida mencerminkan proporsi gula darah dalam sampel. Kalium ferosianida akan teroksidasi menjadi ferisianida kembali dan menghasilkan elektron yang akan terbaca oleh alat glukometer. Karbohidrat yang dicerna dengan cepat akan menghasilkan IG tinggi sebaliknya karbohidrat yang dicerna dengan lambat akan menghasilkan IG rendah. Jumlah, bentuk, kondisi memasak suatu produk pangan, usia, serta jenis kelamin juga mempengaruhi respon glukosa terhadap gula darah Hallfrisch dan Behall 2000. Berdasarkan pengujian didapatkan bahwa indeks glikemik nasi dari beras analog formula optimum adalah 54. Nilai tersebut lebih rendah dari nasi beras sosoh dengan IG 69 Powell et al. 2002.Indeks glikemik tergantung pada bahan penyusunnya, kandungan protein, jumlah serat, dan kandungan amilosa Hallfrisch dan Behall 2000.Pada beras analog formula optimum dapat dilihat bahwa bahan penyusun beras analog tergolong merupakan bahan berindeks glikemik rendah.Tepung jagung memiliki IG 42 Helmy dan El-Mehiry 2012, bekatul dengan IG 21 Miller et al.1992, dan kacang kedelai dengan IG 51 Marsono et al.2002. Pada Beras Cerdas bahan penyusunnya berupa tepung sagu, Jumlah serat juga mempengaruhi indeks glikemik beras analog.Kandungan serat beras analog tinggi yaitu 13.3.Serat yang tinggi terjadi karena adanya penambahan tepung jagung, tepung kedelai, dan bekatul yang merupakan bahan penyusun beras analog yang tinggi serat pula 6.Keberadaan serat pada bahan pangan juga dapat memperlambat pencernaan karbohidrat.Serat membentuk matriks diluar granula pati sehingga dapat menghambat pencernaan dari karbohidrat Alsaffar 2011. Selain serat, kandungan protein juga mempengaruhi indeks glikemik dari beras analog.Kadar protein beras analog juga tinggi yaitu 11.4.Hal tersebut terjadi karena adanya penambahan tepung kedelai saat formulasi beras analog.Menurut penelitian Gularte et al. 2012, penambahan tepung kacang- kacangan pada produk pangan dapat menurunkan indeks glikemik hingga 18.Protein juga dapat membentuk matrik pangan diluar granula pati.Keberadaan matriks pangan tersebut dapat menghalangi gelatinisasi pati sehingga memperlambat pencernaan pati Alsaffar 2011. Faktor lain yang mempengaruhi indeks glikemik adalah kandungan amilosa pada suatu bahan pangan. Kandungan amilosa pada beras analog tergolong amilosa tinggi 25.Kadar amilosa juga berpengaruh terhadap daya cernanya karbohidrat Hu et al. 2004 karena keberadaan struktur liniearnya yang kompak sehingga sulit dicerna oleh enzim Ek et al. 2011. Berdasarkan hasil karakterisasi beras analog dengan bahan baku tepung jagung, sagu, tepung kedelai dan bekatul, diperoleh hasil beras analog mengandung protein dan serat tinggi serta indeks glikemik rendah. Hasil analisis tersebut menunjukkan beras analog berpotensi dikembangkan produk pangan fungsional yang berbasiskan sumber daya lokal Indonesia

3.4 Simpulan

Beras analog pada peneltian ini berpotensi untuk dikembangkan menjadi pangan fungsional karena merupakan sumber serat 13.3 6, mengandung komponen bioaktif yang berfungsi sebagai antioksidan tokoferol dan oryzanol, dan indeks glikemik 54. Formula optimum beras analog berdasakan parameter antioksidan dan kecerahan adalah tepung jagung 32.17, tepung sagu 16.67, tepung kedelai 13.3, bekatul 3.16, dan GMS 1.33 air 50 dari jumlah adonan.Hasil analisis sensori yang dilakukan menunjukkan beras analog dan nasi dari beras analog secara keseluruhan memiliki nilai kesukaan dari netral-agak disukai sehingga masih perlu dilakukan pengembangan produk lagi untuk meningkatkan penerimaan sensorinya. 4 PEMBAHASAN UMUM Ketahanan pangan adalah kondisi pemenuhan kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah dan mutunya, aman, merata, dan terjangkau BKP 2012.Ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dan strategis karena pangan merupakan kebutuhan dasar manusia. Pembangunan ketahanan pangan di Indonesia ditegaskan dalam Undang-undang Pangan nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah nomor 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. Diversifikasi pangan atau keragaman konsumsi pangan merupakan salah satu strategi mencapai ketahanan pangan. Diversifikasi pangan adalah upaya penganekaragaman pola konsumsi pangan masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu gizi makanan yang dikonsumsi yang pada akhirnya akan meningkatkan status gizi penduduk Kementan 2009. Kendala utama diversifikasi pangan di Indonesia adalah kurangnya pengetahuan gizi masyarakat, adanya budaya dimasyarakat Indonesia yang bila belum makan nasi berarti belum makan, dan kurangya ketersediaan produk pangan yang memenuhi selera masyarakat. Rakyat Indonesia menurut data Kementrian Pertanian RI tahun 2009, mengkonsumsi beras lebih banyak daripada asupan karbohidrat yang dibutuhkan, yakni mencapai 62.2.Konsumsi padi- padian untuk mencukupi karbohidrat itu cukup 50 saja dan sisanya umbi- umbian dan sumber karbohidrat lainnya seperti jagung dan sagu BKP 2012.Bahan-bahan selain beras tersebut sudah digunakan sebagai bahan pangan, tetapi masih belum bisa menggantikan beras sebagai makanan pokok.Peraturan Presiden No. 22 Tahun 2009 tentang percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal kemudian diterbitkan.Harapan penerbitan peraturan tersebut adalah untuk mengurangi konsumsi beras hingga sekitar 3 per tahun sehingga dapat mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap konsumsi beras. Pangan yang baik bukan hanya dapat memenuhi kebutuhan energi dan nutrisi dalam tubuh tetapi juga diharapkan dapat bermanfaaat bagi kesehatan.Produk pangan fungsional yang memiliki potensi bermanfaat bagi kesehatan pun terus dikembangkan.Hal tersebut mengingat makin meningkatnya penyakit degeneratif di Indonesia contohnya penyakit dibetes mellitus. Diabetes mellitus DM merupakan salah satu penyakit degeneratif yang akan meningkat jumlahnya di masa mendatang. Penyakit ini perlu mendapat perhatian karena banyaknya komplikasi-komplikasi yang ditimbulkannya dan merupakan penyakit menahun yang akan diderita seumur hidup, sehingga yang paling berperan dalam penatalaksanaannya adalah pasien sendiri dan keluarganya. Diabetes mellitus akan berkembang menjadi suatu penyebab utama kematian di Indonesia. World Health Organization WHO menempatkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah penderita DM terbanyak keempat di dunia yaitu sekitar 8,6 dari jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2000 danInternational Diabetes Federation IDF memperkirakan adanya kenaikan 8,2 juta penderita DM di Indonesia pada tahun 2020 Vosloo 2005. Penderita DM dianjurkan memilih pangan IG rendah sebab dengan pangan IG rendah, kadar glukosa darah tidak meningkat secara drastis. Salah satu produk yang dikembangkan untuk mendukung progam diversifikasi pemerintah dan menghasilkan pangan yang berpotensi bermanfaat bagi kesehatan adalah beras analog.Beras analog adalah produk olahan yang dibuat dari sebagian atau seluruhnya bahan non-beras yang memiliki bentuk seperti butiran beras padi Mishra et al. 2012. Bahan yang dipakai pada beras analog adalah bekatul.Bekatul memiliki aktivitas antioksidan dan tinggi serat.Selain itu bekatul mengandung tokoferol vitamin E, tokotrienol dan oryzanol yang memiliki kapasitas antioksidan.Bekatul juga memiliki indeks glikemik rendah yaitu 19 Miller et al. 1992.Bekatul merupakan produk samping dari penggilingan beras. Badan Pusat Statistik 2012 melaporkan hasil produksi beras Indonesia mencapai 69 juta ton dan diperkirakan akan meningkat lagi sekitar 0.31 pada tahun 2013. Berdasarkan hasil produksi beras tersebut diperkirakan produksi bekatul di Indonesia mencapai 4.8 juta ton setahun yang diperoleh dari hasil penggilingan beras di Indonesia.Jumlah bekatul yang melimpah tersebut belum diikuti dengan pemanfaatannya secara maksimal.Hal tersebut terjadi karena sifatnya yang kurang stabil selama penyimpanan mudah tengik. Bekatul harus distabilkan segera setelah penggilingan untuk melindunginya dari aktivitas lipase.Beberapa metode pemanasan untuk menonaktifkan lipase dalam bekatul telah dilaporkan.Pemanasan ohmik diterapkan oleh Lakkakula et al. 2004 danpemanasan dengan ekstruder dilakukan oleh Randall et al.1985 dan Budijanto et al. 2010.Namun penelitian di atas sulit dalam pengoperasiannya dan membutuhkan energi yang lebih banyak sehingga metode ini kurang cocok untuk unit penggilingan padi kecil.Penelitian ini mencari perlakuan terbaik stabilisasi bekatul dengan menggunakan single screw conveyor.Prinsip instrumen menggunakan perputaran ulir untuk mendorong bekatul.Variabel yang dikendalikan oleh alat ini untuk menstabilkan bekatul adalah suhu dan kecepatan ulir. Hasil tersebut menunjukkan bahwa proses pemanasan dengan single screw conveyor dapat memperlambat kerusakan bekatul terstabilisasi secara nyata. Perlakuan terbaik yang didapatkan berdasarkan penelitian stabilisasi bekatul Bab II adalah perlakuan A120 kecepatan ulir 15Hz, suhu 120°C. Selain bekatul juga digunakan tepung jagung, kedelai, dan sagu.Penggunaan tepung jagung, kedelai, dan sagu karena bahan pangan tersebut telah cukup familiar dalam masyarakat Indonesia sebagai bahan pangan pokok sehingga diharapkan beras analog dapat dengan mudah diterima dalam masyarakat. Kelebihan tepung jagung sebagai bahan pangan adalah kandungan serat pangannya lebih tinggi dibandingkan dengan terigu. Tepung kedelai menurut Widaningrum et al. 2005 adalah sumber protein dengan kadar protein pada tepung kedelai adalah 41.71. Keberadaan protein selain dapat meningkatkan nilai nutrisi juga dapat memperbaiki tekstur pada beras analog.Penurunan daya cerna karbohidrat dapat berpotensi menjadi bahan pangan dengan nilai IG yang rendah. Bahan lain penyusun beras analog adalah sagu. Sagu merupakan bahan pangan pokok masyarakat Indonesia.Konsumsi sagu oleh masyarakat Indonesia dalam bentuk tepung yang diolah menjadi pangan tradisional. Pangan tradisional yang ada seperti papeda, sagu lempeng, sagu goreng dan lain-lain. Teknologi yang dipergunakan dalam pembuatan beras analog adalah teknologi ekstrusi.Penggunaan ekstruder merupakan teknologi yang memudahkan dalam pembuatan beras analog.Pencampuran dengan berbagai macam komposisi dimungkinkan dengan teknologi ini selain kemudahan dalam preparasi, penggunaan, dan pengembangan produksi Bab III. Formulasi beras analog dengan menggunakan progam Mixture design dalam Design Expert v 7.0 DX7 untuk mendapat formula yang optimum dalam suatu produk Cornell 1990.Penentuan model berdasarkan respon antioksidan dan kecerahan dari produk beras analog.Formula optimum yang didapatkan dari pengolahan progam Mixture Design adalah tepung jagung 32.17, tepung sagu 16.67, tepung kedelai 13.3, bekatul 3.16, GMS 1.33, air 50 dari adonan kering. Beras analog formula optimum dikarakterisasi dan dibandingkan dengan beras sosoh dan beras analog yang telah beredar di masyarakat beras cerdas. Berdasarkan hasil karakteristik beras analog, kadar protein pada beras analog lebih tinggi daripada beras sosoh maupun beras cerdas yaitu 11.4, serat pangan pada beras analog termasuk tinggi yaitu 13.3 bila dibandingkan Beras Cerdas dan beras biasa. Selain analisis fisik dan kimia, analisis sensori juga dilakukan pada beras analog dan nasi dari beras analog Bab III.Analisis sensori menunjukkan beras analog dan nasi dari beras analog formula optimum memiliki skor kesukaan dari netral-agak suka. Uji indeks glikemik dilakukan pula pada beras analog formula optimumberdasarkan Ethical Approval No.LB 02.015.2KE.2092013 yang dikeluarkan oleh Komisi Etik Kementrian Kesehatan RI.Indeks glikemik diuji untuk mengetahui potensi beras analog sebagai pangan fungsional.Berdasarkan data yang diperoleh didapatkan bahwa indeks glikemik beras analog formula optimum adalah 54±18. Berdasarkan hasil karakterisasi beras analog dengan bahan baku tepung jagung, sagu, tepung kedelai dan bekatul, diperoleh hasil beras analog mengandung protein dan serat tinggi serta nilai indeks glikemik54±18. Hasil analisis tersebut menunjukkan beras analog berpotensi dikembangkan menjadi produk pangan fungsional yang berbasiskan sumber daya lokal Indonesia. 5 SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Penelitian ini menunjukkan bahwa stabilisasi dengan single screw conveyor dapat menghambat peningkatan asam lemak bebas dari bekatul. Perlakuan terbaik adalah perlakuan A120 kecepatan ulir 15 Hz dan suhu 120°C karena perlakuan tersebut dapat menghasilkan asam lemak bebas 10 dengan penurunan tokoferol dan oryzanol minimum.Bekatul yang terstabilisasi dengan komponen bioaktifnya berpotensi sebagai ingridien fungsional yang dapat diterapkan pada beras analog.Beras analog yang dihasilkan berpotensi untuk dikembangkan menjadi pangan fungsional karena merupakan sumber serat, mengandung komponen bioaktif, danmemiliki indeks glikemik yang rendah. Formula optimum beras analog berdasakan parameter antioksidan dan kecerahan adalah tepung jagung 32.17, tepung sagu 16.67, tepung kedelai 13.3, bekatul 3.16, dan GMS 1.33 air 50 dari total adonan. Hasil analisis sensori yang dilakukan menunjukkan beras analog dan nasi dari beras analog memiliki nilai kesukaan dari netral-agak disukai. Hasil karakterisasi beras analog tersebut menunjukkan beras analog berpotensi dikembangkan produk pangan fungsional yang berbasiskan sumber daya lokal Indonesia akan tetapi perlu dilakukan perbaikan dari segi sensori agar dapat lebih disukai lagi.

5.2 Saran

Pada penelitian selanjutnya perlu dilakukan perbaikan warna pada beras analog dengan penambahan pewarna alami contohnya angkak untuk meningkatkan penerimaan sensori sehingga menjadi produk yang lebih baik lagi. \ DAFTAR PUSTAKA Afandi S. 2001. Mempelajari pembuatan tepung kedelai Glycine max Merr Amerika Serikat dan analisa mutu tepung yang dihasilkan [Skripsi]. Bogor ID: Institut Pertanian Bogor. Al Mamary M, Al-Habori M, Al-aghbari, Al-Obeidi. 2001. In vivo effect of dietary sorghum tannin on rabbit digestive enzymes, and mineral absorption. J Nutr Res 21:1393-1401 Alliawati G. 2003. Tehnik analisis kadar amilosa dalam beras. Bul. Teknik Pert 82:82-84. Alsaffar AA. 2011. Effect of food processing on the resistant starch content of cereals and cereal products – a review. Int J Food Sci Tech46:455-462. Andarwulan N, Rahayuning D, Koswara S. 2004. Formulasi flakes triple mixed ubi jalar-kecambahkedelai-wheat germ sebagai produk sarapan fungsional untuk anak-anak. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Inovatif Pascapanen untuk Pengembangan Industri Berbasis Pertanian. Balai Pasca Panen. Bogor. Anderson RA, Conway HF, Pfeiler VF, Griffin LEJ. 1969. Gelatinization of corn grits by roll-and extrusion cooking. Cereal Sci. 14:4-7 Anderson AK, Guraya HS, James C, Salvaggio L. 2002. Digestibility and pasting properties of rice starch heat-moisture treated at the melting temperature tm. StarchStärke 54:401-409. [AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 1995. Official Methods of Analysis of AOAC International. Virginia US:AOAC International. Asp NG, Johansson CG, Hallmer H, Siljestrom. 1983. Rapid enzymatic assay of insoluble and soluble dietary fiber. J Agric Food Chem31: 476 – 482. Azrina A, Maznah I. dan Azizah AH. 2008. Extraction and determination of oryzanol in rice bran of mixed herbarium UKMB; AZ 6807: MR 185, AZ

6808: MR 211, AZ6809: MR 29. ASEAN Food J 15 1: 89-96.

Bakara HM. 1996. Karakteristik fisik dan kandungan isoflavon cookies dengan subsitusi tepung tempe [Skripsi]. Bogor ID: Institut Pertanian Bogor. [BKP] Badan Ketahanan Pangan. 2012.Pedoman Pelaksanaan Program Kerja dan Anggaran Badan Ketahanan Pangan Tahun 2012. Jakarta ID:BKP. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Data Strategis BPS. Jakarta ID:BPS. Bressani R. 1990. Chemistry, technology, and nutritive value of maize tortillas.J Food Rev Int 6: 225-264. Budijanto S, Sukarno, Kusbiantoro B. 2010. Inaktivasi Enzim lipase untuk stabilisasi bekatul maksimum FFA 5 4 varietas padi sebagai bahan ingridient pangan fungsional yang dapat disimpan 6 bulan.Laporan hasil Penelitian KKP3T.Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Budijanto S. 2011. Pengembang rantai nilai serealia lokal indegenous cereal untuk memperkokoh ketahanan pangan nasional.Laporan Program Riset Strategi Kemenristek.Serpong. Budijanto S, Yulianti. 2012. Studi persiapan tepung sorgum Sorghum bicolor L. moench dan aplikasinya pada pembuatan beras analog. J Teknol Pert 3:177-186.