Gambaran Umum Kecamatan Limo

Sumber: Data Primer Diolah Gambar 6. Pengalaman Bertani Responden Berdasarkan gambar diatas menunjukkan bahwa pada responden yang melakukan alih fungsi lahan sawah sebagian besar telah melakukan kegiatan bertani selama lebih dari 41 tahun sebanyak 50 persen dan bertani selama 31 – 40 tahun sebanyak 29 persen. Sisanya 13 persen dan 8 persen telah melakukan kegiatan bertani selama 21 – 30 tahun dan 10 – 20 tahun. Sedangkan pada responden yang tidak melakukan alih fungsi lahan sebagian besar 37 persen telah melakukan kegiatan bertani selama 10 – 20 tahun dan selama 31 – 40 tahun sebanyak 36 persen. Kegiatan bertani ini telah mereka lakukan dari usia muda untuk ikut membantu mencukupi kebutuhan keluarga. Sebagian besar petani di Kecamatan Limo melakukan kegiatan bertani utamanya untuk konsumsi sehari- hari.

5.4.5 Luas Lahan Sawah

Luas lahan sawah yang dimiliki oleh petani yang melakukan alih fungsi lahan dan yang tidak melakukan alih fungsi lahan umumnya bervariasi. Kisaran luas yang dimiliki dari 0.1 hektar hingga 4 hektar dengan rata-rata kepemilikan seluas 0.95 hektar. Dari luas lahan tersebut sebagian besar dialihfungsikan, sisanya digarap oleh petani yang awalnya memiliki lahan sawah tersebut setelah dijual kepada investor atau pengembang. Sumber: Data Primer Diolah Gambar 7. Luas Lahan Sawah Responden Berdasarkan gambar diatas luas lahan yang menjadi milik petani sebelum melakukan alih fungsi tergolong tinggi. Responden yang melakukan alih fungsi memiliki luas lahan lebih dari 0.6 hektar sebesar 83 persen dan sisanya memiliki luas lahan sebesar 0.3 – 0.5 hektar engan persentase 17 persen. Dengan memiliki lahan yang luas, menyebabkan petani leluasa untuk menjual lahannya dan melakukan alih fungsi lahan. Sedangkan bagi responden yang tidak melakukan alih fungsi cenderung memiliki luas lahan yang rendah sekitar 0.1 – 0.2 dengan persentase sebanyak 4 persen dan 36 persennya seluas 0.3 – 0.5 hektar. Sementara lebih dari 0.6 hekar hanya dimiliki oleh 18 persen responden.

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Laju Alih Fungsi Lahan Pertanian di Kota Depok

Perubahan penggunaan lahan atau alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian di Kota Depok hampir terjadi setiap tahun. Alih fungsi lahan ini terutama terjadi pada lahan sawah yang beralih fungsi penggunaannya menjadi pemukiman, pertokoan, maupun sarana prasarana seperti jalan tol, dll. Laju alih fungsi lahan dapat dilihat pada gambar 3 berikut. Sumber: Dinas Pertanian Kota Depok 2012 diolah Gambar 8. Laju Luasan Sawah di Kota Depok Tahun 2001 – 2012 Gambar 8 menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan jumlah luasan sawah di Kota Depok. Laju luasan sawah berfluktuatif dari tahun ke tahun. Selama periode 2001-2012 laju luasan sawah relatif menurun, sedangkan pada tahun 2006 mengalami peningkatan luasan sawah meskipun jumlah penambahan lahan sawah tidak seberapa besar jika dibandingkan penurunan luasannya. Menurut Dinas Pertanian dan Perikanan Kota Depok, luasan sawah yang bertambah pada tahun 2006 bukanlah hasil dari pencetakan sawah baru. Luasan yang bertambah sebesar 50 hektar di Kota Depok merupakan penemuan lahan yang dimanfaatkan sebagai lahan sawah dan terdata pada tahun 2006. Hingga saat ini Dinas Pertanian dan Perikanan Kota Depok sedang merencanakan pembelian lahan baru yang kelak dimanfaatkan sebagai lahan sawah dan juga merencanakan LP2B yakni Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan kondisi pertanian di wilayah Kota Depok. Penurunan luasan lahan sawah paling tinggi terjadi pada tahun 2005 yaitu sebesar 369.53 hektar. Hal ini disebabkan pada tahun tersebut terjadi pembebasan lahan untuk pemukiman secara meluas di beberapa wilayah Depok. Secara umum pada sebelas tahun terakhir terjadi penurunan luas lahan sebesar 815 hektar atau sekitar 74.09 hektar per tahun. Dengan adanya alih fungsi lahan tersebut, Luas lahan sawah di Kota Depok berubah dari 1332 hektar pada tahun 2001 menjadi 517 hektar pada tahun 2012. Laju penyusutan luas lahan sawah selanjutnya bisa dilihat pada tabel 8 berikut. Tabel 8 Luas dan Laju Alih Fungsi Lahan Sawah di Kota Depok Tahun 2001- 2012 Tahun Luas Sawah ha Luas Sawah Terkonversi ha Laju Penyusutan Luas Sawah 2001 1332.00 - - 2002 1332.00 0.00 2003 1287.00 45 -0.03 2004 1287.00 0.00 2005 917.47 370 -0.29 2006 972.10 55 0.06 2007 972.50 0.4 0.00 2008 972.00 1 0.00 2009 932.00 40 -0.04 2010 932.00 0.00 2011 805.00 127 -0.14 2012 517.00 288 -0.36 Total 815 -0.80 rata-rata 74 -0.07 Sumber: Dinas Pertanian dan Perikanan Kota Depok diolah Pada tabel tersebut nilai laju penyusutan luas sawah yang bertanda negatif menunjukkan bahwa terjadi penyusutan lahan sawah akibat alih fungsi lahan. Nilai positif menggambarkan adanya lahan yang dimanfaatkan sebagai lahan sawah baru pada tahun tersebut. Laju penyusutan lahan sawah di Kota Depok bisa dikatakan cukup besar, yaitu dengan total sekitar -0.80 persen atau sebesar 815 hektar. Hal tersebut menunjukkan bahwa selama sebelas tahun terakhir lahan sawah di Kota Depok telah mengalami penyusutan sebesar 0.80 persen atau sebesar 815 hektar. Penyusutan luas lahan sawah sudah dimulai pada tahun 2003 dimana lahan berkurang sebesar 45 hektar atau mengalami penyusutan sebesar 0.03 persen dari 1332 hektar lahan sawah menjadi 1287 hektar. Pada tahun 2005 terjadi alih fungsi sawah terbesar dengan luas lahan sebesar 370 hektar dari luas lahan sebesar 1287 hektar menjadi 917.47 hektar atau terjadi penyusutan luas lahan sebesar 0.29 persen. Peningkatan jumlah luasan sawah di Kota Depok bertambah sebesar 55 hektar pada tahun 2006. Lahan tersebut meningkat 0.06 persen dari tahun sebelumnya dimana sebelumnya memiliki luas 917.47 hektar menjadi 972.10 hektar. Pada tahun 2007 juga terjadi penambahan luas sawah sebesar 0.4 hektar. Secara keseluruhan dari tahun 2001 hingga 2012 terjadi penyusutan luas lahan sawah di Kota Depok dengan rata-rata sebesar -0.07 persen atau sebesar 74 hektar. Penurunan luasan sawah membuktikan bahwa terjadinya pembangunan di sektor non pertanian yang dilakukan pada lahan sawah produktif. Sebagian besar lahan yang dialihfungsikan dijadikan sebagai perumahan atau pemukiman penduduk. Hal ini tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri PERMENDAGRI No 5 Tahun 1974 bahwa lokasi pembangunan kompleks perumahan oleh perusahaan sedapat mungkin menghindari lahan pertanian subur dan mengutamakan tanah yang kurang produktif. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur maupun Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan belum bisa mengatasi permasalahan yang ada saat ini. Peraturan dan undang-undang tersebut belum diaplikasikan secara optimal oleh pemerintah kota setempat. Dalam mengimplementasikan kebijakan dan peraturan sepertinya pemerintah memiliki banyak kendala dimana satu sisi perlu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan kota untuk mencukupi kebutuhan penduduk dalam sektor pemukiman, perdagangan, maupun jasa. Namun di satu sisi lain pemerintah harus tetap mempertahankan lahan sawah untuk mencukupi kebutuhan pangan penduduk. Dalam proses alih fungsi lahan sawah di Kota Depok sering kali terjadi ketimpangan kepentingan oleh beberapa aktor-aktor terkait, yaitu pemerintah, petani, pengembang atau investor. Pemerintah sebagai pemberi izin yang memberikan izin terhadap pembangunan sesuai dengan peraturan yang ada terkait tata ruang wilayah. Petani sebagai pemilik lahan sebagian besar merasa dirugikan akibat adanya perubahan penggunaan lahan dan pengembang atau investor menjadi pihak yang diuntungkan dengan adanya pembangunan pemukiman. Adanya bujukan dari pihak-pihak tertentu yang memaksa petani untuk menjual lahannya ataupun terdapat perlakuan kecurangan dari beberapa pihak tersebut yang diam-diam merusak fasilitas penunjang kegiatan bertani agar petani merasa rugi terus menerus dalam bertani dan akhirnya menjual lahan sawahnya. Adanya keterpaksaan inilah yang pada akhirnya merugikan petani. Saat ini sebagian besar lahan sawah di Kota Depok dimiliki oleh pihak swasta dan pihak yang berada diluar wilayah Depok. Akan tetapi masih banyak lahan belum mengalami pembangunan menjadi perumahan, dll. Lahan tersebut tetap dibiarkan oleh pemiliknya untuk digarap oleh petani dengan syarat bagi hasil. Penetapan sistem bagi hasil ini dilakukan secara kekeluargaan sehingga beberapa petani tidak merasa kerugian seutuhnya karena masih dapat menggarap lahan yang tadinya sudah dijual kepada pihak swasta. Namun suatu saat lahan tersebut akan dibangun menjadi perumahan dan disaat itu pula petani berhenti untuk menggarap lahan tersebut dan mencari lahan baru atau kehilangan pekerjaan. Akan dibangunnya jalan tol Antasari-Cijago, menambah pengurangan lahan sawah di Kota Depok. Sampai saat ini sekitar 50 hektar lahan akan dijadikan jalur tol tersebut dan sekitar 8 hektar diantaranya merupakan lahan sawah. Wilayah Kecamatan Limo menjadi salah satu pusat pembangunan jalan tol dimana Kelurahan Krukut, Limo dan Grogol termasuk diantaranya. Kelurahan Krukut direncanakan menjadi perputaran jalan sehingga membutuhkan pembebasan lahan yang banyak di daerah tersebut dalam pembangunan jalan tol. Hal ini diprediksi ke depannya akan semakin mengurangi luasan lahan sawah di Kota depok jika pemerintah tidak segera menetapkan luasan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Dengan semakin mudahnya jalur transportasi di Kota Depok memicu banyak investor untuk berinvestasi di bidang property.

6.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan sawah

Alih fungsi lahan pertanian dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor- faktor yang mempengaruhi alih fungsi pertanian yang terjadi di Kota Depok berasal dari faktor makro dan juga faktor mikro. Faktor makro merupakan faktor- faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian di tingkat wilayah, dalam penelitian ini di Kota Depok. Faktor mikro merupakan faktor-faktor alih fungsi lahan pertanian yang disebabkan oleh keputusan petani. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi dalam skala makro di tingkat wilayah adalah luas bangunan, PDRB non pertanian, dan panjang aspal. Analisis dalam penentuan faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian di tingkat wilayah menggunakan analisis regresi linear berganda. Data yang digunakan dalam menentukan model tersebut merupakan data time series tahun 2001 – 2012. Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian pemukiman, industri, dan sarana prasarana lainnya dapat dilihat pada tabel 9 berikut ini: Tabel 9 Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih fungsi Lahan Sawah di Tingkat Wilayah Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. VIF Luas Bangunan -0.809538 0.361049 -2.242185 0.0552 1.262481 PDRB Non Pertanian -0.511389 0.07585 -6.742073 0.0001 1.190605 Panjang Aspal 0.195839 0.171448 1.142262 0.2864 1.154679 Intersep 8.733347 2.124867 4.110068 0.0034 R-squared 0.850518 F-statistic 15.17278 Adjusted R-squared 0.794463 ProbF-statistic 0.001153 Log likelihood 20.68808 Durbin-Watson stat 1.512855 Sumber: Badan Pusat Statistika diolah Keterangan : nyata pada taraf 10 persen Hasil estimasi memperlihatkan bahwa model yang digunakan dalam penelitian ini baik. Berdasarkan tabel diperoleh koefisien determinasi R-squared sebesar 0,850518. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman variabel dependen yang dapat diterangkan oleh variabel independen mencapai 85.05 persen dan sisanya 14.95 persen diterangkan oleh variabel lain diluar model. Nilai Adjusted R-square yang diperoleh sebesar 79.45 persen. Nilai peluang uji F Prob F- statistic yang diperoleh sebesar 0.0011 atau sebesar 0.11 persen, nilai tersebut lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan sebesar 10 persen. Hal tersebut memiliki arti bahwa dari hasil estimasi regresi minimal ada satu variabel independen yang mempengaruhi variabel dependennya. Probabilitas setiap variabel independen dapat digunakan untuk melihat signifikan atau tidaknya pengaruh setiap variabel independen tersebut terhadap variabel dependen. Berdasarkan tabel variabel-variabel independen yang berpengaruh secara signifikan terhadap penurunan luas lahan sawah yakni luas bangunan dan PDRB non pertanian. Variabel-variabel tersebut berpengaruh nyata pada taraf α= 10 persen. Sedangkan variabel Perubahan panjang aspal tidak berpengaruh nyata terhadap penurunan luas sawah. Model yang dihasilkan dari regresi linear tersebut cukup baik, karena memenuhi kriteria BLUE Best Linear Unbiased Estimator. BLUE dapat dicapai bila memenuhi asumsi klasik, yaitu model tidak memiliki sifat multikolinearitas, normalitas, autokorelasi, dan heterokedastisitas. Pembuktian multikolinearitas dalam model menggunakan nilai VIF dengan kriteria apabila nilai VIF yang dihasilkan dibawah 10 maka dapat disimpulkan bahwa didalam model tersebut tidak mengalami multikolinearitas. Berdasarkan hasil pengolahan data, diperoleh bahwa luas bangunan dan PDRB non pertanian memiliki nilai VIF dibawah 10 atau berkisar antara 0 sampai 5. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada variabel yang memiliki permasalahan multikolinearitas. Untuk membuktikan asumsi normalitas maka digunakan nilai probabilitas pada histogram of normality test. Dalam model ini nilai probabilitasnya sebesar 0.411904 atau 41.19 persen. Nilai tersebut lebih besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu 10 persen atau 0.10 0.411904 0.10, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada model ini residual menyebar secara normal atau tidak terjadi permasalahan normalitas. Pemeriksaan asumsi autokorelasi dilakukan dengan menggunakan uji Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test. Berdasarkan hasil uji tersebut diperoleh nilai Prob. chi-square sebesar 0.1651 atau sebesar 16.51 persen. Nilai tersebut lebih besar dari taraf α = 10 persen atau 0.10 0.1651 0.10, sehingga model ini tidak memiliki permasalahan autokorelasi. Pada model ini juga tidak terdapat permasalahan heterokedastisitas, karena dari hasil uji Glejser diperoleh nilai Prob. chi-square sebesar 0.0721 atau 7.21 persen. Nilai tersebut juga lebih besar dari taraf α = 10 persen atau 0.10 7.21 0.10, sehingga pada model ini tidak ditemukan masalah heteroskedastisitas. Berikut adalah model hasil estimasi regresi faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian tingkat wilayah: Y = 8.733347– 0.809538 X 1 – 0.511389 X 2 + 0.195839 X3 + ε Berdasarkan hasil estimasi model regresi dapat dilihat bahwa koefisien luas bangunan berpengaruh negatif - terhadap penurunan luas lahan sawah nilai probabilitas luas lahan bangunan 0.0552 lebih kecil dari taraf nyata 10 persen 0.0552 0.10. Hal ini berarti bahwa luas bangunan berpengaruh nyata terhadap perubahan luas lahan sawah. Koefisien variabel yang bernilai -0.81 pada tabel menjelaskan bahwa, setiap kenaikan 1 persen luas bangunan maka akan diikuti penurunan luas lahan sawah sebesar 0.81 persen ceteris paribus. Hal ini sesuai dengan hipotesis bahwa luas bangunan berkorelasi negatif terhadap luas lahan sawah. Luas bangunan berbanding lurus terhadap peningkatan permintaan kebutuhan akan luas lahan. Adanya peningkatan luas bangunan menyebabkan kebutuhan akan lahan meningkat. Kebutuhan akan lahan yang semakin meningkat mengancam keberadaan lahan yang bersifat tetap sehingga terjadi alih fungsi terutama lahan pertanian. Meningkatnya lahan terbangun yang menggeser fungsi lahan pertanian otomatis mengubah pola ekonomi masyarakat pedesaan Depok yang dominan memiliki mata pencaharian di bidang pertanian tergeser akibat adanya pembangunan perumahan maupun industri baru. Sebagian besar penduduk yang mendiami kawasan perumahan tersebut merupakan penduduk pendatang, begitu pula banyaknya buruh pabrik yang didatangkan dari luar depok mengakibatkan sebagian besar penduduk asli Kota Depok termarjinalkan dan pindah ke daerah pinggiran Kota Depok karena tidak mampu bersaing dengan pendatang ataupun lahan yang dimilikinya telah dijual dan pindah ke wilayah pinggir kota yang lebih murah harga lahannya. Atas hal tersebut maka perubahan