maka infrastruktur ekonomi lebih tersedia di daerah persawahan daripada daerah tanah kering. Ketiga, daerah persawahan secara umum lebih mendekati daerah
konsumen atau daerah perkotaan yang relatif padat penduduk dibandingkan daerah tanah kering yang sebagian besar terdapat di wilayah perbukitan dan
pegunungan. Isu alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian sudah
merupakan isu umum yang terjadi hampir di semua kota besar atau kota metropolitan di berbagai negara termasuk di Indonesia. Hal ini umumnya terjadi
di wilayah sekitar perkotaan akibat dukungan perkembangan sektor industri dan jasa. Dalam kasus lahan pertanian perkotaan isu ini sudah merupakan fenomena
yang terjadi akibat mengakomodir kawasan perumahan dan fasilitas sosial dan ekonomi lainnya. Kebijakan tata ruang kota dapat menjadi aspek legal terjadinya
alih fungsi lahan tersebut, namun disisi lain fenomena ini bisa juga merupakan suatu pelanggaran dalam implementasi Rencana Tata Ruang di perkotaan yang
telah ditetapkan sebagai suatu peraturan daerah.
2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian
Kustiawan 1997 menyatakan bahwa setidaknya ada tiga faktor penting yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan sawah yaitu:
1. Faktor Eksternal. Merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika
pertumbuhan perkotaan fisik maupun spasial, demografi maupun ekonomi. 2.
Faktor Internal. Faktor ini lebih melihat sisi yang disebabkan oleh kondisi sosial-ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan.
3. Faktor Kebijakan. Yaitu aspek regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah
pusat maupun daerah yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan pertanian.
Ilham et al 2004 dalam Butar-Butar 2012 menyatakan konversi lahan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Faktor sosial atau kependudukan. Berkaitan erat dengan peruntukan lahan
bagi pemukiman atau perumahan secara luas. Khususnya pertambahan penduduk di kota, kenaikan itu disebabkan oleh kelahiran alamiah dan
urbanisasi.
2. Kegiatan ekonomi dan pembangunan. Merupakan kegiatan pembangunan
ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat. 3.
Penggunaan jenis teknologi. Seperti penggunaan pestidida dapat menyebabkan rusaknya potensi lahan yang dikenai dan berakibat lebih jauh
pada penurunan potensi lahan. 4.
Kebijaksanaan pembangunan makro. Kebijaksanaan ini akan mempengaruhi terhadap pemilihan investasi yang ditanam dan akan mempengaruhi
konversi lahan. Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan, secara garis besar terdapat
dua faktor penyebab konversi, yaitu pada tingkat makro dan mikro. Dalam skala makro yakni pada tingkat wilayah misalnya pada kabupaten atau kota, konversi
lahan sawah disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi sektor non-pertanian yang pesat, implementasi undang-undang yang
lemah, serta nilai tukar petani yang rendah. Dalam skala mikro, alasan utama petani melakukan konversi lahan adalah karena kebutuhan, lahannya berada
dalam kawasan industri, serta harga lahan yang menarik. Pajak lahan yang tinggi juga cenderung mendorong petani melakukan konversi. Faktor pendorong
konversi yang tidak kalah pentingnya khususnya di Pulau Jawa adalah adanya kesempatan membeli lahan di tempat lain yang lebih murah. Semua penyebab
konversi itu akhirnya bermuara pada motif ekonomi, yaitu penggunaan lahan untuk peruntukan yang baru dipandang lebih menguntungkan daripada digunakan
untuk lahan sawah Ashari 2003. Penelitian ini merumuskan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya
konversi lahan, yaitu faktor makro dan faktor mikro. Faktor mikro meliputi tingkat pendidikan, jumlah tanggungan, harga bibit, luas lahan petani, dan hasil
panen. Sedangkan faktor makro terdiri dari luas bangunan, kontribusi PDRB non pertanian, pengaruh investor, dan perubahan panjang aspal.
2.4 Dampak Alih Fungsi Lahan
Menurut Furi 2007 Konversi lahan yang terjadi mengubah status kepemilikan lahan dan penguasaan lahan. Perubahan penguasaan lahan di
pedesaan membawa implikasi bagi perubahan pendapatan dan kesempatan kerja