43
Gambar 15. Kurva distribusi panas ulangan 2
Dari kurva diatas, dapat diketahui bahwa waktu venting ulangan 1 yaitu 4 menit pada suhu retort
114,1˚C dan pada ulangan 2 waktu venting berada pada menit ke 4 pada suhu 113,5˚C. Menurut Kusnandar et al. 2006, venting berlangsung kira-kira 8 menit hingga suhu retort
mencapai 110˚C. Setelah venting selesai, saluran klep venting ditutup, sedangkan saluran uap panas tetap dalam
keadaan terbuka. Setelah mencapai suhu venting, saluran uap panas masih dalam keadaan terbuka, sehingga
suhu retort semakin meningkat hingga mencapai suhu proses yang diinginkan. Suhu proses pada ulangan 1 mencapai 120,1˚C. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suhu retort yang diinginkan
yaitu 10 menit yang dinamakan sebagai come up time. Pada ulangan 2, suhu proses yang digunakan yaitu 117,7˚C. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suhu retort tersebut yaitu 12 menit. Menurut
Kusnandar et al. 2006, come up time CUT adalah waktu yang diperlukan untuk menaikkan suhu
retort sampai mencapai suhu proses yang dikehendaki. Dengan demikian CUT dihitung dari mulai saat pertama pipa uap dibuka sampai akhirnya retort mencapai suhu retort. Dari pengalaman empiris,
diketahui bahwa hanya 40 dari CUT mempunyai efek letal yang signifikan bagi tercapainya sterilitas. Perbedaan suhu proses antara ulangan 1 dengan ulangan 2 disebabkan oleh adanya
kebocoran pada retort pada saat ulangan 2 dilakukan, sehingga suhu proses yang digunakan tidak dapat sesuai yang direncanakan.
D. Penentuan Kecukupan Panas Pada Proses Sterilisasi Gel Cincau Hitam
Kaleng
Pada uji distribusi panas yang telah dilakukan, maka telah diketahui titik yang paling lambat menerima panas coldest point yaitu pada titik geometris kaleng 12 tinggi kaleng. Suhu pada titik
inilah yang dijadikan acuan dalam perhitungan kecukupan panas pada proses sterilisasi gel cincau hitam kaleng. Penentuan kecukupan panas pada proses sterilisasi dihitung dengan menggunakan dua
macam metode yaitu metode umum improved general methods dan metode formula. Dalam pelaksanaannya, terdapat perbedaan suhu antara suhu recorder dengan suhu termometer pada retort.
Suhu yang terbaca pada termometer pada retort lebih besar dibandingkan dengan suhu pada recorder. Namun, suhu yang terbaca oleh recorder yang dijadikan sebagai acuan.
44 Untuk menghitung kecukupan panas perlu ditentukan mikroba yang akan dijadikan target,
dalam hal ini target mikroba yang akan dimusnahkan adalah Clostridium botulinum. Menurut Muchtadi 2008, Clostridium botulinum
memiliki nilai D pada suhu 250˚F sebesar 0,2 menit dan nilai z sebesar 18˚C. Pada penelitian kali, ini jumlah siklus yang akan diturunkan sebanyak 12 siklus
logaritma 12D, sehingga dari nilai yang telah ditetapkan tersebut, dapat dirancang nilai F dalam
proses sterilisasi sebesar 12 x 0,2 = 2,4 menit. F merupakan waktu yang dibutuhkan untuk
memusnahkan mikroba dengan z =18. Dari hasil perhitungan dengan menggunakan metode umum trapezoidal, pada ulangan 1,
waktu yang dibutuhkan untuk memusnahkan mikroba dengan nilai z =18 atau waktu untuk mencapai tingkat sterilitas yang diinginkan adalah 24 menit pada suhu 120,1
˚C atau dapat disebut dengan
1 ,
120
F
. Tabel hasil perhitungan penentuan waktu sterilisasi optimum dengan metode umum ulangan 1
terdapat pada Lampiran 3a. Nilai
1 ,
120
F
setara dengan nilai F yaitu 3,05 menit. Artinya pada suhu
250˚C tingkat sterilitas yang diinginkan dapat tercapai selama 3,05 menit. Nilai 3,05 dianggap cukup karena telah melebihi waktu yang ditargetkan sebelumnya. Gambar 16 menggambarkan hubungan Lr
dengan waktu hingga mencapai tingkat sterilisasi yang diinginkan. Pada ulangan 2, berdasarkan perhitungan dengan metode umum, waktu yang dibutuhkan untuk
memusnahkan mikroba dengan nilai z = 18 adalah 22 menit yang dilakukan pada suhu 117,7 ˚C
7 ,
117
F . Nilai
7 ,
117
F setara dengan nilai F
yang menunjukkan nilai 2,41, artinya pada suhu 250˚C
tingkat sterilitas yang diinginkan dapat tercapai selama 2,41 menit. Nilai 2,41 dianggap cukup karena
sudah mencapai waktu yang ditargetkan sebelumnya. Gambar 17 menunjukkan grafik hubungan letalitas Lr dengan waktu hingga mencapai tingkat sterilisasi yang diinginkan. Lampiran 3b
menunjukkan tabel hasil perhitungan waktu sterilisasi optimum dengan metode umum pada ulangan 2.
Gambar 16. Kurva hubungan antara Lr dengan waktu menit pada ulangan 1
45 Gambar 17. Kurva hubungan antara Lr dengan waktu menit pada ulangan 2
Pada pengukuran dengan menggunakan metode formula, data penetrasi panas produk pada titik terdingin terlebih dahulu diplotkan pada kertas semilog. Dari hasil plotting, diperoleh kurva yang
tidak sama seperti pada kurva pemanasan biasa simple curve. Kurva pemanasan gel cincau hitam kaleng tergolong pada broken heating curves. Broken heating curves dapat terjadi bila produk di
dalam kaleng mengalami perubahan fisik padat-cair atau cair-padat sehingga mengubah karakteristik pindah panasnya. Tabel 5 menunjukkan nilai parameter penetrasi panas pada metode formula.
Tabel 5. Nilai dari parameter penetrasi panas pada metode formula
Parameter Ulangan 1
Ulangan 2
t
bh
menit 14
14
1
h
f
menit 12.2
9.1
2
h
f
menit 24.5
21.5 g
bh
18.5 8.9
I 108.4
103.36 j
2.4 2.99
t
menit 43.92
34.009 G
3.5 1.05
g h
U f
2.33 1.061
b h
g h
U f
20,28 5.26
U 10.13
18.51
i
F
menit 1.026
2.19
F
menit 9,87
8.45
46 Pada ulangan 1, berdasarkan perhitungan dengan menggunakan metode formula untuk
perhitungan pada broken heating curves, diperoleh nilai F keseluruhan proses adalah 9,87 menit.
Kurva dan langkah perhitungan F dengan menggunakan metode formula dapat dilihat pada Lampiran
4a. Nilai ini berbeda jauh dengan nilai F keseluruhan proses yang dihitung dengan metode umum
yaitu 24 menit. Pada ulangan 2, nilai F
yang diperoleh dari perhitungan dengan metode formula adalah 8,45 menit. Nilai F
ini berbeda jauh dengan nilai F keseluruhan proses yang diperoleh pada perhitungan
dengan metode umum, yaitu 22 menit. Kurva dan langkah perhitungan F pada ulangan 2, dapat
dilihat pada Lampiran 4b. Perbedaan suhu proses yang digunakan mengakibatkan perbedaan yang
cukup signifikan terhadap nilai F . Selain itu, perbedaan nilai F
antara ulangan 1 dengan ulangan 2 disebabkan oleh komponen pembentuk gel pada ulangan 2 telah mengalami sineresis akibat
penyimpanan terlalu lama pada udara terbuka sehingga air keluar akibat tekanan yang terjadi pada air yang berada diantara rantai polisakarida McCabe 2008 dalam Karni 2011. Hal ini menyebabkan
viskositas lebih rendah yang berpengaruh pada proses perambatan panas dan tekstur gel lebih lunak karena sineresis yang sudah lebih dahulu terjadi saat masih dalam ekstrak gel, sehingga nilai F
pada ulangan 2 lebih kecil dibanding ulangan 1 walaupun suhu proses lebih rendah dibanding ulangan ke 2.
Metode umum biasanya digunakan untuk mengevaluasi suatu proses termal, sedangkan metode formula digunakan untuk merancang suatu proses termal. Faktor keamanan pada metode formula
dapat bertanggungjawab pada perhitungan kecukupan panas di dalam industri pangan yang bertujuan menghilangkan bahaya botulisme pada makanan kaleng olahan komersial Toledo, 2007.
E. Keasaman Gel Cincau Hitam Dalam Kaleng