1 Pencelupan dipping
Biasanya teknik ini digunakan pada produk yang memiliki permukaan kurang rata. Setelah pencelupan kelebihan bahan coating dibiarkan terbuang. Produk
kemudian dibiarkan dingin hingga edible coating menempel. Teknik ini telah diaplikasikan pada daging, ikan, produk ternak, buah dan sayuran.
2 Penyemprotan spraying
Teknik ini menghasilkan produk dengan lapisan yang lebih tipis atau lebih seragam daripada teknik pencelupan. Teknik ini digunakan untuk produk
yang mempunyai dua sisi permukaan, seperti pizza. 3
Pembungkusan casing Teknik ini digunakan untuk membuat film yang berdiri sendiri, terpisah dari
produk. Teknik ini diadopsi dari teknik yang dikembangkan untuk non-edible coating
. 4
Pengolesan brushing Teknik ini dilakukan dengan cara mengoles edible coating pada produk.
2.5 Pengemasan Vakum
Pengemasan vakum merupakan sistem pengemasan hampa udara dimana tekanannya kurang dari satu atmosfir 1 atm dengan cara mengeluarkan oksigen
O
2
dari kemasan sehingga dapat memperpanjang umur simpan. Teknik pengemasan vakum dilakukan dengan cara memasukkan produk ke dalam plastik
yang diikuti dengan pengosongan atau pengontrolan udara menggunakan mesin pengemas vakum, kemudian ditutup dan disealler Jay 1996.
Menurut Syarief et al. 1989, faktor-faktor yang mempengaruhi kerusakan bahan pangan sehubungan dengan kemasan yang digunakan dapat dibagi menjadi
dua golongan utama yaitu : 1
Kerusakan yang sangat ditentukan oleh sifat alamiah dari produk sehingga tidak dapat dicegah dengan pengemasan saja perubahan-perubahan fisik,
biokimia dan kimia serta mikrobiologi. 2
Kerusakan yang tergantung pada lingkungan dan hampir seluruhnya dapat dikontrol dengan kemasan yang digunakan kerusakan mekanis, perubahan
kadar air bahan pangan, absorpsi dan interaksi dengan oksigen, kehilangan dan penambahan cita rasa yang tidak diinginkan.
Menurut Syarief dan Halid 1993, kandungan air suatu bahan tidak dapat digunakan sebagai indikator nyata dalam menentukan ketahanan simpan. Selama
penyimpanan, parameter-parameter mutu seperti kadar air, cita rasa, tekstur, warna dan sebagainya akan berubah karena pengaruh lingkungan seperti suhu,
kelembaban dan tekanan udara atau karena faktor komposisi makanan itu sendiri.
2.6 Kerusakan Pangan
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kerusakan pangan yaitu suhu lingkungan bahan pangan, kadar air, O
2
, pH, relatif humidity RH dan a
w
water activity. Suhu lingkungan sangat mempengaruhi kecepatan reaksi kimia dan biokimia serta proses fisiologi hasil panen dan post mortem. Suhu juga
mempengaruhi pertumbuhan optimal mikroba pembusuk Winarno 2007. Aktivitas air water activity merupakan tekanan uap air yang terdapat
dalam makanan dibagi dengan tekanan uap air dari air murni, pada suhu yang sama. Aw sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroba, contohnya
persyaratan minimal bagi mikroba dapat hidup untuk bakteri 0,90; untuk khamir 0,88; untuk kapang 0,80; dan untuk bakteri halophilik 0,75 Winarno 2007.
Bila ditinjau dari penyebabnya, kerusakan bahan pangan dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu kerusakan mikrobiologis, mekanis, fisik, biologis,
dan kimia. Kerusakan mikrobiologis merupakan bentuk kerusakan yang banyak merugikan serta kadang-kadang berbahaya terhadap kesehatan manusia, karena
racun yang diproduksi, penularan serta penjalaran kerusakan yang cepat. Cara perusakannya yaitu dengan mendegradasi makromolekul-makromolekul yang
menyusun bahan pangan menjadi fraksi-fraksi yang lebih kecil Muchtadi 2008. Kerusakan mekanis disebabkan karena adanya benturan-benturan mekanis,
misalnya benturan antara bahan itu sendiri atau karena benturan alat dengan bahan tersebut. Kerusakan fisik dan kimia disebabkan karena perlakuan-perlakuan fisik,
seperti dalam pengeringan terjadi case hardening, dalam pendinginan terjadi chilling injuries
atau freezing injuries dan freezer burn pada bahan yang dibekukan. Pada penggorengan atau pembakaran yang terlalu lama menyebabkan
kegosongan. Selain itu, kerusakan-kerusakan yang terjadi karena lembabnya penyimpanan dapat menyebabkan water activity dari bahan meninggi, sehingga
memberi peluang kepada bentuk-bentuk kerusakan mikrobiologis untuk ikut aktif.
Kerusakan fisiologis meliputi kerusakan yang disebabkan oleh reaksi-reaksi metabolisme dalam bahan atau oleh enzim-enzim yang terdapat di dalamnya
secara alami sehingga terjadi proses autolisis yang berakhir dengan kerusakan dan pembusukan Muchtadi 2008.
Kerusakan ikan asap terutama disebabkan oleh pertumbuhan mikroba karena kondisi penyimpanan yang tidak tepat. Kerusakan ini tidak selalu
menyebabkan keracunan pangan. Jika yang tumbuh adalah mikroba pembusuk, maka akibat yang ditimbulkan adalah kerusakan produk yang membuat produk
tidak layak lagi untuk dikonsumsi. Beberapa kerusakan ikan asap adalah sebagai berikut Syamsir 2009 :
1 Pembentukan bau asam
Bau asam timbul karena terjadinya pertumbuhan bakteri asam laktat BAL pada ikan asap, selama proses pengasapan atau selama penyimpanan.
Pertumbuhan BAL relatif lambat dan menghasilkan asam organik yang merusak bau dan flavor produk ikan asap.
2 Pembentukan spot-spot berwarna putih atau warna lain di permukaan
ikan. Hal ini disebabkan oleh terjadinya pertumbuhan kapang permukaan yang bersifat halofilik tahan konsentrasi garam tinggi.
3 Pembentukan lendir
Pembentukan lendir ini diproduksi oleh beberapa Micrococcus spp. dan bakteri lainnya yang memproduksi lendir dipermukaan ikan asap.
4 Pembentukan
gas, yang
disebabkan oleh
pertumbuhan beberapa
mikroorganisme yang memproduksi gas. 5
Pembentukan flavor tengik Terutama pada ikan asap berkadar lemak tinggi. Garam meningkatkan reaksi
oksidasi lemak selama penyimpanan dengan waktu yang lama sehingga terbentuk flavor tengik.
ICMSF 1986 diacu dalam Mexis et al. 2009 menyatakan bahwa batas atas mikrobiologi produk makanan nilai TVC tidak boleh lebih dari 7 log
cfugram. Adapun persyaratan mutu dan keamanan pangan ikan asap menurut standar SNI 2725-1-2009 dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Persyaratan mutu dan keamanan pangan ikan asap Jenis Uji
Satuan Persyaratan
a. Organoleptik
Angka1-9 Minimal 7
b. Cemaran mikroba
- ALT
- Escherichia coli
- Salmonella
- Staphylococcus aureus
- Vibrio cholerae
Kolonig APMg
per 25 g Kolonig
per 25 g Maksimal 1x10
5
Maksimal3 Negatif
Maksimal 1x10
3
Negatif c.
Kimia -
Kadar air -
Kadar histamin -
Kadar garam fraksi massa
mgkg fraksi massa
Maksimal 60 Maksimal 100
Maksimal 4 CATATAN Bila diperlukan
Sumber : Badan Standardisasi Nasional SNI 2725.1: 2009
3 METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat