Persepsi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Bappeda

97 dan hanya terkait pada perikanan tangkap saja. Industri bukan migas khususnya pengolahan hasil perikanan masih kecil di kota Sibolga dan hanya ada pada kegiatan pemindangan dan pengasinan. Output subsektor perikanan sangat besar digunakan di luar daerah dilihat dari nilai ekspor. Hal ini merupakan salah satu indikasi terjadinya kebocoran wilayah. Dimungkinkan apabila kegiatan pengolahan dapat lebih berkembang dalam daerah, tentu saja akan lebih bermanfaat bagi masyarakat di dalam wilayah dan juga bagi wilayah itu sendiri. Oleh sebab itu industri yang dikembangkan dapat berupa industri skala kecil maupun menengah yang dapat dikelola oleh kelompok-kelompok masyarakat, bahkan industri dengan skala besar yang nantinya mampu meningkatkan pendapatan serta menampung tenaga kerja. Peranan pemerintah daerah untuk meningkatkan keterpaduan sektoral ini masih rendah yang mengakibatkan lemahnya keterkaitan subsektor perikanan di kota Sibolga dengan sektor-sektor lainnya. Penelitian Jonny et al. 2011 yang menyatakan bahwa kota Sibolga merupakan salah satu kota yang memiliki usaha perikanan yang relatif besar bila dibandingkan dengan kota-kota lainnya di pantai barat Sumatera masih belum sepenuhnya disadari oleh pemerintah daerah untuk mengembangan subsektor ini lebih optimal lagi, khususnya peningkatan keterkaitan sektoralnya. Tugas dari pemerintah daerah saat ini adalah bagaimana upaya untuk menciptakan sektor-sektor yang mampu terhubung secara langsung sebagai pengguna output maupun penyedia input kepada subsektor perikanan dengan sektor-sektor lain, sehingga potensi yang dimiliki daerah dapat lebih dioptimalkan. Seperti halnya pendapat Reis dan Rua 2006 bahwa suatu sektor dengan keterkaitan ke depan dan ke belakang yang besar terhadap sektor-sektor lain, akan memiliki potensi kobocoran wilayah yang relatif kecil bila dibandingkan dengan sektor yang memiliki nilai keterkaitan ke depan dan ke belakang yang lebih kecil dengan sektor-sektor lainnya. Meningkatkan maupun memunculkan keterkaitan langsung ke depan maupun ke belakang yang baru pada akhirnya akan lebih meningkatkan keterkaitan secara tidak langsung sektor-sektor ekonomi di kota Sibolga. Untuk itu perlu adanya kebijakan pemerintah daerah untuk memikirkan perencanaan 98 pembangunan industri-industri pengolahan ikan yang hingga saat ini masih belum ada. Dengan adanya industri-industri pengolahan perikanan industi pengalengan ikan, pabrik tepung ikan, dll. dengan sendirinya akan menciptakan keterkaitan sektor-sektor yang baru yang dapat meningkatkan keterkaitan sektor-sektor ekonomi yang telah ada sebelumnya baik langsung maupun tidak langsung terhadap subsektor perikanan. Simulasi upaya pengembangan subsektor perikanan serta peningkatan keterkaitan subsektor perikanan ini dapat dilihat pada Gambar 36. Upaya menciptakan kondisi pengembangan subsektor perikanan perlu kerjasama stakeholder untuk menyamakan persepsi dalam menentukan skala prioritas pembangunan subsektor perikanan ini di kota Sibolga, sehingga tujuan pembangunan wilayah dapat tercapai untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut. Kenyataan yang ada dari hasil analisis pendapat terhadap stakeholder yang ada, terdapat perbedaan persepsi untuk skala prioritas pengembangan pada subsektor perikanan ini. Adanya perbedaan yang mencolok dari persepsi antar stakeholder menunjukkan masih kurangnya pemahaman akan konsep pembangunan dan sosialisasi perencanaan pembangunan khususnya subsektor perikanan di kota Sibolga. Persepsi yang berbeda-beda ini akan berdampak negatif terhadap pengembangan subsektor perikanan. Pemerintah daerah sebagai fasilitator pembangunan daerah memiliki tugas untuk menciptakan kondisi agar proses pembangunan di daerah dapat berjalan bersinergi antara pelaku-pelaku usaha perikanan dengan pelaku-pelaku usaha di sektor-sektor ekonomi lainnya. Untuk arahan alokasi ruang pemanfaatan ruang, pemerintah daerah harus melibatkan masyarakat untuk turut serta berpartisipasi aktif dalam menyusun rencana tata ruang sehingga tercipta penyamaan persepsi terhadap arahan pembangunan daerah. Seperti yang diamanatkan Undang-Undang Tata Ruang No. 26 Tahun 2008 bahwa dalam proses perencanaan rencana tata ruang wilayah, perlu adanya partisipasi masyarakat yang terlibat dan sifatnya transparan terbuka untuk publik. Dokumen rencana tata ruang yang sifatnya sebagai dokumen publik ini diisaratkan juga dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik No. 14 Tahun 2008.